Tok, tok, tok! Terdengar ada yang mengetuk pintu.
“Nona, bolehkah saya masuk?” ucap seorang wanita dari balik pintu.Karena aku tidak memberi tanggapan, wanita itu membuka pintunya dan masuk. Ia memakai pakaian seperti seorang pelayan. Ia masuk dengan membawa pakaian dan banyak makanan. “Halo Nona, saya yang akan menjadi pelayan Nona mulai sekarang,” ucapnya sambil membungkukkan badannya.Ia melanjutkan, “Saya membawa pakaian untuk nona pakai. Saya harap ukurannya sesuai untuk Nona. Silakan ganti baju, Nona.” Aku menerima pakaian yang diberikan pelayan itu dan langsung menggantinya di tempatku berdiri. Begitu aku mulai membuka kancing atas kemejaku, pelayan itu tampak terkejut dan menutup wajah dengan kedua tangannya. “No—Nona, Nona bisa mengganti pakaian dalam ruangan itu,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah ruangan kecil yang ada di sudut kamar.Aku melihat ruangan yang ia tunjukkan dan hanya mengangguk. Dengan kancing atas kemejaku yang sudah terbuka, aku berjalan ke ruangan itu.Aku memperhatikan diriku di cermin. Ini tampak aneh. Pakaian yang diberikan pelayan bukanlah sepasang baju dengan celana, melainkan sebuah gaun yang bagian roknya sangat mengembang. Seumur hidup, aku tidak pernah memakai gaun, apalagi yang menutupi seluruh tubuh seperti ini. Bahkan dengan tubuhku yang tinggi, aku tidak pernah ada keinginan mencobanya. Fakta ini sagat berbeda dengan Rissa. Ia lebih sering memakai baju yang Imut sepanjang hidupnya. Aku bisa membayangkan reaksinya yang kegirangan jika diberikan baju seperti ini. Perasaan tidak nyaman membuatkku melepas kembali gaun itu. Kemudian, aku keluar dari ruang ganti hanya dengan memakai baju dalamku dan celana. Pelayan wanita yang menungguku di luar ruangan tampak sangat terkejut karena aku keluar tanpa memakai pakaian lengkap. Ia tidak bisa menutupi wajahnya yang memerah. Sejujurnya aku merasa tingkahnya sangat manis.Aku mengulurkan tanganku yang memegang gaun ke hadapannya. “Kenapa Nona? Apa Nona tidak suka dengan gaunnya?” ucap pelayan itu bingung.Aku menjawabnya dengan menggeleng-gelengkan kepalaku.“Tapi ini yang diberikan oleh Kepala Pelayan untuk Nona pakai,” balas pelayan itu lagi. Aku bisa melihat rasa takut di wajahnya karena dia hanya menjalankan perintah. Aku menjelaskan maksudku dengan menunjuk celana yang sedang ku pakai. “Maksud Nona, Nona mau memakai celana?!” ucap pelayan itu kaget. Aku mengangguk setuju kepadanya. Pelayan itu pada awalnya tampak ragu, tapi kemudian dia berjalan keluar sambil membawa gaunku. Sepertinya dia mengalah dan memutuskan untuk mengikuti keinginanku. Tidak berapa lama aku menunggu, pelayan itu kembali datang dan membawa sepasang baju dan celana. Model pakaiannya tidak biasa. Celanya tidak ketat tetapi juga tidak terlalu longgar. Yang lebih mengejutkan, bajunya sangat panjang hingga ke lutut. Namun, aku merasa ini lebih layak dipakai dibandingkan gaun mengembang yang terasa berat dan tidak nyaman dipakai. Setidaknya celana ini bisa membantuku untuk bisa bergerak dengan bebas. Aku tersenyum kepada pelayan itu menandakan kalau aku menyukai pakaian ini. Melihat reaksiku, pelayan itu menghembuskan napas lega. Kemudian, ia meletakkan makanan yang tadi ia bawa ke meja. “Ini makanan Nona, saya tidak tahu makanan apa yang Nona sukai, jadi saya membawa semuanya,” ucapnya dengan wajah bangga seolah-olah ingin menerima pujian dariku karena telah bekerja keras. Aku hanya