Share

Bab 3. Budaya yang Aneh

Tok, tok, tok! Terdengar ada yang mengetuk pintu. 

“Nona, bolehkah saya masuk?” ucap seorang wanita dari balik pintu.

Karena aku tidak memberi tanggapan, wanita itu membuka pintunya dan masuk. Ia memakai pakaian seperti seorang pelayan. Ia masuk dengan membawa pakaian dan banyak makanan. 

“Halo Nona, saya yang akan menjadi pelayan Nona mulai sekarang,” ucapnya sambil membungkukkan badannya.

Ia melanjutkan, “Saya membawa pakaian untuk nona pakai. Saya harap ukurannya sesuai untuk Nona. Silakan ganti baju, Nona.” 

Aku menerima pakaian yang diberikan pelayan itu dan langsung menggantinya di tempatku berdiri. 

Begitu aku mulai membuka kancing atas kemejaku, pelayan itu tampak terkejut dan menutup wajah dengan kedua tangannya. “No—Nona, Nona bisa mengganti pakaian dalam ruangan itu,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah ruangan kecil yang ada di sudut kamar.

 

Aku melihat ruangan yang ia tunjukkan dan hanya mengangguk. Dengan kancing atas kemejaku yang sudah terbuka, aku berjalan ke ruangan itu.

Aku memperhatikan diriku di cermin. Ini tampak aneh. Pakaian yang diberikan pelayan bukanlah sepasang baju dengan celana, melainkan sebuah gaun yang bagian roknya sangat mengembang. Seumur hidup, aku tidak pernah memakai gaun, apalagi yang menutupi seluruh tubuh seperti ini. Bahkan dengan tubuhku yang tinggi, aku tidak pernah ada keinginan mencobanya. 

Fakta ini sagat berbeda dengan Rissa. Ia lebih sering memakai baju yang Imut sepanjang hidupnya. Aku bisa membayangkan reaksinya yang kegirangan jika diberikan baju seperti ini. 

Perasaan tidak nyaman membuatkku melepas kembali gaun itu. Kemudian, aku keluar dari ruang ganti hanya dengan memakai baju dalamku dan celana. 

Pelayan wanita yang menungguku di luar ruangan tampak sangat terkejut karena aku keluar tanpa memakai pakaian lengkap. Ia tidak bisa menutupi wajahnya yang memerah. Sejujurnya aku merasa tingkahnya sangat manis.

Aku mengulurkan tanganku yang memegang gaun ke hadapannya.  

“Kenapa Nona? Apa Nona tidak suka dengan gaunnya?” ucap pelayan itu bingung.

Aku menjawabnya dengan menggeleng-gelengkan kepalaku.

“Tapi ini yang diberikan oleh Kepala Pelayan untuk Nona pakai,” balas pelayan itu lagi. Aku bisa melihat rasa takut di wajahnya karena dia hanya menjalankan perintah. 

Aku menjelaskan maksudku dengan menunjuk celana yang sedang ku pakai. 

“Maksud Nona, Nona mau memakai celana?!” ucap pelayan itu kaget. 

Aku mengangguk setuju kepadanya. 

Pelayan itu pada awalnya tampak ragu, tapi kemudian dia berjalan keluar sambil membawa gaunku. Sepertinya dia mengalah dan memutuskan untuk mengikuti keinginanku. 

Tidak berapa lama aku menunggu, pelayan itu kembali datang dan membawa sepasang baju dan celana. Model pakaiannya tidak biasa. Celanya tidak ketat tetapi juga tidak terlalu longgar. Yang lebih mengejutkan, bajunya sangat panjang hingga ke lutut. Namun, aku merasa ini lebih layak dipakai dibandingkan gaun mengembang yang terasa berat dan tidak nyaman dipakai. Setidaknya celana ini bisa membantuku untuk bisa bergerak dengan bebas. 

Aku tersenyum kepada pelayan itu menandakan kalau aku menyukai pakaian ini. Melihat reaksiku, pelayan itu menghembuskan napas lega. 

Kemudian, ia meletakkan makanan yang tadi ia bawa  ke meja. “Ini makanan Nona, saya tidak tahu makanan apa yang Nona sukai, jadi saya membawa semuanya,” ucapnya dengan wajah bangga seolah-olah ingin menerima pujian dariku karena telah bekerja keras. Aku hanya hanya membalasnya dengan senyuman. 

