Langit biru perlahan berubah jingga. Suasana sore yang hangat dan harum pepadian merebak memberikan aroma nyaman. Yusuf masih berada di kebun apel yang dikelola Paman Didi saat Alya menelepon dengan suara panik.
“Mas, cepat pulang!” “Ada apa, Sayang?” Yusuf menatap Paman Didi yang penasaran ketika melihat ekspresi keponakannya itu. “Salma hilang. Neneknya sekarang ada di rumah kita,” beritahu Alya. Yusuf menyugar rambutnya. Dia dibuat bingung oleh ucapan istrinya. “Terus, apa masalahnya dengan kita, Sayang?” “Mas, tolong bantu cari Salma. Kamu pulang sekarang, ya!” pinta Alya dengan suara memohon. Saat Nek minah pulang dari sawah setelah seharian bekerja sebagai buruh tani, tiba-tiba Salma sudah tidak ada di rumah. Dia meninggalkan surat di atas tempat tidurnya ketika Nek Minah membuka kamar gadis itu. “Tadi malam nenek memarahinya, Nak,” beritahu Nek Minah pada Alya. Alya mengusap punggung wanita tua itu dengan lembut, seraya memberinya rasa tenang. “Maafkan, nenek. Semua salah nenek. Sebenarnya Salma anak yang baik. Tapi, entah apa yang membuatnya berubah menjadi anak yang pemberontak. Nenek punya firasat, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi, setiap kali nenek tanya, dia tidak mau menjawab.” Air mata Nek Minah menetes. Alya menarik napas sejenak. Dia ingin sekali menyampaikan pada Nek Minah bahwa penyebabnya adalah seseorang yang tengah mengancamnya. “Nek, Alya ikhlas kalau Salma mau jadi istri kedua Mas Yusuf. Alya dan Mas Yusuf sudah lama belum diberi amanah seorang malaikat kecil oleh Allah. Hanya saja .…” Alya menunduk bingung. Pasalnya, Yusuf belum menyetujui permintaan Alya. “Nenek mengerti, Nak. Nenek paham. Jangan biarkan dia merebut suamimu, Nak. Nenek akan sangat malu dan .…” “Assalamu’alaikum ….” Suara salam dari Yusuf memotong pembicaraan antara Nek Minah dan Alya. Kedua wanita yang sedang duduk di ruang tamu itu melihat ke arah Yusuf. Lelaki itu mencium tangan Nek Minah, Alya pun menyambut tangan Yusuf dan menciumnya. Yusuf tersenyum ramah pada Nek Minah sembari duduk di sofa single. “Tadi istri saya bilang, Salma hilang, Nek?” tanya Yusuf memastikan. Nek Minah mengangguk. “Dia bukan tipe anak yang pembangkang. Tapi hari ini, tepatnya semenjak kedatangan kalian ke kampung ini, dia jadi berani melawan.” Alya dan Yusuf saling betatapan dengan raut bingung. “Maaf, maksud nenek bukan begitu. Bukan berarti kedatangan kalian membuat Salma .… tapi nenek .…” Wanita tua yang masih mengenakan pakaian bertaninya itu terlihat susah untuk menjelaskan. “Alya dan Mas Yusuf paham, Nek. Kami tidak tersinggung, kok. Ya kan, Mas?” Alya menoleh pada suaminya dan mendapat anggukan dari Yusuf. “Apa yang bisa kami bantu, Nek?” tanya Yusuf seketika. “Salma ingin menjadi istri kedua dari Nak Yusuf. Tapi, nenek melarangnya. Nenek nggak mau dia menjadi perebut suami orang dan merebut kebahagiaan wanita sebaik Alya,” ucap Nek Minah, matanya berkaca-kaca menatap Alya yang duduk di sebelahnya. Alya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Alya tahu masalah yang sedang dialami Salma, Nek. Alya ikhlas. Mas Yusuf juga, kan?” tanya wanita cantik bersuara lembut itu pada suaminya. Yusuf menunduk sejenak. Hatinya diliputi kegundahan. Bagaimana mungkin dia menduakan istri yang sangat dicintainya ini. Alya adalah satu-satunya wanita di hatinya. Beberapa detik terlewati, Yusuf masih belum juga menjawab. “Mas, menikahi seorang perempuan yang membutuhkan bantuan itu diperbolehkan, apalagi sudah mendapat izin dari istri pertama.” Alya tiba-tiba berujar, memberi penjelasan mengenai poligami. Dengan tarikan napas yang panjang, akhirnya Yusuf mengangguk. “Baiklah, Nek. Yusuf akan menikahi Salma.” Bagai dihantam ombak lautan, dada Alya berdesir hebat. Padahal dia sendiri yang menyuruh dan menyetujui hal itu, tapi kenapa saat suaminya berucap demikian, tiba-tiba ada keraguan menghantuinya. Segera dia beristighfar dan kembali pada tujuannya, yaitu ikhlas untuk membantu Salma keluar dari belenggu orang yang mengancamnya. “Terima kasih, Nak. Dan, maaf .…” Suara Nek Minah tercekat. Lirih dia menggenggam tangan Alya dengan perasaan bersalah yang teramat besar. Alya tersenyum menutupi hatinya yang berkali-kali dihantam ombak, sedangkan Yusuf menatap istrinya dengan sayu. **** Setelah perbincangan siang tadi, Alya, Yusuf dan Nek Minah pergi mencari Salma. Meski tak tahu tujuan, mereka tetap berusaha dengan petunjuk yang dikatakan Nek Minah, yaitu tempat-tempat yang sesekali dikunjungi Salma, seperti kebun dan sungai. “Dia nggak punya teman. Jadi nggak mungkin dia pergi ke rumah temannya,” ujar Nek Minah. “Apa ada tempat yang sering dia kunjungi kalau sedang sedih, Nek?” tanya Alya. Nek Minah menaikkan bola matanya dan berpikir. “Kayaknya nggak ada. Dia lebih sering di kamarnya kalau sedang sedih, Nak. Paling, kalau bosan di rumah, dia ke sungai dekat ujung kebun milik Wahyu.” Alya membaca kembali surat yang ditinggalkan Salma kepada Nek Minah. Di dalam surat itu, Salma berkata ingin pergi jauh dari rumah dan jangan mencarinya. Dia akan kembali jika nenek sudah merestuinya untuk menikah dengan Yusuf. “Coba telepon lagi, Sayang!” titah Yusuf pada istrinya. “Masih nggak diangkat, Mas.” Seketika suasana hening. Semua sibuk berpikir. Hingga tiba-tiba, ketika sampai di gapura desa yang sepi dan di kelilingi pohon karet di kanan kirinya, Yusuf menginjak rem mendadak. Alya dan Nek Minah yang duduk di belakang hampir terbentur pada kursi depan. Alya segera menanyakan keadaan Nek Minah yang terlihat panik dan memegangi dadanya. “Nenek nggak apa-apa, Nak,” ucap wanita tua itu. “Ada apa, Mas?” tanya Alya pada suaminya yang masih terpaku di kursi kemudi. “Aku periksa dulu. Sepertinya tadi ada seseorang yang hampir tertabrak,” jawab Yusuf. Alya terkejut dan khawatir, tapi dia memilih diam di dalam mobil menemani Nek Minah yang masih terkejut. “Salma?” pekik Yusuf. Gadis itu sudah pingsan di tepi jalan. Di tubuhnya banyak lebam, serta pakaiannya yang sudah lusuh, ada robek di bagian bahu. Yusuf segera menggendong gadis itu. Alya melebarkan matanya ketika melihat suaminya menggendong seseorang yang saat ini sedang mereka cari. “Salma!” Alya segera turun untuk membantu suaminya. Yusuf langsung memasukkan Salma ke kursi belakang, bersama sang Nenek. Nek Minah menjerit pilu. Tangisnya pecah melihat keadaan sang cucu. “Kamu kemana aja, Nak. Kamu kenapa? Siapa yang membuatmu seperti ini?” Nek Minah tak hentinya menangis. “Bangun, Sayang. Ini nenek .…” ucap Nek Minah sambil mengusap lembut wajah dan rambut cucu tersayangnya. “Kita bawa dia ke rumah sakit, Mas!” ajak Alya dan mendapat anggukan dari Yusuf. Alya terus menoleh ke belakang seraya menenangkan Nek Minah yang belum berhenti menangis. “Nenek harus tenang, ya. Insya Allah Salma baik-baik aja. Nenek harus kuat, kalau nenek seperti ini, bagaimana kalau sakit nenek kambuh lagi? Bukankah nenek ingin melihat Salma menikah dan bahagia?” bujuk Alya dengan suara lembut dan senyum. Nek Minah mengangguk lemah dan mengusap air matanya. Mobil melaju cepat meninggalkan Desa Pandan. Sebuah rumah sakit umum yang tidak jauh dari desa pun menjadi tujuan. Yusuf segera menggendong Salma ke IDG agar segera mendapat pertolongan. Alya merangkul tangan Nek Minah, membawanya berjalan dengan tenang. Saat Yusuf sudah membaringkan Salma di atas tempat tidur pasien, dia ingin menyusul istrinya. Tanpa ia sadar, Salma telah membuka mata dan menahan tangannya. “Mas Yusuf jangan pergi ….” panggilnya dengan suara serak dan lirih.“Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n
“Mas, perutku sakit.” Alya meringis sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Dia merasakan sensasi aneh dan rasa sakit yang luar biasa yang membuat dia harus segera menelepon sang suami yang saat ini sedang berada di kebun apel.Tangan kiri Alya bertopang pada jendela kamarnya, sedangkan yang satunya memegang ponsel. Matanya menatap pemandangan sawah di mana pepadian telah menguning dan tak lama lagi akan memasuki musim panen.“Aku pulang sekarang!” Yusuf mengakhiri panggilan. Enam bulan berlalu begitu cepat. Tetapi bagi Alya dan Yusuf, waktu berjalan begitu lambat. Tak sabar rasanya menunggu kehadiran buah hati. Saat ini, adalah masa-masa menegangkan di mana usia kehamilan Alya memasuki minggu ke 37. Selama waktu itu pula, Yusuf telah menjatuhkan talak pada Salma disaksikan Aldi, Alya dan Paman Didi. Dia akhirnya menuruti permintaan Salma pada surat itu, bukan karena Aldi ingin menggantikannya, tapi demi kesehatan mental mereka semua, jika memang itu yang diinginkan Salma.“
“Itu Salma, Mas!” Alya menunjuk rekaman CCTV yang ditunjukkan Cindy pada layar komputernya.Kening perempuan berjas putih itu mengerut heran, kenapa dua temannya itu mengenal pasien yang ia tangani kemarin.Yusuf mengangguk, dia juga melihat Salma menangis sedangkan Rico berusaha menenangkannya.“Mas, telepon Rico, tanyakan di mana Salma. Aku mau ngomong sama dia,” pinta Alya, menarik lengan baju suaminya seperti anak kecil.Yusuf membawa istrinya duduk agar tenang. “Ingat kata Cindy barusan? Kamu nggak boleh stres!” peringat Yusuf dengan nada pelan.Alya akhirnya mengangguk patuh. Dia mengusap perutnya, menarik napas dan berusaha menenangkan diri.“Cin, makasih banyak, ya. Kita pamit dulu, nanti bakalan rutin periksa ke kamu,” ucap Yusuf berpamitan dengan senyum seolah tak ada masalah.Cindy dengan raut bingung, mengangguk saja. Padahal dia masih ingin mengobrol karena penasaran kenapa Yusuf dan Alya bisa mengenal perempuan itu, tapi dia tidak berhak tahu dan tidak berani bertanya le
