Share

MENJADI SAINTESS TERHEBAT
MENJADI SAINTESS TERHEBAT
Penulis: Yukari

Bab 1. Kebencian Tersembunyi

“Kak, aku minta maaf!” ucap Rissa sambil menyatukan kedua tangannya memohon di depanku.

”Tadi Ryan mengajakku ke rumahnya karena orang tuanya ingin bertemu denganku. Jadi aku tidak bisa wawancara kerja hari ini. Aku mohon kak, bantu aku,” lanjut Rissa.

“Apa?” ucapku kaget. 

“Rissa, kau tidak bisa tiba-tiba begitu. Bukannya kamu yang memohon waktu itu agar bisa wawancara hari ini? Aku bahkan sudah memohon kepada atasanku agar dokumenmu bisa lulus persyaratan administrasi. Padahal seharusnya itu tidak bisa karena kamu tidak lulus kuliah,” jelasku kepada Rissa.

Raut wajah Rissa berubah menjadi sedih. Matanya mulai berkaca-kaca dan ucapannya bergetar.  “Jadi … maksud kakak aku harus bersyukur … hanya karena sudah lulus syarat administrasi?”

“Bukan begitu Rissa,” ucapku dengan nada selembut mungkin agar Rissa tidak menangis.

 “Padahal kakak tahu sekalipun aku ikut wawancara, tidak ada jaminan ‘kan kalau aku akan diterima bekerja di sana?” ucap Rissa.

“Rissa, aku yakin kau—” 

“Aku tahu,” potong Rissa, “Kakak tidak mau memasukkan aku di perusahaan itu ‘kan? Padahal seharusnya Kakak bisa lebih memohon pada atasan kakak. Kakak ‘kan Manajer di perusahaan itu. Sementara itu, Orang Tua Ryan sudah mengajak aku bertemu. Kalau akhirnya aku menikah dengan Ryan dan menjadi keluarganya, aku kan tidak perlu bekerja, dan kakak tidak perlu membiayai aku seperti ini. Siapa lagi pria yang lebih baik dari Ryan? Bagaimana jika Ryan membenciku gara-gara Kakak?!” ucap Rissa dengan nada membentak. 

Rissa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mulai menangis keras. 

Aku pun mendekat pada Rissa dan memeluknya sambil mengelus kepalanya dengan lembut, “Rissa, kau yang paling tahu kalau aku tidak bermaksud begitu. Sekalipun aku memiliki posisi di perusahaan, tapi aku tidak bisa menyalahgunakannya. Sewaktu aku memohon kepada atasanku agar kau ikut wawancara, itu adalah hal terakhir yang bisa ku lakukan untukmu.”

Rissa menepis tanganku dan mendorongku agar ia terlepas dari pelukanku. Ia menatapku dengan tatapan benci. “Bohong!” teriak Rissa, “Kakak sebenarnya iri ‘kan? Ryan ‘kan mantan pacar kakak. Tapi akhirnya mau menikah denganku. Pasti kakak masih mencintainya kan, jadi kakak tidak mau aku menemui orang tua Ryan hari ini.”

Aku terkejut mendengar perkataan Rissa. Jika orang lain yang mengatakannya, aku akan langsung marah Tapi yang mengatakannya malah Rissa. Aku pun mengalah dan tidak mau memperpanjang topik ini. Setelah menghela napas, aku berkata, “Baiklah Rissa, terserah kamu mau kemana hari ini.”

Rissa membalikkan badannya dan pergi  sambil bergumam, “Aku akan pergi dengan Ryan hari ini.”

Aku kembali menghela napas untuk melepaskan rasa sesak di dadaku karena melihat tingkah Rissa. Saat aku melihat jam di tanganku, aku terkejut karena sudah banyak waktu berlalu akibat pembicaraan barusan. Aku tidak membuang-buang waktuku lagi dan langsung berangkat ke kantor.

Rissa memanggilku kakak, tapi sebenarnya kami adalah anak kembar yang mana aku lahir beberapa menit lebih dulu sebelum Rissa. Walaupun kembar, kepribadianku dan Rissa sangat berbeda. Rissa anak yang periang dan bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya. Sejak kecil, Rissa lebih mudah mendapat kasih sayang dari orang tuaku karena dia bisa bertingkah imut. Di sekolah, dia juga punya banyak teman. Postur tubuh Rissa yang mungil juga memperlengkapi kepribadiannya itu sehingga ia disebut sebagai peri sekolah. 

Sementara itu, aku adalah kebalikannya Rissa. Kepribadianku yang dingin dan tegas membuatku dijadikan sebagai ketua OSIS. Namun, anak-anak di sekolah memanggilku dengan sebutan ratu es. Badanku yang lebih tinggi daripada wanita pada umumnya juga membuat penampilanku tidak imut sama sekali. 

Sewaktu kami sedang kuliah, kedua orang tua kami kecelakaan dan meninggal. Rissa sangat terpuruk dan sempat hampir depresi. Ia juga tidak melanjutkan kuliahnya dan hanya mengurung diri di kamar. Untuk bisa menyelesaikan kuliahku dan mengurus Rissa, aku melakukan kerja sambilan dimana-mana.

Akhirnya kerja kerasku terbayar dan aku mendapat pekerjaan di perusahaan yang bagus. Sekarang, posisiku sudah stabil sebagai Manajer Produksi. 

