Share

BAB 2

Author: Tika Pena
last update Last Updated: 2023-10-26 20:46:47

Kulirik kursi paling dekat, harusnya Naya duduk di situ menemaniku sarapan. Tetapi, pagi ini aku masih makan sendiri. Makan bersamaku saja kamu tidak mau, Nay?

"Anu, Pak. Maaf." ART-ku mendekat. Aku meliriknya. "Non gak nyaut-nyaut saat saya panggil buat sarapan. Ditungguin gak keluar-keluar." 

"Yasudah." 

Pandanganku kembali pada piring makanan yang belum habis. Seleraku hilang jadinya. Sendok yang kupegang diletakkan. Wanita paruh baya itu membungkuk pergi setelah menjelaskan. 

Air mineral di gelas kuteguk habis. Dasi pada kerah kubetulkan sebentar lalu meninggalkan tempat duduk. Menapaki anak tangga menuju tempat istriku masih sembunyi.

Pintu kamar dibuka. Naya tampak duduk bersandar pada besi ranjang. Kakinya ditekuk. "Kamu tidak mau sarapan denganku?" 

Tidak ada jawaban dan tidak ada pergerakan sama sekali meski hanya lirikan mata. Wanita itu membisu dengan tatapan kosong.

Apa semalam aku keterlaluan dan menyakitinya? Aku membawa paksa ke kasur hanya menyuruhnya istirahat tidur. Itu saja. Jika tidak begitu dia kukuh mau keluar kamar. Aku tidak mau dia pergi. Mulai malam tadi pokoknya harus tidur bersamaku. 

"Jangan lupa makan, ya." Aku mendekat, duduk di tepi tempat tidur menghadapnya. "Atau, mau diantarkan saja makanannya ke sini? Biar aku suruh Mbok Rum." 

Naya hanya menghela napas. Matanya masih tidak sudi melihatku. Aku menunduk menatap tanganku sendiri yang mengepal menahan gemas. 

"Aku berangkat dulu." Kulihat lagi wajahnya yang tampak cantik di mataku meski tanpa polesan make-up. Kukecup keningnya. Setelahnya kutinggalkan ia. Aku memilih masuk kantor meski baru kemarin menikah. Acara itu hanya keluarga yang mengetahui dan tidak ada resepsi meriah selain ijab qobul. Percuma diam di rumah. Naya tidak mau kudekati. Sikapnya dingin. Meski begitu tidak apa. Aku lega bisa menghalalkanya dan mengajaknya tinggal bersama.  

"Jangan kemana-mana, di rumah saja." Pesanku sebelum menutup pintu. 

***

Dalam ingatanku bayangan sepasang suami istri yang bercanda mesra membuatku iri. Naya dan Akbar saat itu tengah bercengkrama di taman tempat hiburan. Mereka duduk bersama membicarakan apa saja. Diselingi tawa dan senyuman yang tiada henti. Aku melihatnya dari kejauhan. Padahal tidak ada anak, tapi keduanya tampak harmonis. 

Kebahagiaan dalam rumah tangga mereka tidak bertahan terpisahkan maut. Aku ingat betul Naya yang menangis histeris saat di rumah sakit. Dokter tidak mampu menyelamatkan suaminya setelah kecelakaan mobil di jalan raya. 

"Jangan pergi secepat ini, Mas. Maaas ...." Tubuh tak bernyawa itu diguncang-guncangnya. Beberapa orang keluarganya menenangkannya dengan mengelus-elus bahunya. 

"Sabar. Iklaskan, biar suamimu tenang. Istigfar." 

Setelah sedikit tenang Naya menciumi wajah Akbar yang terdapat luka. Meski begitu, air matanya tak henti mengalir. Aku tak kuat melihatnya dan pergi. 

Aku tahu Akbar yang kecelakaan, aku menyaksikan saat dia sakaratul maut, aku juga ikut mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya bersama banyak orang. 

Saat selesai dan orang-orang membubarkan diri, kuhampiri Naya yang selesai menaburkan bunga ke atas pusara. "Semoga amal ibadah suamimu diterima di sisiNya dan dihapuskan segala dosanya." 

"Harusnya suamiku masih hidup jika tidak menurutimu!" Aku sedikit terkejut dia berkata seperti itu. Bukannya mengaminkan Naya marah. Beberapa orang yang belum benar-benar pergi terarah pada kami. 

