Wajah Karl memerah dan ia langsung melepaskan tangannya. Aku bisa melihat Karl yang salah tingkah. Ia mengacak-acak rambutnya dan menutup mulutnya secara bergantian.
“Polos sekali,” ucapku dalam hati. Sepertinya budaya di dunia ini membuat sentuhan tidak biasa digunakan.
Karl memperhatikan sekitar. Begitu memastikan tidak ada yang sadar kalau aku baru saja menjerit, ia bernapas lega.
“Lady harus berhati-hati,” ucapnya.
Wajahnya kembali datar dan serius. Akan tetapi, aku salah fokus ke telinganya yang masih memerah. Spontan aku menutup mulutku dan tertawa kecil.
Setelah aku sudah mulai tenang, barulah aku bisa kembali bicara dengan Karl. “Jadi, kapan aku akan pergi ke Istana?” tanyaku
“Sekarang, Lady,” jawab Karl. “Saya akan memanggil pelayan untuk membantu Lady bersiap-siap.”
“Baiklah,” jawabku. Kemudian, Karl melangkah pergi.
Aku memperhatikan kembali amplop undangan itu. Di luarnya ada cap merah yang lambangnya sama dengan yang pernah kulihat dalam buku yang diberikan Steein. Itu adalah lambang Kerajaan.
Bukannya aku tidak takut untuk kehilangan nyawaku, terlebih mengingat peristiwa yang terjadi terakhir kali. Akan tetapi, cepat atau lambat, aku harus menemui Raja itu untuk bisa memahami situasi dan merencanakan langkah berikutnya untuk bisa bertahan hidup.
Aku membuka amplop dan membaca isinya, ”Lady Lissa diundang untuk menghadap Raja hari ini.”
“Sepertinya mereka perlu diajarkan cara menulis surat yang baik dan benar,” gumamku.
Aku tidak tahu apakah karena budaya Kerajaan dengan kekuasaan diktator, namun surat yang aku pegang itu benar-benar tidak sopan. Tidak ada kata pembuka dan penutup. Hanya berisi tulisan pesan yang ingin disampaikan. Jika tidak ada cap kerajaan, tidak akan ada yang menjadi bukti kalau surat itu berasal dari pihak Kerajaan.
Sewaktu pelayan datang dan membantuku bersiap-siap, aku menyadari beberapa hal yang aneh. Mereka sudah tahu namaku padahal aku tidak pernah memberitahukannya. Mereka juga tidak mempermasalahakan dan tidak membahas alasan aku tidak bisa bicara. Rasanya aneh karena mereka mempercayai semuanya begitu saja. Aku berupaya memikirkan beberapa kemungkinan alasan itu bisa terjadi. Namun, aku tidak menemukan jawabannya.
Hanya satu hal yang pasti, Karl berpihak padaku. Aku yakin karena ia tidak memberitahu siapa pun tentang aku yang pura-pura tidak bisa bicara.
Kali ini aku tidak bisa menolak untuk dipakaikan gaun oleh pelayan karena tujuanku pergi hari ini adalah Istana. Persiapannya benar-benar merepotkan dan memakan waktu yang lama.
“Sudah selesai, Nona,” ucap pelayan itu.
Aku memperhatikan diriku di cermin. Rasa kekagumanku terlihat jelas di wajah yang terpantul di cermin. Ini luar biasa, aku bahkan tidak bisa menahan senyumku karena merasa senang. Rambut hitamku digerai dan dihiasi dengan beberapa mutiara kecil. Gaunnya berwarna biru pekat terlihat cocok dengan warna rambutku yang hitam. Ukuran gaunnya juga cocok di badanku yang tinggi. Ini adalah pertama kalinya aku merasa benar-benar cantik memakai sebuah gaun.
“Anda sangat cantik, Nona,” kata pelayan itu memuji.
Aku tersenyum membalas ucapannya. Kupegang tangannya dengan kedua tanganku sebagai ucapan terimakasih.
