Seleb 3
.
"Lewat sini, Bang!" kataku pada seorang lelaki yang mengantarkan mesin cuci ke rumah Ibu mertua.
Sore ini aku mengajak Ibu untuk membelikan mesin cuci di sebual toko elektronik. Jujur saja, aku kasihan melihat Ibu yang nyucinya masih pakai tangan. Udah tua, banyak kerjaan, kasian. Bahkan baju Adelia dan suaminya pun ikut dicuci. Itu yang membuat hatiku semakin miris.
"Cuci sendiri, Adel. Kau itu sudah besar, harus mandiri!"
"Ozan aja nyuci sendiri bajunya, lah kau!"
"Ya, aku lagi sibuk, Mak. Aku mau live ini, nyari duit!" kata Adelia.
Memang Ibu selalu mengomel jika Adel memasukkan pakaian kotornya dan suami ke dalam keranjang saat Ibu akan mencuci. Aku menggelengkan kepala saat melihat tingkahnya. Ada ya anak udah sebesar itu, tapi masih merepotkan orangtua.
Beberapa hari aku tinggal di sini, aku memang cuci baju sendiri, baju milik suami juga. Namun, sejujurnya aku tak sanggup jika harus mencuci pakai tangan, lelah.
Pekerjaan Ibu jadi bertambah banyak, dan semua gara-gara Adel yang menurutku tak tahu malu. Bahkan Ozan, adik bungsu saja mencuci bajunya sendiri di sela-sela waktu dia kuliah.
Mau negur Adel, tapi aku tak mau ribut. Hapal betul aku gimana sikap Adel kalau ditegur. Bahkan kadang sama Bang Fahri aja dia suka ngejawab, apalagi sama aku yang baru di rumah ini.
"Oke, taruh aja di situ, Bang." Aku menyuruh lelaki itu meletakkan mesin cuci di dekat kamar mandi, dekat dengan saluran pembuangan air.
Lelaki itu hanya mengangguk. Lalu, setelah pekerjaannya selesai, ia pun pergi dan mengendarai kembali becaknya.
"Apaan tuh, Mak?" tanya Adel yang mungkin baru saja mengakhiri sesi livenya. Terlihat dari bajunya yang rapi disertai make up di wajahnya.
"Lah, udah buta pula mata kau?" cerocos Ibu yang mungkin menurutnya Adel bisa melihat, tapi kenapa masih bertanya.
Aku jadi tersenyum geli melihatnya, Ibu memang begitu bicaranya. Syukurlah aku dan Bang Fahri sama-sama orang Medan, hingga tak terlalu terkejut dengan nada dan bahasanya.
"Ya iya, maksudnya siapa yang beli?" tanya Adel.
"Kakak kau ini. Mamak tadi diajaknya ke toko elektronik," jawab Ibu.
"Duit kau, Kak?" tanya Adel yang kini menatapku.
Aku langsung menggeleng. Pun Ibu sudah bertanya tadi saat kami di toko. Aku bilang, itu duit Bang Fahri yang katanya kasian melihat Ibu dan aku masih nyuci pakai tangan.
"Duit Abang!" jawabku.
"Owh, syukurlah, tapi ini keknya murah sih!" ucap Adel, lalu berjalan ke tempatnya live tadi.
Aku hanya mengendikkan bahu mendengar Adel.
Aku sepertinya harus mengatakan ini ke Bang Fahri saat dia pulang nanti. Aku tidak mau Ibu dan semua orang tahu kalau itu duitku yang kupakai untuk beli mesin cuci. Bahkan tadi, aku membelikan yang harganya murah, mesin cuci merek biasa yang harganya dua jutaan. Yang penting bisa bekerja untuk nyuci dan mengeringkan.
Masalah nanti Bang Fahri akan bertanya duit dari mana, aku yakin ia tak akan curiga karena aku pernah bekerja di Jakarta, tentu punya tabungan dong jika hanya dua jutaan.
Biarlah mereka tak tahu dulu, siapa aku yang sebenarnya. Aku takut perlakuan mereka akan berubah. Biarlah semua berjalan dengan alami.
.
"Cepat kali kau siap nyuci hari ini, Atik!" seru tetangga sebelah rumah yang juga sedang menjemur pakaian.
Nama ini Nur Hayati. Semua orang di kampung ini memanggil Atik. Semua nama anak perempuannya memiliki nama depan Nur, dan nama depan Ahmad untuk anak lelaki.
Ahmad Fahri
Ahmad Fauzan
Nur Mayra
Nur Adelia
"Iyalah, biar tutup mulut kau itu. Udah beli mesin cuci akunya. Slebew!" kata Ibu yang membuatku tertawa. Aku sedang berada di dapur, membuatkan teh untuk Bang Fahri.
Tetangga itu juga yang membuatku sangat ingin membeli mesin cuci untuk ibu, karena kelihatannya agak julid memang.
"Banyak duit sekarang kau?" tanya Ibu tetangga itu.
"Jangan kau tanya pula. Duit gak bersuara. Kalau duitku bersuara bisa pengsan kau!"
