Share

MENJADI SUAMI PENGGANTI
MENJADI SUAMI PENGGANTI
Penulis: Tika Pena

BAB 1

Satu persatu anggota keluarga berpamitan pulang saat malam menjelang. Aku mengantar Mama dan adik-adik ke luar rumah. 

"Mama pulang dulu, ya." 

"Ya, Ma."

"Aku juga, Kak. Selamat menikmati belah duren." Adik perempuan paling muda mengerling menggoda lalu melangkah cepat lebih dulu ke mobil. Aku tersenyum kecil sedikit tersipu mendengarnya. 

"Semoga pernikahan kamu yang sudah berlangsung bisa langgeng." Adik perempuan paling besar juga pamit.

"Yuk, Sayang, pulang. Kita takut ganggu kalau menginap di sini." Dia pergi menggandeng tangan suaminya.

"Seperti kata mereka, Mama juga takut mengganggu kenyamanan kalian kalau di sini."

"Gak bakal kok, Ma."

"Nanti mama ke sini lagi deh." 

Mama menyusul adik-adikku masuk dalam mobil. Mereka melambaikan tangan dari kaca jendela sebelum pergi dibawa sopir.

Disusul satu mobil lain berisi masih kerabat mengikuti di belakangnya, mereka sama melambaikan tangan padaku. Aku membalas lambaian tangan semuanya. 

"Gue juga pamit." Sepupu laki-laki yang ikut hadir dalam acara di rumah ini menepuk bahu. 

"Makasi udah nyempetin hadir. Menyaksikan acara sakral gue."

"Sama-sama. Akhirnya setelah sekian lama lo sendiri ada temennya." 

"Udah sana kalo mau pulang."

"Iyaa. Kagak sabaran amat pengen gue cepet-cepet pergi." 

Laki-laki itu pun berlalu mengendarai mobilnya paling terakhir ke luar gerbang. Bapak penghulu dan wali pasanganku sudah pamit lebih dulu karena ada urusan lain. 

Pintu rumah kututup. Berjalan pelan seraya mengamati sekitar. Hening. Hanya ada pembantu perempuan yang beres-beres. Aku tak begitu mempedulikan terus melangkah.

Menapaki lantai dua setelah melewati tangga. 

Bibirku merekah senyum saat memasuki kamar pengantin yang sudah dirias indah dan rapi. Di sana di ujung tempat tidur perempuan yang hari ini resmi menjadi istriku tengah duduk. Pelan kuhampiri ikut duduk di sisinya. 

"Sayang." 

"Jangan sentuh aku!" Dia menepis tanganku yang baru menyentuh kepalanya. Gerakan kasar itu melenyapkan senyum di bibirku hingga tak tersisa. 

Perempuan itu menatap tak suka. Wajahnya berubah masam. Keramahan yang dia tunjukkan saat masih ramai orang sirna. "Puas Kamu?"

Aku menghela napas mendengar tanyanya. Sejenak berpaling lalu menjawab. "Ya. Aku puas sekali."

"Egois. Memaksa orang lain menikah dan menjebaknya." 

Perempuan itu berdiri. Aku juga. "Ini semua takdir." 

Dia mendengkus. "Takdir yang disengaja." 

Aku tak mau kalah untuk menjawabnya. "Tak ada salahnya. Aku mencintaimu."

"Tapi aku tidak!" Sungguh kata-kata yang tidak aku suka. Aku sudah menyadari akan resiko seperti ini sebelum menikahinya. 

"Kamu sudah membuat orang lain celaka, kemudian menjebaknya dengan hutang setelah kematiannya. Kamu memaksa pasangan orang itu untuk mau menikah denganmu dengan alasan pembebasan hutang tersebut. Dan setelah semua itu kamu tidak merasa bersalah? Picik."  

"Kecelakaan itu bukan sengaja olehku, Naya." Aku harus berulang kali menjelaskan ini. "Akbar mengalami hal tragis itu sudah ketentuan Tuhan." Akbar adalah kekasih hati perempuan ini. Dia temanku. 

"Kalau kamu tidak menyuruhnya untuk menemuimu Mas Akbar tidak akan kecelakaan." Mata Naya berkaca-kaca, dia teringat belahan jiwanya yang telah pergi selamanya ke alam lain. 

"Aku menyuruhnya juga untuk pekerjaan. Bukan sesuatu tak jelas." 

Istriku itu menangis. Bendungan di pelupuk matanya menetes-netes di pipi. Dia menunduk dan kembali duduk. Aku pun mendekatinya lagi. Tidak ingin Naya terlalu larut dalam nelangsa. Kuusap pelan bahunya. Tak kaget saat dia menepisnya lagi. 

"Aku membencimu, Sendy." Dia tidak memanggilku Mas seperti kepada Akbar. Bahkan terang-terangan menyatakan ketidak sukaannya. 