Aku rasa hal yang patut dipujikan dari kerajaan di dunia ini adalah keindahannya, mulai dari keindahan bangunannya, sampai kepada keindahan gaunnya, serta keahlian para pelayannya dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang itu.
“Baiklah, Nona,” balas pelayan itu menandakan ia memahami maksudku.
Aku berjalan ke arah pintu kamar. Jika dipikir-pikir, ini adalah pertama kalinya aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar ini. Aku membuka pintu dan melihat Karl sudah menungguku di luar.
Saat melihatku, Karl tampak terkejut. Ia menutup mulut dengan punggung tangannya dan mengalihkan wajahnya yang memerah.
Aku memandangnya dengan tatapan kesal, “Apa selama ini tampilanku terlalu biasa sehingga dia bereaksi seperti itu?” ucapku dalam hati.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan nada kesal.
Karl terkesiap. Ia mengulurkan tangannya ke depanku dengan kepala yang menunduk. Akan tetapi, karena postur badannya yang tinggi, aku bisa melihat wajahnya yang masih merah padam.
Aku mengabaikan tingkahnya yang aneh itu dan menyambut uluran tangannya. Karl menuntunku sampai ke kereta kuda.
Seumur hidup, inilah pertama kalinya kereta kuda terlihat jelas di hadapanku. Aku bahkan tidak menonton lengkap Film Disney Cinderella waktu kecil, jadi aku tidak tahu bagaimana bentuk kereta kuda yang sebenarnya.
Bukannya senang, aku sudah bisa membayangkan betapa melelahkannya berada di ruangan yang sempit itu, dengan roda yang bergejolak jika menabrak batu yang ukurannya sangat kecil sekalipun.
Karl, membuka pintu kereta dan mengulurkan tangannya. Aku menyambut tangannya dan ia membantuku masuk ke dalam kereta.
Di dalam kereta, Karl duduk di hadapanku. Sepanjang perjalanan, aku duduk dengan sangat tidak nyaman karena gaunku yang mengembang membuat ruangan menjadi terasa lebih sempit.
Ketika aku memandang ke luar jendela, aku bisa merasakan tatapan Karl. Namun, saat kepalaku menoleh untuk melihatnya, ia dengan cepat mengalihkan pandangannya agar mata kami tidak bertemu.
Entah kenapa aku merasa kesal dengan tindakan Karl karena itu terjadi beberapa kali selama kami dalam perjalanan.Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, akhirnya kami tiba di Istana. Begitu keluar dari kereta, aku bisa merasakan tulang punggungku yang remuk. “Kurasa … aku akan cepat tua kalau seperti ini terus,” gumamku.
Karl terus menatapku, jadi ia pasti mendengar aku bergumam. “Saya mohon Lady tidak berbicara apapun setelah ini, saya yang akan mewakili Lady berbicara. Jadi, jika ada yang Lady tidak suka, Lady bisa memberi tanda kepada saya,” ucap Karl.
Aku mengangguk sebagai tanda setuju. Kemudian Karl menuntunku masuk ke dalam Istana Raja dengan memegang tanganku layaknya seorang Lady.
Istana ini sangat megah dan luas. Bahkan untuk berjalan dari pintu depan ke dalam ruangan saja sudah menghabiskan setengah energi yang kumiliki.
Saat pintu yang terlihat sangat besar terbuka, aku bisa melihat Raja duduk di tahtanya dari kejauhan. Seketika aku merasakan tubuhku merinding ketakutan. Udara di sekelilingku terasa dingin sehingga membuatku sulit bernapas. Rasanya, sekarang aku benar-benar seperti di pintu masuk menujuk kandang singa.
Karl yang menyadari aku ketakutan, sedikit mempererat genggaman tangannya. Berkat itu, perasaanku menjadi lebih tenang.
Aku menarik napas dan melangkah masuk. Ketika semakin dekat dengan Raja, aku dapat melihat ada sosok lain yang juga dipanggil menghadap Raja selain aku.
