Kami hampir saja ketinggan kapal. Berlari sepanjang pelabuhan menuju kapal untuk mengejarnya. Tanpa kusadari Gus Nadzim menggandeng tanganku selama kami berlarian.
Aku baru menyadarinya ketika masuk pintu kapal. Sejujurnya, ada hawa aneh yang menentramkan menjalari hati saat ia menggandengku. Namun aku sadar, dia bukan milikku. Maka kukendurkan pegangan tangannya. Ia meminta maaf.
Saat kuletakkan pouch bagku di bawah televisi di ruang penumpang, kalung tasbihku menjuntai keluar dan sempat ia perhatikan. Cepat-cepat kumasukkan kembali kalung tasbih itu kedalam blouseku.
Ia juga sempat memperhatikan gelang Kokka dan gelang cangkang kura-kura yang masih melingkar di lengan kiriku. Aku merutuki diri.
Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman. Ia memesan dua kopi hitam. Kopi hitam manis untuknya dan satu kopi pahit untukku.
Ia mulai mempertanyakan ke mana saja aku setelah insiden di warung padang siang itu. Ia seakan menyalahkanku karena telah meninggalkannya.
Aku ingin marah mendengar ia mengucapkan itu. Bukankah ia yang sudah meninggalkanku. Membuatku kehilangan orientasi hidup. Aku bahkan tak sekadar seperti layangan putus ketika ia mengatakan diminta menikah dengan sepupunya yang bernama Ning Adiba, tapi lebih dari itu. Aku seperti layangan putus yang sudah compang-camping.
"Tahukah kamu, satu hari setelah siang itu, aku mencarimu ke pesantren. Katanya, malam kamu sudah boyong. Lalu aku ke basecamp, teman-teman di sana
tidak ada yang tahu kamu di mana. Nomor ponselmu tak bisa dihubungi. Aku tak tahu di mana rumahmu karena kamu tak pernah izinkan aku kesana," katanya."Aku mencarimu ke mana-mana seperti orang gila. Aku tanya semua temanmu yang aku kenal, tapi tetap saja kamu tak kutemukan. Kamu seperti hilang ditelan bumi. Seandainya saja waktu itu kamu tidak menghilang begitu saja, cerita kita tak akan seperti ini," katanya lagi.
Aku benci mendengar ia mengucapkan itu, seolah ia yang paling terluka dan menderita.
Setelah siang itu, aku memang segera mengambil keputusan. Menutup semua kenangan bersamanya dengan menutup semua celah hadirnya kembali kenangan-kenangan itu. Satu-satunya jalan adalah pergi meninggalkan kota Semarang yang hampir lima tahun telah merangkai cerita hidupku, dimana Gus Nadzim selalu menjadi pernik-pernik pemanisnya. Memutuskan kontak dengannya dan orang-orang terdekatnya adalah jurus paling efektif.
Aku bahkan mengabaikan impian Abah, melihatku menjadi seorang guru. Aku segera mengundurkan diri dari madrasah, meninggalkan pesantren, dan pergi dari Semarang. Karena aku sadar, aku harus melanjutkan hidup.
Aku mencintainya hanya karena Allah. Berharap punya suami yang akan bersama-sama menuju kesejatian cinta pada sang pemilik cinta. Namun, ketika pemilik cinta memisahkan kami dengan takdir perjodohan itu, maka aku harus memberikan alasan pada diriku sendiri agar ikhlas menerimanya.
Aku tak mau ada penyesalan, namun kenyataannya sangat sakit ketika kembali bertemu. Karena ternyata rasa bersemayam di atas logika.
"Cukup, Gus! Cukup! Tidak ada yang perlu kita sesali. Terima saja takdir kita dengan ikhlas. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita. Sekarang kita punya kehidupan masing-masing." Kutekan nada suaraku supaya tak bergetar.
Aku tak mampu lagi membendung debit rasa dalam dadaku. Air mataku satu persatu jatuh. Akhirnya tangisku pecah sampai bahuku terguncang.
***
Aku bergegas menuju ruang perawatan VIP, kamar nomor satu satu dua. namun hatiku menjadi tenang ketika kulihat kondisi Avverous sudah mulai membaik.
Ia segera memeluk dan menciumku begitu melihat aku datang. Ia memang anak yang mandiri meskipun baru kelas satu Madrasah Ibtidaiyah.
