Share

Bab 5. Undangan Menghadap Raja

Aku mengalihkan pikiranku dari pikiran yang tidak menyenangkan itu dan melihat buku yang satu lagi. Buku itu berjudul Bahasa Saintess dan Gambar Sihirnya. Saat aku membuka isinya, aku terkejut karena tulisannya memakai Bahasa Inggris. “Apakah ini yang dimaksud Bahasa Saintess? Jadi ketika mengucapkan mantra ini dan menggambar sihirnya, maka akan bisa melakukan penyembuhan?” tanyaku dalam hati. 

“Hahahahahaha …,” tawaku langsung lepas begitu membaca isi buku itu. Aku bahkan tertawa sampai air mataku keluar. 

Saat aku mengusap air mataku, sudut mataku melihat bayangan pria. Aku pun langsung menghentikan tawaku dan menoleh untuk memperhatikan bayangan itu lebih jelas. Ternyata, kesatria berambut biru sudah berdiri melihatku dari depan pintu. Aku pun langsung terkejut dan spontan menutup mulutku. 

Kesatria itu memberikan sapu tangannya. Mungkin agar aku menggunakannya untuk mengusap air mataku. 

“Emmm … apa kau …,” ucapanku berhenti karena aku tidak berani bertanya. Aku sudah tertangkap basah saat tertawa. Ia pasti tahu kalau selama ini aku berpura-pura tidak bisa bicara. Apakah dia akan melaporkannya kepada orang lain? Atau pada raja? Aku menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahku karena merasa takut. 

“Saya akan berpura-pura tidak melihat apa-apa, Lady,” ucap kesatria itu.

Aku langsung mendongakkan kepalaku dan menatap matanya. Arti tatapannya sulit untuk di artikan. Namun, aku tahu kalau itu bukan tatapan dengan maksud jahat. 

“Hahhhhhh …,” Aku menghembuskan napas panjang karena merasa lega.

“Emm…,” ucapku ragu, “Apa aku boleh tahu siapa namamu?”

Walau dia berusaha mengendalikan ekspresi, aku bisa melihat dari matanya kalau dia merasa terkejut. Jadi aku kembali memberikan penjelasan agar ia tidak salah mengartikan maksudku.

“Aku bertanya namamu karena tidak tahu harus memanggilmu apa.”

Setelah mendengar penjelasanku, ekspresinya kembali tenang. “Nama saya Karl Bradley, Lady.”

“Baiklah Tuan Bradley, namaku—“

“Panggil Karl saja, Lady Lissa. Kalau begitu saya permisi,” ucapnya dan melangkah pergi.

Aku masih terdiam di tempatku. “Wow, luar biasa karakter orang-orang di dunia ini. Apakah mereka akan terkena penyakit menular jika bersikap lebih ramah?” ucapku kesal. 

Aku tersadar kalau sapu tangannya masih ada di tanganku. Itu artinya aku harus mengembalikan sapu tangannya itu. “Sekarang aku bahkan memiliki pekerjaan tambahan di masa-masa yang sibuk ini,” ucapku pelan.

Aku menghabiskan hari-hariku seperti biasa sambil mempelajari buku yang diberikan oleh Steein selama seminggu penuh. Selama waktu itu, Karl tidak menunjukkan wajahnya lagi. 

Besok adalah hari pelajaran yang dijanjikan oleh Steein. Aku sudah siap. Sebenarnya tugas yang diberikan Steein tidak terlalu sulit karena hanya perlu mengikuti alur bukunya untuk bisa paham.

Keesokan harinya, aku sudah duduk dengan rapi di tempat dudukku dan menunggu Steein datang. Semangatku sudah membara untuk membuktikan diri dan menyombongkan diriku padanya. 

Karena terlalu bersemangat, berulang-ulang aku mengingatkan diriku untuk tidak bicara dan tidak mengeluarkan suara apa pun. 

Begitu Steein membuka pintu, wajahnya benar-benar mengalihkan duniaku.

“Plak!” Aku memukul pipiku dengan kedua tanganku agar tersadar dan tidak tertipu dengan penampilannya.

Steein melihatku dengan wajah keheranan. Namun, darah dinginnya membuatnya tidak bertanya apa-apa dan langsung memulai pelajaran.

Dia meletakkan pulpen dan sebuah kertas di depanku. Mataku berkedip bingung. “Apa aku tidak salah lihat? Atau ini persiapan ujian?” ucapku dalam hati.

