Beranda / Thriller / MERINDUKAN SURGA / PESONA SANG SUAMI

Share

PESONA SANG SUAMI

Penulis: DEAR GREEN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-26 18:54:14

“Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Yusuf ketika melihat istrinya membawa cake buatannya keluar rumah.

“Aku mau ke rumah Salma, Mas. Mau perkenalan sekalian jenguk neneknya. Bagaimana pun juga, dia kan, tetangga kita, Mas.” Alya menjawab sambil merapikan hijabnya.

Yusuf meletakkan ponselnya yang sejak tadi dimainkan untuk memantau perusahaan yang sekarang dipegang oleh Siska. Pria dengan janggut tipis itu mendekati sang istri.

“Kamu lupa apa yang dikatakan Bi Wahyuni tadi siang?”

Alya tersenyum manis. “Mas, Salma itu mirip denganku. Dia seperti itu karena merasa kesepian. Seseorang yang yang bersikap dingin dan misterius, biasanya banyak menyimpan rasa sakit yang hanya bisa dipendam, sebab setiap dirinya berbicara tidak pernah didengar.”

Yusuf menghela napas. Matanya tertuju pada rumah kecil yang berdinding papan kayu dengan atap yang sudah terlihat tua. Halamannya gersang, tidak ada bunga atau pohon di dekatnya. Hanya rumput liar yang tumbuh di sekitar halaman.

“Tapi kamu hati-hati, Sayang. Atau perlu aku temani?” tawar Yusuf.

“Lain kali saja, Mas. Hari ini aku duluan ke sana. Nanti kalau sudah mendapat izin, baru kita berkunjung bersama.”

Yusuf mengangguk dan membiarkan istrinya pergi. Jalan ke rumah Salma sedikit menurun dan berbatu. Namun, udara sore di Desa Pandan sangat sejuk dan menyegarkan, ditambah suguhan pemandangan sawah yang membentang, membuat Alya tak berhenti tersenyum.

Saat Bibi Wahyuni mengatakan jangan mendekati Salma, Alya justru semakin dibuat penasaran dan ingin berteman dengan gadis itu.

Kata Bi Wahyuni, dulu Salma adalah gadis yang ceria dan ramah. Tetapi, ketika baru saja kembali dari kota untuk mencari pekerjaan, Salma berubah dingin dan misterius. Hati Alya tergelitik untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Salma. Dia ingin menjadi tempat bercurah keluh kesah bagi Salma.

“Assalamu’alaikum ….”

Dua kali Alya mengucap salam, namun tidak ada jawaban dari pemilik rumah. Hingga di salam ketiga, suara lirih pun menjawab.

Seorang wanita tua berusia enam puluhan tahun membuka pintu.

“Wa’alaikumsalam. Dengan siapa, ya?” Nek Minah mengerutkan kening. Dia baru pertama kali melihat Alya. “Kamu tetangga baru yang dibilang Didi?” tebak wanita itu.

Alya mengangguk dan tersenyum ramah. “Benar, Nek. Nama saya Alya.”

“Oh, ayo masuk!” Nek Minah membuka lebar pintu yang sudah keropos itu.

“Duduk dulu. Biar Nenek bikinin minum,” ujarnya.

“Nggak usah repot-repot, Nek. Oya, ini Alya bawain cake, tadi Alya bikin sendiri. mumpung rajin,” kekehnya.

Nek Minah duduk di kursi kayu yang sudah terlihat tua. Banyak bagian yang keropos dimakan usia.

“Terima kasih, Nak.”

“Oya, Nek. Salma mana?”

Nek Minah diam sejenak. “Kamu kenal cucu saya? Sudah pernah ketemu?”

Alya mengangguk.

“Dia lagi ke warung. Tapi, sebaiknya kamu pulang sekarang sebelum dia kembali,” titah Nek Minah.

Alya mengerutkan kening. “Kenapa, Nek? Saya hanya ingin berkenalan.”