Aku menatap Bang Fahri sambil menahan tawa, dalam hati membatin gasss Bu, gaaasss. Jadi pengen pamer tas Gucci ke tetangga.
Sombong dengan orang yang sombong mah dianjurkan yak.
Seleb 11."Kenapa pula ini, Bang? Kok narik narik tangan, masih jam 10 ini, masih banyak orang di luar, Bang!" kataku pada Bang Fahri seraya menggodanya."Sakit lah, Bang." Sengaja mengeluh sakit agar suami segera melepas tanganku. Padahal dia nariknya biasa aja, gak nyeret juga."Eh, maafin Abang, Dek." Bang Fahri memeriksa tanganku yang memang gak kenapa-napa."Lagian kenapa sih, Bang. Kita kan lagi ngomong sama Mamak!" kataku yang sedikit tak terima karena Bang Fahri seperti memotong pembicaranku dan Ibu tadi.Bang Fahri menatapku dengan serius, kemudian ia menepuk kasur dengan tangannya."Masih jam 10, Bang. Adek juga capek banget malam ini,""Bukan itu, Dek.""Jadi, apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.Kembali Bang Fahri menatapku sangat serius."Dek …," panggilnya.Aku menatapnya bertanya ada apa"Abang tau, Mamak pengen banget naik haji, tapi jangan pula kasih harapan untuk Mamak dengan menjanjikan haji untuknya." Bang Fahri berkata dengan lembut, mungkin takut aku tersinggung.
Seleb 10."Ini sarungnya, Bang." Aku menyiapkan sarung beserta baju koko untuk Bang Fahri. Aku sendiri sudah siap dengan gamis dan bergo seperti yang biasa kupakai."Iya," sahut suamiku seraya memakaikan sarungnya.Malam ini, di rumah ada acara tahlilan tahunan untuk mengenang kepergian Bapak. Nanti akan ada Ustadz yang memimpin doa bersama. Kami juga sudah menyediakan nasi berkat yang dimasak siang tadi.Aku dan Bang Fahri keluar setelah siap. Beberapa orang sudah berkumpul di tikar yang kami gelar. Hanya menunggu ustad pemimpin doa yang belum datang.Aku menatap Bang Fahri saat melihat Mayra dan Adel yang pakaiannya terlihat tak sopan di acara agamis seperti ini. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Apa mereka memang gak terlalu memikirkan adab atau terlalu bablas stylenya.Adel mengenakan celana jeans robek robek yang ketat banget di kaki jenjangnya. Ia memadukan dengan kemeja yang dimasukin ke dalam celana. Jilbabnya dipakai, tapi gak dipentulin, cuma dipakai gitu aja d
Seleb 9."Wah, Adel, barang baru kau ya?" seru Mayra saat baru sampai di rumah Ibu dan melihat sudut kecil tempat Adel biasa live.Saat itu aku sedang berada di kamar, tapi bisa mendengar obrolan mereka. Aku sengaja keluar keluar untuk menyapa Mayra, dan anaknya. Juga ingin mendengar apa selanjutnya yang mereka obrolkan.Terkadang bagiku, obrolan mereka bisa jadi lelucon. Tentang bagaimana mereka saling menunjukkan viewer, follower, dan konten-konten yang fyp menurut mereka.Lucu juga kalau lagi liat mereka ngonten. Saling adu keestetikan. Apalagi saat mereka saling berbagi pengalaman untuk mengambangkan konten, yang terkadang bagiku tersakiti kurang tepat dan lucu."Iya, Kak," kata Adel sambil cengengesan.Masih kuingat saat kemarin barangnya sampai. Adel berteriak kesenangan karena tripod yang kuberikan model kokoh dan punya kaki tiga. Duh, udah kek larutan penyegar aja ya, kaki tiga.Ya begitulah, aku juga memberikannya soft box biar pencahayaannya bagus, dan lebih meningkatkan ku
Seleb 8.Aku keluar dari kamar, seperti uring-uringan bolak balik dari ruang tengah, teras, dan ke kamar. Gak biasanya sinyal seperti lumpuh total, padahal sejak lama aku sudah pakai provider yang bisa dibilang paling kuat sinyalnya. Aku berkali-kali berdecak kesal karena harus mengecek beberapa data di ponsel ini, juga harus mengirimkan beberapa keperluan lainnya untuk orang lain. Namun, karena masalah sinyal, jadi terhambat.Ah, menyebalkan sekali. Padahal sejak awal menikah, aku sudah bertanya pada Bang Fahri mengenai sinyal di rumahnya. Bagus katanya.Aku kembali ke teras, dan menarik salah satu kursi. Bahkan aku tak peduli pada Adel yang sedang sibuk mereview salah satu produk bodycare lokal yang sangat terkenal, juga sangat terkenal suka bagiin sampel dan memakai jasa endorse seleb pemula yang memerlukan dukungan.Aku menjauh dari Adel, karena gak mau ribut, masih pagi."Pasti iPhone bekas kan?" Tiba-tiba aku menoleh pada Adel. Lalu, menatap ponsel yang kini kupegang. Mungkin
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu