Share

Bab 4. Sejarah Kerajaan Heroit dan Saintessnya

Ketika aku berjalan mendekat, orang itu tahu kalau aku meyadari kehadirannya. 

Aku menghentikan langkahku ketika ia menyelipkan tangannya dan memegang ujung pintu. Tangan itu kemudian mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Sepasang kaki melangkah masuk dan aku terkejut saat orang itu menunjukkan diriya. Ia adalah kesatria berambut biru yang aku lihat dari jendela tadi. 

Ia memberi salam dengan menyilangkan tangan kanannya ke dada kirinya. “Saya adalah kepala Kesatria yang bertugas melindungi Anda, Lady.” 

Aku hanya diam dengan wajah datar dan tidak membalas perkataannya sama sekali. 

Awalnya jantungku berdetak dengan keras karena rasa khawatir. Namun, matanya yang menatap langsung ke bola mataku memberi perasaan yang menenangkan. Mungkin itu karena aku melihat warna matanya yang kebiruan seperti langit yang luas, seolah-olah memberikanku kebebasan. 

“Saya akan pergi Nona, silakan beristirahat”, ucapnya sambil memberi salam dan pergi. 

“Aku harus berhati-hati”, batinku. 

Melihatnya yang tidak bertanya atau pun membahas mengenai latihan pisau yang kulakukan memberi kemungkinan kalau dia tidak melihat hal itu. Sepertinya ia juga tidak mendengar aku bergumam karena wajahnya tidak mempermasalahkan apa pun. Akan tetapi, belum ada yang pasti. Jadi, aku tidak boleh lengah karena bisa saja dia tahu semuanya, tetapi memilih untuk tidak membahasnya saat ini. Malam itu aku tidur dengan perasaan yang tidak nyaman.

Ketika pelayan datang di pagi hari, dia terkejut melihat aku yang sudah bangun dan duduk di tempat tidurku.

“Wahh.. Nona sudah bangun? Nona rajin sekali,” ucap pelayan itu.

Aku hanya mengangguk pelan untuk menjawabnya. Di dunia asalku, aku adalah pekerja yang tidak pernah terlambat pergi ke kantor di pagi hari. Jelas aku terbiasa bangun pagi.

“Saya akan memandikan Nona hari ini,” ucapnya.

Aku terkejut karena budaya yang tidak biasa ini. Aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai tanda tidak setuju. Aku memukul-mukul dadaku pelan mengisyaratkan agar aku mandi sendiri. 

“Maksudnya Nona akan mandi sendiri?”, tanyanya bingung. 

Aku mengangguk setuju dan mengulurkan tanganku untuk meminta pakaian yang ia bawa untuk kukenakan. Untung saja itu adalah pakaian yang mirip dengan yang dia berikan semalam, bukan gaun yang merepotkan.

“Baiklah Nona. Kalau gitu saya akan mengambil sarapan Nona,” ucapnya dan pergi.

Ini luar biasa. Mandi dalam bak mandi yang luas seperti yang selalu aku impikan malah terwujud bukan di duniaku. 

Setelah melakukan berbagai persiapan, akhirnya tiba jam pelajaran yang disebutkan pelayan semalam. 

Aku tercengang ketika seorang pria muda dengan rambut pirang dan berkacamata masuk membawa beberapa buku. Pria tampan yang pintar benar-benar kriteriaku. Wajahku langsung memerah begitu tatapan kami bertemu. Aku hampir saja berteriak kegirangan karena terlalu senang. Aku menggigit bibir bawahku untuk mempertahankan wajah datarku. 

“Perkenalkan, nama saya  Steein Burton. Saya yang akan mengajar Lady mulai saat ini. Anda bisa memanggil saya Steein. Jangan memanggil saya dengan nama keluarga saya ataupun dengan sebutan guru dan semacamnya”, ujarnya.

Wow, suaranya luar biasa. Jika aku adalah penduduk asli dunia ini, kemungkinan besar aku akan menyukainya. Kalau nama keluarganya, aku paham kalau yang ia maksudkan adalah jangan memanggilnya dengan nama Burton.  

Aku tidak begitu peduli dan tidak ada niat mencari tahu alasan dia bersikap seperti itu, jadi aku hanya mengangguk setuju.

Steein mengamatiku sesaat. Walau sebentar, rasanya tatapannya membuat wajahku terasa panas sehingga aku pun memalingkan wajahku.

“Apakah Lady tidak bisa bicara?” tanya Steein.

Aku terkesiap. Hampir saja aku lupa akan fakta itu. Untung saja aku belum mengatakan sepatah kata pun.

“Bruk!” dua buku tebal diletakkannya di mejaku secara bersamaan. “Silahkan Lady baca buku ini dan pelajari dalam satu minggu. Minggu depan saya akan datang lagi untuk memberikan tes dan memeriksa hasil belajar Lady”, ucap Steein.

