Seleb 1
.
"Aaaaaaaaaaa …."
"Mamaaaak! Mamaaak"
Saat sedang berjualan es tebu dengan Ibu mertua, eh kenapa narasinya sudah seperti kalimat Debm, wkwk. Oke, leave it!
Aku mendengar Adelia, adik iparku berteriak seperti sedang terjadi sesuatu di dalam.
Aku dan Ibu bahkan saling menatap karena khawatir terjadi apa-apa pada Adelia. Saat itu sedang tak ada pembeli, jadi aku dan Ibu langsung masuk ke dalam.
"Kenapa pula kau?" tanya Ibu menatap putri kandungnya itu dengan khawatir.
Aku juga ikut menunggu jawaban Adelia, karena yang kulihat kondisinya baik-baik saja.
"Eh, kenapa, malah cengengesan gak jelas kau!" kata Ibu.
Bukan dijawab, itu orang malah loncat-loncat gak jelas kek pocong di siang bolong. Jadi bukan kasihan, tapi malah jadi oemgen baca ayat kursi.
"Huaaaa … haha, dapat paus aku, Mak!" kata Adelia kegirangan.
"Wah digoreng, tapi siapa yang bakalan bersihin ikan segede itu?" tanya Ibu.
"Mamak gak mau, kau aja Adel. Atau tunggu Abang kau pulang kerja," ucap Ibu duarius.
Lalu, aku dan Ibu mengamati di mana ikan besar yang disebut Adelia. Ia menoleh ke sana sini. Mana pula ada ikan, emangnya dia tiba-tiba ngelaut?
"Lah, mana pausnya?" tanya Ibu akhirnya tak tahan dengan rasa penasaran.
"Bohong pula kau, mana ada paus tiba-tiba jatuh dari langit. Jatuh ketiban matek kau!" kata Ibu lagi dengan logat Medan yang kental.
Adelia malah menunjukkan ponselnya pada kami. Terlihat sebuah potongan video live, beberapa detik setelahnya ada paus yang terbang. Eh, malah keingat tayangan ikan terbang di televisi.
"Bukan ikan paus beneran lho, Mak. Tapi hadiah, Mak, hadiah, nanti bisa ditukar koinnya!" jelas Adelia.
"Lah, terus?" tanya Ibu bingung. Ya, mana ngerti emak-emak tentang dunia live.
Aku hanya menyimak.
Kemudian Adelia menjelaskan bahwa saat ia sedang live jualan di Tiktok, sedang spil spil ke calon pembeli beberapa produk yang ia punya, malah ada yang nyawer paus. Katanya harga gift paus itu sekitar tiga ratus ribuan kalau dicairin, tergantung kurs dolar.
Ah, pantas aja sekarang rame yang live di Tektok, bahkan aku sering lihat para pengemis pada pindah ke sana. Menadah tangan dengan aksi yang membangongkan sekaligus meng meng lainnya.
"Ooooo," ucapku dan Ibu bersamaan.
"Bulat," kata Adelia yang mungkin merasa kami ini terlalu norak yang begitu aja gak tau.
Adelia, adik iparku yang usianya 25 tahun. Sepertinya ia baru bergabung menjadi affiliator di Tektok. Aku tak tahu penghasilannya berapa sebulan di sana, tapi yang sering kulihat adalah Adelia yang marah marah setelah selesai live, atau minimal cemberut. Capek mungkin.
Kesehariannya memang full ngonten yang entah apa apa lah. Konten Sopi, konten di Tektok, dan di beberapa platform lainnya.
Ia memanfaatkan satu sudut ruang keluarga untuk live. Dindingnya ditempeli wallpaper cukup untuk seukuran masuk kamera. Ada beberapa baju yang tergantung di rak gantungan, tak banyak, karena masih pemula. Paling sampelnya juga dia beli sendiri hasil ngumpulin sisa uang belanja dari suami.
Eh, belanja apa pula. Setahuku semua belanjaan di rumah ini suamiku yang tanggung. Entah suami Adelia memang tak memberikan uang, atau Adelianya sendiri yang udah nilep uang itu.
