Share

PINDAH KE DESA

Penulis: DEAR GREEN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-26 18:53:56

“Kalau itu masalah perusahaan, Yusuf akan menyerahkan semuanya pada Siska. Apa mama akan setuju?”

Siti terdiam. Sejak tadi dia memprotes keputusan anaknya untuk pindah ke desa. Namun, ketika dia mengatakan akan menyerahkan semuanya pada Siska, Siti berpikir kembali.

“Tapi, Siska belum berpengalaman, Suf. Apa kamu yakin akan pergi dari rumah demi perempuan ini?” Siti menunjuk menantunya.

“Perempuan ini? Dia istriku, Ma. Tolong hargai Alya sedikit saja. Apa tidak cukup selama ini mama dan adik-adik selalu menyakitinya?”

Siti melirik tajam pada Alya. Kini, dia tidak perlu menyembunyikan rasa bencinya lagi di depan Yusuf. Saat tadi Yusuf pulang terburu-buru dan berlari ke belakang halaman untuk menolong istrinya, Siti terkejut dan tak mampu menjelaskan apa pun.

“Mama nggak tahu kalau dia pingsan,” ucap Siti berbohong.

Namun, Yusuf menunjukkan bukti rekaman CCTV dan semua perbuatan keluarganya tidak bisa dielakkan lagi sebelum akhirnya membawa Alya ke rumah sakit. Cukup lama Alya dibiarkan tergeletak tak sadarkan diri di halaman belakang, sedangkan Siti sama sekali tak menghiraukannya.

“Kenapa mama begitu kejam? Alya adalah wanita yang Yusuf cintai, Ma.” Yusuf berujar lirih penuh kekecewaan.

Siti berdecak kesal. “Tapi gara-gara dia, papa kamu meninggal. Kamu lupa?”

“Papa meninggal karena takdir Allah, bukan gara-gara Alya, Ma! Yusuf nggak menyangka, selama ini mama memperlakukan wanita yang aku cintai seperti itu. Tapi, Alya bahkan tidak mengadukannya pada Yusuf.”

Siti masih bergeming. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.

“Kalian menyuruhnya ini dan itu layaknya pembantu! Bahkan mama melarangnya untuk makan. Siska dan Kirana yang selalu menyiksanya secara fisik. Aku tahu semuanya. Bekas luka dan lebam yang berusaha disembunyikan Alya, adalah bukti kekejaman kalian!” Yusuf meluapkan kekecewaannya.

“Tolong sampaikan semua ini pada Siska dan Kirana. Mereka itu anak perempuan, sama berharganya dengan Alya yang dicintai oleh keluarganya. Mama bayangkan, bagaimana perasaan mama jika kelak Siska dan Kirana diperlakukan begitu oleh keluarga suaminya? Apa mama rela?”

“Mama kecewa sama kamu, Suf. Kamu lebih memilih Alya dari pada mamamu sendiri yang telah melahirkan dan membesarkanmu,” ucap Siti lalu segera keluar dari ruangan tanpa pamit.

“Mas, kejar mama. Minta maaf padanya. Meskipun kamu sudah menikah, tapi kamu tetap milik mama, Mas,” titah Alya. Wajahnya sedih dan merasa bersalah. “Aku nggak mau kamu membenci keluargamu gara-gara aku, Mas. Aku sungguh baik-baik saja. Aku pantas diperlakukan begitu karena aku belum bisa membahagiakan mama. Aku belum memberinya cucu. Makanya .…”

“Ssssttt. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi, Sayang. Perbuatan mama dan adik-adikku itu salah, tidak bisa kamu benarkan dengan alasan apa pun.”

Alya terdiam dan menerima keputusan suaminya. Namun, dirinya tetap merasa bersalah.

“Kita pindah besok, setelah kamu sehat. Mau, kan?” tanya Yusuf dengan suara lembut.

Alya tersenyum dan mengangguk. “Tapi, kamu harus minta maaf sama mama dan meminta restunya,” pinta Alya.

