Makhluk sebesar anak berusia dua tahunan itu menatap Farrel ketakutan. Sedangkan Farrel semakin menyeringai dengan kedua mata melotot, seolah ingin menelan mentah-mentah tuyul tersebut.Sepertinya, Farrel memang begitu dendam. Hanya itu yang ada di hati pemuda nyentrik tersebut. Sementara Bu Siti yang berdiri di sampingnya, memperhatikan Farrel dengan tatapan heran. Berkali-kali dia menyentuh lengan pemuda tersebut. Bulu kuduknya sejak tadi merinding."Cari duit? Nih, duit. Ambil!" tantang Farrel pada makhluk tersebut, sambil memamerkan beberapa lembar ratusan ribu yang dia serobot dari tangan Bu Siti."Le, koe ngomong sama siapa to, Le?" bisik Bu Siti, kembali mencolek lengan Farrel. Farrel menoleh sekilas dan terus mengamati gerak-gerik makhluk yang tertangkap basah sedang mengintai mangsanya. Lalu makhluk kecil dengan kepala tanpa rambut dan tanpa pakaian itu duduk di depan sang pemilik. Farrel menyunggingkan senyum miring melihat kegelisahan di wajah Pak Narso.Farrel menunduk ke
Pak Narso bergerak semakin gelisah. Rasa panas di bahu benar-benar membuatnya tidak nyaman. Laki-laki itu pun segera bangkit dan melirik sekilas ke arah Bintang."Sialan bener, matanya ditaruh mana, to? Gelas kopi sebesar itu nggak kelihatan!" maki Pak Narso dalam hati. Bintang benar-benar membuatnya dongkol.Sementara itu, Bintang sibuk membersihkan celananya yang terkena sedikit tumpahan kopi. Laki-laki itu tersenyum miring sekilas."Lho, Pak, kok buru-buru, kopinya belum habis?" tanya Pak Sugeng si pemilik warung.Pak Narso membayar jajanannya sambil tersenyum masam. "Iya, Kang, kurang enak badan," jawabnya. Sesekali dia mendesis menahan panas.Tidak ada yang menyadari sikap aneh laki-laki setengah tua itu. Selain, Bintang, Farrel, Vio, dan Dino. Langkahnya pun sedikit tertatih karena kedua kakinya masih terasa ngilu.Sumpah serapah dan umpatan beruntun dia dengungkan dalam hati. Gagal sudah malam ini dia mendapatkan uang seperti kebiasaannya. Malah sial yang dia dapatkan."Awas, Pa
Itu suara Mbah Kukus. Makhluk tak kasat mata itu mengerang. Pak Narso mundur selangkah. Laki-laki itu pun memindai sekeliling. Dia memegang bahu istrinya yang gemetaran. Perempuan paruh baya itu juga sangat syok. Dia tidak menyangka jika Mbah Kukus benar-benar akan meminta sang anak sebagai tumbalnya. Nuraini, anak semata wayang itu yang akan mereka jadikan tumbal? Anak yang dikandung dan dilahirkan. Lalu, dirawat dengan kasih sayang walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Kini, anak itu tumbuh menjadi remaja yang cantik, cerdas, dan mandiri. Juga shalihah. Bu Sayuti menatap nanar pada suaminya, lalu beralih pada makhluk kecil yang masih ada di tempatnya. Sementara itu, suara Mbah Kukus kini berganti tawa yang membahana. Kemudian terdengar samar dan menghilang.Bu Sayuti menatap suaminya lagi. Kali ini tatapan protes. "Nur itu anak kita satu-satunya, Pak. Ibuk pikir Bapak becanda, dulu. Tapi, ternyata Bapak memiliki perjanjian dengan Mbah Kukus?" tanyanya parau.Pak Narso mengusap k
"Maafkan, Nur, Bu..."Nuraini semakin terisak ketika Bu Asih mengusap-usap punggungnya. Dalam hati, gadis itu merasa dilema. Dia mengutuk perbuatan kedua orang tuanya, tetapi dia juga tidak mungkin bicara jujur pada Bu Asih. Ketika Bu Sayuti sering belanja di toko milik Bu Asih, setidaknya seminggu dua kali, tanpa mereka sadari toko Bu Asih selalu kehilangan uang. Tetapi, sang pemilik toko tidak menyadari hal itu karena diam-diam, Nur mengganti uang tersebut dengan uang miliknya. Kini, Nur tidak memiliki uang untuk mengganti. Nur menatap Bu Asih dan Aris bergantian dengan tatapan nanar."Bu, boleh saya berhenti bekerja dulu?" tanyanya takut.Hal tersebut justru mengundang tanya di benak Bu Asih mau pun Aris. Keduanya menatap Nur dengan tatapan menyelidik. Bu Asih mengajak Nur untuk duduk. Hanya bertiga dengan Aris di ruang belakang. Hal itu dilakukan supaya tidak diketahui oleh karyawan yang lain."Sekarang ceritakan apa yang terjadi, Nur. Ibu merasa heran, kenapa kamu tiba-tiba ingi