"Nay, Sudah. Takdir Allah." Seseorang menenangkan mengusap-usap lengannya. Naya langsung tertunduk dan menangis. 

"Maaf." Kukatakan itu lalu pergi dengan rasa bersalah. 

Akbar meminta padaku lowongan pekerjaan setelah bisnis yang dirintisnya benar-benar tidak bisa diharapkan dan tidak bisa diselamatkan. Aku akan memberitahukan posisi yang sedang dibutuhkan perusahaan. Tak kusangka di jalan dirinya mengalami kecelakaan. Munurut saksi dia mengendarai mobil dengan laju kencang. Entah karena terlalu bersemangat hendak menemuiku, atau memang kurang hati-hati saja. 

Naya yang selama ini bersikap ramah dan sopan saat bertemu denganku menjadi beda. Seperti saat di pemakaman. Meski begitu aku jadi sering memikirkannya dan tidak tenang.

Aku pergi ke kediaman Naya ingin mengetahui kondisinya terkini. Ada beberapa orang di depan rumahnya. Mereka tengah mengobrol dengannya. Aku memperhatikan dari dalam mobil. 

"Sekali lagi saya mohon maaf belum bisa membayar KPR rumah ini." Suara Naya terdengar. Kaca mobil sudah kuturunkan. 

"Anda sudah jatuh tempo lebih dari dua bulan. Jika akhir bulan ini tidak juga dibayarkan, terpaksa pihak kami menyita rumah ini." 

"Ya, Pak. Saya mengerti." Suara Naya lemah dan parau.

"Permisi." Dua orang itu pamit. Rupanya mereka kolektor Bank yang hendak menagih angsuran. 

Aku keluar menampakkan diri saat tamu Naya pergi dengan mobil mereka. Istri almarhum Akbar masih di luar. Dia melihat aku yang menghampirinya. 

"Apa kamu juga ke sini mau menagih?" tanyanya dengan sorot mata yang tak bersahabat. Kedatanganku disambut sesinis ini. Wanita ini jadi sensitif. 

Tapi aku tersenyum melihatnya dan tetap santai. Satu tangan kususupkan ke saku celana. "Aku ke sini karena ... Kangen." 

"Apa?" 

Naya tak percaya dan terkejut aku berkata seperti itu. Tapi, dia segera menguasai diri, wajahnya menjadi biasa kembali setelah menghela napas.

"Sebaiknya kamu pergi dari sini." 

"Hmm, baik. Tapi, bagaimana kalau aku benar-benar mau menagih hutang Akbar. Apa yang akan kamu jadikan jaminan? Mobil kalian sudah tidak ada lebih dulu ditarik dealer kan? Dan rumah ini ... Juga telat bayar angsuran, pihak Bank bahkan seperti sudah bosan menagih dan rumah ini pun terancam di sita." 

Kukatakan panjang lebar semua itu seraya mengamati permukaan rumah sederhana ini. Akbar belum lama mengajukan KPR. Dia pikir usaha konveksinya akan terus berjalan lancar. Di keadaan negri yang tengah dilanda wabah penyakit usahanya gulung tikar. Menyisakan hutang bekas modal tambahan padaku dan pinjaman lain-lain. Akbar meminjam uang lagi berkali-kali padaku untuk menutupi angsuran mobil termasuk rumah ini. Nyatanya kedua-duanya terancam setelah kepergiannya menghadap Tuhan.

Menyisakan pelik untuk Naya seorang diri. "Jadi, dengan apa kamu akan membayarnya?" Kutanyakan itu seraya melihat padanya. Aku tertegun. Perempuan itu tengah menitikkan air mata.  

"Aku tidak punya uang ...." Bibirnya bergetar, suaranya tenggelam. 

Rasa terenyuh menyeruak dalam hati. Aku menunduk. Apa ucapanku keterlaluan?

"Maaf." Aku merasa sudah berbuat jahat. Tidak peka betapa pusingnya dia. Ketahuliah, aku tidak benar-benar menagih, Nay. Hanya asal bicara. Tak kusangka itu membuatnya nelangsa dan tidak bisa menahan diri lagi untuk terlihat baik-baik saja. 

Naya menghela napas dan menghapus air matanya dengan kasar. Dia berusaha menekan tangis. Seperti merasa menyesal sudah tak dapat menahan lemah di hadapanku.