“Baiklah, Sayang.” Yusuf mengangguk setuju.

****

Peralihan jabatan di perusahan sedang diurus oleh pihak direksi. Siska sangat senang, kini dia bisa berkuasa di perusahaan, karena selama ini dia hanya menjadi pegawai biasa. Namun, tetap saja, pemegang saham terbesar adalah Yusuf.

Pria berparas tampan itu mengambil keputusan untuk membahagiakan Alya dengan hidup sederhana di desa, mengelola kebun dan sawah peninggalan papa dan mengandalkan tabungannya yang dirasa cukup.

Desa itu adalah tanah kelahiran papa. Yusuf hanya beberapa kali datang kesini saat masih kecil. Namun, ketika nenek dan kakek sudah tiada, papa tidak pernah lagi ke sini. Semua tanah warisan milik papa, dikelola oleh paman Didi—adik kandung papa Yusuf.

“Anakku yang ganteng .…” Paman Didi memeluk erat keponakannya.

Rasa rindu membuat keduanya terhanyut. Terakhir bertemu saat Yusuf menikah lima tahun yang lalu. Namun, ibunya tidak menyambut keluarga paman dengan ramah karena dianggap kampungan. Paman Didi menyayangi Yusuf seperti anaknya sendiri. Dia hanya mempunya dua anak perempuan yang kini sudah dipersunting orang dan ikut suaminya masing-masing ke luar kota. Paman Didi dan Bibi Wahyuni hanya tinggal berdua di rumah.

“Sudah tho, pelukannya. Ini bibi buatkan kue dari olahan singkong dan ketan dari kebun yang dikelola Paman.”

Alya tersenyum dan membantu Bibi Wahyuni menyajikan makanan.

“Getuk! Kesukaanku .…” Yusuf bersorak riang seperti anak kecil, mengundang gelak tawa di rumah sederhana yang sejuk diteduhi oleh pepohonan rindang di sekelilingnya.

“Wah, pulut kelapa parut, ini enak banget. Jarang di dapat di kota,” ujar Alya menimpali.

Bibi Wahyuni mengangguk dengan senyum mengembang.

“Rumah kalian sudah Paman bersihkan. Tempat itu  memang cocok untuk pasangan seperti kalian yang ingin mencari ketenangan.” Paman Didi meneguk kopinya.

Yusuf memang sudah jauh hari membeli rumah yang terletak di arah bukit agar terlihat pemandangan sawah yang membentang dari sana.

“Tetangga kamu hanya satu, itu pun rumahnya agak turun ke bawah. Apa nggak kesepian nanti?” tanya Bibi Wahyuni.

“Kan, nanti Alya bisa main ke sini,” sahut Alya dengan senyum ramah.

Obrolan mereka harus terjeda oleh kedatangan seorang gadis berkulit putih bersih dengan bola mata kecoklatan.

“Assalamu’alaikum, Pakde. Saya mau mengantar ini.” Gadis yang menutup kepalanya dengan selendang merah itu menyerahkan bakul berisi kentang hasil panen di ladang milik Paman Didi.

“Salma, sini masuk!” Bibi Wahyuni mempersilahkan.

Gadis cantik berusia 20 tahun bernama Salma itu menunduk malu. Dia merapatkan selendangnya ke depan wajah.

“Saya mau langsung pulang saja, Bude, nenek sedang kurang sehat,” tolaknya dengan nada halus.

“Baiklah. Terima kasih, Nduk. Titip salam sama nenekmu,” ucap Bi Wahyuni. “Ini, upah kamu dan ini ….” Bi Wahyuni menyerahkan sekantung plastik kentang dan singkong. “Buatkan perkedel untuk nenek, dia sangat menyukainya,” sambung Bi Wahyuni.

“Terima kasih, Bude. Saya pulang dulu.”