Bahkan kulihat Ibu mertuaku yang usianya udah lima puluhan, masih berjualan es tebu di halaman depan rumah.
"Ya sudahlah, Mamak mau lanjut jualan. Kau, Shela, istirahat saja itu." Ibu berkata padaku. Lalu, ia bergegas langsung kembali ke luar. Tepat saat ia keluar, kudengar ada yang memangil Ibu karena ingin membeli es tebu.
Tinggallah aku dan Adelia di sini.
"Jangan sirik pula kau, Kak. Bentar lagi aku jadi orang kaya, haha." Adelia menatapku meremehkan.
"Hmmm … syukur kali lah aku dikasih wajah yang cantik, banyak peluangku untuk cari duit di sosmed ini," kata Adelia sambil membenarkan kemeja yang sedang di try on saat live tadi.
Aku hanya mengangguk, tak berniat meladeninya.
Kuakui keluarga suamiku memang cantik ganteng. Suamiku dan adik bungsunya ganteng, Adelia dan adik iparku satu lagi juga cantik, tapi sayangnya terlalu sok.
"Kau …," tunjuk Adelia padaku dari atas sampai bawah. Aku pakai daster biasa karena lagi di rumah.
"Memanglah cantek, tapi ya gak sebanding lah dengan aku. Apalagi gaya pakaian kau itu, Kak. Kuno pake banget. Tengok tuh jelbab, selalu pake jelbab kurung terus, gaul dikit napa?" celotehnya yang selalu protes aku yang suka pakai jelbab kurung atau bergo.
"Norak!" katanya lagi sambil mengibaskan tangan, kemudian mematikan ring light dan masuk ke kamar.
Aku hanya menganggap omongannya seperti angin lalu. Bomat! Dia hanya tidak tahu siapa aku yang sebenarnya.
Seleb 10."Ini sarungnya, Bang." Aku menyiapkan sarung beserta baju koko untuk Bang Fahri. Aku sendiri sudah siap dengan gamis dan bergo seperti yang biasa kupakai."Iya," sahut suamiku seraya memakaikan sarungnya.Malam ini, di rumah ada acara tahlilan tahunan untuk mengenang kepergian Bapak. Nanti akan ada Ustadz yang memimpin doa bersama. Kami juga sudah menyediakan nasi berkat yang dimasak siang tadi.Aku dan Bang Fahri keluar setelah siap. Beberapa orang sudah berkumpul di tikar yang kami gelar. Hanya menunggu ustad pemimpin doa yang belum datang.Aku menatap Bang Fahri saat melihat Mayra dan Adel yang pakaiannya terlihat tak sopan di acara agamis seperti ini. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Apa mereka memang gak terlalu memikirkan adab atau terlalu bablas stylenya.Adel mengenakan celana jeans robek robek yang ketat banget di kaki jenjangnya. Ia memadukan dengan kemeja yang dimasukin ke dalam celana. Jilbabnya dipakai, tapi gak dipentulin, cuma dipakai gitu aja d
Seleb 9."Wah, Adel, barang baru kau ya?" seru Mayra saat baru sampai di rumah Ibu dan melihat sudut kecil tempat Adel biasa live.Saat itu aku sedang berada di kamar, tapi bisa mendengar obrolan mereka. Aku sengaja keluar keluar untuk menyapa Mayra, dan anaknya. Juga ingin mendengar apa selanjutnya yang mereka obrolkan.Terkadang bagiku, obrolan mereka bisa jadi lelucon. Tentang bagaimana mereka saling menunjukkan viewer, follower, dan konten-konten yang fyp menurut mereka.Lucu juga kalau lagi liat mereka ngonten. Saling adu keestetikan. Apalagi saat mereka saling berbagi pengalaman untuk mengambangkan konten, yang terkadang bagiku tersakiti kurang tepat dan lucu."Iya, Kak," kata Adel sambil cengengesan.Masih kuingat saat kemarin barangnya sampai. Adel berteriak kesenangan karena tripod yang kuberikan model kokoh dan punya kaki tiga. Duh, udah kek larutan penyegar aja ya, kaki tiga.Ya begitulah, aku juga memberikannya soft box biar pencahayaannya bagus, dan lebih meningkatkan ku
