Share

BAB 3

"Iya. Menjadi istriku. Dengan begitu kamu tidak usah repot-repot membayar hutang. Aku anggap lunas." 

Naya menggeleng. Kemudian menunduk. "Jangan asal bicara." 

"Aku serius. Ayo, kita menikah." 

"Tidak!" Wajah Naya terangkat kembali. "Mas Akbar belum lama meninggal, masa iddahku juga belum habis, beraninya kamu!" 

"Aku akan tunggu setelah masa itu selesai. Kita bisa melakukan pernikahan." 

"Satu tahun terakhir hidup Mas Akbar penuh kesulitan hingga akhir hayatnya dalam keadaan susah. Kamu teman dekatnya, tau semua itu. Sekarang kamu mau mengambil sosok berharga darinya yaitu aku. Di saat kematiannya masih baru. Tega kamu!" 

"Aku ingin membantu meringankan beban Akbar. Apa itu salah? Bersamaku kamu tidak akan kesulitan lagi." 

"Tolong pergi dari sini sekarang juga." Naya membelakangiku. 

Aku menarik napas panjang. "Pikirkan baik-baik tawaranku jika tidak mau hidupmu lebih sulit lagi." Kutinggalkan ia melangkah cepat. Memasuki mobilku dan membanting pintu cukup kencang saat menutupnya. Mesin segera dinyalakan. Kulirik perempuan yang belakangan ini selalu mengisi kekosongan hati lewat spion samping.

Naya merosot duduk di lantai. Tangannya terangkat menutupi wajahnya. Bahunya terguncang. Ingin aku memeluknya. Kuku-kuku tangan memutih mencengkeram erat setir, menahan tetap diam.  

Berat hati untuk meninggalkannya, meski begitu aku harus pergi. Mobil perlahan melaju di jalan menjauhi area kompleks. Bayangan Naya yang terus kuperhatikan dari kaca kecil itu menghilang. 

***

Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan. "Silakan masuk!"

Pekerja perempuan membuka pintu. "Maaf, Pak mengganggu. Ingin mengantarkan ini." Dia menyerahkan berkas. Aku memeriksanya dan membubuhkan tanda tangan. Data laporan baik-baik saja. Perempuan itu pamit kembali setelah urusannya denganku selesai. 

Laci di bawah meja kubuka. Mengambil pigura kecil berisi poto bayi laki-laki yang tengah duduk. Aku mengusap wajahnya yang lucu dan menggemaskan. "Papa kangen. Semoga segera mendapat penggantimu dari istri Papa yang baru." 

Dalam perjalanan pulang aku teringat Naya. Kapan dia bisa menerimaku? Kami belum bisa menuntaskan kewajiban penuh satu sama lain. Aku bisa, tapi Naya membatasi diri. Menyentuhnya sulit. 

Laju mobil kupercepat di jalan yang ramai lancar. Langit sudah gelap gulita. 

Memasuki rumah hanya kesunyian yang kudapat. Rasanya seperti masih sendiri saja. Naya tidak menyambutku. Aku sadari tidak usah mengharapkan itu dulu. 

"Makan Tuan." Mbok Rum lah yang datang menghampiri dan menawariku makan. Memang dia yang biasanya ada saat aku pulang beraktivitas. 

"Ya, terimakasih. Naya sudah makan?" Dasi pada kerah aku longgarkan dan dilepas. 

"Sudah. Tapi non lebih banyak mengurung diri di kamar."

"Tidak apa-apa." Aku meninggalkan ART-ku untuk menemui Naya. 

Pintu kamar kubuka. Bibirku merekah senyum melihat istriku. Dia belum tidur. Sedang berada di atas sajadah berbalut mukena. Aku menghampiri menekuk sebelah kaki di sampingnya. Dia menyudahi membaca kitab suci mengetahui aku datang. Mushaf itu diletakkan. 

"Aku senang melihat kamu seperti ini daripada melamun." 

Naya melirikku sekilas. Tangannya meraih selembar poto yang tergeletak di depannya. Meski langsung ia sembunyikan tapi aku sempat melihatnya. Keceriaanku pudar mengetahui itu poto Akbar bersama dengannya. 

"Aku sehabis mendoakan suamiku." 

"Mantan suami, Naya. Dia bukan suami kamu lagi." 