Aku terkejut melihat sosok dengan rambut pirang dan badan mungil yang tidak asing itu. Itu adalah Rissa. Ia sudah berada dalam posisi berlutut menghadap Raja, ditemani kesatria pribadinya sepertiku.
Aku tidak dalam posisi bisa menyapa dan menanyakan keadaan Rissa. Jadi setelah meliriknya sebentar, aku langsung memberi hormat kepada Raja Edgar dengan meniru salam yang dilakukan pelayan padaku selama ini. Kemudian, aku berlutut di hadapan Raja.
Tidak ada respon dari Raja Edgar. Namun, aku bisa merasakan Raja Edgar menatapku. “Tolong selamatkan aku dari keheningan yang mencekam ini,” teriakku dalam hati.
“Sungguh berbeda,” ucap Raja Edgar memecah keheningan. “Apa kamu juga tidak bisa bicara?"
SRAK! Tak, tak, tak! Suara hentakan kaki yang besar sedang membentur tanah dengan kuat dan tangan yang berotot sedang membentang melawan aliran udara. Benda yang besar itu sedang bergerak menuju tempat kedua anakku sedang bermain. “Halo putriku…! Ayah datang!!” seru Raja Edgar yang berlari girang untuk menghampiri Zanna sambil mengenakan jubah resminya, karena ia baru saja tiba dari perjalanan panjang sepulang dari Kerajaan tetangga. “Tidak, pergi!! Jangan sentuh adikku dan jangan ganggu waktu kami! Pakaian Ayah tidak cocok untuk ikut bermain. Pergilah dulu ke sana untuk ganti baju!” teriak Eden untuk mengusir Raja Edgar. “Kalau begitu, jika Ayah sudah berganti baju, bolehkah Ayah bergabung untuk bermain dengan kalian?” tanya Raja Edgar lagi yang pantang menyerah dengan tatapan penuh harap. “Tidak!” jawab Eden tanpa berbelas kasihan. “Eden! Ayah tidak menanyakan hal ini padamu!” balas Raja Edgar kepada Eden dengan nada marah. K
“Apakah kamu sudah memaafkan aku, Sayang?” tanya Raja Edgar yang menolehkan kepalanya ke belakang dari pojokan dengan matanya yang berbinar.Namun, tidak semudah itu untuk meluluhkanku atas kesalahannya yang serius. Jadi, aku berkata, “Tidak, aku masih belum memaafkanmu. Aku hanya memberikan kamu kesempatan untuk ikut campur dalam memberikan nama bagi putrimu nanti. Namun, jika kamu tidak mau, ya sudah, tidak apa-apa.”“Tidak! Tidak! Aku mau! Aku sudah memikirkannya!” seru Raja Edgar sambil dengan cepat beranjak dari pojokan itu dan berjalan dengan tergesa-gesa ke arahku.“Ia sudah memikirkannya? Dalam waktu yang singkat itu selama ia berada di pojokan sana? Memang bakatnya luar biasa. Bahkan, bakatnya dalam memberikan nama yang bagus dalam waktu singkat itu, ia turunkan dengan baik kepada Eden,” batinku.“Aku sudah memikirkan namanya, yaitu Rani, artinya seorang bangsawan yang merupakan putri. Itu coc
Tap, tap, tap.Dengan mataku yang tertutup, aku bisa mendengar suara langkah kaki kecil Eden yang mendekat ke arahku.“Minggir sebentar, Yang Mulia Raja, aku harus melakukan sesuatu,” ucap Eden begitu ia sampai di tempatku.Aku tidak tahu reaksi apa yang diberikan oleh Raja Edgar setelah itu karena aku masih menutup mata. Namun beberapa sat setelahnya, aku bisa merasakan ada sesuatu yang hangat di tanganku. Eden sudah dewasa dan pintar, ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan di situasi ini. Alasan di awal aku mencegahnya untuk menggunakan kekuatan Saintess agar ia tidak salah bertindak dan menyalurkan kekuatan penyembuhannya di daerah perutku, di mana janinku sedang bertumbuh dan berkembang sekarang. Jadi sekarang, karena Eden sudah tahu bahwa aku sedang hamil, ia bisa menanganinya dengan tepat dan menyalurkan kekuatan Saintess untuk memberikan kekuatan dan tenaga dengan menggenggam tanganku.Ketika ia sudah menyalurkan kekuatannya setelah be
