Share

Memagut Bayangan

Aku membaca jadwal acaraku hari ini di whiteboard yang menggantung di samping pintu ruang kantor. Pagi sampai siang acara selapanan di pesantren, dilanjutkan pertemuan wali santri. Pukul tiga sore memberi materi Workshop Packaging produk UMKM kepada ibu-ibu di pulau Parang. Habis Maghrib rapat bersama EO persiapan resepsi pernikahan.

Zaenal kuminta menjadwal ulang rapat dengan EO melalui LAN telepon. Menurut perkiraanku, habis magrib belum bisa sampai resort sebab jarak Pulau Parang cukup jauh. Perjalanan dari pulau Parang ke resort butuh waktu sekitar tiga setengah jam.

Zaenal masuk ruanganku dan menyerahkan setumpuk berkas rencana resepsi pernikahan yang akan kami kerjakan bersama.

"Aricha Event Planner and Organizer," kataku mengeja proposal kerjasama yang disodorkan Zaenal.

"Ya gus. Itu nama EO yang akan bekerjasama dengan kita untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan putri Bu Umma, salah satu pemilik kerajinan batik terbesar di Kudus."

Bukan soal isi kerjasama yang membuatku mengernyit, tetapi mengeja nama EO itu melahirkan harapan baru. Aku sangat berharap nama itu milik Aricha kekasihku.

Aricha Rochana Quds, perempuan pertama yang meruntuhkan kepercayaanku bahwa perempuan Kudus itu pelit dan matrealistis. 

Aku biasa memanggilnya Ning Icha, ia perempuan supel yang cukup cerdas di antara kader perempuan lainnya. Pertama kali mengenalnya karena kekonyolannya memintaku memperkenalkan diri kembali saat memberi materi Wawasan Kebangsaan di acara Mapaba. Padahal dia yang telah melewatkan acara perkenalan karena mengikuti seleksi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusannya terlebih dahulu. Karena peristiwa itu aku lebih mudah mengingatnya.

Selain dia lebih menonjol di antara kader lainnya karena keberaniannya mengungkapkan pendapat-pendapatnya, selalu menguasai forum saat mengikuti pelatihan maupun diskusi, dia juga cukup menarik.

Dia memiliki kecantikan sempurna. Tinggi badan sekitar seratus enam puluh meter. Berat badannya proporsional. Kulit putih bersih. Memiliki bentuk hidung The Duchess Nose seperti hidung Kate Middleton yang lurus dan sempurna. Mata agak sipit. Bibir penuh dengan garis tegas. Ia memiliki dagu yang sedikit menonjol keluar. Senyumnya membuat lelaki manapun bertekuk lutut padanya. Namun bukan itu yang membuatku tergila-gila padanya.

Inner beauty yang kuat, kecerdasannya, empati yang besar, dan sifat asah asih asuhnya yang di atas rata-rata membuat hatiku terpenjara olehnya.

Sedikit keras kepala, tegas, namun hangat. Empatinya yang besar pada siapa saja sering membuat laki-laki yang dekat dengannya salah mengartikan dan akhirnya patah hati. Hatinya susah ditaklukkan oleh kebanyakan lelaki.

Membayangkan wajah ayu dan senyuman khasnya membuatku sangat ingin segera bertemu dengan pemilik Aricha Event Planner and Organizer untuk memberi kepastian pada hatikutetapi acara dengan ibu-ibu di Pulau Parang tidak mungkin kubatalkan.

***

Memberi materi di Workshop Packaging produk UMKM dengan ibu-ibu di pulau Parang mengingatkanku pada Aricha. Memberdayakan ibu-ibu nelayan adalah impiannya waktu itu.

"Mata pencaharian di sini selain nelayan apa?" tanya Aricha pada Hisyam waktu itu.

"Tidak ada. Pada musim Baratan, mereka praktis tidak bekerja. Perempuan lebih banyak di rumah. Sesekali membantu memperbaiki jaring yang rusak, atau menjemur ikan-ikan yang tidak laku dijual," terang Hisyam.

