Mag-log inKeduanya beradu pandang, dan Gina semakin merasa, dari tatapan mata Bara yang sekarang menatapnya, pria itu benar-benar ingin menegaskan pada Gina bahwa ia tidak mau ditentang karena ia yang berkuasa atas siapapun di rumah besar tersebut.
'Bagaimana ini? Ternyata Arin benar, orang ini nggak mudah untuk dihadapi, tapi aku nggak mau mengorbankan Raya, aku bekerja seperti ini untuk Raya, nggak mungkin aku justru mengabaikan kebutuhan Raya....' Dalam gejolak perasaannya yang merasa sudah diujung tanduk ketika melihat tatapan Bara padanya, Gina mengucapkan kalimat itu di dalam hati seraya terus menguatkan diri bahwa keputusannya itu tidak bisa diubah lagi, meski oleh Bara sekalipun. "Aku tanya padamu, Gina, jika aku tidak mau mengabulkan permintaanmu, kamu mau apa? Aku yang membuat aturan di sini, bukan, kau!" Suara Bara yang mengucapkan kalimat itu membuat Gina semakin tercekat di tempatnya berdiri, namun, bayangan wajah Raya berkelebat di benak Gina, dan itu membuat Gina semakin berusaha untuk menguatkan hati tidak goyah dengan apa yang ia putuskan. "Maaf, Tuan. Jika memang Tuan keberatan dengan apa yang saya inginkan, dengan sangat terpaksa, saya akan mengundurkan diri, tidak jadi menjadi ibu susu anak, Tuan." Akhirnya, kalimat itu terucap juga di bibir Gina dan itu membuat Bara mengepalkan telapak tangannya pertanda ia semakin murka dengan apa yang diucapkan oleh Gina. "Mengundurkan diri? Apakah Arin tidak memberitahumu, jika sudah bekerja di sini, kau, tidak bisa seenaknya mengundurkan diri ketika kau merasa tidak cocok?" Gina kembali menundukkan kepalanya, dadanya semakin bergemuruh. “Ta–tapi, Tuan, saya tidak bisa membiarkan anak saya sendiri diperlakukan seperti itu.” "Aku tidak peduli. Setelah 2 tahun, kau baru bisa pergi dari sini, Gina!" seru Bara penuh penekanan. "Apa? 2 tahun, Tuan?” "Kurang jelas?" tanya Bara dengan nada suara seolah menganggap remeh Gina. "Maaf, sangat jelas, tapi saya tidak diberitahu sebelumnya mengenai hal ini, Tuan. Mungkin jika saya diberitahu sebelumnya tentang aturan bahwa, saya tidak boleh memberikan ASI saya pada anak saya, saya tidak akan melamar pekerjaan ini meskipun sangat butuh pekerjaan." Gina tetap berusaha untuk memperjuangkan hak anaknya, meskipun Bara seolah mempersulitnya. Ia bicara tanpa bermaksud menentang aturan yang sudah ditetapkan oleh Bara, karena memang ia tidak tahu aturan tidak boleh memberikan ASI pada anaknya sendiri, dan hal itu tidak dijelaskan dari awal hingga Gina merasa ia punya hak untuk mengajukan protes. "Kau tidak bertanya sejak awal." Dengan dingin, Bara hanya mengucapkan kalimat itu untuk aksi protes Gina tadi, yang bersikeras untuk mengundurkan diri karena tidak mau mengorbankan Raya untuk anak orang lain. Sekarang, Gina didera perasaan kacau, ia memang salah karena tidak menanyakan hal itu sejak awal. Namun, bagaimana mungkin Gina bisa tetap bekerja menjadi ibu susu untuk anak Bara, sementara ia tidak memberikan hak anaknya sendiri? Gina benar-benar dibuat berpikir keras, hingga kemudian.... "Kalau begitu, saya ingin ada kontrak kerja di antara kita, Tuan! Jika memang saya tidak boleh keluar dari rumah ini sekarang, saya ingin ada perjanjian tertulis agar semuanya jelas." Bara terdiam sejenak, ia menatap Gina dengan tajam, satu alisnya terangkat. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Gina akan seberani ini hanya untuk anaknya. "Baik. Aku akan membuatnya!" sahut Bara akhirnya, yang langsung membuat Gina semakin berani untuk mengajukan syaratnya pula yang lain. "Saya juga mau, Tuan mengizinkan saya untuk memberikan ASI saya pada anak saya, dengan satu catatan, kebutuhan ASI anak Tuan tetap tercukupi," kata Gina dengan lebih berani. "Kau-" Bara menggertakkan giginya. Tidak pernah ada orang yang berani mengaturnya sebelum ini! "Maafkan saya, Tuan! Tapi saya mohon, izinkan saya melakukan tugas sebagai ibu yang baik pula di samping menjadi karyawan yang baik untuk, Tuan!" Gina membungkukkan tubuhnya dalam-dalam seraya bicara seperti itu pada Bara. Berharap, Bara tidak menganggapnya sebagai seseorang yang tidak tahu diri, karena sudah berani menyampaikan apa yang ia inginkan padahal ia juga butuh pekerjaan tersebut. Hanya saja, Gina mampu melakukan itu karena ia tadi sudah ingin mengundurkan diri, tapi Bara tidak mengizinkan dengan cara menjeratnya dengan kontrak tidak tertulis yang mengharuskan ia tidak pergi dari rumah itu kecuali sudah 2 tahun lamanya. Di bagian itulah, Gina merasa berhak menyuarakan isi hatinya, sebab, ia tidak bisa begitu saja membiarkan anaknya mengalah demi anak orang lain. Namun, ia juga memang salah karena tidak bertanya lebih dulu tentang aturan pekerjaan dan mengira tidak akan ada hal semacam itu. "Baiklah! Permintaanmu itu aku kabulkan, tapi kau tidak boleh mengutamakan anak kamu dulu sebelum ASI untuk anakku tercukupi. Kau bekerja untukku, maka kau tetap harus patuh dengan aturan yang sudah aku tetapkan!" Telapak tangan Gina mengepal mendengar keputusan yang diucapkan oleh Bara untuk syarat kedua yang diajukannya. Rasanya sesak, sampai untuk bernapas saja Gina terasa sulit membayangkan anaknya harus mengalah untuk anak orang lain padahal ia adalah ibunya. Akan tetapi, apa boleh buat, kali ini Gina tidak bisa melakukan bantahan lagi, yang terpenting adalah, ia tetap bisa memberikan ASI untuk Raya. Meskipun harus tetap mengutamakan Gavin, tapi Gina berjanji, Raya tidak akan kekurangan ASI hanya karena ia harus mengutamakan anak orang kaya yang memberinya pekerjaan tersebut. Pembahasan tentang kontrak kerja sudah selesai. Gina kembali ke kamarnya dan mendapati sang anak sudah ada di sana sedang tertidur dengan lelapnya. Perlahan, Gina mendekati sang anak dan membelai wajah Raya dengan penuh kasih sayang. Rasa sesak karena sudah membuat anaknya mengalah demi orang lain masih menguasai hati Gina, hingga Gina sangat merasa bersalah pada sang anak sekarang ini. "Maafkan Mama, ya, Nak. Mama berjanji ini tidak akan terulang, kamu tetap yang harus Mama utamakan, tidak ada orang lain...." *** "Siapa kamu? Kenapa kamu menyusui anakku?!" Sebuah suara membuat Gina yang sedang menyusui Gavin di kamarnya pagi itu langsung tersentak. Seorang wanita cantik bertubuh tinggi semampai masuk ke dalam kamar Gavin. Wanita itu yang tadi bersuara dengan sangat lantang pada Gina. Karina Mahira, istri Bara, ibunya Gavin. Karina adalah seorang model yang karirnya sedang naik. Penyebab mengapa Bara mencari ibu susu untuk Gavin adalah, istrinya itu tidak mau menyusui Gavin dengan dalih dadanya akan rusak jika ia menyusui bayi. Dengan kasar, tanpa peduli posisi Gina yang sedang menyusui sang anak, Karina merampas Gavin dari sisi Gina hingga mendapatkan sentakan seperti itu oleh Karina, Gavin menangis. "Sa–saya Gina, saya