Share

BAB 3

Author: Tika Pena
last update Last Updated: 2023-10-26 20:47:29

"Iya. Menjadi istriku. Dengan begitu kamu tidak usah repot-repot membayar hutang. Aku anggap lunas." 

Naya menggeleng. Kemudian menunduk. "Jangan asal bicara." 

"Aku serius. Ayo, kita menikah." 

"Tidak!" Wajah Naya terangkat kembali. "Mas Akbar belum lama meninggal, masa iddahku juga belum habis, beraninya kamu!" 

"Aku akan tunggu setelah masa itu selesai. Kita bisa melakukan pernikahan." 

"Satu tahun terakhir hidup Mas Akbar penuh kesulitan hingga akhir hayatnya dalam keadaan susah. Kamu teman dekatnya, tau semua itu. Sekarang kamu mau mengambil sosok berharga darinya yaitu aku. Di saat kematiannya masih baru. Tega kamu!" 

"Aku ingin membantu meringankan beban Akbar. Apa itu salah? Bersamaku kamu tidak akan kesulitan lagi." 

"Tolong pergi dari sini sekarang juga." Naya membelakangiku. 

Aku menarik napas panjang. "Pikirkan baik-baik tawaranku jika tidak mau hidupmu lebih sulit lagi." Kutinggalkan ia melangkah cepat. Memasuki mobilku dan membanting pintu cukup kencang saat menutupnya. Mesin segera dinyalakan. Kulirik perempuan yang belakangan ini selalu mengisi kekosongan hati lewat spion samping.

Naya merosot duduk di lantai. Tangannya terangkat menutupi wajahnya. Bahunya terguncang. Ingin aku memeluknya. Kuku-kuku tangan memutih mencengkeram erat setir, menahan tetap diam.  

Berat hati untuk meninggalkannya, meski begitu aku harus pergi. Mobil perlahan melaju di jalan menjauhi area kompleks. Bayangan Naya yang terus kuperhatikan dari kaca kecil itu menghilang. 

***

Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan. "Silakan masuk!"

Pekerja perempuan membuka pintu. "Maaf, Pak mengganggu. Ingin mengantarkan ini." Dia menyerahkan berkas. Aku memeriksanya dan membubuhkan tanda tangan. Data laporan baik-baik saja. Perempuan itu pamit kembali setelah urusannya denganku selesai. 

Laci di bawah meja kubuka. Mengambil pigura kecil berisi poto bayi laki-laki yang tengah duduk. Aku mengusap wajahnya yang lucu dan menggemaskan. "Papa kangen. Semoga segera mendapat penggantimu dari istri Papa yang baru." 

Dalam perjalanan pulang aku teringat Naya. Kapan dia bisa menerimaku? Kami belum bisa menuntaskan kewajiban penuh satu sama lain. Aku bisa, tapi Naya membatasi diri. Menyentuhnya sulit. 

Laju mobil kupercepat di jalan yang ramai lancar. Langit sudah gelap gulita. 

Memasuki rumah hanya kesunyian yang kudapat. Rasanya seperti masih sendiri saja. Naya tidak menyambutku. Aku sadari tidak usah mengharapkan itu dulu. 

"Makan Tuan." Mbok Rum lah yang datang menghampiri dan menawariku makan. Memang dia yang biasanya ada saat aku pulang beraktivitas. 

"Ya, terimakasih. Naya sudah makan?" Dasi pada kerah aku longgarkan dan dilepas. 

"Sudah. Tapi non lebih banyak mengurung diri di kamar."

"Tidak apa-apa." Aku meninggalkan ART-ku untuk menemui Naya. 

Pintu kamar kubuka. Bibirku merekah senyum melihat istriku. Dia belum tidur. Sedang berada di atas sajadah berbalut mukena. Aku menghampiri menekuk sebelah kaki di sampingnya. Dia menyudahi membaca kitab suci mengetahui aku datang. Mushaf itu diletakkan. 

"Aku senang melihat kamu seperti ini daripada melamun." 