Alya memandang gadis itu dengan tatapan kagum. Suaranya yang lembut dan tutur katanya yang santun membuat Alya ingin lebih mengenal gadis berselendang merah itu untuk dijadikan teman. Selama ini, dia selalu terkurung dalam kesendirian. Sedangkan dirinya hanya memiliki adik lelaki yang sangat kaku. Alya tidak leluasa bercerita.

“Gadis itu siapa, Bi?” tanya Alya penasaran.

“Dia itu tetangga kalian nanti. Namanya Salma, dia tinggal berdua dengan neneknya. Biasanya dia bekerja di pasar, menjual kue atau hasil panen warga. Neneknya juga seorang buruh tani yang rajin. Tetapi, beberapa hari ini neneknya sakit, jadi dia menggantikan neneknya menjadi buruh untuk memanen kentang hari ini di ladang Paman,” jelas Paman Didi secara rinci, disusul dengan anggukan dari Bibi Wahyuni.

“Kenapa kamu bertanya?” bisik Yusuf pada istrinya.

Alya tersenyum simpul. “Aku ingin berteman dengannya, Mas. Sepertinya dia seumuran dengan Aldi, adikku.”

“Sebaiknya jangan, Nduk. Salma itu misterius dan sikapnya dingin. Di sini saja, dia tidak punya teman. Semua orang menjauhinya. Hanya dengan Pakde dan Bude dia mau bicara ramah seperti tadi, tapi dengan orang lain, dia akan ketus,” ungkap Bi Wahyuni.

Kening Alya berkerut heran. “Kenapa begitu, Bi?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MERINDUKAN SURGA   MERINDUKAN SURGA || TAMAT

    “Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n

  • MERINDUKAN SURGA   LAHIR

    “Mas, perutku sakit.” Alya meringis sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Dia merasakan sensasi aneh dan rasa sakit yang luar biasa yang membuat dia harus segera menelepon sang suami yang saat ini sedang berada di kebun apel.Tangan kiri Alya bertopang pada jendela kamarnya, sedangkan yang satunya memegang ponsel. Matanya menatap pemandangan sawah di mana pepadian telah menguning dan tak lama lagi akan memasuki musim panen.“Aku pulang sekarang!” Yusuf mengakhiri panggilan. Enam bulan berlalu begitu cepat. Tetapi bagi Alya dan Yusuf, waktu berjalan begitu lambat. Tak sabar rasanya menunggu kehadiran buah hati. Saat ini, adalah masa-masa menegangkan di mana usia kehamilan Alya memasuki minggu ke 37. Selama waktu itu pula, Yusuf telah menjatuhkan talak pada Salma disaksikan Aldi, Alya dan Paman Didi. Dia akhirnya menuruti permintaan Salma pada surat itu, bukan karena Aldi ingin menggantikannya, tapi demi kesehatan mental mereka semua, jika memang itu yang diinginkan Salma.“

  • MERINDUKAN SURGA   BIAR AKU YANG GANTIKAN

    “Itu Salma, Mas!” Alya menunjuk rekaman CCTV yang ditunjukkan Cindy pada layar komputernya.Kening perempuan berjas putih itu mengerut heran, kenapa dua temannya itu mengenal pasien yang ia tangani kemarin.Yusuf mengangguk, dia juga melihat Salma menangis sedangkan Rico berusaha menenangkannya.“Mas, telepon Rico, tanyakan di mana Salma. Aku mau ngomong sama dia,” pinta Alya, menarik lengan baju suaminya seperti anak kecil.Yusuf membawa istrinya duduk agar tenang. “Ingat kata Cindy barusan? Kamu nggak boleh stres!” peringat Yusuf dengan nada pelan.Alya akhirnya mengangguk patuh. Dia mengusap perutnya, menarik napas dan berusaha menenangkan diri.“Cin, makasih banyak, ya. Kita pamit dulu, nanti bakalan rutin periksa ke kamu,” ucap Yusuf berpamitan dengan senyum seolah tak ada masalah.Cindy dengan raut bingung, mengangguk saja. Padahal dia masih ingin mengobrol karena penasaran kenapa Yusuf dan Alya bisa mengenal perempuan itu, tapi dia tidak berhak tahu dan tidak berani bertanya le