bekerja sebagai ibu susu untuk anak Tuan Bar–" "Ibu susu? Kamu? Kamu menjadi ibu susu untuk anakku?" potong Karina, tidak percaya dengan apa yang dijelaskan oleh Gina padanya. Matanya menatap remeh pada Gina seolah-olah, Gina adalah seonggok sampah yang tidak pantas menyentuh anaknya yang berharga. Bahkan, tangisan Gavin pun tidak diperdulikannya, karena Karina lebih fokus meluapkan kemarahannya pada Gina. "Maaf, Nyonya. Saya hanya mengerjakan tugas saya, Nyonya," ucap Gina terbata-bata. Ia hanya bisa menundukkan kepala, tidak berani menatap Karina. "Yang benar saja, aku nggak terima anakku disusui oleh perempuan seperti kamu! Pergi kamu dari rumah ini, Gavin tidak perlu ibu susu pengganti segala!!"Diam. Jessica tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sang ibu. Sementara Jeny tetap mengusap rambut panjang anaknya yang sedikit kusut karena selama hamil, Jessica merasa enggan untuk merawat diri. Ia seolah kehilangan daya untuk melakukan apapun karena tidak tahu bagaimana lagi untuk menghadapi situasi yang menjeratnya sekarang ini. "Apa aku bisa, Mi?"Setelah beberapa saat terdiam, Jessica akhirnya bicara, sambil mengusap sisa air mata dengan punggung tangannya.Jeny tersenyum mendengar pertanyaan itu dilontarkan oleh sang anak. "Tentu saja bisa, sekarang kamu bisa memasak, membersihkan rumah, selain merawat diri, meskipun tugas perempuan bukan seputar itu, tapi itu bisa menjadikan kamu menjadi seorang ibu yang baik dan istri yang baik untuk suami kamu nanti.""Suami?" ucap Jessica sembari tersenyum kecut."Aku enggak punya suami, Mi. Buat apa?" lanjut Jessica dengan wajahnya yang suram. "Pikirkan Haris, mungkin sekarang kamu merasa kalah dengan Gina karena dia ma
Jeny masih berusaha untuk membujuk Jessica, mengucapkan kalimat itu agar supaya Jessica menjadi tenang, dengan mengatakan setuju dengan keinginan Jessica yang tidak mau melihat Haris lagi meskipun ia sendiri tidak setuju karena berharap mereka berdua kembali bersama. Akan tetapi, karena memikirkan keadaan Jessica yang masih rentan, Jeny terpaksa mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh sang anak.'Yang penting, Jessica tenang dulu, masalah yang lain bisa dipikirkan nanti, khawatir kandungannya terpengaruh.'Hati Jeny bicara demikian sambil mengusap punggung sang anak dengan perasaan prihatin. Jessica yang selama ini tidak pernah demikian sekarang terlihat sangat hancur dibandingkan Gina yang notabene dilukai oleh sang anak di masa lalu. ***Farrel menengok Karina di sel tahanan setelah sekian waktu Farrel menghilang dari keseharian Karina. Perceraian mereka tidak diteruskan lantaran Karina mendapatkan masalah akibat perbuatannya pada Bara dan Gina. Untuk kelanjutannya, Farrel masih
"Ironis bukan? Saat orang ketiga jatuh cinta pada pria yang direbutnya, si pria justru tidak pernah mencintainya dan hanya fokus memikirkan wanita yang dicintainya yang sekarang sudah bahagia dengan pria lain."Telapak tangan Haris mengepal mendengar apa yang dikatakan oleh Jessica. "Mas Haris, kamu memang enggak pernah cinta sama aku, kan? Kamu selingkuh sama aku cuma ingin membuat Gina patuh sama kamu, tapi ternyata Gina lebih memilih pergi darimu, dan kepergian dia justru membuat dia menemukan sebuah istana dengan raja yang siap meratukan dirinya.""Diam!""Kenapa? Tidak terima? Mau bagaimana lagi? Memang kenyataannya demikian, bukan?""Bisakah tidak usah membahas soal Gina dengan suaminya itu?""Ibumu yang bawel itu aja mengakui kalau Bara itu pria yang luar biasa, seorang CEO masih mau turun tangan membantu istrinya melakukan apa saja di rumah, beda kayak kamu, taunya merintah!""Kau-""Mas, sebenarnya caramu mencintai seseorang itu bagaimana? Apakah harus menjadi babu untukmu s