"Kamu tidak hanya menjadi penyebab Mas Akbar meninggal. Tapi, sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kamu paksa orang yang sudah tiada melunasi hutang segera. Aku sudah memintamu untuk memberi waktu lebih. Tapi kamu tidak mau dan memintaku sebagai ganti rugi. Kamu mengancam aku!" Berapi-api dia sampaikan unek-uneknya setelah beberapa waktu memendamnya. 

"Aku minta maaf. Semua itu kulakukan karena aku menyayangimu."

"Apapun. Aku tetap tidak menyukaimu. Kamu sudah memisahkan aku dengan orang yang selama hidupnya kukenal baik. Baru empat bulan berpisah dengannya kamu paksa aku menikah denganmu. Tanah makamnya pun masih merah. Kamu keterlaluan." 

"Aku tidak mau kamu didekati laki-laki lain. Sebelum itu terjadi aku harus lebih dulu mendapatkanmu."

"Suasana hatiku masih berkabung. Tidak terbesit dalam diriku mencari pengganti. Mas Akbar tak akan kulupakan." Sakit rasanya mendengar itu, tapi aku tidak membalas perkataannya.

Aku pikir Naya tidak akan terlalu begini. Aku laki-laki menarik dan berkecukupan. Dia tidak luluh sedikit pun. Peristiwa yang menimpa Akbar terus diungkit-ungkitnya. Baginya aku tak ubahnya tokoh antagonis.

"Jangan berharap aku mau menemani malam pertamamu!" Naya bangkit kembali. Melangkah tergesa ke pintu tanpa mempedulikanku. Aku lekas mengejarnya. Menghentikan tangannya yang hendak menyentuh hendel pintu itu.

"Mau ke mana kamu?" Aku tidak ingin pengantinku kabur.

"Aku tidak ingin bersamamu."

"Aku ini suamimu. Kamu tidak boleh pergi tanpa seijinku." 

"Aku ingin menenangkan diri."

"Di sini saja. Tidak perlu ke luar kamar." 

"Aku tidak mau dekat-dekat denganmu, Sendy." Dia berusaha menolak. Dadaku di dorongnya. Naya kukuh ingin membuka pintu. Aku cepat membalikkan tubuhnya menghadapku lagi.

"Jangan belagu, Naya!" Dia terdiam setelah mendengar nada bicaraku yang tinggi. "Kamu itu janda. Beruntung aku menikahimu dan membebaskanmu dari lilitan hutang. Hargai aku sebagai suamimu yang sekarang."

Bibirnya bergetar dengan mata kembali berkaca-kaca. Naya tidak langsung menimpaliku kini. Bagus, aku harus mengingatkannya lagi. "Beruntung Akbar memiliki hutang padaku. Jika pada orang lain kamu mungkin akan menemui nasib buruk akibat hutang itu. Tapi denganku kamu hanya perlu menurut dan jadi istriku yang baik." 

Air matanya luruh kembali. Tumpahkan saja sepuasnya. Asal setelah itu hatimu menjadi lebih baik. Aku menyeka lembut pipinya yang basah. "Ayo, tidur." Dia menggeleng. "Kamu tidak mau melayaniku?"

"Kalau kamu mencintaiku harusnya kamu bisa memberiku waktu." 

"Aku hanya mengajak." 

"Aku tidak bisa." 

Aku menarik napas menahan gusar yang melanda. "Apa kamu tidak tertarik untuk membuktikan kamu tidak mandul?" Kalimat itu ke luar dari mulutku begitu saja. Merasa bagai senjata. 

"Apa maksudmu?" Naya menyahut cepat dengan tatapan tajam.

"Selama empat tahun bersama Akbar kamu belum memiliki keturunan. Orang menyangka kamu perempuan mandul. Tapi, aku tau siapa sebenarnya yang mengalami gangguan. Akbar yang mandul."

"Jangan so tau."

"Akbar sendiri yang bercerita padaku tentang hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan dia tidak subur. Apa kamu tidak diberi tahu?" 

Naya diam. Wajah bingungnya menandakan dia memang tidak tahu. Akbar merahasiakannya dan tidak ingin istrinya kecewa. Tapi malam ini, aku membongkarnya dengan terpaksa.

"Akbar membawamu pada kehidupan yang susah. Ditambah dia ternyata tidak bisa memberi keturunan. Laki-itu tak berguna meski hidup."

Naya segera menamparku hingga wajah ini menyamping. "Lancang mulut kamu." 

Tanganku mengusap pipi yang terasa panas. Tak kusangka perempuan yang selama ini kulihat alim dan baik berani melakukan kekerasan itu.

Aku menarik kencang tangannya, membawa paksa dirinya mendekati ranjang. Tubuhnya yang berbalut longdress putih dengan warna hijab senada, terseok-seok mengikuti langkah besarku.

"Tidak. Jangan!" 

Aku tidak mempedulikannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status