"Sangat eman. Potensi di sini luar biasa. Pohon Kelapa dan Pohon Jambu Mete melimpah. Banyak lahan yang dibiarkan kosong. Tongkol, Kakap Merah," katanya sambil matanya nanar mengamati kanan kiri jalan yang dipenuhi pohon Jambu Mete.

"Gus. Aku ingin masyarakat di sini lebih berdaya," kata Aricha dengan mantap.   

"Jika kelak kita punya kesempatan, aku ingin membantu mereka mengembangkan agrobisnis dan wisata bahari di sini. Kita ajari ibu-ibu di sini memproses mete, supaya tidak dijual mentah, sehingga harganya menjadi lebih tinggi. Sementara daging jambu metenya bisa dibuat sirup. Klentik yang saat ini diproduksi untuk keperluan mereka sendiri bisa dikembangkan menjadi bisnis rumahan. Kita ajari cara packaging dan marketingnya. Blondonya juga bisa dibuat camilan. Selain itu kita bisa ajari mereka cara membuat VCO. Kebetulan salah satu dosenku ada yang punya perusahaan VCO, jadi nanti kita bisa belajar ke sana," katanya penuh percaya diri. 

"Bapak-bapak bisa diajari berkebun dan berternak, sehingga ketika musim Baratan mereka masih punya penghasilan." 

"Satu hal yang paling penting, semua produk dijual melalui koperasi. Sehingga tidak terjadi persaingan ataupun monopoli," lanjutnya penuh semangat.

Mengingat semua itu, hatiku serasa tersayat sembilu. Pilu, membeku, dan membiru.

Di mana kau sekarang, Cha? Lima tahun tak ada kabar. Hampir putus asa aku mencarimu. Gumamku perih.

Acara baru selesai ketika azan Magrib berkumandang. Peserta sangat antusias sehingga banyak pertanyaan yang diajukan. Seorang peserta workshop mendekatiku.

"Mas Gus. Ini saya bawakan Blondo kesukaan Ning Icha," katanya

Kepalaku seperti dihantam karang besar mendengarnya. Ibu yang berdiri di hadapanku pasti salah satu ibu yang dulu pernah dikunjungi Aricha. 

"Setiap Mas Gus ke Parang, aku selalu lupa menitipkannya," katanya lagi. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

"Ning Icha kenapa tidak ikut?" katanya polos.

Duh gusti. Aku harus menjawab apa? Dulu kami memang sering mengunjungi mereka bersama. Mengedukasi masyarakat untuk mulai tidak bergantung dengan hasil laut. Bersama warga mendirikan koperasi. Setelah Aricha menghilang dari kehidupanku, semua urusan di pulau ini kuserahkan pada Hisyam. Aku hanya beberapa kali ke sini.

"Ning Icha masih ada urusan lain, Bu," kataku terbata. 

Selepas salat magrib berjama'ah, aku diantar panitia menggunakan perahu kecil menuju pelabuhan di Desa Karimunjawa. Butuh waktu dua setengah jam untuk sampai pelabuhan. Kemudian kulanjutkan perjalanan menuju resort menggunakan mobil yang kuparkir di pelabuhan.

Kulajukan mobilku dengan cukup kencang. Berharap segera sampai resort dan menemui pemilik Aricha Event Planner and Organizer meskipun hanya say hello.

Suara Ariel Noah dari speaker mobil menemani perjalananku dari pelabuhan ke resort. Sesekali ujung jariku mengetuk stir mobil, dan kepalaku manggut manggut mengikuti iramanya. Setiap kali mendengar lagu ini, aku selalu saja terbawa perasaan.

Apa yang kau cari wanitaku, 

apa yang kau cari

Tempatmu disini pujaanku,

tempatmu disini

Tak perlukan itu wanitaku, 

tak perlu begitu

Tetaplah disini bersamaku, 

tetaplah disini

***

Aku sampai resort sekitar pukul sepuluh kurang seperempat. Roni, resepsionis yang sift malam mengabarkan jika Zaenal dan rombongan EO pergi ziarah ke makam Sunan Nyamplungan dan Sayyid Abdullah.

Ada sedikit rasa kecewa. Tapi kupikir, aku bisa menunggu kepulangan mereka di Gazebo.

