MENOLAK UNTUK RUJUK 4
"Selamat pagi, Sayang," sapa Mas Anwar, membuatku berjingkat karena terkejut. Dia sudah berada tepat di belakang tubuhku, kemudian melingkarkan kedua tangannya di perut ini. Nafas sudah tersengal antara kaget dan takut.
"Maafkan aku ya, Sayang," ucapnya lagi sambil menghirup aroma tubuh ini. Kupejamkan mata sejenak dan mengatur napas. Ini memang bukan yang pertama, sudah beberapa kali dia membawa wanita ke rumah dan mengajaknya bercinta.
Dulu itu akan sangat menyakitkan, istri mana yang akan baik-baik saja mengetahui suaminya bergumul dengan wanita lain? Kurasa tak ada. Namun, tidak untuk sekarang ini, aku benar-benar tak peduli.
Aku melepaskan diri dari pelukannya, kemudian beralih menghadap padanya. Sungguh dia adalah lelaki yang sangat tampan. Mungkin, aku akan sangat merasa beruntung kalau saja dia tidak mempunyai kelainan dalam berhubungan badan.
"Siapa dia?" tanyaku sambil menunjuk dengan dagu seseorang yang tertidur di sofa.
"Teman. Semalam aku memintanya datang kemari. Em ... Kamu tahu kan, kalau aku sudah tidak bisa menahannya. Sementara aku tidak ingin junior terluka," jelasnya.
Aku tersenyum getir, dia bisa mengkhawatirkan calon anaknya, yang bahkan belum bisa dilihat dan disentuh. Lalu bagaimana denganku? Apa dia tak pernah sedikitpun memikirkan betapa menderitanya diri ini? Aku hanya bisa menghela nafas kesal.
"Mau kemana?" tanyanya sambil menahan langkahku.
"Membangunkannya," jawabku datar.
"Biarkan saja lah. Nanti juga bangun sendiri," sahutnya. Dia masih mencekal lenganku.
"Aku ... jijik melihatnya seperti itu," cibirku.
"Terserah kamu! Aku mau mandi," ujarnya melepas pegangan tangannya di lengan. Namun, tiba-tiba dia mengurungkan langkahnya, memperhatikan wajahku lalu jarinya mengangkat dagu ini hingga aku mendongak menatap wajahnya.
"Hai ... lihatlah! Apa kamu sengaja menggodaku, Sayang? Hah!? Kamu nampak cantik hari ini, Rin!" desahnya lalu mencium bibirku. Aku berontak mencoba melepaskan diri ini.
"Em ...," Aku hanya bisa bergumam. Kuraih tangannya lalu mengarahkannya ke perut. Sontak dia melepaskan ciumannya.
"Ada apa?! Apa dia baik-baik saja?" tanyanya panik. Aku masih mengatur deru nafas, membuat dadaku naik turun.
Aku mengangguk sambil pura-pura meringis."Oh, sial!" ucapnya terdengar frustasi, "Maafkan Papa, Sayang." Dia melanjutkan ucapannya sambil menunduk mencium perutku. Sekuat tenaga aku menahan tawa. Kuremas rambutnya agak keras, kemudian mengangkatnya pelan-pelan.
"Ah! Aku sudah baikan, Mas. Kamu lekas mandi. Aku akan mengurusnya," kataku sambil sedikit meringis, lalu menoleh sekilas pada wanita yang sedang tertidur pulas itu.
Ada rasa iba menyusup hatiku ketika melihat keadaannya, beberapa lebam menghiasi wajah dan punggungnya, tapi kemudian berganti menjadi rasa jijik ketika mengingat apa yang dilakukannya semalam.
*****
Mas Anwar beranjak masuk ke kamar untuk membersihkan badannya. Sementara aku melangkah ke ruang tamu untuk mengambil tongkat bisbol yang ada di balik pintu. Membawanya ke ruang tengah, di mana wanita tadi sedang tertidur.
Sengaja menyodorkan ujung tongkat bisbol pada pundak wanita yang hanya memakai selimut untuk menutupi tubuhnya. Sekali dua kali dia tak bereaksi, membuatku semakin kuat mendorong tongkat bisbol pada pundaknya.
"Hah!" Bentaknya karena kaget. Dia menguap lalu membetulkan selimut yang hampir melorot.
"Lekas bangun, dan pergi dari rumahku!" hardikku.
Sepertinya dia tidak terima atas perlakuanku padanya. Dia bersikap seolah menantang padaku.
"Siapa kamu?" tanyanya sok berkuasa.
"Kamu yang siapa?" Kulemparkan pertanyaan yang sama padanya.
"Asal kamu tahu ya! Aku ini kekasih Mas Anwar!" jawabnya angkuh.