"Dia tidak memberikku talak."

"Tapi alam kalian sudah beda. Aku suami kamu dan yang mesti kamu taati. Terima itu." 

Naya menunduk. "Aku butuh waktu. Aku sangat merindukannya." 

Aku gerah mendengarnya di saat selepas bekerja. Orang yang sudah mati itu terus dia perhatikan sebenar-benarnya, sedangkan aku yang jelas-jelas di sampingnya, memenuhi segala kebutuhan hidupnya hingga ke depan, tidak dihiraukan sama sekali. 

"Simpan poto itu. Temani aku makan." 

Naya masih diam. Poto itu malah dipeluknya di dada. Benar-benar menguji kesabaranku. "Naya dengarkan suamimu ini." 

"Memangnya kamu tidak bisa makan sendiri?" 

Dia terus beralasan. Aku meraih bahunya untuk berdiri bersamaku. "Kamu menolak menemaniku makan. Kalo begitu kamu temani aku di ranjang sekarang juga. Aku sama membutuhkannya seperti makan." Tangan Naya kutarik. Perempuan itu tampak panik. 

Naya menahan diri saat baru beberapa langkah. "Aku akan menemanimu makan." 

Pada akhirnya dia mengiyakan menemani makan dari pada menyerahkan tubuhnya. Aku sudah menduganya. 

"Lepaskan tanganmu. Aku akan melepas mukena." 

Aku melepaskan tangannya. Naya melepas mukena, aku memperhatikannya sambil duduk di tepi ranjang. Dia ternyata mengenakan gamis dan dalaman kerudung. Pemandangan yang ingin kulihat tetap tertutup. Memangnya dia tidak gerah memakai mukena tapi berpakaian lengkap? 

Tanpa sedikit pun menghiraukanku dia melipat mukena dan menyelipkan poto Akbar di tengah-tengah lipatan kain itu. Aku membuang muka karenanya. 

"Cepat Naya, aku sudah lapar." Menutupi rasa cemburuku dengan perintah.

"Sebentar." Dia menjawab santai sambil memakai jilbab langsung berukuran sedang. 

Aku berdiri. Kami ke luar kamar bersamaan. Menuruni anak tangga pun berbarengan. Hatiku menghangat bersisian dekat dengannya. Naya sedikit tersentak saat tangannya kuraih. Mengajaknya berjalan lebih cepat. Aku abaikan raut tidak nyamannya dan membiarkan bibir ini mengulum senyum. 

Aneka jenis masakan terhidang di meja. Naya mengambilkan nasi dan lauk pauknya lalu menyerahkan piring itu padaku. Dia juga menuangkan air pada gelas. Aku menyantap makanan setelah sedikit meneguk minum. Naya hanya diam. "Kamu gak ikut makan?"

"Masih kenyang."

"Makan kapan?"

"Jam lima sore tadi."

"Makan lagi aja sekarang, baru jam delapan." 

"Aku tidak mau gendut." 

Aku tertawa kecil disela-sela mengunyah. "Nanti juga tubuh kamu sedikit lebar kalau sudah punya anak dariku." 

Naya tampak tidak senang mendengar perkataanku. Wajahnya masam. Mungkin dia tidak suka membayangkan proses pembuatan anak bersamaku. 

"Suami lagi makan jangan dicemberutin dong." Dia lalu bersikap biasa kembali. 

"Aku senang bisa makan malam bersamamu." Dia melirikku. Aku mengulum senyum tipis dan melanjutkan makan.

Makan malam telah selesai. Aku dan Naya sudah berada dalam kamar. Guling berada di tengah-tengah sebagai pembatas. Naya yang menginginkan ini. Posisi perempuan itu membelakangiku. Mataku dipejamkan, tidak lama terbuka lagi merasakan pergerakan di ranjang. Aku melirik istriku yang kini telentang sama sepertiku. 

"Besok, aku ingin mengunjungi makam Mas Akbar." Naya berkata lirih dengan pandangan yang lurus ke langit-langit. "Bolehkan?" 

Kualihkan arah mata ini darinya sama-sama menatap atap. "Boleh." Walau rasanya tidak senang aku tidak bisa melarang. 

"Terimakasih." 

"Tidurlah." 

Naya membelakangiku lagi. Kuhela napas membuang sedikit sesak dalam dada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status