Share

Bab 2. Selamat dari Maut

Karena cahaya lampu truk yang semakin terang, Rissa akhirnya menoleh dan melihat truk sudah berada dekat ke arahnya. 

Begitu menyadari bahwa tidak ada peluang untuk selamat. Aku menutup erat mataku dan mengatupkan gigiku sebagai persiapan untuk merasakan rasa sakit. Dalam waktu yang singkat sewaktu berada di ambang kematian, terlintas kisah bahagia saat kedua orang tua kami masih hidup serta aku dan Rissa bermain dengan sangat akrab. Aku ingin sekali kembali ke masa-masa itu. 

Beberapa detik berlalu, aku masih belum merasakan apa-apa. Debaran jantungku terasa sangat kuat sampai ujung kakiku juga bisa merasakan iramanya yang cepat. Aku masih menutup mataku dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah memang akan terasa selama ini kalau mau mati?”

“Kak … Lissa?”Aku mendengar suara lirih yang sangat ku kenal yang adalah suara Rissa. Aku pun langsung membuka mataku. 

Lissa duduk tidak jauh dariku dengan posisi  seperti habis terjatuh, sama denganku. Melihat aku yang masih hidup, aku langsung memeriksa jantungku dan kurasakan debarannya masih ada. Aku juga meraba-raba seluruh tubuhku dan tidak kutemukan luka sedikit pun.  

Sebelum sempat merasa lega, aku kembali dikejutkan ketika sebilah pedang diarahkan ke leherku. Aku melirik pedang itu sambil menahan napas. Pedang ini tidak seperti mainan karena terpancar kilatan di atasnya dan tepi pedangnya terlihat sangat tajam seperti baru di asah. Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku ke atas untuk melihat orang yang melakukan perbuatan gila ini.

Saat mendongakkan kepalaku, mataku melihat tubuh besar seorang pria dengan pandangan yang keji. Ia memakai pakaian layaknya seorang bangsawan dari suatu Kerajaan. Seketika tubuhku langsung terasa kaku seolah semua aliran darahku terhenti.

“Kenapa ada dua?” ucap pria itu.

“Ma—Maaf Yang Mulia. Kami berencana untuk memanggil satu, tapi yang muncul ada dua orang,” ucap seorang pria dengan nada ketakutan. Ia memakai pakaian serba hitam dan tudung kepala yang menutupi penampilannya. Ia berdiri tidak jauh di belakang pria bangsawan itu. 

“Aku sudah tahu itu, yang aku tanya adalah kenapa yang muncul ada dua?” tegas pria bangsawan itu. Setiap kata yang keluar dari mulut pria bangsawan itu terasa sangat mencekam. Aku bisa menduga bahwa ia memiliki posisi yang sangat penting dan terhormat.

“Wajah mereka mirip, Yang Mulia. Sepertinya mereka kembar, salah satu dari mereka adalah yang asli,” ucap pria yang mengenakan tudung kepala. 

”Ini menarik,“ gumam pria bangsawan itu.

Pria itu menarik pedangnya dari leherku dan berjalan pergi. Seolah sumpalan yang menutup hidung dan mulutku terlepas, aku langsung bernapas dengan kuat. Aku meremas dadaku untuk menenangkan jantungku, tapi itu tidak berhasil. 

“Anda harus ikut dengan kami”, ucap seorang prajurit sambil menarik lenganku.

Sebelum aku sempat bereaksi, aku sudah dipaksa berdiri. Dengan kedua lenganku yang diikat dengan rantai, aku dibawa dengan pengawalan beberapa prajurit. Awalnya kami berada dalam tempat yang gelap jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas dan memahami situasi. 

Seraya kami berjalan, tampak cahaya yang muncul dari ujung lorong. Begitu cahaya semakin terang, aku melihat bahwa kami sudah keluar dari terowongan yang gelap itu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat sekelilingku.

Tata letak dan desain bangunan yang ada di sini sangat berbeda dari yang aku tahu, seolah-olah kami bukan lagi di dunia yang sama. Gedung yang terlihat berdiri dengan sangat megah. Bahkan terlihat lebih mewah dari bangunan yang pernah aku lihat dari film mana pun.    