Naya melirikku sekilas. Tangannya meraih selembar poto yang tergeletak di depannya. Meski langsung ia sembunyikan tapi aku sempat melihatnya. Keceriaanku pudar mengetahui itu poto Akbar bersama dengannya. 

"Aku sehabis mendoakan suamiku." 

"Mantan suami, Naya. Dia bukan suami kamu lagi." 

"Dia tidak memberikku talak."

"Tapi alam kalian sudah beda. Aku suami kamu dan yang mesti kamu taati. Terima itu." 

Naya menunduk. "Aku butuh waktu. Aku sangat merindukannya." 

Aku gerah mendengarnya di saat selepas bekerja. Orang yang sudah mati itu terus dia perhatikan sebenar-benarnya, sedangkan aku yang jelas-jelas di sampingnya, memenuhi segala kebutuhan hidupnya hingga ke depan, tidak dihiraukan sama sekali. 

"Simpan poto itu. Temani aku makan." 

Naya masih diam. Poto itu malah dipeluknya di dada. Benar-benar menguji kesabaranku. "Naya dengarkan suamimu ini." 

"Memangnya kamu tidak bisa makan sendiri?" 

Dia terus beralasan. Aku meraih bahunya untuk berdiri bersamaku. "Kamu menolak menemaniku makan. Kalo begitu kamu temani aku di ranjang sekarang juga. Aku sama membutuhkannya seperti makan." Tangan Naya kutarik. Perempuan itu tampak panik. 

Naya menahan diri saat baru beberapa langkah. "Aku akan menemanimu makan." 

Pada akhirnya dia mengiyakan menemani makan dari pada menyerahkan tubuhnya. Aku sudah menduganya. 

"Lepaskan tanganmu. Aku akan melepas mukena." 

Aku melepaskan tangannya. Naya melepas mukena, aku memperhatikannya sambil duduk di tepi ranjang. Dia ternyata mengenakan gamis dan dalaman kerudung. Pemandangan yang ingin kulihat tetap tertutup. Memangnya dia tidak gerah memakai mukena tapi berpakaian lengkap? 

Tanpa sedikit pun menghiraukanku dia melipat mukena dan menyelipkan poto Akbar di tengah-tengah lipatan kain itu. Aku membuang muka karenanya. 

"Cepat Naya, aku sudah lapar." Menutupi rasa cemburuku dengan perintah.

"Sebentar." Dia menjawab santai sambil memakai jilbab langsung berukuran sedang. 

Aku berdiri. Kami ke luar kamar bersamaan. Menuruni anak tangga pun berbarengan. Hatiku menghangat bersisian dekat dengannya. Naya sedikit tersentak saat tangannya kuraih. Mengajaknya berjalan lebih cepat. Aku abaikan raut tidak nyamannya dan membiarkan bibir ini mengulum senyum. 

Aneka jenis masakan terhidang di meja. Naya mengambilkan nasi dan lauk pauknya lalu menyerahkan piring itu padaku. Dia juga menuangkan air pada gelas. Aku menyantap makanan setelah sedikit meneguk minum. Naya hanya diam. "Kamu gak ikut makan?"

"Masih kenyang."

"Makan kapan?"

"Jam lima sore tadi."

"Makan lagi aja sekarang, baru jam delapan." 

"Aku tidak mau gendut." 

Aku tertawa kecil disela-sela mengunyah. "Nanti juga tubuh kamu sedikit lebar kalau sudah punya anak dariku." 

Naya tampak tidak senang mendengar perkataanku. Wajahnya masam. Mungkin dia tidak suka membayangkan proses pembuatan anak bersamaku. 

"Suami lagi makan jangan dicemberutin dong." Dia lalu bersikap biasa kembali. 

"Aku senang bisa makan malam bersamamu." Dia melirikku. Aku mengulum senyum tipis dan melanjutkan makan.

Makan malam telah selesai. Aku dan Naya sudah berada dalam kamar. Guling berada di tengah-tengah sebagai pembatas. Naya yang menginginkan ini. Posisi perempuan itu membelakangiku. Mataku dipejamkan, tidak lama terbuka lagi merasakan pergerakan di ranjang. Aku melirik istriku yang kini telentang sama sepertiku. 