Gus
Nadzim yang mengikuti di belakangku dipersilahkan duduk oleh ibu di Sofa yang berada di ujung ranjang. Ibu cukup kaget ketika GusNadzim kuperkenalkan padanya. Selama itu, aku memang belum pernah memperkenalkan Gus Nadzim pada keluargaku. Namun ibu tahu nama itulah yang telah membuat duniaku jungkir balik.Ibu menarikku keluar kamar. Dengan penuh kekhawatiran ia menanyakan bagaimana kami bisa bertemu.
"Sudah, pekerjaanmu yang di Karimunjawa itu biar ditangani Adlina. Kamu urus yang di sini saja. Ibu tidak mau terjadi apa-apa lagi padamu," kata ibu khawatir.
Sambil kupegang bahu ibu, kuyakinkan bahwa tak akan terjadi apa-apa.
"Percayalah padaku, Bu. Aku baik-baik saja. Aku sudah lama mengikhlaskannya. Sekarang kami punya kehidupan masing-masing," kataku.
"Tapi bagaimana jika ia memintamu kembali untuk jadi istrinya. Kenyataannya, kamu masih mencintainya, dan ia juga masih mencintaimu. Ibu bisa melihat dari cara dia menatapmu, Cha."
"Ibu. Aku tak mau diduakan. Aku juga tak mau membuat perempuan lain diduakan. Aku tak mau menyakiti hati perempuan lain." Aku sampai menekan-nekan kalimatku untuk meyakinkan ibu.
Untunglah Salsa datang bersama Aya sehingga ibu tak perlu melanjutkan ceramahnya. Salsa langsung menghambur ketika melihatku. Memeluk dan menciumiku dan kubalas dengan perlakuan yang sama.
***
Pertemuan kami dengan Bu Umma tak ada kendala berarti. Semua detail konsep sudah disiapkan tim dalam materi presentasi.
Selesai rapat dengan Bu Umma, kami kembali ke rumah sakit. Menyelesaikan administrasi dan membawa Ave pulang ke rumah.
Aku meminta Pak Gatot mengantar Gus Nadzim ke hotel dulu, tetapi ibu melarang.
"Pulang tetombo tidak baik mampir-mampir. Kita langsung pulang saja, nanti baru antar Gus e ke hotel," kata ibu.
Itulah pertama kalinya Gus Nadzim ke rumahku. Selama ini aku melarangnya, karena menjaga nama baik Abah. Meskipun Abah bukan kyai besar tapi beliau sering memberikan ceramah di masjid, musala, jamiyah pengajian, dan sebagainya. Aku tidak mau masyarakat melecehkan beliau karena ulahku. Pasti sakit rasanya jika ada jamaah yang bilang sarung plekat didondomi, iso nasehat ra iso nglakoni.
Malam ini Abah ada jadwal memberi ceramah pada Peringatan Maulid Nabi di Desa Kedungsari yang jaraknya cukup jauh dari rumah kami. Turun dari musala selesai salat magrib tadi, Abah langsung ke rumah Ruly, salah seorang tetangga yang rumahnya di ujung gang untuk membacakan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al Jaelani.
Pak Gatot disuruh langsung ke rumah Ruly. Selesai pembacaan manaqib mau langsung ke tempat pengajian. Karena desanya cukup jauh dan medannya berat. Begitu pesan Abah pada Bulek Nana yang rumahnya berada di sebelah rumah kami.
Akhirnya aku sendiri yang mengantar Gus Nadzim ke hotel. Ia mengambil alih kemudi, sementara aku duduk di kursi sampingnya. Ia cukup hafal jalanan Kudus, karena masa sekolahnya dihabiskan di Kudus.
Ia tinggal di Kudus sejak belajar di salah satu madrasah tsanawiyah khusus laki-laki, berlanjut sampai madrasah aliyah. Sekaligus mondok di pesantren salaf tertua di Kudus. Meskipun begitu, kami baru saling kenal saat sama-sama kuliah di Semarang.
Ia melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Matanya tajam menatap ke jalanan. Setiap malam jumat seperti ini, jalanan di Kudus macet oleh orang-orang yang berlalu lalang ziarah ke makam Sunan Kudus.
Rasanya nyaman sekali duduk di sampingnya. Seandainya suasana ini bisa kurasai setiap saat, betapa bahagianya aku. Tetapi sayang, itu hanya impian kosong.
Aku menarik napas dalam. Merasai oksigen menjalar ke seluruh rongga-rongga sel tubuhku. Kuperhatikan Gus Nadzim yang duduk di belakang kemudi. Hidung greeks yang bangir. Kumis dan jambang yang mulai tumbuh. Kulit bersih dan selalu basah oleh air wudu.
