Aku mengalihkan pikiranku dari pikiran yang tidak menyenangkan itu dan melihat buku yang satu lagi. Buku itu berjudul Bahasa Saintess dan Gambar Sihirnya. Saat aku membuka isinya, aku terkejut karena tulisannya memakai Bahasa Inggris. “Apakah ini yang dimaksud Bahasa Saintess? Jadi ketika mengucapkan mantra ini dan menggambar sihirnya, maka akan bisa melakukan penyembuhan?” tanyaku dalam hati.
“Hahahahahaha …,” tawaku langsung lepas begitu membaca isi buku itu. Aku bahkan tertawa sampai air mataku keluar. Saat aku mengusap air mataku, sudut mataku melihat bayangan pria. Aku pun langsung menghentikan tawaku dan menoleh untuk memperhatikan bayangan itu lebih jelas. Ternyata, kesatria berambut biru sudah berdiri melihatku dari depan pintu. Aku pun langsung terkejut dan spontan menutup mulutku. Kesatria itu memberikan sapu tangannya. Mungkin agar aku menggunakannya untuk mengusap air mataku. “Emmm … apa kau …,” ucapanku berhenti karena aku tidak berani bertanya. Aku sudah tertangkap basah saat tertawa. Ia pasti tahu kalau selama ini aku berpura-pura tidak bisa bicara. Apakah dia akan melaporkannya kepada orang lain? Atau pada raja? Aku menundukkan kepala dan menggigit bibir bawahku karena merasa takut. “Saya akan berpura-pura tidak melihat apa-apa, Lady,” ucap kesatria itu.Aku langsung mendongakkan kepalaku dan menatap matanya. Arti tatapannya sulit untuk di artikan. Namun, aku tahu kalau itu bukan tatapan dengan maksud jahat. “Hahhhhhh …,” Aku menghembuskan napas panjang karena merasa lega.“Emm…,” ucapku ragu, “Apa aku boleh tahu siapa namamu?”Walau dia berusaha mengendalikan ekspresi, aku bisa melihat dari matanya kalau dia merasa terkejut. Jadi aku kembali memberikan penjelasan agar ia tidak salah mengartikan maksudku.“Aku bertanya namamu karena tidak tahu harus memanggilmu apa.”
Setelah mendengar penjelasanku, ekspresinya kembali tenang. “Nama saya Karl Bradley, Lady.”“Baiklah Tuan Bradley, namaku—““Panggil Karl saja, Lady Lissa. Kalau begitu saya permisi,” ucapnya dan melangkah pergi.Aku masih terdiam di tempatku. “Wow, luar biasa karakter orang-orang di dunia ini. Apakah mereka akan terkena penyakit menular jika bersikap lebih ramah?” ucapku kesal. Aku tersadar kalau sapu tangannya masih ada di tanganku. Itu artinya aku harus mengembalikan sapu tangannya itu. “Sekarang aku bahkan memiliki pekerjaan tambahan di masa-masa yang sibuk ini,” ucapku pelan.Aku menghabiskan hari-hariku seperti biasa sambil mempelajari buku yang diberikan oleh Steein selama seminggu penuh. Selama waktu itu, Karl tidak menunjukkan wajahnya lagi. Besok adalah hari pelajaran yang dijanjikan oleh Steein. Aku sudah siap. Sebenarnya tugas yang diberikan Steein tidak terlalu sulit karena hanya perlu mengikuti alur bukunya untuk bisa paham.Keesokan harinya, aku sudah duduk dengan rapi di tempat dudukku dan menunggu Steein datang. Semangatku sudah membara untuk membuktikan diri dan menyombongkan diriku padanya. Karena terlalu bersemangat, berulang-ulang aku mengingatkan diriku untuk tidak bicara dan tidak mengeluarkan suara apa pun. Begitu Steein membuka pintu, wajahnya benar-benar mengalihkan duniaku.“Plak!” Aku memukul pipiku dengan kedua tanganku agar tersadar dan tidak tertipu dengan penampilannya.
