Kepalaku berdenyut hebat saat mendengar permintaan Bu Umma, “Konsep pernikahan outdor, di pinggir pantai.”
Mendengar nama pulau itu saja sudah membuatku pusing, apalagi harus mempersiapkan pernikahan di sana.
“Harus di Karimunjawa?” tanyaku menandaskan.
Bu Umma mengangguk dengan ekspresi tak boleh ada penolakan. Aku memejamkan mata untuk beberapa saat, lalu menarik napas panjang untuk memenuhi kembali rongga-rongga paruku dengan udara yang kurasakan tiba-tiba menghampa. Aku mengangguk dengan senyum setengah paksa.
Ya Allah. Kenapa harus Karimunjawa? ucap batinku nelangsa.
***
Langkahku gontai menelusuri selasar pelabuhan menuju Kapal Express Bahari yang akan mengantar kami ke Pulau Karimunjawa. Aku menyodorkan tiket dan KTP dengan sedikit malas pada petugas yang berdiri di pintu masuk pelabuhan.
Sementara kulihat binar kebahagiaan menguar dari wajah para partner kerjaku. Seluruh pojok dan sepanjang selasar pelabuhan menjadi spot untuk mereka berswafoto.
Karimunjawa, sebuah pulau yang berjarak lebih dari seratus kilo meter dari pelabuhan Kartini Jepara. Salah satu kecamatan yang terdiri dari empat desa, masuk dalam wilayah Kabupaten Jepara dengan sejuta keindahannya. Gugusan pulau-pulau kecil dan empat pulau besar yang mengapung di tengah-tengah laut. Hamparan pasir putih di setiap pantainya, serta keindahan biota laut bagai surga.
Segala kenangan indah di Karimunjawa lima tahun lalu mulai memenuhi otakku. Tempat Snorkeling di dekat pulau Menjangan Kecil. Hamparan pasir putih di pulau Cemara Besar, yang saking jernihnya kita bisa melihat hewan laut maupun ikan-ikan yang berlarian. Pantai Bobby dengan cadas yang berderet sepanjang pantai. Pemandangan sunset sangat indah dari puncak Bukit Love maupun di pantai Ujung Gelam. Berburu ayam hutan di pulau Gundul. Melihat tempat penangkaran ikan Hiu. Naik perahu Jukung. Ziarah ke makam Syeikh Amir Hasan yang terkenal dengan sebutan Mbah Sunan Nyamplungan dengan sensasi jalan berundak. Ziarah ke makam Sayyid Abdullah bin Abdullatif. Menunggu Sunrise sambil menendangkan pujian ilahiah dari rumah panggung di dekat pantai pulau Kemujan.
"Kuatkan hatiku, ya Allah," batinku.
Terlihat timku tidak henti-hentinya berfoto. Mereka mulai mengambil posisi untuk memperoleh spot video yang paling bagus sebelum kapal melaju, sementara aku berusaha mati-matian menata hati.
Tepat pukul sembilan, kapal mulai bergerak pelan. Sandaran kursiku sedikit kurebahkan, berniat segera tidur. Namun pikiranku mulai kacau.
***
Lima tahun lalu.
Kami berdiri di Deck depan kapal saat baling-baling mulai berputar. Sengaja meninggalkan tempat duduk kami untuk menikmati hamparan laut biru.
Moncong kapal mulai memecah ombak menyisakan riak putih di sepanjang lambung kapal. Semilir angin laut menambah adem suasana hati. Meskipun ada sedikit rasa was-was, karena ini adalah pengalaman pertama kalinya aku naik kapal.
"Kamu yakin tidak mabuk laut?" tanya Gus Nadzim sedikit khawatir.
Aku mengangguk sambil terus memandangi pelabuhan yang semakin menjauh.
"Aku tinggal dulu sebentar. Awas, jangan nyemplung," godanya. Aku hanya meringis padanya.
Mataku tak henti-hentinya menatap takjub ke hamparan laut tak bertepi. Entah sudah berapa lama diriku terpaku menikmatinya.
"Luar biasa, bukan?" suara Gus Nadzim mengarahkan pandanganku padanya. Kedua tangannya memegang gelas berisi kopi panas. Satu snack ringan ukuran besar digamitnya.
Laki-laki yang mulai satu bulan lalu menjadi bagian hidupku tersenyum manis memamerkan deretan gigi putihnya. Sebenarnya kami sudah saling mengenal cukup lama, sekitar empat tahun yang lalu saat aku mengikuti kegiatan penerimaan anggota baru sebuah organisasi pergerakan mahasiswa di kampus. Gus Nadzim yang waktu itu sebagai pemateri Wawasan Kebangsaan kuminta untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu, yang disambut tawa seluruh panitia dan peserta. Ternyata dia adalah ketua organisasi yang sudah memperkenalkan diri pada saat membuka acara. Sedangkan aku terlambat hadir karena mengikuti seleksi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan terlebih dahulu sehingga tidak mengikuti acara dari awal dan melewatkan momen perkenalan. Saking malunya, kutelangkupkan kedua tanganku menutup seluruh mukaku.
Kekonyolanku saat itu justru menjadi awal kedekatan kami. Posisinya sebagai ketua organisasi, senior, sekaligus mentor, cukup membuatku terpesona. Namun tak cukup membuatku membuka hati. Lebih tepatnya, aku tak siap patah hati.
Aku tipe perempuan yang tidak mudah jatuh cinta ataupun mudah menerima cinta orang lain. Bagiku, hidup tanpa komitmen lebih menyenangkan. Tidak ada komentator style dandananku. Tidak ada yang protes jika aku berteman dengan laki-laki. Tidak akan ada yang protes ini dan itu. Aku bebas menentukan mau kemana dan dengan siapa. Berproses setiap hari bersamanya memunculkan kekaguman yang seringkali membuatku bahagia. Tetapi, besarnya rasa takut patah hati membuatku memendam rasa itu dalam-dalam.
Terlahir sebagai anak dari kyai besar dengan ribuan santri, ia memiliki tanggungjawab besar. Begitu juga istrinya kelak. Belum lagi tradisi perjodohan antarpesantren yang pasti membuatku tercoret dari list daftar calon menantu. Meskipun aku sudah nyantri sejak Madrasah Tsanawiyah, tetap saja kastaku santri bukan Ning.
Kegigihannya membersamaiku dan meyakinkanku bahwa tak akan ada penolakan atas diriku oleh keluarganya membuat hatiku luluh juga.
Aku menerima satu gelas kopi panas saat ponselnya berdering.
"Assalamu'alaikum."
"Ya, kapal kami sudah meninggalkan dermaga seperempat jam yang lalu. Hah? Jam tiga? Tujuh jam? Oke, jemput kami di dermaga.”“Wa'alaikumussalam."
Gus Nadzim memasukkan kembali ponsel ke saku jinsnya lalu menjelaskan perjalanan kami menggunakan KM Kartini akan memakan waktu sekitar tujuh jam.
"Hisyam nanti akan menjemput kita di pelabuhan," lanjutnya. Hisyam adalah salah satu alumni santrinya yang berasal dari Karimunjawa. Kehadiran kami saat ini dalam rangka membuat rintisan madrasah sekaligus pesantren di sana.
"Blueprint Roadmap madrasah dan pesantren sudah aku siapkan, tinggal nanti kita matangkan dengan tim yang akan handle di lapangan," kataku.
"Sip, Kamu memang bisa diandalkan. Pasti konsepnya out of the box," godanya menyindir kebiasaanku yang suka berpikir di luar kelaziman. Aku hanya meringis.
"Perjalanan kita masih lama, balik ke kursi saja yuk?" ajaknya.
"Aku masih ingin menikmati angin dan ombak di sini," jawabku.
Gus Nadzim kembali menyeruput kopinya. Ia mengambil tempat duduk di sebelahku. Gelas kopi diletakkan di sampingnya, sementara punggungnya bersandar pada dinding kapal. Pandangan matanya menerawang ke depan.
"Lihatlah laut itu. Ombaknya tenang, namun di dalamnya menyimpan sejuta pesona. Seperti dirimu," katanya mulai merayu.
Aku hanya tersenyum. Menoleh dan memandangnya lekat-lekat. Matanya yang tajam namun lembut itu memancarkan rasa cinta yang kuat dari dalam. Aura kebahagiaan kurasakan berpendar dari dirinya.
"Sejak kapan pintar merayu?" godaku.
"Sejak punya kekasih seorang pujangga," katanya dengan ekspresi lucu.
Aku memalingkan muka, menyembunyikan rona panas di pipiku. Hatiku berbunga. Sedetik kemudian, bayangan tradisi perjodohan di pesantren menyergapku. Kupejamkan mata, menepis pikiran-pikiran itu.
***
Aku terbangun dari mimpi buruk, napasku terengah, keringat dingin membasahi tubuhku meskipun AC ruang penumpang disetting pada suhu rendah. Kuteguk air mineral dalam botol yang kuletakkan di saku belakang tempat duduk yang berada di depanku.
Kuedarkan pandanganku ke kursi penumpang yang lain. Kulihat seluruh tim kerjaku sudah mulai berkemas. Kulirik jam tanganku, pukul sepuluh lima puluh menit. Kapal mulai bersandar di pelabuhan.