"Besok, aku ingin mengunjungi makam Mas Akbar." Naya berkata lirih dengan pandangan yang lurus ke langit-langit. "Bolehkan?" 

Kualihkan arah mata ini darinya sama-sama menatap atap. "Boleh." Walau rasanya tidak senang aku tidak bisa melarang. 

"Terimakasih." 

"Tidurlah." 

Naya membelakangiku lagi. Kuhela napas membuang sedikit sesak dalam dada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 37

    Suaranya ...."Evelyn?" "Ya, sayang. Ini aku." Keterkejutanku berusaha dinetralkan. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu? Dia akhirnya menghubungiku juga. Aku berdehem pelan, sebisa mungkin tenang. "Ada apa?" "Tumben gak marah atau ngelarang saat kutelfon?" Sengaja kutanya baik-baik. "Ada perlu apa, Eve?" Kuulangi lagi pertanyaan itu ketimbang menanggapi keheranannya."Cuma kangen." "Mau ketemu?" "Ap-appa?" Dia tergagap pelan seperti tak menyangka. "Kalau gak mau yaudah." "Mau dong!" Sudut bibirku tersenyum miring. Perempuan itu perlu sedikit dibaiki. Memang maunya bertemu.Kami memutuskan dinner privat room. Hanya aku berdua dengannya. Evelyn tampak sumringah. Dia makan dengan lahap. Sedikit aneh, bukankah perempuan hamil di trimester pertama tidak selera makan? Aku tidak mau mempedulikan itu, mencoba tersenyum sambil mengiris steak sapi dan memakannya perlahan. "Kamu kangen juga sama aku kan?" Evelyn meminum air di gelas ramping berkaki satu. Makanannya sudah tandas. Kemudi

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 36

    Aku dan mama mengintip dari balik pintu yang membuka sedikit, melihat Naya bersama seorang psikolog perempuan. Mereka duduk berhadapan. Entah mendapat pertanyaan apa, istriku menggeleng pelan sambil menunduk dalam. "Sudah, biarkan saja." Mama mengajak pergi. Aku mengikutinya. "Semoga konsultasi sama psikolog itu bisa membantu." Aku pun berharap begitu. Kami duduk tidak jauh dari kamar Naya berada. Menanti Psikolog itu selesai. Ingin mengetahui bagaimana hasilnya. "Semalam kamu habis dari mana, pulang malam sekali?""Ada perlu." "Kamu jangan lama-lama meninggalkan istrimu.""Untuk kebaikan Naya kok." Aku tersenyum ingat wajah takut Firman. Tidak mungkin aku senekat itu untuk melukai. Ternyata baru digertak begitu saja dia sudah kalah. "Gue belum kawin. Lo jangan apa-apain otong guee." Dia terus merengek saat aku tidak lantas menjauh dari bawahnya. "Gue bilang gue bakal ngaku!" Ingin menyemburkan tawa, tapi kutahan. Tetap memasang wajah serius, guna bisa mendapatkan info dariny

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 35

    "Ya ampun, Tuan. Wajah Tuan kenapa?" Mbok Rum tampak panik saat membukakan pintu rumah."Awas, Mbok." Tidak menjawabnya langsung menerobos masuk membawa Naya digendongan tanganku."Ya ampun, Non Naya." Dia mengikut di belakang. Tangis Gathan terdengar, seakan ingin menyambut kedatangan mamanya. Tangis bahagia atau sedih, entah. Mungkin dua-duanya. "Urusi Gathan.""Ya, Tuan." Langkah Simbok yang ingin memasuki kamar bersamaku berputar arah. Di tempat tidur kubaringkan Naya langsung menyelimutinya. Meraba keningnya yang hangat. Dia demam. "Nay?" Dia tidak terusik. Apa aku harus hubungi dokter? Terdiam sejenak mempertimbangkan. Baiknya dikompres saja dulu mengingat waktu yang tidak memungkinkan. Aku keluar lagi untuk menyiapkan kompresan. Gathan sudah tidak rewel di tangan Simbok. Kembali ke kamar membawa wadah berisi air dan handuk kecil. Kain itu kuperas menempelkannya di kening Naya. Dia harus makan dan minum obat saat sudah bangun. Aku terdiam sesudahnya. Sudut bibirku perih.