Ia menoleh ke arahku. Tersenyum simpul. Aku tersipu, kurasakan wajahku memanas. Malu karena ketahuan telah mencuri pandang padanya.
Ia meminggirkan mobil di depan Yayasan Menara Kudus.
"Kita ziarah dulu. Aku sudah lama tidak sowan Mbah Sunan," katanya sambil menarik handle handrem.
"Aku juga ingin ke sini bersamamu sebagai sahabat. Supaya kenangan kita dulu tertindih kenangan yang baru," katanya lagi sambil membuka pintu mobil.
Ia benar. Harus ada kenangan lain agar kenangan bersamanya dulu tak mendominasi alam bawah sadarku.
Kami menuju makam Sunan Kudus melalui lorong sempit yang diapit rumah-rumah bertembok tinggi khas bangunan Kudus Kulon. Sesampainya di Tajug, kami mengambil air wudu di bak besar yang airnya bersumber dari Sumur Panguripan Menara.
Sebelum ke makam Sunan Kudus, kami ziarah dulu ke makam Kyai Haji Raden Asnawi salah satu tokoh Komite Hijaz dan salah satu pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang masih dalam satu kompleks makam.
Saat ziarah ke makam Sunan Kudus, kami mengambil tempat duduk di Sebelah selatan makam, persis di bawah tangga masuk makam. Selesai membaca yasin, tahlil, dan doa, Gus Nadzim masih larut dalam tafakurnya. Entah doa-doa apalagi yang ia lantunkan. Aku ingin mengintip doa-doa itu. Adakah namaku disebut di sana.
Ia menoleh padaku, tersenyum dan berkata,
"Kita cari martabak telor mini, yuk."
Masih ingat saja ia dengan kebiasaanku. Aku tersenyum dan beranjak.
Kupejamkan mata sesampainya kami di depan tangga menara yang gerbangnya tertutup. Di sinilah dulu kami pertama kali membuat komitmen bersama. Malam ini kami datang bersama kembali dengan status yang berbeda.
Dering ponselku menyadarkanku. Aku terkejut melihat kode negara nomor telepon yang terpampang di layar ponselku.
"Yasser?" Pekikku tertahan.
Gus Nadzim memandangku penuh selidik.
***
TatapanGusNadzim yang penuh selidik membuatku urung mengusap layar ponselku untuk menerima panggilan. "Diterima saja," kataGusNadzim. Aku menjadi tidak enak hati. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Halo Chacha," kata suara riang dari seberang. Hanya ada satu orang yang memanggilku Chacha, yaitu Yasser Syathibi. Suaranya tambah renyah begitu kusambut sapaannya. "Aku kangen Indonesia. Di sini sepi, tidak ada celotehmu. Tidak ada yang ngomel-ngomel kalau aku menunda salat. Tidak ada yang marah-marah kalau aku tidak ikut Jumatan. Tidak ada yang menyuruhku puasa aneh-aneh." Puasa aneh-aneh yang dimaksud itu puasa-puasa sunah selain puasa Senin dan Kamis. Aku tersenyum. "Aku akan segera balik ke Indonesia. Aku akan melamarmu, membawamu ke sini, dan beranak pinak supaya aku tidak kesepian lagi." Yasser masih mengoceh, namun aku sudah tidak konsen mendengarnya. KulihatGus&nbs
Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama. Aku tak begitu mempedulikanGusNadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalahpartnerkerja. Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya. Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah m
Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pinturesort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotesGusNadzim melalui tatapan mataku. "Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayananresortkami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus." "Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku. "Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas. Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karenaGusNadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayanresortmenemuiGusNadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri. "Nisa
"Adiba," katanya sambil menjabat tanganku. "Aricha." Ning Adiba sedikit kaget mendengar aku menyebutkan namaku. "NingIcha?" tanyanya. Aku mengangguk lesu. "KokNingIcha lebih cantik dari yang duluGus eceritakan?" Kaget mendengar ucapanNingAdiba, spontan aku mendongak ke arahGusNadzim, ia tersenyum sambil memainkan anak rambutGusFatih. "Kemarin waktu ketemu, aku juga kaget. Dulu, dia aktifis yang sering lupa mandi dan tidak pernah sempat pakai bedak," kataGusNadzim. Mereka berdua tersenyum. Merasa jadi olok-olokan mereka berdua, maka aku pun pamit undur diri. "Maaf, saya ke kamar dulu," pamitku. Adlina yang tidak memahami situasinya terlihat bingung. "Biar Adlina saja yang mengantarku," kataku saatGusNadzim bersiap mendorong kursi rodaku. "Nisa tidak perlu menemaniku. Adlina akan tidur di kamarku," lanjutku.