Steein melihatku dengan wajah keheranan. Namun, darah dinginnya membuatnya tidak bertanya apa-apa dan langsung memulai pelajaran.
Dia meletakkan pulpen dan sebuah kertas di depanku. Mataku berkedip bingung. “Apa aku tidak salah lihat? Atau ini persiapan ujian?” ucapku dalam hati.
“Kamu hanya perlu menggambar mantra sihir penyembuhan dan menuliskan isi mantranya, Lady. Waktu Lady hanya satu jam”, ucap Steein.
Aku terkejut dan merasa sedikit kecewa. “Hanya itu?” ucapku dalam hati.
Karena terobsesi untuk mendapat pengakuan dari Steein, aku pun tidak membuang-buang waktuku dan mulai menggambar dengan sebaik mungkin.
Aku bukanya berlagak pintar, tapi semua manusia di duniaku pasti tidak merasa asing mantra Saintess ini. Semua orang pasti bisa menggambar bintang dalam lingkaran, ‘kan? Apalagi isi mantranya yang bertuliskan: Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are. Up above the world so high, like a diamond in the sky. Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are.
Aku hampir tertawa lagi saat menuliskan kalimat itu. Aku bahkan hampir bersenandung karena menuliskannya sambil bernyanyi dalam hati. Begitu aku selesai, Steein melihat kertasku cukup lama. Sesekali ia melirik ke arahku dari balik kertas yang ia pegang, dengan wajah seolah tidak percaya. “Selamat Lady,” ucap Steein, “Anda lulus. Saya akan membawa kertas ini dan melaporkannya sebagai bukti kepada Raja. Minggu depan kita akan langsung mempraktekkannya dan melihat kemampuan sihir Anda. Saya permisi dulu,” ucapnya dan bergegas pergi.Mendengar ucapannya, aku dengan cepat berdiri dari kursi dan mengulurkan tanganku hendak mecegahnya. Namun, langkah kakinya terlalu cepat sehingga dalam sekejap mata, punggungnya tidak terlihat lagi dalam pandanganku “Sial!” aku mengutuk dalam hati, “Masa bodoh dengan tidak bisa bicara, harusnya aku memanggil namanya keras-keras agar dia tidak jadi pergi.”Aku merasa karma telah berbalik kepadaku. Aku kira aku bisa mengumpulkan informasi dengan berpura-pura tidak bisa bicara, tapi ini malah menjadi senjata melukai diriku sendiri.
Aku berjalan bolak-balik dalam di ruangan sambil menggigiti kuku. Pikiranku kusut. “Seandainya kabar ini sampai kepada raja. Apakah ini pertanda baik? Atau pertanda buruk? Bagaimana mungkin aku bisa menggunakan sihir dengan lagu anak-anak seperti itu?” ucapku dalam hati. Selama beberapa hari setelah itu, aku hanya berbaring di tempat tidurku sambil menunggu nasib. “Lady,” aku mendengar suara pria dan aku menoleh. Itu adalah Karl.“Oh, Karl, kau datang? Tunggu sebentar,” ucapku padanya. Aku membuka laci di sebelah tempat tidurku. Karl masih berdiri di tempatnya dengan tatapan bingung.“Ini, kukembalikan,” ucapku sambil menyodorkan sapu tangannya.Aku bisa melihat kalau sudut mulut Karl teragkat saat menerima sapu tangan itu. Namun, itu hanya berlangsung dalam sepersekian detik. Kalau aku tidak berdiri di dekatnya, mungkin aku tidak akan bisa melihatnya. “Apa dia tersenyum?” tanyaku dalam hati.“Terimakasih, Lady,” ucapnya dengan nada dan kespresi datar seperti biasanya. Aku jadi berpikir kalau Karl tersenyum adalah kesalahanku sewaktu melihat. Karl melanjutkan ucapannya, “Tapi maksud tujuan saya datang bukan untuk ini, Lady.” Ia mengeluarkan sebuah amplop dari saku bajunya. “Lady mendapat undangan untuk ke Istana hari ini,” ucapnya.