Setelah jangkar diturunkan dan pintu kapal dibuka, satu persatu penumpang mulai keluar meninggalkan kapal.
Kutarik napas dalam-dalam dan melepasnya dengan cukup keras, sekadar untuk melepaskan beban hati. Sementara para partner kerjaku berjingkrak kegirangan. Segera memulai aksinya berswafoto.
Sesampainya di pintu keluar, Arfan, manajerku bagian humas, memperkenalkanku pada seorang laki-laki bernama Zaenal.
"Mas Zaenal nanti yang akan menfasilitasi kita selama di sini, Mbak," kata Arfan. Pria berperawakan tegap menjulang dengan kulit agak gelap di depanku mengangguk.
"Nanti kami bertiga yang akan menfasilitasi Mbak Aricha dan tim selama di sini. Saya, Rofiq, dan Nisa," kata Zaenal sambil memperkenalkan dua rekan kerjanya.
"Senang bertemu panjenengan semua," kataku sambil menyalami ketiganya yang langsung disambut hangat.
"Silakan Mbak. Mobilnya sudah siap mengantar ke Kemujan," kata Zaenal.
"Kemujan?" kataku reaktif. Mendengar nama pulau itu, aku bagai disengat listrik.
"Kita menginap di Kemujan?" Aku mengulang pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.
"Ya Mbak. resort kita di sana. Sekalian resepsi pernikahannya nanti di sana. Ada spot bagus untuk konsep pernikahan outdoor di sana."
Zaenal menjelaskan panjang lebar alasan pemilihan tempat, konsep acara, konsep homestay untuk para tamu dan sebagainya yang sudah tidak bisa kutangkap. Kepalaku tiba-tiba pusing. Ulu hatiku terasa nyeri.
***
Perjalananku kali ini benar-benar tak menyenangkan. Tak ada semangat seperti biasanya ketika aku menangani event pernikahan. Biasanya aku paling antusias. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa membuat hari spesial itu sebagai momen istimewa. Kepayahan, lelah, dan segala keruwetannya dalam menghadirkan konsep-konsep pernikahan yang indigenous terbayar lunas dengan wajah-wajah bahagia kedua mempelai, keluarga, dan tamu. Perjalanan kami ke Pulau Kemujan lancar tanpa hambatan. Jalan beraspal yang masih bagus tanpa tambalan seperti jalan-jalan di kotaku, menunjukkan jika tak banyak mobil berat seperti truk dan tronton yang melintas di atasnya. Putaran roda mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Hutan Mangrove berderet di kanan kiri sepanjang jalan Karimunjawa menuju Kemujan. Masih sama dengan lima tahun lalu. Aah, lagi-lagi sebuah kenangan menyergapku. "Sebentar lagi kita sampai resort," kata Rofiq saat mobil kami melewati Bandara Dewandaru. Tampak sebuah pesawat terbang
Suara azan subuh terdengar sangat dekat di kamarku. Mataku masih lengket, dan kepalaku terasa berat. Semalam tidurku tak nyenyak. Bayangan laki-laki yang duduk digazebobersama beberapa bule dan dua lelaki berblangkon cukup mengusikku. Kami baru saja memasukiresort pukul sepuluh malam setelah ziarah ke makam Sayyid Abdullah bin Abdullatif dan Syaikh Amir Hasan Sunan Nyamplungan, saat tawa renyah darigazebopaling ujung dekat bibir pantai mencuri perhatianku. Suara seraknya yang khas mengingatkanku pada seseorang. Pandangan mataku menubruk sebuah siluet. Bentuk dan gestur tubuh laki-laki yang tak kulihat jelas wajahnya karena jarak kami yang cukup jauh serta terhalang oleh gelapnya malam itu kembali mengingatkanku padaGusNadzim. Aku merutuki diri sendiri. Segala sesuatu yang kutemui selama di Karimunjawa selalu terhubung padanya. Sebait lirik lagu Judika tiba-tiba mengetuk alam bawah sadarku. Cinta kar
Aku membaca jadwal acaraku hari ini diwhiteboardyang menggantung di samping pintu ruang kantor. Pagi sampai siang acaraselapanandi pesantren, dilanjutkan pertemuan wali santri. Pukul tiga sore memberi materiWorkshop Packagingproduk UMKM kepada ibu-ibu di pulau Parang. Habis Maghrib rapat bersama EO persiapan resepsi pernikahan. Zaenal kuminta menjadwal ulang rapat dengan EO melalui LAN telepon. Menurut perkiraanku, habis magrib belum bisa sampairesortsebab jarak Pulau Parang cukup jauh. Perjalanan dari pulau Parang keresortbutuh waktu sekitar tiga setengah jam. Zaenal masuk ruanganku dan menyerahkan setumpuk berkas rencana resepsi pernikahan yang akan kami kerjakan bersama. "ArichaEventPlanner and Organizer," kataku mengeja proposal kerjasama yang disodorkan Zaenal. "Ya gus. Itu nama EO yang