“Mas, kenapa? Kok, kelihatannya lagi mikirin sesuatu?” Alya sejak tadi memperhatikan suaminya yang tampak berubah.Setelah menerima berita bahagia, ekspresi yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah redup setelah kembali dari rumah Salma.Yusuf menoleh sejenak, sedang tangannya sibuk mengemudikan mobil.“Nggak ada, Sayang.”“Kamu mikirin apa?” tanya Alya dengan nada tegas tapi lembut. Dia tahu, suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.Ibu yang sejak tadi di belakang, hanya diam dan mendengarkan.Yusuf masih diam. Sesekali dia menarik senyum seperti dipaksakan.“Apa kamu masih marah sama aku, Mas? Tebak Alya.Yusuf menggeleng cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma ….”“Apa ada sesuatu yang kamu temukan di rumah Salma tadi?” Alya menebak lagi. Sekarang wajah Yusuf tampak terkejut, namun akhirnya mengangguk.“Salma meninggalkan surat.” Yusuf melirik kaca spion depan, melihat ibu mertuanya dengan tatapan sungkan.Sejak tadi dia menyembunyikan hal itu karena tidak ingin ibu mertuanya mendengar. Di
Beberapa hari kemudian, kondisi ibu semakin membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sementara ayah, masih dalam perawatan. Aldi mengabaikan tugas akhir kuliahnya untuk sementara demi menjaga sang ayah. Dia yang membantu mengisi memori baru ketika ayahnya tersadar dan tidak mengingat apa pun bahkan namanya sendiri.Kemarin, ibu ikut pulang ke Desa Pandan. Alya sangat senang bisa bersama sang ibu meski belum bisa berkumpul kembali dengan ayahnya.“Sayang, aku mau ke kebun dulu, ya. Sudah beberapa hari aku jarang mengontrol proyek. Kasihan Paman Didi,” ucap Yusuf berpamitan, ketika selesai sarapan.Alya mengangguk dan tersenyum, sambil membereskan piring di atas meja.“Bu, Yusuf pamit, nanti siang kita ke rumah sakit lagi, jengukin ayah, ya.” Yusuf mencium punggung tangan mertuanya.Wanita yang gemar memakasi songkok jika berada di dalam rumah itu mengangguk dan tersenyum hangat.Alya mengantarkan suaminya ke depan pintu setelah membereskan piring kotor. Dia berjalan pelan seperti tidak
“Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Aldi seketika, setelah dokter keluar dari ruang operasi. Dari sisi lain, Yusuf berlari menghampiri Aldi. Dia meninggalkan Salma yang masih belum sadarkan diri dan dalam perawatan di ruang IGD sebelum dokter menentukan ruangan rawat. Dengan napas terengah-engah. Yusuf berdiri di samping Aldi. “Kabar baiknya, Alhamdulillah pasien sudah berhasil ditangani.” “Kabar buruknya?” tanya Yusuf ragu. “Kemungkinan beliau akan mengalami amnesia,” jawab sang dokter. Yusuf menepuk bahu Aldi untuk menenangkannya. Dokter dan rekannya pamit dari sana. Tak lama kemudian, Pak Hamdan dibawa ke ruang ICU. Aldi terduduk lemah. Dia bersyukur ayahnya masih selamat, meski setelah sadar nanti, sang ayah tidak akan mengenalinya. “Terima kasih, Allah. Setidaknya ini akan membuat ayah melupakan masa lalu tersakitnya. Biarkan aku yang menanggung rasa bersalahnya ya Allah ….” Keluh Aldi sambil menangkupkan tangan dan menjatuhkan wajahnya di atas tangan yang