Share

Merawat Kenangan

Perjalananku kali ini benar-benar tak menyenangkan. Tak ada semangat seperti biasanya ketika aku menangani event pernikahan. Biasanya aku paling antusias. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa membuat hari spesial itu sebagai momen istimewa. Kepayahan, lelah, dan segala keruwetannya dalam menghadirkan konsep-konsep pernikahan yang indigenous terbayar lunas dengan wajah-wajah bahagia kedua mempelai, keluarga, dan tamu.

Perjalanan kami ke Pulau Kemujan lancar tanpa hambatan. Jalan beraspal yang masih bagus tanpa tambalan seperti jalan-jalan di kotaku, menunjukkan jika tak banyak mobil berat seperti truk dan tronton yang melintas di atasnya.

Putaran roda mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Hutan Mangrove berderet di kanan kiri sepanjang jalan Karimunjawa menuju Kemujan. Masih sama dengan lima tahun lalu. Aah, lagi-lagi sebuah kenangan menyergapku.

"Sebentar lagi kita sampai resort," kata Rofiq saat mobil kami melewati Bandara Dewandaru.

Tampak sebuah pesawat terbang jenis airbus baru saja mendarat.

"Bandara sudah beroperasi lagi, ya mas?" tanyaku. Rofiq mengiyakan dan langsung menjelaskan panjang lebar tentang jadwal pesawat, harga tiket, jenis pesawat yang beroperasi, dan lain-lain dengan penuh semangat.

Ponselku bergetar. Sebuah foto perempuan separuh baya tersenyum anggun memenuhi layar ponselku.

"Assalamau'alaikum, Bu Umma."

Bu Umma, owner kerajinan batik terbesar di Kudus yang mempercayakan resepsi pernikahan putri pertamanya pada event organizer kami, dengan konsep outdoor party di Karimunjawa.

"W*'alaikumussalam, Mbak Icha. Bagaimana persiapan tim?"

"Sekarang ini kami sedang memastikan lokasi, dan semua kebutuhan. Hari ini rencananya kami meeting bersama dengan tim yang ada di Karimunjawa. Kami minta waktu tiga hari untuk menyiapkan konsep fix acara, Bu." 

"Oke Mbak. Tiga hari lagi kita ketemu di butik saja, yang lebih dekat dengan Jepara.”  

"Baik Bu,” jawabku.

“Assalamu'alaikum."

“W*'alaikumussalam."

Bu Umma selalu irit bicara, tetapi cermat dan detail. Barangkali itulah yang menjadi salah satu kunci kesuksesannya mengelola kerajinan Batik Kudus yang hampir punah.

Mobil telah memasuki gerbang resort, berbelok ke area parkir sebelah kanan pintu masuk utama. Tampak dua gapura besar dari balok-balok kayu yang ditata membentuk tiang pancang segi empat dengan atap berundak dan lampu besar tergantung di tengahnya, mengapit pintu masuk utama. Sementara sulur tanaman Ivy menutup semua permukaan dinding di belakang tulisan nama resort di sebelah kanan dan kiri pintu. sedangkan atapnya penuh dengan sulur tanaman Rombusa. Beberapa buahnya yang terbungkus jaring dari kelopak bunganya yang sudah mengering bergelantungan, menjulur di sela-sela atap yang terbuat dari rancangan besi yang tertutup oleh sulur-sulur yang membelit. Keindahan bunganya yang berwarna putih dengan semburat warna ungu menambah kontras pemandangan yang tersaji. 

Kakiku mundur beberapa langkah. Sedikit tak percaya. Bangunan utama Resort ini berbentuk Rumah Joglo khas Kudus, lengkap dengan padasan di depan bangunan sisi kanan. Taman kecil dengan meja kursi beton yang dibentuk seperti potongan kayu gelondong tertata melingkar berada di sisi kiri, sementara air mancur berada di tengah antara padasan dan taman kecil.

"Pemilik resort ini orang Kudus?" tanyaku pada petugas hotel yang mengikuti di belakangku, sambil mendorong troli berisi koper, tas laptop, dan handybag besar yang berisi camilan. 

"Bukan, Bu. Hanya saja, beliau suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan Kudus," jawabnya.

"Dulu, kekasih pemilik resort ini orang Kudus," lanjutnya tanpa kuminta. 

"Eh.. nggak baik gosipin bos sendiri lho," kataku sambil menyunggingkan senyum.

"Saya tidak gosipin, Bu. Beliau sendiri yang sering bilang, inilah cara beliau merawat kenangan dengan kekasihnya."

"Beliau juga mengirimkan para chef  di sini untuk belajar membuat masakan khas Kudus, seperti Soto Kerbau, Sate Kerbau, Sego Pindang, Sego Jangkrik, dan Lentog Tanjung."

"Bapak cukup dekat dengan semua karyawan. Beliau pribadi yang sangat hangat. Beliau juga pembelajar yang baik. Kami di sini selain bekerja juga belajar banyak hal dari beliau, mulai dari ilmu bisnis sampai ilmu agama. Beliau menjadi teman curhat dan tempat kami meminta pertimbangan untuk menyelesaikan masalah-masalah pribadi maupun keluarga. Beliau adalah atasan, rekan kerja, orang tua, dan guru kami," katanya bersemangat.

Petugas hotel mengantarku sampai di depan sebuah suite room  dan menyerahkan kunci kamar.

"Bapak juga sering berpesan, cinta harus diperjuangkan bersama jika tak ingin menyesal nantinya," kata petugas hotel itu lagi. 