Aku sudah bersiap dilobby resort.Lima menit kemudian kulihat Aricha keluar dari kamarnya.Suite Roomyang ditempatinya kebetulan terletak di sebelah kananlobby. Sehingga aku bisa melihatnya keluar kamar dari tempatku saat ini.Ia terlihat cantik dengan padu padanblouse yukensi neckwarna putih berbahan satin,outerhijau tosca, dipadupalazzo pantsabu-abu dengan pasmina sifon warna abu-abu.Pouch bagwarnapinkabu menggantung di pundak kirinya, serta kacamata hitam menempel di kepala.Sapuan tipismake uppada bagian mata,eye linerhitam memberi kesan lebih besar pada mata sipitnya,eye shadowcoklat dan lipstik warnapeachmembuatnya tampak makin segar.Kuberikan senyum terbaikku dari tempatku berdiri. Ia membalas senyumanku. Hatiku sa
Kami hampir saja ketinggan kapal. Berlari sepanjang pelabuhan menuju kapal untuk mengejarnya. Tanpa kusadariGusNadzim menggandeng tanganku selama kami berlarian.Aku baru menyadarinya ketika masuk pintu kapal. Sejujurnya, ada hawa aneh yang menentramkan menjalari hati saat ia menggandengku. Namun aku sadar, dia bukan milikku. Maka kukendurkan pegangan tangannya. Ia meminta maaf.Saat kuletakkanpouchbagku di bawah televisi di ruang penumpang, kalung tasbihku menjuntai keluar dan sempat ia perhatikan. Cepat-cepat kumasukkan kembali kalung tasbih itu kedalamblouseku.Ia juga sempat memperhatikan gelang Kokka dan gelang cangkang kura-kura yang masih melingkar di lengan kiriku. Aku merutuki diri.Seorang pramusaji kapal menawarkan aneka snack dan minuman. Ia memesan dua kopi hitam. Kopi hitam manis untuknya dan satu kopi pahit untukku.Ia mulai mempertanyakan ke mana saja aku setelah insi
TatapanGusNadzim yang penuh selidik membuatku urung mengusap layar ponselku untuk menerima panggilan. "Diterima saja," kataGusNadzim. Aku menjadi tidak enak hati. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam. Halo Chacha," kata suara riang dari seberang. Hanya ada satu orang yang memanggilku Chacha, yaitu Yasser Syathibi. Suaranya tambah renyah begitu kusambut sapaannya. "Aku kangen Indonesia. Di sini sepi, tidak ada celotehmu. Tidak ada yang ngomel-ngomel kalau aku menunda salat. Tidak ada yang marah-marah kalau aku tidak ikut Jumatan. Tidak ada yang menyuruhku puasa aneh-aneh." Puasa aneh-aneh yang dimaksud itu puasa-puasa sunah selain puasa Senin dan Kamis. Aku tersenyum. "Aku akan segera balik ke Indonesia. Aku akan melamarmu, membawamu ke sini, dan beranak pinak supaya aku tidak kesepian lagi." Yasser masih mengoceh, namun aku sudah tidak konsen mendengarnya. KulihatGus&nbs
Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama. Aku tak begitu mempedulikanGusNadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalahpartnerkerja. Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya. Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah m
Rofiq dan Nisa sudah menunggu kedatangan kami di pinturesort. Sebuah kursi roda sudah dipersiapkan untukku. Aku memprotesGusNadzim melalui tatapan mataku. "Sudah tidak usah protes. Ini standar pelayananresortkami. Kursi roda ini memang dipersiapkan untuk tamu-tamu berkebutuhan khusus." "Tapi aku tidak berkebutuhan khusus," protesku. "Biasanya, iya. Saat ini, kamu berkebutuhan khusus. Sudah jangan rewel!" katanya lembut namun tegas. Aku akhirnya mengalah. Duduk di kursi roda seperti orang tak berdaya. Sebenarnya ada kebahagiaan tersendiri karenaGusNadzim yang mendorong kursi rodaku menuju ke kamar tempatku menginap. Zaenal, Arfan, Rofiq, dan Nisa berjalan mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu kamar, seorang pelayanresortmenemuiGusNadzim. Beberapa saat mereka berbisik. Sebentar kemudian pelayan itu kembali undur diri. "Nisa