"Ya, Allah ... Astaghfirullah."Nur tercekat. Ini kenyataan paling pahit yang dia ketahui, setelah mengetahui kedua orang tuanya menjadi pengikut iblis. Setega itukah orang tuanya? Hanya karena ingin bebas dari hidup miskin mengorbankan anaknya sendiri? Ternyata Pak Duki dan Hasan tidaklah cukup bagi mereka. Kini, justru dia dan Farrel yang ditargetkan menjadi tumbal. Setelah itu siapa lagi? Keputusan pergi dari rumah dan tidak ingin memakan uang haram, ternyata tidak cukup juga membuat kedua orang tuanya berbelas kasih padanya. Nur terpaku di tempat duduk.Dia menoleh ketika merasakan, Alisha mengusap-usap punggungnya. Gadis itu melirik ke arah Farrel yang justru bersikap begitu santai. Seolah hal ini bukan menjadi masalah besar bagi pemuda nyentrik tersebut."Maaf Nur, kami harus jujur dengan semua ini. Pakdhe tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi itulah yang terjadi, Nur."Ucapan Pak Haji Imran menginterupsinya.Nur mendongak, menatap satu persatu orang yang berada di ruang keluarga l
Semenjak pertemuan di rumah Bintang waktu itu, Nur lebih membatasi diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Gadis itu lebih sering menyibukkan diri di sekolah dan di toko. Kemudian, malamnya memilih berdiam di rumah bersama neneknya. Jika bepergian, paling hanya ke masjid yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.Berbeda dengan Farrel yang notabene memiliki banyak teman. Latihan, nongkrong, dan mengendarai motor dari satu tempat ke tempat lain adalah hobi mereka."Rel, kamu sering ketemu Nur, nggak?" tanya pemuda seumurannya yang memang menaruh hati pada Nur.Farrel hanya mengangkat bahunya tak acuh. "Kalau pengin ketemu Nur, ya sana, ke tokonya Bu Asih. Siang sampai sebelum Maghrib. Dia kerja di sana." Farrel memberitahu.Sontak mata sipit Banu berbinar ceria. "Boleh nggak ya, kalau seandainya aku ngajak Nur ke danau hari Minggu? Tapi...," Banu menghentikan kalimatnya ragu."Tapi apa?" tanya Farrel mulai ingin tahu.Banu menarik napas sebentar kemudian berucap pesimis. "Pak Narso kan k
Farrel tersenyum satu sudut melihat kepanikan di wajah Pak Narso. Laki-laki tua dengan rambut memutih itu pun segera bangkit dan berusaha menghindari kontak mata dengan Farrel.Farrel tidak menyerah. Dia mengikuti gerak gerik makhluk kecil yang menempel pada pemiliknya. Aksi aneh Farrel itu pun menjadi pusat perhatian para pengunjung warung."Bagaimana Pakdhe Narso? Masih terus-menerus memfitnah bapakku dan Pak Bintang?" tanyanya sekali lagi. Namun, pandangan pemuda berambut biru itu tak beralih dari peliharaan Pak Narso.Pak Narso mengusap keringat dingin di dahinya. "Rel, kamu itu bicara apa? Aku nggak fitnah bapakmu. Aku hanya mengatakan apa yang aku dengar, Rel. Kalau nggak, ya sudah. Orang-orang kan seringkali bicara begitu, to?" dalihnya. Farrel tersenyum sinis. "Dasar munafik!" desisnya sembari melangkah menuju ke motornya. "Ada apa to, Kang? Kok sepertinya Farrel marah banget?" tanya salah satu di antara mereka. Pak Narso menggeleng seolah tidak mengetahui apa pun. "Ya nggak
Alisha dan Bintang tersenyum ramah pada Nur sebelum mereka keluar dari toko orang tuanya. Kesalahpahaman tempo hari sudah dijelaskan oleh Alisha pada ibunya. Namun, tentu saja mereka tidak mengatakan jika orang tua Nur memiliki pesugihan.Alisha dan Bintang tidak ingin keberadaan Nur di situ mendapatkan intimidasi dari teman-temannya. Karena menurut mereka, saat ini toko itu adalah tempat yang aman bagi Nur. "Terima kasih ya, Nur. Kamu hati-hati bekerja." Alisha berpesan pada gadis sederhana itu, ketika membantunya memasukkan beberapa barang ke bagasi mobil."Terima kasih kembali, Mbak, Pak." Nur menjawab dengan sopan. Bintang mengangguk dan menatap prihatin gadis itu. "Nur, ingat ya, pesan kami waktu itu, jangan sampai lupa." Kali ini giliran Bintang yang berpesan pada gadis tersebut. Nur kembali mengangguk dan membalikkan badannya, berjalan menuju toko."Nuraini!"Nur mengurungkan niatnya memasuki toko. Dia menoleh pada seorang pemuda yang hendak turun dari motor. Pemuda itu tersen