“Kamu hanya perlu menggambar mantra sihir penyembuhan dan menuliskan isi mantranya, Lady. Waktu Lady hanya satu jam”, ucap Steein.

Aku terkejut dan merasa sedikit kecewa. “Hanya itu?” ucapku dalam hati.

Karena terobsesi untuk mendapat pengakuan dari Steein, aku pun tidak membuang-buang waktuku dan mulai menggambar dengan sebaik mungkin. 

Aku bukanya berlagak pintar, tapi semua manusia di duniaku pasti tidak merasa asing mantra Saintess ini. Semua orang pasti bisa menggambar bintang dalam lingkaran, ‘kan? Apalagi isi mantranya yang bertuliskan: Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are. Up above the world so high, like a diamond in the sky. Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are.

Aku hampir tertawa lagi saat menuliskan kalimat itu. Aku bahkan hampir bersenandung karena menuliskannya sambil bernyanyi dalam hati. 

Begitu aku selesai, Steein melihat kertasku cukup lama. Sesekali ia melirik ke arahku dari balik kertas yang ia pegang, dengan wajah seolah tidak percaya. 

“Selamat Lady,” ucap Steein, “Anda lulus. Saya akan membawa kertas ini dan melaporkannya sebagai bukti kepada Raja. Minggu depan kita akan langsung mempraktekkannya dan melihat kemampuan sihir Anda. Saya permisi dulu,” ucapnya dan bergegas pergi.

Mendengar ucapannya, aku dengan cepat berdiri dari kursi dan mengulurkan tanganku hendak mecegahnya. Namun, langkah kakinya terlalu cepat sehingga dalam sekejap mata, punggungnya tidak terlihat lagi dalam pandanganku 

“Sial!” aku mengutuk dalam hati, “Masa bodoh dengan tidak bisa bicara, harusnya aku memanggil namanya keras-keras agar dia tidak jadi pergi.”

Aku merasa karma telah berbalik kepadaku. Aku kira aku bisa mengumpulkan informasi dengan berpura-pura tidak bisa bicara, tapi ini malah menjadi senjata melukai diriku sendiri.  

Aku berjalan bolak-balik dalam di ruangan sambil menggigiti kuku. Pikiranku kusut. “Seandainya kabar ini sampai kepada raja. Apakah ini pertanda baik? Atau pertanda buruk? Bagaimana mungkin aku bisa menggunakan sihir dengan lagu anak-anak seperti itu?” ucapku dalam hati. 

Selama beberapa hari setelah itu, aku hanya berbaring di tempat tidurku sambil menunggu nasib. 

“Lady,” aku mendengar suara pria dan aku menoleh. Itu adalah Karl.

“Oh, Karl, kau datang? Tunggu sebentar,” ucapku padanya. Aku membuka laci di sebelah tempat tidurku. Karl masih berdiri di tempatnya dengan tatapan bingung.

“Ini, kukembalikan,” ucapku sambil menyodorkan sapu tangannya.

Aku bisa melihat kalau sudut mulut Karl teragkat saat menerima sapu tangan itu. Namun, itu hanya berlangsung dalam sepersekian detik. Kalau aku tidak berdiri di dekatnya, mungkin aku tidak akan bisa melihatnya. “Apa dia tersenyum?” tanyaku dalam hati.

“Terimakasih, Lady,” ucapnya dengan nada dan kespresi datar seperti biasanya. Aku jadi berpikir kalau Karl tersenyum adalah kesalahanku sewaktu melihat. 

Karl melanjutkan ucapannya, “Tapi maksud tujuan saya datang bukan untuk ini, Lady.” Ia mengeluarkan sebuah amplop dari saku bajunya. “Lady mendapat undangan untuk ke Istana hari ini,” ucapnya.

“Oh begitu,” balasku santai karena terfokus pada indahnya bentuk amplop yang diberikan Karl. 

Begitu aku tersadar, aku mengeluarkan suara melengking karena terkejut, “Apa?! Istana?!”

Karena suaraku terlalu keras, Karl dengan cepat dan panik langsung menutup mulutku sehingga badanku terdorong ke belakang dan punggungku mengenai dinding. Namun, punggungku tidak terasa sakit karena Karl melapisi punggungku dengan sebelah tangannya agar tidak terbentur.

Sekarang wajah kami sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan napasnya yang mengenai wajahku. Mata birunya semakin indah karena dilihat dari jarak dekat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status