Melihat istrinya kerepotan seperti itu, Bara ingin menarik paksa Gavin, tapi dengan cepat, Gina menahannya dengan isyarat, hingga akhirnya, Bara beralih untuk menggamit Raya untuk membuat Gina tidak terlalu kerepotan.Setelah Raya beralih ke tangan Bara, Gina sedikit lapang hingga ia bisa fokus untuk menangani Gavin."Sayang, kenapa seperti itu? Gavin tidak suka digendong Papi?" tanya Gina dengan usapan di punggung. Gavin merespon dengan gaya bocahnya, ia berkali-kali menunjuk ke arah dada Gina seolah ingin menyampaikan pada Gina bahwa ia tidak setuju jika sang ayah memintanya untuk berhenti menyusu."Apa katanya? Dia protes kalau aku memintanya berhenti menyusu?" tanya Bara sambil mengurus Raya.Namun dengan isyarat, Gina meminta suaminya untuk tenang agar tidak membuat Gavin ketakutan. Terpaksa, Bara patuh, meskipun ia tidak menyangka, Gavin memang melancarkan aksi protes padanya lantaran ia meminta sang anak untuk berhenti menyusu karena memang sudah saatnya sang anak dilatih ber
Didesak sedemikian rupa oleh Arin, membuat Gina mau tidak mau harus menjawab. Meskipun kondisi wajahnya terlihat merah menahan malu, perempuan itu akhirnya mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Arin."Dia menyentuh, tapi dia seperti menahan diri.""Nah! Itu jawabannya!""Apa?"Gina seolah berubah menjadi bodoh seketika saat membahas masalah sensitif seperti itu, hingga membuat Arin gemas."Gina, kamu tuh, ya! Penampilan sudah berubah modis tapi ternyata masih aja terlalu polos, ya masalahnya itu di situ, Pak Bara selama ini menahan diri untuk menyentuh dada kamu, karena kamu masih menyusui, kalau udah enggak, mungkin akan lain ceritanya."Gina terdiam mendengar penjelasan Arin, dan otaknya langsung mencerna kalimat itu dengan cepat untuk mencari tahu apakah yang dikatakan oleh Arin itu memang benar adanya.'Kayaknya, apa yang dikatakan sama Arin itu benar, belakangan ini setiap kami berhubungan intim, Bara lebih sering menyentuh bagian dadaku, tapi masih tidak terlalu agresif
"Ada apa? Kamu tidak percaya kalau aku tidak suka melihat Haris selalu mengejar mu?"Suara Bara terdengar membuyarkan Gina dengan hatinya. Gina mengusap wajahnya dengan perlahan, sekedar untuk menenangkan hatinya saja lantaran ia merasa lucu melihat tingkah sang suami."Kamu dan Haris itu berbeda. Meskipun aku pernah mencintai dia dan akhirnya menikah, tapi hanya dengan mu, aku merasa sangat diratukan dan dihargai."Gina akhirnya menjawab pertanyaan sang suami dengan wajah yang serius agar Bara percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya."Apakah saat berhubungan dengan ku, kamu merasa puas?" tanya Bara seolah masih tidak yakin dengan apa yang dijelaskan oleh Gina padanya."Ya. Aku sangat puas, kalau enggak, aku enggak mungkin melakukannya berulang sama kamu."Gina menjawab pertanyaan Bara selanjutnya dengan sangat tegas."Kenapa kamu merasa puas?"Jemari tangan Gina saling memilin ketika Bara melontarkan pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang mana jika ia jawab akan membuat dirin