"Oh! Hanya kekasih? Aku adalah Nyonya di rumah ini! Jadi ... lekas bangun lalu kemasih barangmu dan pergi dari rumahku. Kalau tidak ... aku akan memanggil satpam untuk mengusirmu!" kataku penuh penekanan padanya.
"Hahahaha! Apa kamu tak tahu? Apa Mas Anwar tak memberi tahu, kalau aku adalah calon Nyonya rumah ini?!" kelakarnya.
"Apa aku tidak salah dengar?" Pancingku padanya. Aku bersorak dalam hati, seandainya apa yang diucapkan wanita ini benar adanya, itu bisa membuatku lepas dari pria tampan berperangai buruk itu.
"Kamu gak budek, kan?! Apa kurang jelas aku bicaranya?!" ledeknya.
Saat aku hendak mengucapkan bantahan, Mas Anwar sudah keluar dari kamar. Lelakiku itu sudah rapi dan bersiap pergi ke kantor, dia nampak gagah dengan kemeja biru laut yang dilipat sebatas siku.
"Mas ...," rengek wanita itu manja membuatku semakin jijik padanya. Mas Anwar memandangku. Kubalas tatapannya, setelah itu secara sembarangan melempar tongkat bisbol yang sedari tadi di tangan, gegas berlalu menuju dapur.
*****
"Aku berangkat dulu, jaga junior baik-baik," pamitnya tiba-tiba saat aku sedang mengaduk susu khusus ibu hamil. Tidak seperti biasanya, kali ini tak ada drama pelukan dan ciuman. Dia bergegas pergi. Mungkin, karena ada wanita tadi. Biarlah.
"Em ... Mas! Hari ini aku ingin berbelanja!" seruku ketika dia sudah hampir menghilang di balik pintu. Mas Anwar mengurungkan langkahnya. "Belanja aja, nanti biar diantar sama, Khoir. Nanti dia yang akan menjemputmu," jawabnya lalu kembali melangkah.
Ada yang aneh dengan sikapnya, tapi masa bodoh, aku tidak peduli. Yang penting akan pergi belanja dan akan menjalankan sedikit demi sedikit rencana yang sudah kubuat.
Dua pekan ini aku merasa sangat bahagia, Mas Anwar benar-benar tidak menyakiti ragaini. Sehingga aku bisa merenung dan berfikir dengan jernih.
Selama ini aku memang sangat lemah, menerima dan diam saja saat dia menyakiti. Hari-hariku selalu dibayangi rasa mencekam, apalagi jika malam menjelang, aku akan benar-benar merasa sangat ketakutan.
Aku sungguh bersyukur atas kehamilan ini ternyata Mas Anwar sangat menginginkan dan menyayangi anak kami. 'Terima kasih, Sayang' aku bermonolog sambil mengelus perut.
Setelah selesai bersiap, aku menunggu jemputan di teras sambil berselancar di sosmed. Sesekali memandangi indahnya taman bunga.
Mas Anwar telah menyadap ponsel milikku, sehingga dia akan tahu siapa saja yang berhubungan denganku, membuatku enggan berkomunikasi dengan keluarga sendiri. Namun, Mas Anwar tak kan tahu kalau aku banyak belajar dari g****e.
Aku sekarang juga mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada suamiku itu. Menurut keterangan yang kubaca, dia mengidap kelainan seksual yang disebut Sadomasokis itu adalah jenis kelainan seksual di mana penderitanya mendapatkan kepuasan seks setelah menyakiti atau disakiti pasangannya ketika bercinta.
Mas Anwar adalah pengidap Sadisme, dia akan merasa puas kalau pasangannya merasa tersakiti dan tersiksa. Apakah penderitanya bisa disembuhkan? Itu yang masih menjadi pertanyaan bagiku.
*****
Mobil jemputan sudah datang, kaki ini melangkah dengan riang. Aku akan berusaha menikmati hidup ini, tanpa terbebani rasa takut. Mobil berhenti di depan teras, seorang pria keluar lalu membukakan pintu mobil. Tanpa basa-basi aku pun duduk di kursi belakang kemudi.
"Mau kemana, Bu?" tanyanya sopan saat mobil sudah berada di jalan raya.
Aku menyebutkan salah satu mall terbesar di kota ini. Setelah itu hening tidak ada lagi percakapan. Namun, ada yang terasa familiar dengan sopir ini? Aku seperti pernah bertemu atau bahkan mengenalnya. Siapa tadi nama yang disebut Mas Anwar? Aku sedikit berfikir keras untuk mengingatnya.
Siapa pria ini? Entahlah, tapi aku merasa sangat mengenalnya ...
Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
"Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir
Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.
"Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,
Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan
"Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon