“Nah, kebetulan ada istri saya juga. Jadi silakan masuk dulu, Bi.”
Radit segera menyingkir dari ambang pintu. Membuat Amanda bisa melihat dengan jelas siapa yang menjadi lawan bicara suaminya tadi. Tampak seorang perempuan paruh baya tengah tersenyum seraya membungkukkan badan.
Amanda mendekat meskipun dirinya merasa gerah hendak lekas menuju kamar. “Siapa?”
“Calon asisten rumah tangga yang diceritakan sama Sus Rini kemarin,” jawab Radit kemudian.
“Oh,” ucap Amanda pelan. Sama sekali terlihat tidak begitu peduli dengan penuturan barusan. Namun, dia masih mengangguk sopan sebelum akhirnya pamit pada perempuan tadi untuk segera melipir ke kamar.
Mana dia tahu ternyata langkahnya malah disusul oleh Radit. Tepat saat akan menyambar handuk suaminya it
“Kau gila ya, hah!?” Amanda menatap tajam Radit yang sedang melipat tangannya di depan dada. “Kenapa kau bisa mempekerjakan orang seperti Bi Asih?”“Kenapa?” ulang Radit yang kemudian menghela napas pelan. “Bukannya tadi aku serahkan keputusan padamu? Jadi jangan salahkan aku, Manda.” Amanda menggertakkan giginya lalu meraup wajah dengan kedua telapak tangan. Lantas memandangi langit-langit kamar untuk mengambil jeda sebelum kembali melanjutkan ucapannya.“Tadinya aku pikir pengalaman kerja saja cukup untuk menjadi pertimbangan,” gerutunya. “Sekarang? Lihatlah! Bi Asih bahkan sedang menyiapkan sarapan untuk kita.”“Kau menyesal?”“Terus? Menurutmu apakah aku harus bersorak? Begitu, heh??” Amanda malah balik bersungut-sungut.“Tenanglah. Bi Asih aman. Dia sempat depresi dan dirawat di sana. Itu sudah lama sekali. Setelahnya dia bekerja sebagai asisten rumah tangga hingga sekarang bersama kita. Tidak membahayakan. Hanya saja … dia sedikit aneh terkadang. Begitu yang aku de
Radit berdecak kesal begitu melihat siapa yang sudah muncul di hadapannya. Seorang pria yang tengah tersenyum lebar tanpa beban sama sekali.“Maaf. Pintu rumahmu sudah terbuka. Jadi aku tidak mengetuk pintu,” usap pria itu yang dengan santainya duduk di sofa ruang tamu. Tangannya merogoh ponsel yang berada di dalam saku celana lalu berkata, “Wah. Ternyata kau yang menelepon. Maaf ya. Aku sedang di jalan tadi.”“Apa aku ada menyuruhmu datang?” sungut Radit yang sudah berkacak pinggang.“Santai, Dit. Aku hanya ingin memastikan sofa pesananmu sampai dengan selamat. Soalnya tadi kurir mereka mengabarkan kalau kau ingin complain. Benar ya?”“Ya ya.” Radit mengangguk-angguk mengiyakan. “Sofa apa yang kau pesankan untukku, heh??” Tamu dadakannya tersebut malah tergelak. Lantas menoleh ke arah Amanda yang masih berdiri seperti patung di sekitar mereka. Alih-alih mendengarkan luapan kemarahan sang teman, dirinya segera bangkit lalu mengulurkan tangan pada gadis cant
“Apa? Kau ingin aku yang tidur di luar, hem?”Radit lekas menggeleng cepat. Merutuki otaknya yang sempat berpikir kalau Amanda mau berbagi tempat dengannya. Catat. Hanya memberikan celah agar ia bisa terlelap. Tidak lebih. Namun, istrinya itu sudah lebih dulu membuat pernyataan tegas lewat suruhan tidur di tempat berbeda.“Tidak.” Kepalanya menggeleng pelan. “Kalau kau kesulitan menghadapi Ayra bisa panggil aku.”Amanda mengangguk. Setelahnya melangkah cepat menuju ambang pintu. Bersiap hendak mengunci kamar selepas kepergian Radit dari sana.“Loh? Bapak ngapain di sini?” tanya Bi Asih yang baru saja beranjak ingin ke kamar. Matanya menatap penuh selidik selimut beserta bantal yang ada di pelukan Radit. “Ibu dan Bapak lagi berantem ya?” Mendapati pertanyaan barusan membuat pria anak satu itu meringis. Bibirnya k
“Da dah, Papa.” Amanda lebih dulu bersuara dan memundurkan tubuhnya. Menjadikan Radit buru-buru menegakkan kepala juga. “A-aku pergi dulu,” pamit Radit dengan suara sedikit terbata-bata. “Iya,” sahut Amanda datar. Senyumnya terbit ketika menatap Ayra. Lantas kemudian bersuara lagi. “Hati-hati, Papa. Ayra tunggu di rumah ya.” “Iya, Sayang. Sampai nanti.” Setelah memastikan mobil Radit menghilang dari pandangan, Amanda pun berbalik badan. Kebetulan pula di seberang jalan para emak-emak yang hendak berburu sayuran dan lauk pauk lewat. Mereka memandangnya dengan tatapan penasaran. “Saya mau ke kedai, Bu. Mau dimasakin apa?” tanya Bi Asih yang sudah muncul dari ambang pintu. Mengalihkan atensi sang majikan dengan segera. “Apa ya?” Amanda berpikir sebentar lalu mengendikkan bahu. Asisten rumah tangganya itu terkekeh. “Duh. Memangnya tadi papa Ayra enggak ada minta masakin apa gitu?” Bi Asih menggeleng-geleng. “Kata bapak terserah ibu.” “Ya udah. Terserah Bibi aja. Kecuali kerang
