Karena cahaya lampu truk yang semakin terang, Rissa akhirnya menoleh dan melihat truk sudah berada dekat ke arahnya.
Begitu menyadari bahwa tidak ada peluang untuk selamat. Aku menutup erat mataku dan mengatupkan gigiku sebagai persiapan untuk merasakan rasa sakit. Dalam waktu yang singkat sewaktu berada di ambang kematian, terlintas kisah bahagia saat kedua orang tua kami masih hidup serta aku dan Rissa bermain dengan sangat akrab. Aku ingin sekali kembali ke masa-masa itu. Beberapa detik berlalu, aku masih belum merasakan apa-apa. Debaran jantungku terasa sangat kuat sampai ujung kakiku juga bisa merasakan iramanya yang cepat. Aku masih menutup mataku dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah memang akan terasa selama ini kalau mau mati?”“Kak … Lissa?”Aku mendengar suara lirih yang sangat ku kenal yang adalah suara Rissa. Aku pun langsung membuka mataku. Lissa duduk tidak jauh dariku dengan posisi seperti habis terjatuh, sama denganku. Melihat aku yang masih hidup, aku langsung memeriksa jantungku dan kurasakan debarannya masih ada. Aku juga meraba-raba seluruh tubuhku dan tidak kutemukan luka sedikit pun. Sebelum sempat merasa lega, aku kembali dikejutkan ketika sebilah pedang diarahkan ke leherku. Aku melirik pedang itu sambil menahan napas. Pedang ini tidak seperti mainan karena terpancar kilatan di atasnya dan tepi pedangnya terlihat sangat tajam seperti baru di asah. Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku ke atas untuk melihat orang yang melakukan perbuatan gila ini.Saat mendongakkan kepalaku, mataku melihat tubuh besar seorang pria dengan pandangan yang keji. Ia memakai pakaian layaknya seorang bangsawan dari suatu Kerajaan. Seketika tubuhku langsung terasa kaku seolah semua aliran darahku terhenti.“Kenapa ada dua?” ucap pria itu.“Ma—Maaf Yang Mulia. Kami berencana untuk memanggil satu, tapi yang muncul ada dua orang,” ucap seorang pria dengan nada ketakutan. Ia memakai pakaian serba hitam dan tudung kepala yang menutupi penampilannya. Ia berdiri tidak jauh di belakang pria bangsawan itu. “Aku sudah tahu itu, yang aku tanya adalah kenapa yang muncul ada dua?” tegas pria bangsawan itu. Setiap kata yang keluar dari mulut pria bangsawan itu terasa sangat mencekam. Aku bisa menduga bahwa ia memiliki posisi yang sangat penting dan terhormat.“Wajah mereka mirip, Yang Mulia. Sepertinya mereka kembar, salah satu dari mereka adalah yang asli,” ucap pria yang mengenakan tudung kepala. ”Ini menarik,“ gumam pria bangsawan itu.Pria itu menarik pedangnya dari leherku dan berjalan pergi. Seolah sumpalan yang menutup hidung dan mulutku terlepas, aku langsung bernapas dengan kuat. Aku meremas dadaku untuk menenangkan jantungku, tapi itu tidak berhasil. “Anda harus ikut dengan kami”, ucap seorang prajurit sambil menarik lenganku.Sebelum aku sempat bereaksi, aku sudah dipaksa berdiri. Dengan kedua lenganku yang diikat dengan rantai, aku dibawa dengan pengawalan beberapa prajurit. Awalnya kami berada dalam tempat yang gelap jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas dan memahami situasi. Seraya kami berjalan, tampak cahaya yang muncul dari ujung lorong. Begitu cahaya semakin terang, aku melihat bahwa kami sudah keluar dari terowongan yang gelap itu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat sekelilingku.Tata letak dan desain bangunan yang ada di sini sangat berbeda dari yang aku tahu, seolah-olah kami bukan lagi di dunia yang sama. Gedung yang terlihat berdiri dengan sangat megah. Bahkan terlihat lebih mewah dari bangunan yang pernah aku lihat dari film mana pun. Mereka