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 34

    Evelyn. Pasti dari dia. Mencoba menghubungi tapi nomornya sudah tidak aktif. Jika tahu akan ada pesan masuk darinya, tidak akan diberikan pada Naya. Akan kuperiksa lebih dulu. Ceroboh lagi. "Astaghfirullah, ya Allah ...." Naya luruh di lantai. Memegangi dada tersedu-sedu. "Sakit sekali."Aku harus bagaimana? "Nay?" Terpaksa mendekati dia lagi. "Aku bersumpah itu bukan anakku." "Tapi kamu sudah berzina dengannya."Kupeluk dirinya. Dia terus tersedu-sedu. Wajahnya kuangkat menyeka linangan air mata wujud sakit hati yang kembali menggelora. Mata indah itu terpejam tapi terus mengeluarkan cairan. "Akan aku buktikan semuanya." Membenamkan wajah itu kembali di dada. Menangislah sepuas hatimu. Mau memukulku juga tidak apa. Aku siap. Pantas menerima itu. Entah lelah atau terlalu larut dalam kesedihan Naya diam saja. Masih dalam keadaan terisak aku menggendongnya memindahkan di tempat tidur. Bantal yang berserak kuambil meletakkan di bawah kepalanya. Juga menutupi dengan selimut. Dia me

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 33

    "Aku gak ngapa-ngapain kamu.""Pergi!""Tenang, Naya."Dia terus menggeleng-geleng sambil mempertahankan selimut menutupi dadanya. "Pergi, kamu." Dia melempar bantal. Dada yang tertutup melorot lagi. Aku memungut benda itu di lantai setelah mengenaiku. Meletakkan kembali di kasur. Naya beranjak turun membawa selimut. "Kamu mau ke mana, jangan pergi, Nay!" "Enggaa!" Dia berjalan tergesa menuju pintu. Aku mengejar. Dia keburu sudah membukanya. Tertegun saat didapatinya mama berdiri di depan."Ada apa?" Mama bertanya panik. Naya terisak. "Kenapa Naya?""Dia mau memperkosaku ...." Tangannya menunjuk ke belakang. Ke arahku. Mama seketika melotot padaku. Aku menggeleng tersudut. Istriku menyusut duduk di lantai. Selimutnya sedikit melorot menampakan separuh dada. Mama melihat itu. "Sendy." Mama bergumam geram. "Sudah mama peringatkan kenapa begitu lagi?!" "Salah paham, Ma.""Salah paham apa? Pasti kamu yang sudah buka bajunya, iya?!" "Engga, Ma." "Tidak ada gunanya menyangkal."

  • MENJADI SUAMI PENGGANTI   BAB 32

    "Tolong ke sini, Ma.""Naya sudah sadar?""Mama cepat ke sini.""Iya, iya, mama akan segera ke sana. Lagi kasih Gathan susu ini.""Kasih ke Mbok Rum.""Iyaa."Telepon bersama mama kumatikan. Mengusap wajah gusar sesudahnya. Naya bersama perawat sedang ditenangkan di dalam. Dia menjerit dan marah-marah. Sama sekali tidak mau kudekati. "Enggaa. Bajingan. Biadab. Pergi kamuu!" Dia mengusirku saat mengajaknya ke luar dari kamar mandi. Melemparkan apa yang ada di dekatnya. Aku terpaksa membiarkannya dulu. Memanggil perawat melalui interkom yang ada. Tidak lama perawat perempuan datang menghampiri Naya membujuknya. Sedangkan aku diperintahkan ke luar dulu. Aku hanya diam di luar tidak berani masuk juga tidak ingin pergi. "Kenapa, Sen?" "Ma." Aku lekas berdiri setelah menunggunya cukup lama. "Naya sudah sadar?""Iya, sudah lumayan lama.""Kok baru kasih tau mama.""Maaf." "Kok kamu gak menemani, kenapa dibiarkan sendiri?""Naya gak mau kutemani. Dia marah tau apa yang kulakukan padany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status