Kata-katanya kali ini terasa menampar mukaku. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. 

***

Meeting malam ini ditunda karena pemilik resort yang juga terlibat dalam tim WO masih ada acara di Pulau Parang.

"Maaf, Mbak. Bapak

malam ini belum bisa ikut meeting karena masih memberi materi Workshop Packaging produk UMKM dengan ibu-ibu di Pulau Parang," kata Zaenal sore tadi di depan suite room tempatku menginap.

Setelah makan malam, aku berniat menghabiskan malam dengan membaui aroma air laut, diiringi suara deburan ombak, di bawah riuhnya gugusan bintang. Menikmati temaram rembulan yang dibiaskan oleh air laut dari gazebo resort.

Ada empat gazebo dengan panggung rendah berjajar di dekat kolam renang yang berada di dekat bibir pantai. Nuansa tradisional dibalut kemewahan modern sangat terasa. 

Belum sempat aku berdiri dari tempatku makan, beberapa temanku sudah menyerbu. Arfan, Dika, Ima, Cacik, Fitri, Una, dan Adlina berdiri mengepungku.

"Malam ini kita ziarah ke makam Mbah Sunan Nyamplungan dan Sayyid Abdullah bin Abdullatif. Kamu harus ikut," kata Adlina tegas dengan sedikit memaksa. Sementara yang lain dengan ekspresi wajah memelas memintaku mengiyakan.

"Teman-teman sudah menunggu di lobi," tambah Una.

"Kalian pergi saja. Malam ini, aku mau menikmati rembulan," kataku ringan.

"Nggak bisa. Seharian tadi kita sudah tidak mengganggumu. Malam ini harus temani kita ziarah. Bukankah kamu yang biasanya paling semangat ziarah setiap kali kita dinas luar?" 

Adlina menarik tanganku tanpa menunggu jawaban, sehingga meja makan kecil di depanku terdorong mengeluarkan bunyi berderit. Aku terpaksa mengikuti mereka menuju mobil yang sudah disediakan oleh pihak resort. Ada tiga mobil yang akan mengantarkan kami ke makam. Aku, Adlina, Una, Nisa dan Zaenal menggunakan mobil yang sama.

Zaenal mengarahkan kami ziarah ke makam Sayyid Abdullah terlebih dahulu, setelahnya baru ziarah ke makam Sunan Nyamplungan, lalu kembali ke resort.

***

Hanya sekitar sepuluh menit, mobil yang kami tumpangi sudah berbelok masuk ke dalam gang kecil. Suasana jalanan lengang meskipun adzan Isya' baru saja selesai berkumandang di salah satu musala yang kami lewati. Beberapa ekor sapi melenguh ketika mobil kami melintas di depannya.

"Sapinya tidak dikandangin, Mas?" Tanyaku.

Sapi yang berjumlah lima ekor itu hanya ditambatkan pada sebuah pasak kayu. Dilindungi oleh bangunan beratap anyaman daun kelapa, tanpa kandang yang terkunci.

"Di sini biasa seperti itu. Tidak ada yang mencuri. Sepeda motor juga biasa terpakir di depan rumah dengan kunci masih menempel. Di sini aman, Mbak," kata Nisa.

Mobil telah memasuki area parkir makam. Lampu besar yang berada di tengah bangunan cukup membuat area pemakaman tampak terang.

Makam Sayyid Abdullah berada dalam bangunan yang dikelilingi tembok dengan tinggi setengah badan orang dewasa.

Beruntung lampu makam hidup, sehingga aku tak perlu mengenang saat-saat ziarah bersama Gus Nadzim yang hanya diterangi oleh lampu senter ponsel.

***

Perjalanan ke makam Syaikh Amir Hasan, putra Sunan Muria, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Nyamplungan cukup jauh. Butuh waktu lebih dari dua puluh menit untuk sampai gang masuk makam.

Sesampainya di gang masuk makam, Zaenal minta izin turun dari mobil untuk mengecek apakah lampu makam sudah hidup ataukah belum melalui saklar yang di pasang di gapura masuk gang.

"Bukankah kita memang turun di sini, Mas?" tanyaku.

"Kita parkir di atas, Mbak," jawabnya sembari menutup kembali pintu mobil.

"Seingatku, parkirnya di bawah. Lalu kita jalan kaki melewati jalan berundak,” kataku lagi.

Dulu, Gus Nadzim paling semangat melewati jalan berundak itu. Memintaku menghitung jumlah undakannya. Setiap kali aku lupa hitungan, ia pasti akan mengacak acak jilbabku.

Aku butuh empat sampai lima kali istirahat untuk sampai ke makam. Saat aku terbatuk-batuk dengan napas terengah, ia akan tergelak bahagia dan dengan sigap mengulurkan sebotol air mineral.

Aaah.. Aku menggoyangkan kepala berharap kenangan-kenangan itu lepas dari ingatanku.

"Kalau melalui rute lama, kita jalan dari bawah. Kalau rute yang baru ini, mobil bisa naik. Hanya jalan kaki kurang lebih lima puluh meter sudah sampai ke makam," kata Zaenal menerangkan.

"Bapak lebih suka jalan kaki melewati rute lama. Katanya, itu adalah cara dia mengenang kekasihnya," lanjutnya.

Aku manggut-manggut. Tetiba ada sedikit rasa penasaran pada pemilik resort. 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
afaya lana
aku membayangkan tingkah gus nadzim yg mengacak acak jilbab. sangat romantis sekali. aku malah kudu melu mengacak acak jilbabnya siapa ngene iki.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status