Baru beberapa menit aku duduk di Gazebo sembari berkhayal jika pemilik EO itu Aricha, tiba-tiba datang Kang Samadi dan Kang Tarno dengan tiga orang bule yang kebetulan menginap di resort.

Ketiga bule itu adalah mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tentang jenis-jenis terumbu karang,  Kang Samadi dan Kang Tarno sebagai pramuwisatanya.

Saat aku terkekeh oleh cerita-cerita lucu ketiga bule itu selama perjalanan di Karimunjawa, kulihat Zaenal dan rombongan EO memasuki pintu utama resort.

Dadaku naik turun menahan gemuruh ketika mataku sekelebat menangkap sosok yang gestur tubuhnya sangat mirip Aricha.

***

Selesai salat subuh dan istigasah pagi, aku bermaksud melihat list kamar tamu di resepsionis. Namun langkahku terhenti ketika dari kejauhan kulihat sosok perempuan yang kembali membuat dadaku bergemuruh. Lama aku memastikan, tetapi pandanganku terhalang gelapnya fajar.

***

Pimpinan EO masih belum masuk ruang rapat, padahal sudah lewat lima belas menit dari jadwal rapat. Harapanku mulai pudar, karena Aricha kekasihku orang yang sangat disiplin.

Kuketuk ketukkan ujung jari telunjukku ke meja. Kebiasaan yang aku lakukan untuk mengurangi kegundahan hati.

Jariku berhenti mengetuk meja ketika pimpinan EO masuk ruangan. Dadaku menghentak. Serta merta kebahagiaan menelusup memenuhi setiap rongga di relung relung jiwaku. Kurasa senyumku tersungging. Dadaku terasa sangat longgar.

Ia sedikit berbeda. Semakin cantik dan rapi. Baju motif strip warna light sea green dipadu dengan jeans, dan model jilbab bergo dengan warna sedikit lebih cerah membuatnya nampak sangat cantik di mataku.

Ekspresi wajahnya berubah seketika saat mata kami saling bertemu. Namun ia berusaha tenang.

Ia memimpin rapat dengan cermat. Diam-diam aku menikmati mencuri pandang padanya. Berpuluh kali kulangitkan syukurku dalam lirih, karena Allah telah memberiku anugerah yang luar biasa. 

Semua hal telah ia cek. Kemudian ia menjelaskan konsep acara yang menurutku sangat biasa.

"Mohon maaf sedikit menyela. Konsep acara inti seperti itu sangat biasa. Kita buat yang sedikit berbeda," kataku.

Baru saja aku selesai menyampaikan konsep acara pernikahan, tiba-tiba ia sangat marah, membentakku, dan bahkan meninggalkan ruang rapat dengan penuh amarah. Dulu, ketika ia sedang dikuasai amarah seperti itu ia hanya butuh kutemani. Aku cukup duduk disampingnya sampai amarahnya mereda. 

Aku masih bingung mengapa ia semarah itu. Sedetik kemudian aku baru menyadari bahwa konsep pernikahan yang aku usulkan adalah konsep pernikahan impiannya yang mengendap di alam sadarku.

Aku merutuki diri sendiri, karena tanpa sadar telah mengorek lukanya dan menyakitinya.

***

Mataku tak mau terpejam. Percakapan di pantai tadi benar-benar membuatku kacau.

Aricha sudah memiliki dua anak. Dia menikah dengan siapa? Apakah dia bahagia? Apakah aku mengenal lelaki yang beruntung itu? Apakah dia masih mencintaiku? Pertanyaan - pertanyaan itu bergelayut dalam pikiranku.

Tiba-tiba aku sangat menginginkan minus t benar-benar nyata tidak hanya ada dalam film Time Trax atau Dejavu. Berkhayal lubang cacing benar ada sehingga masa lalu itu bisa kuubah.

Pikiranku menembus batas waktu di suatu siang yang cukup dingin oleh guyuran hujan. 

Kami makan siang di rumah makan padang di batas kota tempat kami kuliah. Ia hanya mau makan berdua denganku di tempat yang jauh dari jangkauan kader-kader lainnya, dengan alasan supaya marwahku sebagai Gus maupun senior pergerakan terjaga.