Mataku membelalak kaget . Aku menatap buku itu dan Steein secara bergantian untuk memastikan apakah perkataan yang kejam itu barusan keluar dari bibirnya. Melihat ekspresi Steein yang tidak berubah, aku tahu kalau aku tidak salah dengar. Perasaan kagum yang kumiliki padanya di awal hilang seketika. 

Steein tidak menunggu dan tidak peduli dengan reaksiku. “Kalau begitu, saya permisi,” ucapnya datar dan pergi begitu saja.

Aku masih terpaku di tempatku karena tidak percaya. Aku mengepal tanganku dan memukul-mukul udara untuk melampiaskan emosiku. Otot wajahku mengeras karena menahan teriakan dalam hati. 

“Hahhh …,” aku menghela napas. 

Aku mengelus-ngelus dadaku untuk meredakan emosi. Sayangnya, itu tidak berhasil.

“Hahh!” aku mendengus. “Jangan remehkan kekuatan lulusan Univesitas Indonesia ini!”, teriakku dalam hati .

Aku menggulung lengan bajuku agar tidak menganggu dan membuka buku tebal itu mulai dari halaman pertama. Aku membaca judul bukunya, Asal Usul Kerajaan Heroit dan Saintessnya. 

Aku merasa buku ini tidak terlalu buruk. Judulnya saja sudah mengatakan bahwa aku bisa mengenal dunia ini dengan membacanya. “Baiklah, ayo kita baca baca pelan-pelan!” seruku dalam hati untuk menyemangati diri sendiri.

Isi buku itu menjelaskan bahwa Kerajaan Heroit sudah lama berdiri, tapi sealu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Talaro yang adalah Kerajaan tetangga. Selama empat generasi, Raja Heroit memberikan pajak yang mahal kepada Raja Talaro agar Kerajaan tidak diserang. Akan tetapi, pada generasi ke-5, seorang Saintess muncul dari langit. Ia memakai pakaian aneh dengan rok pendek dan berambut hitam. 

“Itu sama persis seperti kami,” gumamku. 

Saintess itu memiliki kekuatan penyembuhan yang luar biasa. Selama ia hidup, Kerajaan Heroit selalu menang dalam perang sehingga mereka terbebas dari kekuasaan Kerajaan Talaro. Namun, Saintess hidup hanya selama satu generasi Raja, karena ia mati sebelum usianya mencapai 30 tahun. Sebelum ia meninggal, ia menyampaikan pesan bahwa Saintess lain tidak akan muncul sampai generasi Raja ke-7. Perkataan Saintess itu menimbulkan kegemparan di dalam Istana.

Berita bahwa Saintess telah meninggal berhasil ditutup rapat sampai Raja ke-5 meninggal. Akan tetapi, saat pemerintahan Raja ke-6, kabar tentang tidak adanya Saintess menyebar kepada seluruh rakyat dan akhirnya sampai ke telinga Raja Talaro.

Mendengar berita itu, Kerajaan Talaro menyusun rencana untuk menyerang Kerajaan Heroit. Banyak prajurit yang gugur, negara menjadi porak-poranda, dan Raja ke-6 tewas dalam perang. Akhirnya, Raja ke-7 yang masih berusia 15 tahun naik takhta menjadi Raja. 

Karena usianya yang masih muda, banyak bangsawan yang bersikap sesuka hati mereka. Ia menjadi Raja boneka hingga usianya menginjak 19 tahun. Namun, tanpa ada yang menyadari, Raja diam-diam telah membuat perjanjian dengan Kerajaan Talaro untuk berdamai dengan syarat akan berbagi kekuatan Saintess ketika Saintess itu muncul. 

Karena sudah mendapat kekuatan politik dari Kerajaan tetangga, Raja dengan berani menghukum pejabat dan bangsawan yang meremehkannya dan membunuhnya di tempat. Istana banjir dengan darah pada malam mengerikan itu. Itulah sebabnya ia dikenal sebagai Raja Tiran. Raja Tiran ini masih memerintah sekarang. Nama Raja itu adalah Edgar Coelom.

Aku melihat tahun kelahiran Raja Edgar dan ingin menghitung umurnya. Sayangnya, fakta bahwa aku tidak tahu sekarang tahun berapa karena dunia yang berbeda membuatku ingin menangis. 

Aku kembali mengingat-ingat peristiwa ketika seorang pria menghunuskan pedangnya padaku. Dari pakaiannya dan cara pria bertudung memperlakukannya, sepertinya dia adalah Raja itu. 

“Hah…ini sulit,” ucapku sambil menyandarkan punggungku ke kursi. 

Itu artinya, aku harus menjadi Saintess agar bisa tetap hidup. Jika tidak, mungkin aku akan langsung dibunuh di tempat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status