  • MERINDUKAN SURGA   TAK BISA MEMAAFKAN

    “Mas, kenapa? Kok, kelihatannya lagi mikirin sesuatu?” Alya sejak tadi memperhatikan suaminya yang tampak berubah.Setelah menerima berita bahagia, ekspresi yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah redup setelah kembali dari rumah Salma.Yusuf menoleh sejenak, sedang tangannya sibuk mengemudikan mobil.“Nggak ada, Sayang.”“Kamu mikirin apa?” tanya Alya dengan nada tegas tapi lembut. Dia tahu, suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.Ibu yang sejak tadi di belakang, hanya diam dan mendengarkan.Yusuf masih diam. Sesekali dia menarik senyum seperti dipaksakan.“Apa kamu masih marah sama aku, Mas? Tebak Alya.Yusuf menggeleng cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma ….”“Apa ada sesuatu yang kamu temukan di rumah Salma tadi?” Alya menebak lagi. Sekarang wajah Yusuf tampak terkejut, namun akhirnya mengangguk.“Salma meninggalkan surat.” Yusuf melirik kaca spion depan, melihat ibu mertuanya dengan tatapan sungkan.Sejak tadi dia menyembunyikan hal itu karena tidak ingin ibu mertuanya mendengar. Di

  • MERINDUKAN SURGA   TERIMA KASIH, SAYANG

    Beberapa hari kemudian, kondisi ibu semakin membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sementara ayah, masih dalam perawatan. Aldi mengabaikan tugas akhir kuliahnya untuk sementara demi menjaga sang ayah. Dia yang membantu mengisi memori baru ketika ayahnya tersadar dan tidak mengingat apa pun bahkan namanya sendiri.Kemarin, ibu ikut pulang ke Desa Pandan. Alya sangat senang bisa bersama sang ibu meski belum bisa berkumpul kembali dengan ayahnya.“Sayang, aku mau ke kebun dulu, ya. Sudah beberapa hari aku jarang mengontrol proyek. Kasihan Paman Didi,” ucap Yusuf berpamitan, ketika selesai sarapan.Alya mengangguk dan tersenyum, sambil membereskan piring di atas meja.“Bu, Yusuf pamit, nanti siang kita ke rumah sakit lagi, jengukin ayah, ya.” Yusuf mencium punggung tangan mertuanya.Wanita yang gemar memakasi songkok jika berada di dalam rumah itu mengangguk dan tersenyum hangat.Alya mengantarkan suaminya ke depan pintu setelah membereskan piring kotor. Dia berjalan pelan seperti tidak

  • MERINDUKAN SURGA   IBU KUAT

    “Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Aldi seketika, setelah dokter keluar dari ruang operasi. Dari sisi lain, Yusuf berlari menghampiri Aldi. Dia meninggalkan Salma yang masih belum sadarkan diri dan dalam perawatan di ruang IGD sebelum dokter menentukan ruangan rawat. Dengan napas terengah-engah. Yusuf berdiri di samping Aldi. “Kabar baiknya, Alhamdulillah pasien sudah berhasil ditangani.” “Kabar buruknya?” tanya Yusuf ragu. “Kemungkinan beliau akan mengalami amnesia,” jawab sang dokter. Yusuf menepuk bahu Aldi untuk menenangkannya. Dokter dan rekannya pamit dari sana. Tak lama kemudian, Pak Hamdan dibawa ke ruang ICU. Aldi terduduk lemah. Dia bersyukur ayahnya masih selamat, meski setelah sadar nanti, sang ayah tidak akan mengenalinya. “Terima kasih, Allah. Setidaknya ini akan membuat ayah melupakan masa lalu tersakitnya. Biarkan aku yang menanggung rasa bersalahnya ya Allah ….” Keluh Aldi sambil menangkupkan tangan dan menjatuhkan wajahnya di atas tangan yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status