"Aku akan membayar tapi tidak bisa buru-buru. Akan aku usahakan dulu." Dia mencoba tegar kembali. 

Oh, ya? Dia mau bekerja dulu maksudnya? Aku membatin. "Tapi, hutang Akbar tidak sedikit padaku, Nay. Ratusan juta." 

"Aku akan mencicil." 

Aku tertawa kecil mendengar itu. Lucu dia. "Kira-kira akan berapa lama lunasnya." Sengaja aku bergumam sendiri seraya memegang dagu. 

"Jangan meremehkanku!" Naya tersinggung dan menjadi jutek. Perasaannya cepat sekali berubah-ubah. 

"Aku tidak meremehkanmu." Aku tersenyum sumir. Sesuatu terlintas di kepala. "Kamu tidak bisa membayar juga tidak apa-apa." 

Kening Naya mengeryit dalam. Aku diam menikmati wajah bingung dengan bibir mengerucut itu. Senang memperhatikannya. Lalu tersadar harus mengatakan sesuatu. "Asal, kamu mau menikah denganku." 

Dua bola mata Naya membelalak lebar.  "Menikah?!" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 37

    Suaranya ...."Evelyn?" "Ya, sayang. Ini aku." Keterkejutanku berusaha dinetralkan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu? Dia akhirnya menghubungiku juga. Aku berdehem pelan, sebisa mungkin tenang. "Ada apa?" "Tumben gak marah atau ngelarang saat kutelfon?" Sengaja kutanya baik-baik. "Ada perlu apa, Eve?" Kuulangi lagi pertanyaan itu ketimbang menanggapi keheranannya."Cuma kangen." "Mau ketemu?" "Ap-appa?" Dia tergagap pelan seperti tak menyangka. "Kalau gak mau yaudah." "Mau dong!" Sudut bibirku tersenyum miring. Perempuan itu perlu sedikit dibaiki. Memang maunya bertemu.Kami memutuskan dinner privat room. Hanya aku berdua dengannya. Evelyn tampak sumringah. Dia makan dengan lahap. Sedikit aneh, bukankah perempuan hamil di trimester pertama tidak selera makan? Aku tidak mau mempedulikan itu, mencoba tersenyum sambil mengiris steak sapi dan memakannya perlahan. "Kamu kangen juga sama aku kan?" Evelyn meminum air di gelas ramping berkaki satu. Makanannya sudah tandas. Kemudi

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 36

    Aku dan mama mengintip dari balik pintu yang membuka sedikit, melihat Naya bersama seorang psikolog perempuan. Mereka duduk berhadapan. Entah mendapat pertanyaan apa, istriku menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Sudah, biarkan saja." Mama mengajak pergi. Aku mengikutinya. "Semoga konsultasi sama psikolog itu bisa membantu." Aku pun berharap begitu. Kami duduk tidak jauh dari kamar Naya berada. Menanti Psikolog itu selesai. Ingin mengetahui bagaimana hasilnya. "Semalam kamu habis dari mana, pulang malam sekali?""Ada perlu." "Kamu jangan lama-lama meninggalkan istrimu.""Untuk kebaikan Naya kok." Aku tersenyum ingat wajah takut Firman. Tidak mungkin aku senekat itu untuk melukai. Ternyata baru digertak begitu saja dia sudah kalah. "Gue belum kawin. Lo jangan apa-apain otong guee." Dia terus merengek saat aku tidak lantas menjauh dari bawahnya. "Gue bilang gue bakal ngaku!" Ingin menyemburkan tawa, tapi kutahan. Tetap memasang wajah serius, guna bisa mendapatkan info dariny

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 35

    "Ya ampun, Tuan. Wajah Tuan kenapa?" Mbok Rum tampak panik saat membukakan pintu rumah."Awas, Mbok." Tidak menjawabnya langsung menerobos masuk membawa Naya digendongan tanganku."Ya ampun, Non Naya." Dia mengikut di belakang. Tangis Gathan terdengar, seakan ingin menyambut kedatangan mamanya. Tangis bahagia atau sedih, entah. Mungkin dua-duanya. "Urusi Gathan.""Ya, Tuan." Langkah Simbok yang ingin memasuki kamar bersamaku berputar arah. Di tempat tidur kubaringkan Naya langsung menyelimutinya. Meraba keningnya yang hangat. Dia demam. "Nay?" Dia tidak terusik. Apa aku harus hubungi dokter? Terdiam sejenak mempertimbangkan. Baiknya dikompres saja dulu mengingat waktu yang tidak memungkinkan. Aku keluar lagi untuk menyiapkan kompresan. Gathan sudah tidak rewel di tangan Simbok. Kembali ke kamar membawa wadah berisi air dan handuk kecil. Kain itu kuperas menempelkannya di kening Naya. Dia harus makan dan minum obat saat sudah bangun. Aku terdiam sesudahnya. Sudut bibirku perih.

