Karin tertegun dan kaget saat mendengar perkataanku ini."Innalillahi," lirihnya dengan air mata. "Ayu ... sudah meninggal?"Aku mengangguk."Ya Allah, Ayu. Maafkan aku. Maafkan aku tidak sempat melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Semoga kamu mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya," lirih Karin seraya terus menyeka air matanya. "Aku turut berduka, Mas. Kamu pasti sangat kehilangan dan menderita.""Ya. Sama menderitanya saat aku kehilanganmu dan Kamal," balasku.Kami saling menatap sesaat. Sebelum akhirnya, Karin memutus kontak mata lebih dulu."Papa ....""Papa pun sudah tiada. Kalau bukan karena adanya putriku dan Ayu, entah seperti apa jadinya hidupku ini. Aku kehilan
Berhari-hari aku menunggu jawaban Karin berubah, tapi itu tidak terjadi. Sudah lima hari aku dan Ayesha berada di sini dan memilih tidur di mobil karena Karin meminta kami pergi. Akan tetapi, semua yang dilakukannya itu tidak akan menyurutkan niat dan langkah ini. Aku tidak akan menyerah."Papa, apa tidak sebaiknya kita pulang saja? Aku takut Bunda malah tertekan, Pah. Bagaimana kalau yang kita lakukan ini justru membuat kesehatannya semakin memburuk?"Aku diam. Otak mengiyakan, tapi hati menolak."Papa ....""Sehari lagi, Ayesha. Sehari lagi," sahutku dengan mata terpejam, "kalau sehari lagi jawaban Bunda tidak berubah, kita akan pulang. Sabar, ya.""Iya, Pah."Beberapa menit telah berlalu dalam keheningan. Hingga akhirnya, mata i
Aku merasa hampa dan tak berarti lagi. Semua orang telah meninggalkanku seorang diri. Pada akhirnya, aku tetap dihukum hidup dalam kesepian. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur masih sempat menemani Karin di hari-hari terakhirnya. Sudah seminggu Karin pergi, tapi rasanya masih sulit dipercaya kami takkan pernah lagi bertemu. Sungguh sakitnya tak terkira."Pah."Aku menyeka air mata dan menoleh pada Ayesha yang menyentuh lembut punggung tangan ini."Papa harus kuat," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Aku mengangguk dan mencoba tersenyum meski air mata terus berjatuhan. Hampir setiap hari aku mengunjungi makamnya ditemani anak-anak."Papa ....""Papa baik-baik saja, Ayesha. Papa baik-baik saja," kataku yang nyatanya tetap gagal menahan tangis dengan wajah tertunduk."Papa." Ayesha ikut menangis dan memelukku erat dari samping. 
"Kalian sudah makan malam?"Keduanya menggeleng."Kami tunggu Papa sadar. Bagaimana bisa kami makan kalau Papa masih belum siuman?" kata Ayesha."Ayo, Pah. Kita makan sama-sama," ajak Kamal seraya membantuku bangun."Papa sudah tidak apa-apa. Kalian turun duluan, ya. Sebentar lagi papa menyusul.""Tapi, Pah. Nanti ....""Papa tidak apa-apa, Ayesha. Sudah tidak pusing." Aku tersenyum untuk menenangkannya."Kami tunggu Papa di meja makan, ya. Ayo, Sha," ajak Kamal pada adiknya.🍁🍁🍁Selepas kepergian keduanya, aku masuk ke kamar mandi dan mencuci wajah di wastafel. Di depan cermin, aku termenung menatap diri sendiri. Bayangan kebersamaan dengan Karin beberapa tahun silam kembali hadir menyapa.Air mata kembali menitik, ketika bayangan kami yang sedang saling menggoda di kamar
"Mana kakak-kakakmu?" tanyaku pada Ayesha yang sudah lebih dulu duduk di meja makan."Masih di kamar sepertinya, Pah. Itu mereka!" Ayesha tersenyum pada Kamal dan Faisal yang baru muncul."Ayo duduk dan sarapan," ajakku.Keduanya tersenyum, lalu masing-masing menarik kursi yang berseberangan dengan Ayesha."Mulai hari ini kamu pelajari perusahaan papa, ya, Mal. Semua perusahaan yang ada akan papa serahkan padamu kalau sudah berhasil menguasai.""Iya, Pah.""Dan kamu, Faisal. Kamu fokus lanjutkan kuliah dulu saja, ya. Ini semua juga demi masa depan kamu nanti. Setelah lulus, kamu baru bisa ambil bagian di perusahaan papa."Dia mengangguk."Kalau aku, Pah?" tanya Ayesha riang."Kamu? Uhm— sekolah dulu yang benar, ya. Setelah itu kuliah, baru menikah.""Ih, kok menika
Sekitar pukul lima sore, kami sudah tiba di rumah. Ayesha yang ternyata sedang kedatangan teman sekolah pun langsung menyambut kami dengan riang."Kakakmu tampan semua, ya, Sha," puji Lily—teman sekolahnya."Iya, dong. Siapa dulu adiknya?" ucap Ayesha bangga seraya merangkul lengan Kamal."Abang mau mandi. Kamu lanjutin belajar bersamanya," kata Kamal seraya mengusap kepala Ayesha.Ayesha mengangguk, lalu kemballi duduk di samping temannya di karpet."Faisal ke mana?" Aku duduk di sofa, sedangkan Kamal sudah pergi ke kamarnya."Tidak tahu, Pah. Tadi habis antar aku pulang, Bang Faisal pergi lagi. Katanya mau jalan-jalan sebentar.""Tadi siang kamu makan tidak, hm?""Makan, dong, Pah.""Bagus. Lanjutkan belajarnya." Aku tersenyum, lalu merogoh ponsel dan menghubungi seseorang.
Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar
"Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w