hanya membalasnya dengan senyuman. Pelayan itu tampak merasa puas hanya karena senyumku. Dengan wajah ceria, ia melanjutkan penjelasannya. “Hari ini Nona bisa istirahat. Besok katanya Guru Nona akan datang untuk melihat kemampuan Nona. Jika Nona membutuhkan sesuatu, Nona bisa membunyikan bel yang di meja untuk memanggilku. Kalau begitu saya permisi dulu Nona”, ucap wanita itu sambil memberikan salam dengan membungkukkan badan dan memegang kedua sisi gaunnya. Sepertinya itu adalah salam yang dilakukan oleh setiap wanita di dunia ini. Aku tahu karena pernah melihat salam yang sama ketika menonton Film Disney sewaktu masih kecil. Aku menatap makanan yang disajikan di meja. “Wow!” satu kata itu langsung terucap dari mulutku karena merasa takjub.Lobster ukuran besar, satu ekor ayam yang dipanggang utuh, dan berbagai macam lauk-pauk lainnya sedang berada di hadapanku sekarang. Seumur hidup, aku tidak pernah makan Lobster sebesar itu karena harganya yang sangat mahal. Akan tetapi, ada satu fakta yang mengerikan. Dari segala jenis makanan yang dihidangkan, tidak ada nasi. Ini benar-benar seperti nuansa Negara Barat. Bagiku yang berdarah Asia, rasanya ini adalah penyesuaian yang paling sulit untuk dilakukan.Aku ingin segera mencoba potongan daging panggang yang terlihat sangat menggoda. Namun, perhatianku tertuju kepada berbagai pisau dan garpu yang diletakkan berjajar dalam satu garis lurus di sebelah priringku. Masa bodoh dengan tata krama, aku langsung memilih pisau dan garpu yang terlihat nyaman di genggam. Itu adalah pisau dan garpu yang paling kecil dari antara pisau lainnya. Begitu dagingnya masuk ke mulutku, bumbunya langsung terasa dan menyatu dengan kelembutan dagingnya. Dagingnya sangat kenyal tanpa lemak. Ini benar-benar daging berkualitas tinggi. Awalnya aku berniat untuk memakan semua hidangan ini selagi bisa. Kapan lagi aku bisa mencoba makanan ini dengan gratis? Sayangnya, ukuran perutku tidak mengijinkan hal itu. Jadi, aku menyelesaikan makananku hanya dengan sepotong daging. Selagi melihat makanan yang tersisa di meja, pandanganku kembali teralihkan pada pisau yang masih belum tersentuh. “Jika aku mengambilnya satu, tidak akan ketahuan ‘kan?” bisikku.Aku pun mengambil pisau yang sedikit lebih besar dari yang aku gunakan untuk makan, tapi ukurannya masih nyaman untuk digenggam tanganku. Aku berdiri di tengah ruangan dan mulai melatih diriku menggunakan pisau itu. Aku mendorong pisau lurus ke depan dengan sekuat tenaga seolah-olah sedang menusuk orang di depanku. Aku juga berlatih mengayunkan pisau menyilang dari atas ke bawah. Aku melakukannya berulang kali agar terbiasa.“Hahh … hahh ….,” napasku terasa berat. Saat merasa tenagaku sudah banyak terkuras, aku kembali duduk di kursi. Aku mengambil kain serbet yang ada di meja dan membungkus mata pisau lalu kuselipkan dengan baik di balik bajuku. Setidaknya aku memerlukan ini untuk berjaga-jaga. Mataku menelusuri seluruh isi kamarku untuk mengenali bentuknya. Sekaligus aku ingin mencari tempat yang bisa dijadikan untuk bersembunyi jika diperlukan. Akan tetapi, perhatianku terhenti pada pintu kamarku yang sudah sedikit terbuka. “Sejak kapan itu terbuka?” gumamku.Aku merasakan tatapan dari balik pintu itu. Aku menarik napas dalam-dalam. Setelah mengumpulkan keberanian, aku memutuskan untuk melihat orang itu. Langkah kakiku terasa berat, mentalku yang lemah seolah-olah menentang rasa penasaranku.