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 34

    Evelyn. Pasti dari dia. Mencoba menghubungi tapi nomornya sudah tidak aktif. Jika tahu akan ada pesan masuk darinya, tidak akan diberikan pada Naya. Akan kuperiksa lebih dulu. Ceroboh lagi. "Astaghfirullah, ya Allah ...." Naya luruh di lantai. Memegangi dada tersedu-sedu. "Sakit sekali."Aku harus bagaimana? "Nay?" Terpaksa mendekati dia lagi. "Aku bersumpah itu bukan anakku." "Tapi kamu sudah berzina dengannya."Kupeluk dirinya. Dia terus tersedu-sedu. Wajahnya kuangkat menyeka linangan air mata wujud sakit hati yang kembali menggelora. Mata indah itu terpejam tapi terus mengeluarkan cairan. "Akan aku buktikan semuanya." Membenamkan wajah itu kembali di dada. Menangislah sepuas hatimu. Mau memukulku juga tidak apa. Aku siap. Pantas menerima itu. Entah lelah atau terlalu larut dalam kesedihan Naya diam saja. Masih dalam keadaan terisak aku menggendongnya memindahkan di tempat tidur. Bantal yang berserak kuambil meletakkan di bawah kepalanya. Juga menutupi dengan selimut. Dia me

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 33

    "Aku gak ngapa-ngapain kamu.""Pergi!""Tenang, Naya."Dia terus menggeleng-geleng sambil mempertahankan selimut menutupi dadanya. "Pergi, kamu." Dia melempar bantal. Dada yang tertutup melorot lagi. Aku memungut benda itu di lantai setelah mengenaiku. Meletakkan kembali di kasur. Naya beranjak turun membawa selimut. "Kamu mau ke mana, jangan pergi, Nay!" "Enggaa!" Dia berjalan tergesa menuju pintu. Aku mengejar. Dia keburu sudah membukanya. Tertegun saat didapatinya mama berdiri di depan."Ada apa?" Mama bertanya panik. Naya terisak. "Kenapa Naya?""Dia mau memperkosaku ...." Tangannya menunjuk ke belakang. Ke arahku. Mama seketika melotot padaku. Aku menggeleng tersudut. Istriku menyusut duduk di lantai. Selimutnya sedikit melorot menampakan separuh dada. Mama melihat itu. "Sendy." Mama bergumam geram. "Sudah mama peringatkan kenapa begitu lagi?!" "Salah paham, Ma.""Salah paham apa? Pasti kamu yang sudah buka bajunya, iya?!" "Engga, Ma." "Tidak ada gunanya menyangkal."

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 32

    "Tolong ke sini, Ma.""Naya sudah sadar?""Mama cepat ke sini.""Iya, iya, mama akan segera ke sana. Lagi kasih Gathan susu ini.""Kasih ke Mbok Rum.""Iyaa."Telepon bersama mama kumatikan. Mengusap wajah gusar sesudahnya. Naya bersama perawat sedang ditenangkan di dalam. Dia menjerit dan marah-marah. Sama sekali tidak mau kudekati. "Enggaa. Bajingan. Biadab. Pergi kamuu!" Dia mengusirku saat mengajaknya ke luar dari kamar mandi. Melemparkan apa yang ada di dekatnya. Aku terpaksa membiarkannya dulu. Memanggil perawat melalui interkom yang ada. Tidak lama perawat perempuan datang menghampiri Naya membujuknya. Sedangkan aku diperintahkan ke luar dulu. Aku hanya diam di luar tidak berani masuk juga tidak ingin pergi. "Kenapa, Sen?" "Ma." Aku lekas berdiri setelah menunggunya cukup lama. "Naya sudah sadar?""Iya, sudah lumayan lama.""Kok baru kasih tau mama.""Maaf." "Kok kamu gak menemani, kenapa dibiarkan sendiri?""Naya gak mau kutemani. Dia marah tau apa yang kulakukan padany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status