membawaku masuk ke sebuah gedung besar. Setelah berbicara dengan beberapa orang yang tampak seperti pelayan, mereka menuntunku hingga ke depan sebuah ruangan di lantai atas. Begitu pintu terbuka, aku terkejut karena isinya adalah kamar yang sangat mewah. Ini bahkan tidak terlihat seperti kamar karena ada sofa dan meja untuk bekerja di dalamnya. Bahkan dinding kamar itu terlihat sangat kokoh dan berkelas. Kalau ada yang penasaran dengan tampilan kamar VIP di Hotel kelas atas, aku sudah melihatnya di depan mataku sekarang. Mereka melepas rantai di tanganku. Setelah memperlihatkan hormat dengan menundukkan kepala mereka sedikit, mereka keluar dari ruangan dan menutup pintunya. Aku masih berdiri diam di tempatku. Mataku sibuk memperhatikan semua yang ada di kamar. Ini memang tampak luar biasa. Perlakuan yang aku terima sedikit ambigu. Mereka memang mengikatku dengan rantai, tapi melihat fasilitas kamar yang akan kugunakan dan prajurit yang masih memperlihatkan hormat kepadaku, menunjukkan bahwa aku dianggap sebagai orang yang cukup penting. Namun, posisiku belum terjamin aman mengingat bagaimana pedang dihunuskan di leherku beberapa saat yang lalu. Jadi, aku perlu tetap waspada.Mataku tertuju pada sebuah jendela. Aku melangkahkan kakiku ke sana. Dari jendela aku bisa melihat bagaimana keadaan di luar kamarku. Pelan-pelan, aku memikirkan semua yang terjadi. “Seingatku, keadaan masih malam ketika aku dan Rissa hampir tertabrak. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami sudah berada di sini,” gumamku. Sepertinya aku sudah bisa memahami situasi saat ini, kami sudah berpindah dunia. Seharusnya kami sudah mati saat itu. Namun, tidak tahu dengan cara apa, orang di dunia ini memanggil kami dan menganggap kami sebagai Saintess. Meskipun kami sekarang masih hidup, tidak ada jaminan kalau kami akan tetap selamat sampai nanti. Kami bisa dibunuh kapan saja menggunakan pedang yang selalu mereka bawa kemana-mana. Akan tetapi, ada satu keuntungan yang kumiliki. Aku tahu kalau bahasa yang kami gunakan sama, tapi mereka tidak tahu. Jadi aku harus menyembunyikan fakta ini untuk menggali informasi.“Namun, yang mereka inginkan hanyalah satu orang, bukan dua. Berarti mereka sedang mencari siapa yang mereka butuhkan dari antara aku dan Rissa,” bisikku.Aku terkejut karena baru menyadari tentang Rissa, “Lalu bagaimana dengan Rissa?!” batinku berteriak.“Aku tidak terlalu memperhatikan Rissa dan tidak menyadari sejak kapan kami berpisah. Apakah sebelum pedang dihunuskan di leherku sewaktu masih berada di lorong gelap itu? Atau sesudahnya?”, bisikku sambil menggigiti kuku tanganku karena khawatir. Lamunanku terhenti ketika kulihat seorang pria berada di luar jendelaku. Pakaiannya sedikit berbeda dari prajurit yang aku lihat sebelumnya. Dari pakaiannya yang cukup berkelas tetapi memiliki pedang, aku menyimpulkan bahwa ia adalah seorang kesatria. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, dan tatapan kami bertemu. Penampilannya seperti pria sejati. Dadanya tampak bidang dan badannya tegap. Rambutnya yang biru pekat terlihat sangat indah saat tertiup oleh angin. Matanya memiliki warna biru yang lebih samar, tetapi masih senada dengan rambutnya. Garis rahangnya terlihat sangat jelas dan tegas. Semuanya disempurnakan dengan baju kesatria dan pedang yang tergantung di pinggangnya. Saat tatapan kami bertemu, ia tidak tersenyum sama sekali. Namun, ia melihatku dengan pandangan yang ramah. Kami hanya saling menatap dalam diam untuk waktu yang cukup lama, sampai akhirnya pria itu membalikkan badannya dan melangkah pergi.