Mereka membawaku masuk ke sebuah gedung besar. Setelah berbicara dengan beberapa orang yang tampak seperti pelayan, mereka menuntunku hingga ke depan sebuah ruangan di lantai atas. Begitu pintu terbuka, aku terkejut karena isinya adalah kamar yang sangat mewah. Ini bahkan tidak terlihat seperti kamar karena ada sofa dan meja untuk bekerja di dalamnya. Bahkan dinding kamar itu terlihat sangat kokoh dan berkelas. Kalau ada yang penasaran dengan tampilan kamar VIP di Hotel kelas atas, aku sudah melihatnya di depan mataku sekarang. 

Mereka melepas rantai di tanganku. Setelah memperlihatkan hormat dengan menundukkan kepala mereka sedikit, mereka keluar dari ruangan dan menutup pintunya. 

Aku masih berdiri diam di tempatku. Mataku sibuk memperhatikan semua yang ada di kamar. Ini memang tampak luar biasa. Perlakuan yang aku terima sedikit ambigu. Mereka memang mengikatku dengan rantai, tapi melihat fasilitas kamar yang akan kugunakan dan prajurit yang masih memperlihatkan hormat kepadaku, menunjukkan bahwa aku dianggap sebagai orang yang cukup penting. Namun, posisiku belum terjamin aman mengingat bagaimana pedang dihunuskan di leherku beberapa saat yang lalu. Jadi, aku perlu tetap waspada.

 

Mataku tertuju pada sebuah jendela. Aku melangkahkan kakiku ke sana. Dari jendela aku bisa melihat bagaimana keadaan di luar kamarku. 

Pelan-pelan, aku memikirkan semua yang terjadi. “Seingatku, keadaan masih malam ketika aku dan Rissa hampir tertabrak. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami sudah berada di sini,” gumamku. 

Sepertinya aku sudah bisa memahami situasi saat ini, kami sudah berpindah dunia. Seharusnya kami sudah mati saat itu. Namun, tidak tahu dengan cara apa, orang di dunia ini memanggil kami dan menganggap kami sebagai Saintess. Meskipun kami sekarang masih hidup, tidak ada jaminan kalau kami akan tetap selamat sampai nanti. Kami bisa dibunuh kapan saja menggunakan pedang yang selalu mereka bawa kemana-mana. Akan tetapi, ada satu keuntungan yang kumiliki. Aku tahu kalau bahasa yang kami gunakan sama, tapi mereka tidak tahu. Jadi aku harus menyembunyikan fakta ini untuk menggali informasi.

“Namun, yang mereka inginkan hanyalah satu orang, bukan dua. Berarti mereka sedang mencari siapa yang mereka butuhkan dari antara aku dan Rissa,” bisikku.

Aku terkejut karena baru menyadari tentang Rissa, “Lalu bagaimana dengan Rissa?!” batinku berteriak.

“Aku tidak terlalu memperhatikan Rissa dan tidak menyadari sejak kapan kami berpisah. Apakah sebelum pedang dihunuskan di leherku sewaktu masih berada di lorong gelap itu? Atau sesudahnya?”, bisikku sambil menggigiti kuku tanganku karena khawatir. 

Lamunanku terhenti ketika kulihat seorang pria berada di luar jendelaku. Pakaiannya sedikit berbeda dari prajurit yang aku lihat sebelumnya. Dari pakaiannya yang cukup berkelas tetapi memiliki pedang, aku menyimpulkan bahwa ia adalah seorang kesatria. 

Ia mendongakkan kepalanya ke atas, dan tatapan kami bertemu. Penampilannya seperti pria sejati. Dadanya tampak bidang dan badannya tegap. Rambutnya yang biru pekat terlihat sangat indah saat tertiup oleh angin. Matanya memiliki warna biru yang lebih samar, tetapi masih senada dengan rambutnya. Garis rahangnya terlihat sangat jelas dan tegas. Semuanya disempurnakan dengan baju kesatria dan pedang yang tergantung di pinggangnya. 

Saat tatapan kami bertemu, ia tidak tersenyum sama sekali. Namun, ia melihatku dengan pandangan yang ramah. Kami hanya saling menatap dalam diam untuk waktu yang cukup lama, sampai akhirnya pria itu membalikkan badannya dan melangkah pergi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status