Amanda malah mengerutkan dahi ketika mendengar pertanyaan senada yang dilontarkan oleh suaminya. “Ada apa denganmu?”“Ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan,” gumam Radit tanpa melepaskan tatapan tajamnya dari Amanda.“Kau sudah berani protes dengan penampilanku?”“Oh Tuhan.” Radit pun berdecak pelan seraya meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Aku ini seorang dosen, Manda. Semua hal yang berada di sekitarku akan jadi sorotan.” Model cantik itu mengangguk pasrah. Tak mau berdebat dengan Radit yang bahkan saat ini belum berganti pakaian sama sekali. Dia lantas melangkah pelan menuju koper lalu mengobrak-abrik isi di dalamnya.“Kau mau aku pakai yang mana?” tanyanya kemudian.“Apa saja yang sopan.”“Sayangnya sopan versi kita berbeda,” sela Amanda.“Seperti yang dikenakan Dinda,” ucap Radit akhirnya. “Dia itu tahu menempatkan diri sebagai istriku.”“Apa aku harus mengenakan pakaian miliknya?” Radit tak lagi menjawab. Dia menyambar pakai
“Lepas, Radit!” Sayang, suara barusan sama sekali tak dipedulikan oleh Radit. Dia mengunci pintu kamar lalu setelahnya menyentakkan lengan Amanda hingga wanita itu terpelanting di atas ranjang.“Beraninya kau mengenakan pakaian Dinda. Lancang!!” maki Radit yang sudah berkacak pinggang. Bukannya takut dengan suara lantang tersebut, Amanda malah menatap sengit sang suami. Tangannya mengelus bagian lengan yang sudah memerah akibat cekalan yang cukup menyiksa tadi.“Kenapa, hemm?!” Amanda tersenyum miring. Berusaha mendudukkan diri dengan gerakan pelan. “Apa yang kau rasakan? Apa kau tergoda?”“Kau??”Tawa gadis itu pun pecah. “Jangan bilang kau tergoda hanya karena melihatku mengenakan pakaian Dinda. Dasar payah!”Radit menggeram lemah. Kedua tangannya mulai mengepal sempurna. Menampakkan buku-buku jari yang memutih seketika. Jangan lupakan rahangnya yang sudah mengencang saat Amanda mengeluarkan kata-kata meremehkan tadi.Sumpah. Dia menyesali perbuatan kasar
“Tolong bawa aku keluar. Andre udah nungguin.” Itulah yang dibisikkan Amanda saat bibirnya berada tepat di telinga kanan Radit. Sengaja mengatakan demikian karena kebetulan sang papa sempat meliriknya yang sedang melangkah tergesa-gesa. Hingga kemudian pelukan tadi terlepas secara perlahan.Radit menatap lekat manik mata kecokelatan itu. Mengangguk pelan sembari mengulum bibirnya. “Apa Ayra sudah tidur?”“Hu um. Dia sudah di kamarnya bersama Sus Rini,” jawab Amanda cepat.“Aku ingin masuk ke sini sebentar. Kau bisa tunggu di kamar. Setelahnya kita pergi.” Keduanya lantas melirik Tuan Yuda yang sudah tak kelihatan lagi. Barulah Amanda memutar tubuh meninggalkan Radit yang hendak membuka knop pintu kamar milik mendiang Dinda yang memang tidak pernah terkunci.[Aku akan keluar dengan Radit. Kamu tunggu di sana ya.][Iya, Sayang. Hati-hati.] Usai mengirim pesan barusan, Amanda lekas memindai wajahnya di depan cermin. Memastikan bahwa penampilannya
“Apa kau kenal dia?”Wanita yang sedang berada dalam dekapan pria asing tadi menggeleng cepat. Menatap Radit sambil bergidik ngeri. Selang beberapa detik kemudian terlibat kontak mata antara kedua kaum Adam itu.“Maaf. Aku … sudah salah orang,” ucap Radit sambil meringis pelan.“Lain kali gunakan matamu!!” hardik si pria dengan mata yang berkilat menahan geram. Radit mengangguk mengiyakan. Setelahnya dia berbalik badan lalu merutuki diri sendiri. Perasaan cemas yang sedang melanda ternyata mampu membuatnya bertindak gegabah. Meskipun begitu, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya menyimpan perasaan lega karena Amanda tidak seburuk yang ia pikirkan. Semoga saja.“Ketemu?” tanya Sebastian yang ternyata masih ada di sana. Gelengan Radit membuatnya tersenyum mengejek. “Kenapa tidak kau telepon saja, heh??” Ucapan sang teman ada benarnya. Radit mendengus pelan lalu lekas merogoh ke dalam saku celana. Tak berapa lama ponselnya bergetar.“Kau ada di mana?” Suara Amand