“Sebaiknya nggak usah. Dia itu nggak pandai bergaul. Nenek takut kamu sakit hati kalau dekat dengan dia. Ucapannya terkadang ketus, Nak. Dia berubah semenjak kembali dari kota untuk mencari pekerjaan. Entah karena kesal tidak diterima kerja atau ada hal lain, nenek sendiri nggak tahu. Dia nggak mau cerita.” Nek Minah menjelaskan tentang Salma. Sesuatu yang sudah dia dengar dari Bi Wahyuni.

“Siapa tahu dia mau berteman dengan Alya, Nek.” Perempuan bergamis hitam motif bunga kecil berwarna merah muda itu tetap pada pendiriannya, yaitu ingin mendekati Salma.

“Siapa bilang?” Tiba-tiba Salma sudah berdiri di depan pintu dengan wajah tak bersahabat. Matanya menatap Alya dengan tajam seolah penuh kebencian.

“Assalamu’alaikum, Salma. Saya Alya .…” Alya berdiri dan mengulurkan tangan, tapi Salma langsung mengusirnya.

“Silahkan pulang! Saya dan nenek tidak ingin diganggu siapa pun. Tidak ingin berkenalan dengan siapa pun, dan tidak butuh bantuan siapa pun.” Salma mengambil cake yang masih utuh di atas meja, lalu mengembalikannya pada Alya.

“Salma .…” Nek Minah mencoba membujuk.

“Kenapa nenek izinkan orang asing masuk? Bagaimana jika dia ingin berbuat jahat? Jangan mudah percaya dengan penampilan luarnya, Nek!” Nada suara Salma meninggi.

“Salma, kamu nggak boleh kasar sama nenek,” ucap Alya dan meletakkan kembali cake-nya. “Baiklah, saya akan pulang. Tapi, saya akan kembali lain waktu bersama suami saya. Boleh, kan, Nek?” Alya menoleh pada Nek Minah yang mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Alya.

Salma langsung menutup pintu ketika Alya melangkah keluar, lalu menguncinya dari dalam.

“Astaghfirullah .…” Alya mengusap dada. Ia terbayang kembali perlakuan ibu mertua dan adik-adik iparnya.

Saat kembali ke rumah, Yusuf menanyakan bagaimana perkenalan dengan tetangganya itu.

Alya tersenyum kecut. “Masih awal, Mas. Ya, begitulah .…”

“Sudahlah, Sayang. Jangan usik dia. Ingat kata Bi Wahyuni, dia pernah mencelakai seorang gadis di desa ini sampai harus dilarikan ke rumah sakit.”

“Tapi kan, kita nggak tahu apa penyebabnya, Mas. Alya yakin, dia punya alasan melakukan itu.”

Yusuf menggelengkan kepala. Alya memang keras kepala. Dia tipe orang yang kuat pendirian. Tidak mudah digoyahkan jika sudah memiliki tekad. Tak heran dia bisa menghafal Al-Qur’an hingga khatam.

“Ya sudah. Aku mau maghrib ke masjid dulu, ya.” Yusuf mengenakan pecinya dan berpamitan.

Alya tersenyum. Dia tertegun melihat suaminya yang selalu tampan jika mengenakan setelah koko berwarna putih dengan peci hitam.

“Aku jalan kaki saja. Biar banyak pahalanya. Lagian masjidnya dekat,” ucap Yusuf lagi. Namun, Alya masih tersenyum menatapnya penuh kagum.

“Kamu kenapa lihatin aku kayak gitu, Sayang?” Yusuf jadi salah tingkah.

“Kamu ganteng banget, Mas. Meski sudah lima tahun kita menikah, kamu selalu berhasil membuatku jatuh cinta setiap hari.”

Wajah Yusuf tersipu malu. Dia merasakan panas di pipinya. “Sayang, suaminya mau ke masjid malah digombalin.”

Alya tertawa melihat tingkah malu suaminya. “Ya sudah, hati-hati, ya Mas. Kalau Alya sudah selesai datang bulan, kita jalan bersama ke masjid, ya.”

