Share

BAB 2

Kulirik kursi paling dekat, harusnya Naya duduk di situ menemaniku sarapan. Tetapi, pagi ini aku masih makan sendiri. Makan bersamaku saja kamu tidak mau, Nay?

"Anu, Pak. Maaf." ART-ku mendekat. Aku meliriknya. "Non gak nyaut-nyaut saat saya panggil buat sarapan. Ditungguin gak keluar-keluar." 

"Yasudah." 

Pandanganku kembali pada piring makanan yang belum habis. Seleraku hilang jadinya. Sendok yang kupegang diletakkan. Wanita paruh baya itu membungkuk pergi setelah menjelaskan. 

Air mineral di gelas kuteguk habis. Dasi pada kerah kubetulkan sebentar lalu meninggalkan tempat duduk. Menapaki anak tangga menuju tempat istriku masih sembunyi.

Pintu kamar dibuka. Naya tampak duduk bersandar pada besi ranjang. Kakinya ditekuk. "Kamu tidak mau sarapan denganku?" 

Tidak ada jawaban dan tidak ada pergerakan sama sekali meski hanya lirikan mata. Wanita itu membisu dengan tatapan kosong.

Apa semalam aku keterlaluan dan menyakitinya? Aku membawa paksa ke kasur hanya menyuruhnya istirahat tidur. Itu saja. Jika tidak begitu dia kukuh mau keluar kamar. Aku tidak mau dia pergi. Mulai malam tadi pokoknya harus tidur bersamaku. 

"Jangan lupa makan, ya." Aku mendekat, duduk di tepi tempat tidur menghadapnya. "Atau, mau diantarkan saja makanannya ke sini? Biar aku suruh Mbok Rum." 

Naya hanya menghela napas. Matanya masih tidak sudi melihatku. Aku menunduk menatap tanganku sendiri yang mengepal menahan gemas. 

"Aku berangkat dulu." Kulihat lagi wajahnya yang tampak cantik di mataku meski tanpa polesan make-up. Kukecup keningnya. Setelahnya kutinggalkan ia. Aku memilih masuk kantor meski baru kemarin menikah. Acara itu hanya keluarga yang mengetahui dan tidak ada resepsi meriah selain ijab qobul. Percuma diam di rumah. Naya tidak mau kudekati. Sikapnya dingin. Meski begitu tidak apa. Aku lega bisa menghalalkanya dan mengajaknya tinggal bersama.  

"Jangan kemana-mana, di rumah saja." Pesanku sebelum menutup pintu. 

***

Dalam ingatanku bayangan sepasang suami istri yang bercanda mesra membuatku iri. Naya dan Akbar saat itu tengah bercengkrama di taman tempat hiburan. Mereka duduk bersama membicarakan apa saja. Diselingi tawa dan senyuman yang tiada henti. Aku melihatnya dari kejauhan. Padahal tidak ada anak, tapi keduanya tampak harmonis. 

Kebahagiaan dalam rumah tangga mereka tidak bertahan terpisahkan maut. Aku ingat betul Naya yang menangis histeris saat di rumah sakit. Dokter tidak mampu menyelamatkan suaminya setelah kecelakaan mobil di jalan raya. 

"Jangan pergi secepat ini, Mas. Maaas ...." Tubuh tak bernyawa itu diguncang-guncangnya. Beberapa orang keluarganya menenangkannya dengan mengelus-elus bahunya. 

"Sabar. Iklaskan, biar suamimu tenang. Istigfar." 

Setelah sedikit tenang Naya menciumi wajah Akbar yang terdapat luka. Meski begitu, air matanya tak henti mengalir. Aku tak kuat melihatnya dan pergi. 

Aku tahu Akbar yang kecelakaan, aku menyaksikan saat dia sakaratul maut, aku juga ikut mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya bersama banyak orang. 

Saat selesai dan orang-orang membubarkan diri, kuhampiri Naya yang selesai menaburkan bunga ke atas pusara. "Semoga amal ibadah suamimu diterima di sisiNya dan dihapuskan segala dosanya." 

"Harusnya suamiku masih hidup jika tidak menurutimu!" Aku sedikit terkejut dia berkata seperti itu. Bukannya mengaminkan Naya marah. Beberapa orang yang belum benar-benar pergi terarah pada kami. 

"Nay, Sudah. Takdir Allah." Seseorang menenangkan mengusap-usap lengannya. Naya langsung tertunduk dan menangis. 

"Maaf." Kukatakan itu lalu pergi dengan rasa bersalah. 

Akbar meminta padaku lowongan pekerjaan setelah bisnis yang dirintisnya benar-benar tidak bisa diharapkan dan tidak bisa diselamatkan. Aku akan memberitahukan posisi yang sedang dibutuhkan perusahaan. Tak kusangka di jalan dirinya mengalami kecelakaan. Munurut saksi dia mengendarai mobil dengan laju kencang. Entah karena terlalu bersemangat hendak menemuiku, atau memang kurang hati-hati saja. 