Tok, tok, tok! Terdengar ada yang mengetuk pintu.“Nona, bolehkah saya masuk?” ucap seorang wanita dari balik pintu.Karena aku tidak memberi tanggapan, wanita itu membuka pintunya dan masuk. Ia memakai pakaian seperti seorang pelayan. Ia masuk dengan membawa pakaian dan banyak makanan.“Halo Nona, saya yang akan menjadi pelayan Nona mulai sekarang,” ucapnya sambil membungkukkan badannya.Ia melanjutkan, “Saya membawa pakaian untuk nona pakai. Saya harap ukurannya sesuai untuk Nona. Silakan ganti baju, Nona.”Aku menerima pakaian yang diberikan pelayan itu dan langsung menggantinya di tempatku berdiri.Begitu aku mulai membuka kancing atas kemejaku, pelayan itu tampak terkejut dan menutup wajah dengan kedua tangannya. “No—Nona, Nona bisa mengganti pakaian dalam ruangan itu,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah ruangan kecil yang ad
Ketika aku berjalan mendekat, orang itu tahu kalau aku meyadari kehadirannya.Aku menghentikan langkahku ketika ia menyelipkan tangannya dan memegang ujung pintu. Tangan itu kemudian mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Sepasang kaki melangkah masuk dan aku terkejut saat orang itu menunjukkan diriya. Ia adalah kesatria berambut biru yang aku lihat dari jendela tadi.Ia memberi salam dengan menyilangkan tangan kanannya ke dada kirinya. “Saya adalah kepala Kesatria yang bertugas melindungi Anda, Lady.”Aku hanya diam dengan wajah datar dan tidak membalas perkataannya sama sekali.Awalnya jantungku berdetak dengan keras karena rasa khawatir. Namun, matanya yang menatap langsung ke bola mataku memberi perasaan yang menenangkan. Mungkin itu karena aku melihat warna matanya yang kebiruan seperti langit yang luas, seolah-olah memberikanku kebebasan.“Saya akan pergi Nona, s
Aku mengalihkan pikiranku dari pikiran yang tidak menyenangkan itu dan melihat buku yang satu lagi. Buku itu berjudul Bahasa Saintess dan Gambar Sihirnya. Saat aku membuka isinya, aku terkejut karena tulisannya memakai Bahasa Inggris. “Apakah ini yang dimaksud Bahasa Saintess? Jadi ketika mengucapkan mantra ini dan menggambar sihirnya, maka akan bisa melakukan penyembuhan?” tanyaku dalam hati.“Hahahahahaha …,” tawaku langsung lepas begitu membaca isi buku itu. Aku bahkan tertawa sampai air mataku keluar.Saat aku mengusap air mataku, sudut mataku melihat bayangan pria. Aku pun langsung menghentikan tawaku dan menoleh untuk memperhatikan bayangan itu lebih jelas. Ternyata, kesatria berambut biru sudah berdiri melihatku dari depan pintu. Aku pun langsung terkejut dan spontan menutup mulutku.Kesatria itu memberikan sapu tangannya. Mungkin agar aku menggunakannya untuk mengusap air mataku.
Wajah Karl memerah dan ia langsung melepaskan tangannya. Aku bisa melihat Karl yang salah tingkah. Ia mengacak-acak rambutnya dan menutup mulutnya secara bergantian. “Polos sekali,” ucapku dalam hati. Sepertinya budaya di dunia ini membuat sentuhan tidak biasa digunakan. Karl memperhatikan sekitar. Begitu memastikan tidak ada yang sadar kalau aku baru saja menjerit, ia bernapas lega. “Lady harus berhati-hati,” ucapnya. Wajahnya kembali datar dan serius. Akan tetapi, aku salah fokus ke telinganya yang masih memerah. Spontan aku menutup mulutku dan tertawa kecil. Setelah aku sudah mulai tenang, barulah aku bisa kembali bicara dengan Karl. “Jadi, kapan aku akan pergi ke Istana?” tanyaku “Sekarang, Lady,” jawab Karl. “Saya akan memanggil pelayan untuk membantu Lady bersiap-siap.” “Baiklah,” jawabku. Kemudian, Karl melangkah pergi. Aku memperhatikan kembali amplop undangan itu. Di luarnya