“Pasti, dong.” Yusuf mengusap puncak kepala istrinya yang terbalut hijab. “Aku pergi dulu, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Alya terus memandangi suaminya hingga ke ujung jalan. Namun, pria itu berhenti ketika berada di depan rumah Salma. Alya melihat suaminya mengangguk pada seseorang di sana. Ternyata Salma kebetulan membuka pintu untuk membuang sampah di depan.

Dari jauh, Alya memperhatikan Salma yang terus menatap suaminya.

“Dia tersenyum?” gumam Alya.

Dadanya berdesir, ketika Salma justru terlihat ramah dan mau tersenyum pada suaminya.

“Saya suaminya Alya. Tetangga baru di sana,” jelas Yusuf sambil menunjuk rumahnya yang berada di atas. Sedang Alya masih berdiri di depan teras memperhatikan mereka.

“Saya Salma. Kita sudah bertemu tadi siang di rumah Pakde Didi,” sahutnya.

“Benar. Saya permisi dulu, sudah mau azan maghrib,” pamit Yusuf dengan ramah.

Salma tersenyum dan mengangguk. Alya melihat perbedaan sikap Salma ketika bertemu dengannya dan Yusuf.

“Pesona suamiku emang nggak main-main. Bahkan, es yang sangat beku dan dingin bisa seketika mencair.” Alya berujar bangga. “Besok, aku akan ajak Mas Yusuf ke rumah Salma,” lanjutnya berencana.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MERINDUKAN SURGA   MERINDUKAN SURGA || TAMAT

    “Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n

  • MERINDUKAN SURGA   LAHIR

    “Mas, perutku sakit.” Alya meringis sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Dia merasakan sensasi aneh dan rasa sakit yang luar biasa yang membuat dia harus segera menelepon sang suami yang saat ini sedang berada di kebun apel.Tangan kiri Alya bertopang pada jendela kamarnya, sedangkan yang satunya memegang ponsel. Matanya menatap pemandangan sawah di mana pepadian telah menguning dan tak lama lagi akan memasuki musim panen.“Aku pulang sekarang!” Yusuf mengakhiri panggilan. Enam bulan berlalu begitu cepat. Tetapi bagi Alya dan Yusuf, waktu berjalan begitu lambat. Tak sabar rasanya menunggu kehadiran buah hati. Saat ini, adalah masa-masa menegangkan di mana usia kehamilan Alya memasuki minggu ke 37. Selama waktu itu pula, Yusuf telah menjatuhkan talak pada Salma disaksikan Aldi, Alya dan Paman Didi. Dia akhirnya menuruti permintaan Salma pada surat itu, bukan karena Aldi ingin menggantikannya, tapi demi kesehatan mental mereka semua, jika memang itu yang diinginkan Salma.“

  • MERINDUKAN SURGA   BIAR AKU YANG GANTIKAN

    “Itu Salma, Mas!” Alya menunjuk rekaman CCTV yang ditunjukkan Cindy pada layar komputernya.Kening perempuan berjas putih itu mengerut heran, kenapa dua temannya itu mengenal pasien yang ia tangani kemarin.Yusuf mengangguk, dia juga melihat Salma menangis sedangkan Rico berusaha menenangkannya.“Mas, telepon Rico, tanyakan di mana Salma. Aku mau ngomong sama dia,” pinta Alya, menarik lengan baju suaminya seperti anak kecil.Yusuf membawa istrinya duduk agar tenang. “Ingat kata Cindy barusan? Kamu nggak boleh stres!” peringat Yusuf dengan nada pelan.Alya akhirnya mengangguk patuh. Dia mengusap perutnya, menarik napas dan berusaha menenangkan diri.“Cin, makasih banyak, ya. Kita pamit dulu, nanti bakalan rutin periksa ke kamu,” ucap Yusuf berpamitan dengan senyum seolah tak ada masalah.Cindy dengan raut bingung, mengangguk saja. Padahal dia masih ingin mengobrol karena penasaran kenapa Yusuf dan Alya bisa mengenal perempuan itu, tapi dia tidak berhak tahu dan tidak berani bertanya le