Naya yang selama ini bersikap ramah dan sopan saat bertemu denganku menjadi beda. Seperti saat di pemakaman. Meski begitu aku jadi sering memikirkannya dan tidak tenang.

Aku pergi ke kediaman Naya ingin mengetahui kondisinya terkini. Ada beberapa orang di depan rumahnya. Mereka tengah mengobrol dengannya. Aku memperhatikan dari dalam mobil. 

"Sekali lagi saya mohon maaf belum bisa membayar KPR rumah ini." Suara Naya terdengar. Kaca mobil sudah kuturunkan. 

"Anda sudah jatuh tempo lebih dari dua bulan. Jika akhir bulan ini tidak juga dibayarkan, terpaksa pihak kami menyita rumah ini." 

"Ya, Pak. Saya mengerti." Suara Naya lemah dan parau.

"Permisi." Dua orang itu pamit. Rupanya mereka kolektor Bank yang hendak menagih angsuran. 

Aku keluar menampakkan diri saat tamu Naya pergi dengan mobil mereka. Istri almarhum Akbar masih di luar. Dia melihat aku yang menghampirinya. 

"Apa kamu juga ke sini mau menagih?" tanyanya dengan sorot mata yang tak bersahabat. Kedatanganku disambut sesinis ini. Wanita ini jadi sensitif. 

Tapi aku tersenyum melihatnya dan tetap santai. Satu tangan kususupkan ke saku celana. "Aku ke sini karena ... Kangen." 

"Apa?" 

Naya tak percaya dan terkejut aku berkata seperti itu. Tapi, dia segera menguasai diri, wajahnya menjadi biasa kembali setelah menghela napas.

"Sebaiknya kamu pergi dari sini." 

"Hmm, baik. Tapi, bagaimana kalau aku benar-benar mau menagih hutang Akbar. Apa yang akan kamu jadikan jaminan? Mobil kalian sudah tidak ada lebih dulu ditarik dealer kan? Dan rumah ini ... Juga telat bayar angsuran, pihak Bank bahkan seperti sudah bosan menagih dan rumah ini pun terancam di sita." 

Kukatakan panjang lebar semua itu seraya mengamati permukaan rumah sederhana ini. Akbar belum lama mengajukan KPR. Dia pikir usaha konveksinya akan terus berjalan lancar. Di keadaan negri yang tengah dilanda wabah penyakit usahanya gulung tikar. Menyisakan hutang bekas modal tambahan padaku dan pinjaman lain-lain. Akbar meminjam uang lagi berkali-kali padaku untuk menutupi angsuran mobil termasuk rumah ini. Nyatanya kedua-duanya terancam setelah kepergiannya menghadap Tuhan.

Menyisakan pelik untuk Naya seorang diri. "Jadi, dengan apa kamu akan membayarnya?" Kutanyakan itu seraya melihat padanya. Aku tertegun. Perempuan itu tengah menitikkan air mata.  

"Aku tidak punya uang ...." Bibirnya bergetar, suaranya tenggelam. 

Rasa terenyuh menyeruak dalam hati. Aku menunduk. Apa ucapanku keterlaluan?

"Maaf." Aku merasa sudah berbuat jahat. Tidak peka betapa pusingnya dia. Ketahuliah, aku tidak benar-benar menagih, Nay. Hanya asal bicara. Tak kusangka itu membuatnya nelangsa dan tidak bisa menahan diri lagi untuk terlihat baik-baik saja. 

Naya menghela napas dan menghapus air matanya dengan kasar. Dia berusaha menekan tangis. Seperti merasa menyesal sudah tak dapat menahan lemah di hadapanku.

"Aku akan membayar tapi tidak bisa buru-buru. Akan aku usahakan dulu." Dia mencoba tegar kembali. 

Oh, ya? Dia mau bekerja dulu maksudnya? Aku membatin. "Tapi, hutang Akbar tidak sedikit padaku, Nay. Ratusan juta." 

"Aku akan mencicil." 

Aku tertawa kecil mendengar itu. Lucu dia. "Kira-kira akan berapa lama lunasnya." Sengaja aku bergumam sendiri seraya memegang dagu. 

"Jangan meremehkanku!" Naya tersinggung dan menjadi jutek. Perasaannya cepat sekali berubah-ubah. 

"Aku tidak meremehkanmu." Aku tersenyum sumir. Sesuatu terlintas di kepala. "Kamu tidak bisa membayar juga tidak apa-apa." 

Kening Naya mengeryit dalam. Aku diam menikmati wajah bingung dengan bibir mengerucut itu. Senang memperhatikannya. Lalu tersadar harus mengatakan sesuatu. "Asal, kamu mau menikah denganku." 

Dua bola mata Naya membelalak lebar.  "Menikah?!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status