Perkataan Raja Edgar membuatku tersentak karena beberapa alasan. Alasan pertama, karena aku takut kebohonganku terbongkar oleh Raja Tiran ini. Berbeda dengan orang lain, sepertinya Raja lebih pintar dan lebih sensitif. Satu tindakan yang salah dariku bisa membuat kepalaku melayang saat itu juga. Alasan yang kedua, ketika menanyakan aku yang tidak bisa berbicara, Raja Edgar ada mengucapkan kata ‘juga’. Itu artinya, selain aku, ada juga orang yang tidak bisa bicara. Orang itu tidak lain adalah Rissa, karena hanya aku dan Rissa yang dipanggil menghadap Raja sekarang. Aku mengendalikan ekspresiku. Aku memang ketakutan karena auranya yang tidak biasa, tetapi aku menekan rasa takutku dan berusaha terlihat percaya diri agar tidak ketahuan berbohong. Sambil menatap mata Raja Edgar, aku menjawabnya dengan mengangguk. Raja Edgar kembali menatap mataku dengan lama, seolah-olah ingin memeriksa apakah respon yang aku berikan adalah kebenaran atau tidak. Aku me
Perkataan Karl itu sungguh mengejutkan. Selama ini banyak orang yang mengagumi perawakan Rissa. Jika kami dua dibandingkan, banyak yang akan merasa bahwa Rissa lebih cantik daripada aku.Namun, Karl mengatakan rambut hitamku lebih baik? Aku tidak tahu kata ‘baik’ yang dimaksud Karl itu adalah cantik. Namun, apa pun artinya, aku merasa senang karena ia berpihak padaku.Tanpa terasa, kami sudah tiba di rumah. Aku lebih suka menyebut rumah ini sebagai rumah tahanan, karena disinilah aku diawasi dan dilatih. Setelah waktu itu, Karl lebih sering menunjukkan dirinya. Ia juga selalu menemaniku walaupun aku hanya berada di dalam kamar. Tidak ada hal khusus yang kami lakukan, namun ia tetap datang walau kami hanya mengobrol ringan dan meminum teh bersama.*****Hari ini adalah hari pelajaran dengan Steein. Biasanya, Karl sudah pergi entah kemana. Namun, hari ini berbeda. Sejak bangun di pagi hari, Karl sudah menunggu di
Setelah itu, aku kembali berfokus untuk melanjutkan gambarku. Tanpa terasa, matahari sudah mulai terbenam. Karena merasa sangat lelah, aku merebahkan badanku di lapangan itu. “Sial! Hanya untuk menggambar saja sudah menghabiskan waktu seharian. Sekarang aku harus melakukan apa lagi?” batinku kesal.“Lady bisa mencoba membacakan mantranya,” ucap Steein yang sekarang sudah berdiri di sebelahku.Ketika aku hendak mengerahkan tenagaku yang tersisa untuk berdiri, aku melihat Steein mengulurkan tangannya. Aku sempat menatapnya sebentar karena kebaikannya yang tidak biasa itu. Ini adalah hal yang paling luar biasa yang pernah aku terima dari Steein. Jadi, aku tidak menyia-nyiakan hal itu dan membiarkannya membantuku kembali berdiri.Aku berdiri dalam diam sambil memandang gambar mantra sihir yang berada di depanku. Tawa datar yang keluar dari mulutku tidak bisa kucegah, karena rasanya sungguh aneh kalau gambar seperti ini b
Aku menelan ludah, dan menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan Raja Edgar. “Siapa yang memberimu hak untuk masuk ke perpustakaan ini?” tanya Raja Edgarlagi. Kali ini, aku merasakan tanganku yang gemetar ketika aku mengangkatnya untuk menunjukkan lencana yang diberikan Steein. Setelah melihat lencana milik Steein, Raja berkata, “Ternyata kamu cukup disayangi oleh pria kaku itu. Aku sudah selesai. Masuklah.” Aku langsung bisa merasa lega karena akan segera berpisah dengan Raja Edgar. Akan tetapi, begitu aku menghembuskan napas lega, napasku kembali tercekat saat Raja Edgar bertanya lagi, “Kenapa pakaianmu seperti itu?” Pikiranku kosong. Tidak ada alasan yang bisa terdengar masuk akal terlintas di kepalaku. Melihatku yang terdiam lama dengan wajah yang semakin pucat, Karl memutuskan untuk berbicara. “Lady baru saja menyelesaikan latihan menggunakan sihir Yang Mulia. Ia menggunakan celana, agar ia bisa latihan dengan lebih n