Seleb 8.Aku keluar dari kamar, seperti uring-uringan bolak balik dari ruang tengah, teras, dan ke kamar. Gak biasanya sinyal seperti lumpuh total, padahal sejak lama aku sudah pakai provider yang bisa dibilang paling kuat sinyalnya. Aku berkali-kali berdecak kesal karena harus mengecek beberapa data di ponsel ini, juga harus mengirimkan beberapa keperluan lainnya untuk orang lain. Namun, karena masalah sinyal, jadi terhambat.Ah, menyebalkan sekali. Padahal sejak awal menikah, aku sudah bertanya pada Bang Fahri mengenai sinyal di rumahnya. Bagus katanya.Aku kembali ke teras, dan menarik salah satu kursi. Bahkan aku tak peduli pada Adel yang sedang sibuk mereview salah satu produk bodycare lokal yang sangat terkenal, juga sangat terkenal suka bagiin sampel dan memakai jasa endorse seleb pemula yang memerlukan dukungan.Aku menjauh dari Adel, karena gak mau ribut, masih pagi."Pasti iPhone bekas kan?" Tiba-tiba aku menoleh pada Adel. Lalu, menatap ponsel yang kini kupegang. Mungkin
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu
Seleb 7."Ma, Adek mau es krim lah," rengek Naufal, bocah kelas satu SD itu pada ibunya. Naufal anak pertama Mayra, masih sendirian, belum nambah adek dia.Hari ini Mayra, adik pertama dari Bang Fahri berkunjung ke rumah. Ini kali kedua aku melihat wajahnya setelah waktu itu datang ke acara akad."Halah, gak usah lah. Kau lagi pilek itu," tolak Mayra.Di desa ini masih ada yang jualan es krim keliling. Sebab itu, Naufal merengek karena ada anak tetangga yang beli. Jadi, gerobak es krim khas kampung itu berhenti di dekat rumah."Gak lah, Ma. Udah sembuh Adek," bantah anak itu, tetap kekeuh pengen es krim."Sana minta sama nenek! Mama gak ada pula duit pecah," kata Mayra.Aku bahkan geleng kepala melihat Mayra. Bisa-bisanya ia pelit gitu ke anak. Palingan harga es krim cuma dua ribuan untuk anak-anak, atau lima ribu kalau pake roti.Bukannya dibeliin, malah disuruh minta sama Ibu yang sedang jualan es tebu.Aku masuk kamar dan mengambil uang lima belas ribu. Kemudian memberikannya untu
Seleb 6."Maaaak, apa ini apa ini?" Mata Adel membeliak saat menerima sebuah paket dari kang kurir."Lah mana kutau, itu punya kau!" kata Ibu."Beneran? Cubit aku, Mak. Cubit aku," kata Adel pada Ibu yang kini berada di sampingnya.Sudah tak heran lagi kalau di rumah ini sering diisi dengan teriakan Adel, katanya live memang harus seru dan gokil biar gak pada pindah lapak.Kadang aku merasa dia terlalu heboh dengan teriak-teriak. Kadang emang udah kayak itu tuh, neriakin monyet yang lagi nyolong mangga tetangga.Apa harus serame itu untuk live? Entahlah.Aku pernah juga ngepoin livenya, yang nonton cuma sekitar lima puluhan. Entah mereka co semua atau tidak. Belum berani kutanyakan ke Adel.Ibu pun mencubit pipi Adel atas perintahnya, ia pun meringis kesakitan."Maaaak sakit, pen nangis.""Ya nangis aja lah kau. Suruh nyubit sendiri, habis tu bilang sakit sendiri. Lama-lama kau makin sarap kau gini, Nak." Ibu mendumel panjang lebar, lalu ia kembali ke tempat jualan es tebu."Gak mimp