“Apa?! Adik? Eden … itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Lagi pula, jika kamu menginginkan adik, usia kalian terpaut terlalu jauh untuk dijadikan sebagai teman bermain,” balasku.“Hanya delapan tahun jika dihitung Sembilan bulan Ibu akan melahirkan. Tidak apa, Ibu. Aku senang untuk menjaga dan menjadi teman bermain dengannya. Sama seperti Ibu dan kembaran Ibu di masa lalu. Aku tahu maksud Ibu membicarakan hal ini. Ibu pasti baru mendengarkan sesuatu dari Paman Steein, ‘kan?” tanya Eden.Untungnya, Eden menggunakan sapaan tidak formal untuk menyebut Steein. Pasti karena Lissa ada di hadapannya. Jika ia bersama dengan orang-orang, ia tetap memanggil Steein dengan sebutan Tuan Duke Kesar.“Oh ya? Kenapa kamu bilang seperti itu?” tanya Lissa dengan senyuman sambil meremas jari-jarinya yang saling bertautan untuk berpura-pura bersikap tenang.Eden sepertinya tahu kalau aku sedang berbohong karena mata merah
Tap, tap, tap!Kembali lagi, aku berlari dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa henti. Sekarang giliran aku menghampiri Eden untuk menepati janjiku padanya.“Yang Mulia Ratu!! Kenapa Yang Mulia berlari-lari? Bagaimana jika Yang Mulia terjatuh?” tanya Eden dengan tergesa-gesa menghampiriku.Aku tidak menyangka kalau aku akan mendapatkan nasihat dari anak kecil perihal berlari dan terjatuh. Padahal seharusnya nasihat itu aku berikan kepadanya sebagai nasihat dari seorang Ibu untuk anak. Jika aku ingat-ingat, Eden juga tidak pernah terjatuh atau bertindak ceroboh sejak kecil. Walau aku dan Raja Edgar selalu sibuk, ia tidak menuntut apa pun dan mengurus tanggung jawabnya sendiri.Untuk menghilangkan sikap formalitas Eden yang kaku, aku pun mengelus-elus kepalanya dengan kasar sehingga rambutnya yang rapi jadi berantakan.“Yang Mulia! Apa yang telah Yang Mulia lakukan?! Setelah ini aku ada pertemuan Tuan Count dari Utara, jadi aku
Tap, tap, tap!!Aku sangat sibuk. Baru saja aku pergi ke Sekolah Akademi untuk memberikan kata-kata penyambutan kepada para siswa baru, sekarang aku harus cepat menemui Steein sebelum menepati janji temu yang aku buat dengan Eden.Jika aku membuang-buang waktu sedikit saja, aku tidak bisa menemui Steein terlebih dahulu, atau aku jadi terlambat untuk menepati janjiku dengan Eden.“Hahhh … Haahhh….” Napasku terengah-engah dan dadaku naik turun karena kekurangan oksigen. Jika zaman ini sudah semakin maju, aku akan membayar mahal siapa pun yang berhasil menciptakan kantung oksigen di dunia ini untuk bisa membantuku bernapas dengan baik setiap kali aku kekurangan stamina seperti ini.“Lissa, kamu tidak apa-apa? Mau aku bantu?” tanya Steein yang dengan sigap menghampiriku.Namun, untuk mencegah kontak fisik yang berlebihan, aku segera berdiri tegak dan menyesuaikan napasku. Karena aku memiliki banyak tanggung jawab,