“Oh begitu,” balasku santai karena terfokus pada indahnya bentuk amplop yang diberikan Karl. Begitu aku tersadar, aku mengeluarkan suara melengking karena terkejut, “Apa?! Istana?!”Karena suaraku terlalu keras, Karl dengan cepat dan panik langsung menutup mulutku sehingga badanku terdorong ke belakang dan punggungku mengenai dinding. Namun, punggungku tidak terasa sakit karena Karl melapisi punggungku dengan sebelah tangannya agar tidak terbentur.Sekarang wajah kami sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan napasnya yang mengenai wajahku. Mata birunya semakin indah karena dilihat dari jarak dekat.SRAK! Tak, tak, tak! Suara hentakan kaki yang besar sedang membentur tanah dengan kuat dan tangan yang berotot sedang membentang melawan aliran udara. Benda yang besar itu sedang bergerak menuju tempat kedua anakku sedang bermain. “Halo putriku…! Ayah datang!!” seru Raja Edgar yang berlari girang untuk menghampiri Zanna sambil mengenakan jubah resminya, karena ia baru saja tiba dari perjalanan panjang sepulang dari Kerajaan tetangga. “Tidak, pergi!! Jangan sentuh adikku dan jangan ganggu waktu kami! Pakaian Ayah tidak cocok untuk ikut bermain. Pergilah dulu ke sana untuk ganti baju!” teriak Eden untuk mengusir Raja Edgar. “Kalau begitu, jika Ayah sudah berganti baju, bolehkah Ayah bergabung untuk bermain dengan kalian?” tanya Raja Edgar lagi yang pantang menyerah dengan tatapan penuh harap. “Tidak!” jawab Eden tanpa berbelas kasihan. “Eden! Ayah tidak menanyakan hal ini padamu!” balas Raja Edgar kepada Eden dengan nada marah. K
“Apakah kamu sudah memaafkan aku, Sayang?” tanya Raja Edgar yang menolehkan kepalanya ke belakang dari pojokan dengan matanya yang berbinar.Namun, tidak semudah itu untuk meluluhkanku atas kesalahannya yang serius. Jadi, aku berkata, “Tidak, aku masih belum memaafkanmu. Aku hanya memberikan kamu kesempatan untuk ikut campur dalam memberikan nama bagi putrimu nanti. Namun, jika kamu tidak mau, ya sudah, tidak apa-apa.”“Tidak! Tidak! Aku mau! Aku sudah memikirkannya!” seru Raja Edgar sambil dengan cepat beranjak dari pojokan itu dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arahku.“Ia sudah memikirkannya? Dalam waktu yang singkat itu selama ia berada di pojokan sana? Memang bakatnya luar biasa. Bahkan, bakatnya dalam memberikan nama yang bagus dalam waktu singkat itu, ia turunkan dengan baik kepada Eden,” batinku.“Aku sudah memikirkan namanya, yaitu Rani, artinya seorang bangsawan yang merupakan putri. Itu coc
Tap, tap, tap.Dengan mataku yang tertutup, aku bisa mendengar suara langkah kaki kecil Eden yang mendekat ke arahku.“Minggir sebentar, Yang Mulia Raja, aku harus melakukan sesuatu,” ucap Eden begitu ia sampai di tempatku.Aku tidak tahu reaksi apa yang diberikan oleh Raja Edgar setelah itu karena aku masih menutup mata. Namun beberapa sat setelahnya, aku bisa merasakan ada sesuatu yang hangat di tanganku. Eden sudah dewasa dan pintar, ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan di situasi ini. Alasan di awal aku mencegahnya untuk menggunakan kekuatan Saintess agar ia tidak salah bertindak dan menyalurkan kekuatan penyembuhannya di daerah perutku, di mana janinku sedang bertumbuh dan berkembang sekarang. Jadi sekarang, karena Eden sudah tahu bahwa aku sedang hamil, ia bisa menanganinya dengan tepat dan menyalurkan kekuatan Saintess untuk memberikan kekuatan dan tenaga dengan menggenggam tanganku.Ketika ia sudah menyalurkan kekuatannya setelah be