GusNadzim,NingAdiba, danGusFatih sampai di area parkir mobil setelah lebih dari seperempat jam kami menunggu.NingAdiba terlihat sangat cantik dengan baju tunik panjang warna coklat kopi dengan celana bahan warna hitam serta kerudung senada warna baju. SementaraGusNadzim juga terlihat sangat tampan dengankosekylinhitam danmansetpendek warna hitam dibalut cardigan kesayangannya. Benar-benar pasangan yang serasi, batinku. NingAdiba selalu menyapaku ramah. Tidak ada ekspresi kebencian ataupun kecemburuan di raut mukanya. Padahal jika menilik dari kata-katanya saat pertama kali bertemu,GusNadzim sudah banyak menceritakan tentang diriku padanya. Sikap manisNingAdiba justru semakin menyesakkan dada. Aku membuang napas cukup keras untuk sekedar melonggarkan himpitan di rongga dada. Adlina menoleh padaku, matanya penuh selidik. Aku terse
SaatGusNadzim masuk ruang praktek Dokter Guntur untuk menemaniNingAdiba, aku pamit pada Adlina untuk sekedar mencari udara segar di sekitar alun-alun dan memintanya untuk tidak menungguku. Sebuahcafekecil di salah satu ujung jalan yang mengarah ke alun-alun cukup menarik hatiku. Suasana rindang dari sulurmillion heartsmenghadirkan suasana kesejukan desa yang damai membawa kakiku memasukicafeitu. Daun yang kaku dan tebal serta berbentuk hati itu menempel pada rancangan kawat membentuk pagar menggantung di bawah atapcafe. Tanaman Terang Bulan dengan corak warna daun hijau muda yang lembut menyambutku di kiri kanan pintu masukcafe. Sementara di sudut-sudutcafe, dinding dalam maupun luarcafejuga banyak tergantung berbagai jenis tanaman sulur yang tertata sangatapik.Dischidia Gerimenjun
Sebuah suara yang sangat kukenal membuatku dan Adlina melepaskan pelukan kami. Seorang laki-laki yang tidak kalah ganteng dengan Chicco Jerikho telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum memperlihatkan gigi putih dan lesung pipitnya. "Yasser?" pekikku. "Bagaimana kamu tahu kalau aku menginap diresortini?" tanyaku heran. Sementara yang ditanya hanya cengar-cengir. Ia kemudian duduk tanpa menunggu kupersilakan. "Karimunjawa itu sempit,Say. Cari kamu di sini sangat mudah. Tidak usah heran," katanya. Tangannya kemudian melambai, dan tidak berapa lama seorang pramusaji datang mencatat pesanannya. "Siapa lagi, Cha?" tanya Adlina. Matanya membola. Aku meringis. "Oh ya. Kenalkan, Ini Adlina. Sepupu sekaligus sahabat terbaikku." Aku memperkenalkan Adlina pada Yasser, begitu juga sebaliknya. "Ini Yasser, temanku selama kuliah magister di Jogja." "Sekaligus keranjang sampahnya," selanya. Aku sudah
Rony memberitahuku jikaGusThoha sudah menungguku di Gazebo dekat musala. Setelah memastikan kenyamanan Aricha malam ini, aku menemuiGusThoha. GusThoha adalah salah satu teman sekaligus seniorku sewaktunyantridi Kudus. Dulu ia sangat terkenalmbeling.Tapi saat itu aku lebih suka menyebutnyaJadzab. Aku berkeyakinan suatu saat ia pasti akan kembali ke jalan perjuangan yang sudah dirintis kakek buyutnya. Ia masih keturunan salah satu kyai besar di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Kami berpisah sejakGusThoha lulus madrasah aliyah, lalu tiba-tiba datang menemuiku setelah bermimpi mati dan disiksa dalam kubur. Dalam mimpinya, ia bertemu kakeknya yang memintanya datang ke pesantren kami. Sejak saat itu, ia curahkan seluruh hidupnya untuk pesantren kami, dan oleh Abah ia diminta mengelola pesantren yang di Karimunjawa bersamaku. "Assalamu'alaikum,