Siang itu, gulai kepala kakap, sambal ijo, daun singkong dan jeruk hangat menjadi pilihan menunya. Sedangkan pilihan menuku jatuh pada Rendang, sambal ijo, daun singkong, dan es teh.

Ia makan dengan sangat lahap. Mungkin karena menyantap menu kesukaannya atau mungkin karena sangat lapar atau karena hujan yang membuat orang mudah lapar. Aku memandangnya dengan tersenyum. Namun sedetik kemudian hatiku kecut.

Aku sengaja menunggu ia selesai makan untuk menyampaikan kabar yang sangat tidak menyenangkan ini. Aku tak mau selera makannya hilang gara-gara kalimatku.

Usai cuci tangan di wastafel, ia kembali duduk di hadapanku.

"Tadi katanya ada yang mau disampaikan?" katanya sambil masih menahan rasa pedas. Ia menyeruput jeruk hangat dengan sangat nikmat.

Aku bingung mau mulai dari mana. Dia melotot ke arahku dengan lucu, memberi tanda siap mendengarkan. Ia kembali meminum jeruk hangat pesanannya.

"Aku diminta menikah dengan sepupuku, Ning Adiba."

Sontak ia tersedak demi mendengar ucapanku. Kemudian mencoba meredakan batuknya dengan meminum kembali jeruk hangatnya dari sendok. Ia terdiam lama. Hanya desahan napas yang beberapa kali terdengar berat. Matanya mulai berkaca-kaca.

Hatiku mulai sakit. Aku tak pernah kuasa melihatnya menangis. Ia bukan perempuan lemah yang biasa menangis. Jadi, jika ia menangis itu pertanda hatinya sangat tersakiti.

Tangisnya akhirnya pecah. Bahunya terguncang cukup keras. Aku ingin menenangkannya. Aku ingin memeluknya, untuk meredakan laranya.

"Inilah yang selalu aku takutkan, Gus. Saat tak ada ruang rindu yang tersisa untuk orang lain, tiba-tiba kamu harus meninggalkanku," katanya terisak.

"Aku tak akan meninggalkanmu, Ning. Kita akan perjuangkan bersama cinta kita," kataku meyakinkan.

Ia menggeleng kuat. Kedua tangannya ditelangkupkan menutupi seluruh wajahnya.

"Aku ingin, kehadiranku menjadi berkah bagi suamiku dan keluarganya. Aku tak mau membuat keluargamu bersedih. Aku orang baru yang hadir dalam hidupmu. Mereka orang tua yang lebih dulu menyayangi dan mencintaimu. Ridlo mereka mutlak untuk keberkahan dan kebahagiaanmu."

"Apakah itu artinya kamu menyerah?" tanyaku sedikit panik.

Ia mengangguk lemah.

"Tidak. Tidak. Ini bukan kamu. Aricha yang kukenal tidak semudah ini menyerah. Kita akan perjuangkan bersama," kataku semakin panik.

"Waktu akan menyembuhkan semua lukaku. Aku cukup menangisimu tiga hari, atau tujuh hari. Setelahnya, hidupku pasti akan kembali baik-baik saja," katanya sambil terus terisak.

Telepon dari Zaenal cukup mengagetkanku. Membuyarkan lamunan masa laluku.

"Besok Gus-e dan Mbak Aricha saja yang ketemu klien. Teman-teman yang lain masih menyelesaikan pekerjaan di sini karena tim EO dua hari lagi harus kembali untuk persiapan acara yang di sana. Tiketnya sudah saya pesankan untuk dua orang. Begitu dulu Gus. Saya melanjutkan rapat dengan pemilik-pemilik catering yang akan kita pakai," kata Zaenal nyerocos tak bisa diputus.

Aku tersenyum.  

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
afaya lana
ketika sudah membandingkan kecantikan ning aricha dg kate middleton, nyerah deh. pasti. sangat cantik sekali ini ning aricha. dia mampu membuat semua lelaki bertekuk lutut padanya. ditambah inner beauty nya. pengen dikenalke jg ama ning icha..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status