Semua masalah bisa aku atasi, kecuali perasaanku pada Ryan. Seperti yang dikatakan Rissa, aku punya perasaan pada Ryan, dulu dan juga sekarang. Sewaktu masih di bangku SMA, aku sempat berpacaran dengan Ryan. Namun, karena kesibukanku sebagai ketua OSIS, kami tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama. Di saat itulah Ryan memintaku putus dan akhirnya pacaran dengan Rissa. 

Aku tidak terlalu memikirkan hal itu karena kesibukanku. Tapi, ternyata aku menyukainya lebih dari yang aku pikir. Bahkan hingga sekarang, aku masih punya rasa untuknya. Jika sampai Ryan dan Rissa menikah, aku tidak yakin bagaimana wajahku bisa menunjukkan rasa bahagia yang tulus saat melihat mereka bersama.

Tanpa terasa, sekarang langit sudah gelap. Hari ini aku lebih lelah dari biasanya karena menghadapi direktur untuk menjelaskan alasan Rissa tidak bisa datang untuk wawancara. Direktur memang tidak marah padaku, tapi Beliau memasukkan nama Rissa ke dalam Black List agar Rissa tidak masuk perusahaan  untuk posisi apa pun lagi.

 

Berbeda dengan perusahaan lainnya, tempatku bekerja sangat disiplin dalam menaati peraturan. Oleh karena itu, aku sudah cukup kesulitan saat memohon agar Rissa dimasukkan dalam daftar pelamar yang akan diwawancara. Tapi syukurlah satu hari ini akhirnya bisa aku lewati dengan baik. 

Saat dalam perjalanan pulang, aku melihat Rissa duduk sendirian di bangku taman di pinggir kota. Aku menghentikan mobilku dan mengahampiri Rissa. “Rissa, apa yang sedang kau lakukan disini? Ayo masuk ke mobil, kita pulang,” ucapku.

Saat aku ingin menggapai tangan Rissa, ia berdiri dari tempat duduknya dan menatapku sinis. “Ini semua salah Kakak!” cetusnya. Kemudian ia melangkah pergi. 

Aku terdiam di tempatku seolah waktu sedang berhenti. Rasa perih sangat terasa di dadaku sewaktu mendengar ucapan Rissa. Namun, suara mobil yang berisik membawaku kembali kepada kenyataan. Kulihat Rissa sudah berjalan cukup jauh. Aku mengabaikan air mataku yang mulai jatuh dan berlari menyusul Rissa. 

Saat jarak kami semakin dekat, aku langsung mengulurkan tanganku dan berupaya agar tanganku bisa menggapai lengannya. 

Sewaktu tanganku hampir menyentuh lengannya, Rissa menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. “Jangan mengejarku!” cetus Rissa masih dengan tatapan membenci.

“Rissa…aku mohon jangan begini,” pintaku, “Tolong jelaskan pelan-pelan apa yang terjadi agar aku bisa mengerti.”  Saat aku berbicara, air mataku terus mengalir.

“Kenapa kamu yang menangis? Akulah yang sedang terluka disini,” ucap Rissa.

Aku ingin memegang tangan Rissa. Namun, saat aku mengulurkan tanganku, Rissa memundurkan dirinya satu langkah menjauh untuk mencegahku menyentuhnya.

“Taukah kamu Kak? Wahai Malissa?” tandas Rissa. “Aku selalu membencimu sejak kecil. Kamu lahir memiliki semuanya. Kenapa hanya kamu yang mewarisi kepintaran dan mendapat pujian dari semua orang karena prestasimu? Kenapa bukan aku? Aku menyesal berada dalam satu rahim denganmu karena kau mengambil semuanya.” jerit Rissa hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar kami.

Aku tidak bisa membalas perkataannya karena terkejut. Otakku berhenti berfungsi karena hal tidak masuk akal ini. Tidak bisakah Rissa melihat hal-hal dalam dirinya? Kenapa dia iri padaku padahal dia juga memiliki cukup banyak hal? Pikiran yang tidak baik terus berkecamuk dalam pikiranku. 

Angin malam yang berhembus mengibaskan rambutku dan membuat air mataku kering.  Dinginnya suasana di antara aku dan Rissa tidak lagi sanggup mengatasi panas di hatiku. 

Rissa berlari ke arah jalan dan aku tidak lagi mengejarnya. 

Aku masih tenggelam dalam pikiranku sampai terdengar suara klakson yang keras. Aku mengalihkan pandanganku dan melihat Rissa sudah berada di tengah jalan dan sebuah truk besar sedang melaju ke arahnya. Truk itu terus membunyikan klaksonnya secara beruntun.

Entah apa yang dipikirkan Rissa, ia tidak menyadari sekelilingnya dan terus berjalan lurus menyeberangi jalan. Aku mengerahkan seluruh tenaga di kakiku dan berlari secepat mungkin ke arah Rissa. 

Truk semakin dekat. Suara klakson semakin keras. Namun, tanganku tidak sempat menggapai Rissa. Terdengar jeritan orang-orang, “Awas … !”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Khorik Istiana
Good story kak Sekalian numpang promo ya kak Yuk mampir ke "Surat Wasiat Sang Duke" siapa tahu suka! makasih
goodnovel comment avatar
Santi Dwi Oktaviani
toxic banget adeknya. sebel!!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status