“Apa?! Adik? Eden … itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Lagi pula, jika kamu menginginkan adik, usia kalian terpaut terlalu jauh untuk dijadikan sebagai teman bermain,” balasku.“Hanya delapan tahun jika dihitung Sembilan bulan Ibu akan melahirkan. Tidak apa, Ibu. Aku senang untuk menjaga dan menjadi teman bermain dengannya. Sama seperti Ibu dan kembaran Ibu di masa lalu. Aku tahu maksud Ibu membicarakan hal ini. Ibu pasti baru mendengarkan sesuatu dari Paman Steein, ‘kan?” tanya Eden.Untungnya, Eden menggunakan sapaan tidak formal untuk menyebut Steein. Pasti karena Lissa ada di hadapannya. Jika ia bersama dengan orang-orang, ia tetap memanggil Steein dengan sebutan Tuan Duke Kesar.“Oh ya? Kenapa kamu bilang seperti itu?” tanya Lissa dengan senyuman sambil meremas jari-jarinya yang saling bertautan untuk berpura-pura bersikap tenang.Eden sepertinya tahu kalau aku sedang berbohong karena mata merah
Tap, tap, tap!Kembali lagi, aku berlari dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa henti. Sekarang giliran aku menghampiri Eden untuk menepati janjiku padanya.“Yang Mulia Ratu!! Kenapa Yang Mulia berlari-lari? Bagaimana jika Yang Mulia terjatuh?” tanya Eden dengan tergesa-gesa menghampiriku.Aku tidak menyangka kalau aku akan mendapatkan nasihat dari anak kecil perihal berlari dan terjatuh. Padahal seharusnya nasihat itu aku berikan kepadanya sebagai nasihat dari seorang Ibu untuk anak. Jika aku ingat-ingat, Eden juga tidak pernah terjatuh atau bertindak ceroboh sejak kecil. Walau aku dan Raja Edgar selalu sibuk, ia tidak menuntut apa pun dan mengurus tanggung jawabnya sendiri.Untuk menghilangkan sikap formalitas Eden yang kaku, aku pun mengelus-elus kepalanya dengan kasar sehingga rambutnya yang rapi jadi berantakan.“Yang Mulia! Apa yang telah Yang Mulia lakukan?! Setelah ini aku ada pertemuan Tuan Count dari Utara, jadi aku
Tap, tap, tap!!Aku sangat sibuk. Baru saja aku pergi ke Sekolah Akademi untuk memberikan kata-kata penyambutan kepada para siswa baru, sekarang aku harus cepat menemui Steein sebelum menepati janji temu yang aku buat dengan Eden.Jika aku membuang-buang waktu sedikit saja, aku tidak bisa menemui Steein terlebih dahulu, atau aku jadi terlambat untuk menepati janjiku dengan Eden.“Hahhh … Haahhh….” Napasku terengah-engah dan dadaku naik turun karena kekurangan oksigen. Jika zaman ini sudah semakin maju, aku akan membayar mahal siapa pun yang berhasil menciptakan kantung oksigen di dunia ini untuk bisa membantuku bernapas dengan baik setiap kali aku kekurangan stamina seperti ini.“Lissa, kamu tidak apa-apa? Mau aku bantu?” tanya Steein yang dengan sigap menghampiriku.Namun, untuk mencegah kontak fisik yang berlebihan, aku segera berdiri tegak dan menyesuaikan napasku. Karena aku memiliki banyak tanggung jawab,