Pelayan itu tampak merasa puas hanya karena senyumku. Dengan wajah ceria, ia melanjutkan penjelasannya. “Hari ini Nona bisa istirahat. Besok katanya Guru Nona akan datang untuk melihat kemampuan Nona. Jika Nona membutuhkan sesuatu, Nona bisa membunyikan bel yang di meja untuk memanggilku. Kalau begitu saya permisi dulu Nona”, ucap wanita itu sambil memberikan salam dengan membungkukkan badan dan memegang kedua sisi gaunnya. Sepertinya itu adalah salam yang dilakukan oleh setiap wanita di dunia ini. Aku tahu karena pernah melihat salam yang sama ketika menonton Film Disney sewaktu masih kecil.  

Aku menatap makanan yang disajikan di meja. “Wow!” satu kata itu langsung terucap dari mulutku karena merasa takjub.

Lobster ukuran besar, satu ekor ayam yang dipanggang utuh, dan berbagai macam lauk-pauk lainnya sedang berada di hadapanku sekarang. Seumur hidup, aku tidak pernah makan Lobster sebesar itu karena harganya yang sangat mahal. 

Akan tetapi, ada satu fakta yang mengerikan. Dari segala jenis makanan yang dihidangkan, tidak ada nasi. Ini benar-benar seperti nuansa Negara Barat. Bagiku yang berdarah Asia, rasanya ini adalah penyesuaian yang paling sulit untuk dilakukan.

Aku ingin segera mencoba potongan daging panggang yang terlihat sangat menggoda. Namun, perhatianku tertuju kepada berbagai pisau dan garpu yang diletakkan berjajar dalam satu garis lurus di sebelah priringku. Masa bodoh dengan tata krama, aku langsung memilih pisau dan garpu yang terlihat nyaman di genggam. Itu adalah pisau dan garpu yang paling kecil dari antara pisau lainnya. 

Begitu dagingnya masuk ke mulutku, bumbunya langsung terasa dan menyatu dengan kelembutan dagingnya. Dagingnya sangat kenyal tanpa lemak. Ini benar-benar daging berkualitas tinggi. 

Awalnya aku berniat untuk memakan semua hidangan ini selagi bisa. Kapan lagi aku bisa mencoba makanan ini dengan gratis? Sayangnya, ukuran perutku tidak mengijinkan hal itu. Jadi, aku menyelesaikan makananku hanya dengan sepotong daging. 

Selagi melihat makanan yang tersisa di meja, pandanganku kembali teralihkan pada pisau yang masih belum tersentuh. “Jika aku mengambilnya satu, tidak akan ketahuan ‘kan?” bisikku.

Aku pun mengambil pisau yang sedikit lebih besar dari yang aku gunakan untuk makan, tapi ukurannya masih nyaman untuk digenggam tanganku. 

Aku berdiri di tengah ruangan dan mulai melatih diriku menggunakan pisau itu. Aku mendorong pisau lurus ke depan dengan sekuat tenaga seolah-olah sedang menusuk orang di depanku.  Aku juga berlatih mengayunkan pisau menyilang dari atas ke bawah. Aku melakukannya berulang kali agar terbiasa.

“Hahh … hahh ….,” napasku terasa berat. Saat merasa tenagaku sudah banyak terkuras, aku kembali duduk di kursi. Aku mengambil kain serbet yang ada di meja dan membungkus mata pisau lalu kuselipkan dengan baik di balik bajuku. Setidaknya aku memerlukan ini untuk berjaga-jaga. 

Mataku menelusuri seluruh isi kamarku untuk mengenali bentuknya. Sekaligus aku ingin mencari tempat yang bisa dijadikan untuk bersembunyi jika diperlukan. Akan tetapi, perhatianku terhenti pada pintu kamarku yang sudah sedikit terbuka. 

“Sejak kapan itu terbuka?” gumamku.

Aku merasakan tatapan dari balik pintu itu. Aku menarik napas dalam-dalam. Setelah mengumpulkan keberanian, aku memutuskan untuk melihat orang itu. Langkah kakiku terasa berat, mentalku yang lemah seolah-olah menentang rasa penasaranku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status