  • MERINDUKAN SURGA   TAK BISA MEMAAFKAN

    “Mas, kenapa? Kok, kelihatannya lagi mikirin sesuatu?” Alya sejak tadi memperhatikan suaminya yang tampak berubah.Setelah menerima berita bahagia, ekspresi yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah redup setelah kembali dari rumah Salma.Yusuf menoleh sejenak, sedang tangannya sibuk mengemudikan mobil.“Nggak ada, Sayang.”“Kamu mikirin apa?” tanya Alya dengan nada tegas tapi lembut. Dia tahu, suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.Ibu yang sejak tadi di belakang, hanya diam dan mendengarkan.Yusuf masih diam. Sesekali dia menarik senyum seperti dipaksakan.“Apa kamu masih marah sama aku, Mas? Tebak Alya.Yusuf menggeleng cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma ….”“Apa ada sesuatu yang kamu temukan di rumah Salma tadi?” Alya menebak lagi. Sekarang wajah Yusuf tampak terkejut, namun akhirnya mengangguk.“Salma meninggalkan surat.” Yusuf melirik kaca spion depan, melihat ibu mertuanya dengan tatapan sungkan.Sejak tadi dia menyembunyikan hal itu karena tidak ingin ibu mertuanya mendengar. Di

  • MERINDUKAN SURGA   TERIMA KASIH, SAYANG

    Beberapa hari kemudian, kondisi ibu semakin membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sementara ayah, masih dalam perawatan. Aldi mengabaikan tugas akhir kuliahnya untuk sementara demi menjaga sang ayah. Dia yang membantu mengisi memori baru ketika ayahnya tersadar dan tidak mengingat apa pun bahkan namanya sendiri.Kemarin, ibu ikut pulang ke Desa Pandan. Alya sangat senang bisa bersama sang ibu meski belum bisa berkumpul kembali dengan ayahnya.“Sayang, aku mau ke kebun dulu, ya. Sudah beberapa hari aku jarang mengontrol proyek. Kasihan Paman Didi,” ucap Yusuf berpamitan, ketika selesai sarapan.Alya mengangguk dan tersenyum, sambil membereskan piring di atas meja.“Bu, Yusuf pamit, nanti siang kita ke rumah sakit lagi, jengukin ayah, ya.” Yusuf mencium punggung tangan mertuanya.Wanita yang gemar memakasi songkok jika berada di dalam rumah itu mengangguk dan tersenyum hangat.Alya mengantarkan suaminya ke depan pintu setelah membereskan piring kotor. Dia berjalan pelan seperti tidak

  • MERINDUKAN SURGA   IBU KUAT

    “Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Aldi seketika, setelah dokter keluar dari ruang operasi. Dari sisi lain, Yusuf berlari menghampiri Aldi. Dia meninggalkan Salma yang masih belum sadarkan diri dan dalam perawatan di ruang IGD sebelum dokter menentukan ruangan rawat. Dengan napas terengah-engah. Yusuf berdiri di samping Aldi. “Kabar baiknya, Alhamdulillah pasien sudah berhasil ditangani.” “Kabar buruknya?” tanya Yusuf ragu. “Kemungkinan beliau akan mengalami amnesia,” jawab sang dokter. Yusuf menepuk bahu Aldi untuk menenangkannya. Dokter dan rekannya pamit dari sana. Tak lama kemudian, Pak Hamdan dibawa ke ruang ICU. Aldi terduduk lemah. Dia bersyukur ayahnya masih selamat, meski setelah sadar nanti, sang ayah tidak akan mengenalinya. “Terima kasih, Allah. Setidaknya ini akan membuat ayah melupakan masa lalu tersakitnya. Biarkan aku yang menanggung rasa bersalahnya ya Allah ….” Keluh Aldi sambil menangkupkan tangan dan menjatuhkan wajahnya di atas tangan yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status