Ketika aku berjalan mendekat, orang itu tahu kalau aku meyadari kehadirannya.Aku menghentikan langkahku ketika ia menyelipkan tangannya dan memegang ujung pintu. Tangan itu kemudian mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Sepasang kaki melangkah masuk dan aku terkejut saat orang itu menunjukkan diriya. Ia adalah kesatria berambut biru yang aku lihat dari jendela tadi.Ia memberi salam dengan menyilangkan tangan kanannya ke dada kirinya. “Saya adalah kepala Kesatria yang bertugas melindungi Anda, Lady.”Aku hanya diam dengan wajah datar dan tidak membalas perkataannya sama sekali.Awalnya jantungku berdetak dengan keras karena rasa khawatir. Namun, matanya yang menatap langsung ke bola mataku memberi perasaan yang menenangkan. Mungkin itu karena aku melihat warna matanya yang kebiruan seperti langit yang luas, seolah-olah memberikanku kebebasan.“Saya akan pergi Nona, s
Aku mengalihkan pikiranku dari pikiran yang tidak menyenangkan itu dan melihat buku yang satu lagi. Buku itu berjudul Bahasa Saintess dan Gambar Sihirnya. Saat aku membuka isinya, aku terkejut karena tulisannya memakai Bahasa Inggris. “Apakah ini yang dimaksud Bahasa Saintess? Jadi ketika mengucapkan mantra ini dan menggambar sihirnya, maka akan bisa melakukan penyembuhan?” tanyaku dalam hati.“Hahahahahaha …,” tawaku langsung lepas begitu membaca isi buku itu. Aku bahkan tertawa sampai air mataku keluar.Saat aku mengusap air mataku, sudut mataku melihat bayangan pria. Aku pun langsung menghentikan tawaku dan menoleh untuk memperhatikan bayangan itu lebih jelas. Ternyata, kesatria berambut biru sudah berdiri melihatku dari depan pintu. Aku pun langsung terkejut dan spontan menutup mulutku.Kesatria itu memberikan sapu tangannya. Mungkin agar aku menggunakannya untuk mengusap air mataku.
Wajah Karl memerah dan ia langsung melepaskan tangannya. Aku bisa melihat Karl yang salah tingkah. Ia mengacak-acak rambutnya dan menutup mulutnya secara bergantian. “Polos sekali,” ucapku dalam hati. Sepertinya budaya di dunia ini membuat sentuhan tidak biasa digunakan. Karl memperhatikan sekitar. Begitu memastikan tidak ada yang sadar kalau aku baru saja menjerit, ia bernapas lega. “Lady harus berhati-hati,” ucapnya. Wajahnya kembali datar dan serius. Akan tetapi, aku salah fokus ke telinganya yang masih memerah. Spontan aku menutup mulutku dan tertawa kecil. Setelah aku sudah mulai tenang, barulah aku bisa kembali bicara dengan Karl. “Jadi, kapan aku akan pergi ke Istana?” tanyaku “Sekarang, Lady,” jawab Karl. “Saya akan memanggil pelayan untuk membantu Lady bersiap-siap.” “Baiklah,” jawabku. Kemudian, Karl melangkah pergi. Aku memperhatikan kembali amplop undangan itu. Di luarnya
Perkataan Raja Edgar membuatku tersentak karena beberapa alasan. Alasan pertama, karena aku takut kebohonganku terbongkar oleh Raja Tiran ini. Berbeda dengan orang lain, sepertinya Raja lebih pintar dan lebih sensitif. Satu tindakan yang salah dariku bisa membuat kepalaku melayang saat itu juga. Alasan yang kedua, ketika menanyakan aku yang tidak bisa berbicara, Raja Edgar ada mengucapkan kata ‘juga’. Itu artinya, selain aku, ada juga orang yang tidak bisa bicara. Orang itu tidak lain adalah Rissa, karena hanya aku dan Rissa yang dipanggil menghadap Raja sekarang. Aku mengendalikan ekspresiku. Aku memang ketakutan karena auranya yang tidak biasa, tetapi aku menekan rasa takutku dan berusaha terlihat percaya diri agar tidak ketahuan berbohong. Sambil menatap mata Raja Edgar, aku menjawabnya dengan mengangguk. Raja Edgar kembali menatap mataku dengan lama, seolah-olah ingin memeriksa apakah respon yang aku berikan adalah kebenaran atau tidak. Aku me
Perkataan Karl itu sungguh mengejutkan. Selama ini banyak orang yang mengagumi perawakan Rissa. Jika kami dua dibandingkan, banyak yang akan merasa bahwa Rissa lebih cantik daripada aku.Namun, Karl mengatakan rambut hitamku lebih baik? Aku tidak tahu kata ‘baik’ yang dimaksud Karl itu adalah cantik. Namun, apa pun artinya, aku merasa senang karena ia berpihak padaku.Tanpa terasa, kami sudah tiba di rumah. Aku lebih suka menyebut rumah ini sebagai rumah tahanan, karena disinilah aku diawasi dan dilatih. Setelah waktu itu, Karl lebih sering menunjukkan dirinya. Ia juga selalu menemaniku walaupun aku hanya berada di dalam kamar. Tidak ada hal khusus yang kami lakukan, namun ia tetap datang walau kami hanya mengobrol ringan dan meminum teh bersama.*****Hari ini adalah hari pelajaran dengan Steein. Biasanya, Karl sudah pergi entah kemana. Namun, hari ini berbeda. Sejak bangun di pagi hari, Karl sudah menunggu di
Setelah itu, aku kembali berfokus untuk melanjutkan gambarku. Tanpa terasa, matahari sudah mulai terbenam. Karena merasa sangat lelah, aku merebahkan badanku di lapangan itu. “Sial! Hanya untuk menggambar saja sudah menghabiskan waktu seharian. Sekarang aku harus melakukan apa lagi?” batinku kesal.“Lady bisa mencoba membacakan mantranya,” ucap Steein yang sekarang sudah berdiri di sebelahku.Ketika aku hendak mengerahkan tenagaku yang tersisa untuk berdiri, aku melihat Steein mengulurkan tangannya. Aku sempat menatapnya sebentar karena kebaikannya yang tidak biasa itu. Ini adalah hal yang paling luar biasa yang pernah aku terima dari Steein. Jadi, aku tidak menyia-nyiakan hal itu dan membiarkannya membantuku kembali berdiri.Aku berdiri dalam diam sambil memandang gambar mantra sihir yang berada di depanku. Tawa datar yang keluar dari mulutku tidak bisa kucegah, karena rasanya sungguh aneh kalau gambar seperti ini b
Aku menelan ludah, dan menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan Raja Edgar. “Siapa yang memberimu hak untuk masuk ke perpustakaan ini?” tanya Raja Edgarlagi. Kali ini, aku merasakan tanganku yang gemetar ketika aku mengangkatnya untuk menunjukkan lencana yang diberikan Steein. Setelah melihat lencana milik Steein, Raja berkata, “Ternyata kamu cukup disayangi oleh pria kaku itu. Aku sudah selesai. Masuklah.” Aku langsung bisa merasa lega karena akan segera berpisah dengan Raja Edgar. Akan tetapi, begitu aku menghembuskan napas lega, napasku kembali tercekat saat Raja Edgar bertanya lagi, “Kenapa pakaianmu seperti itu?” Pikiranku kosong. Tidak ada alasan yang bisa terdengar masuk akal terlintas di kepalaku. Melihatku yang terdiam lama dengan wajah yang semakin pucat, Karl memutuskan untuk berbicara. “Lady baru saja menyelesaikan latihan menggunakan sihir Yang Mulia. Ia menggunakan celana, agar ia bisa latihan dengan lebih n
Apa? Kenapa?” Aku hampir saja menaikkan suaraku karena terlalu terkejut. Untung saja Mariana sedang tidak berada di sini sekarang. Tadi, begitu Mariana selesai menyiapkan segala sesuatu untukku, ia langsung pergi karena ia tahu sebentar lagi Karl akan datang dan kami akan pergi bersama ke perpustakaan. “Saya tidak tahu pastinya, Lady. Akan tetapi, Lady Rissa juga dipanggil ke sana,” jawab Karl. Jantungku berdetak keras, aku menggigit kuku tanganku karena gugup. Entah kenapa, perasaanku tidak enak soal ini. Akan tetapi, tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku tidak bisa menghindar kemana pun, karena ini bukanlah duniaku. Untung saja, Mariana selalu memakaikan aku gaun setiap aku berencana pergi ke perpustkaan. Jadi, sekarang aku bisa langsung pergi bersama Karl tanpa repot mengganti pakaian dan menuju Istana. Jika aku pergi dengan pakaian dengan bawahan celana, begitu Raja Edgar melihatku, ia pasti akan menanyakan hal yang sama kepadaku dengan nada