(POV YUSUF)
Saat pagi menjelang dan istriku membuka mata, bergegas aku menciumi wajahnya. Dia memang tampak pucat dan suhu tubuhnya sedikit lebih hangat dari biasanya.“Nanti kita ke dokter, ya!” ajakku.“Gak usah, Mas. Ini jam berapa?”“Jam tujuh.”Almira terbelalak. “Loh, aku harus bantuin Ibu.”Cepat-cepat kudekap tubuhnya saat hendak beranjak. “Kamu itu lagi sakit. Gak usah bantuin Ibu, gak apa-apa. Ibu juga udah tahu dan minta kamu istirahat.”“Tapi aku gak enak sama Ibu. Aku tiduran begini, sedangkan Ibu mengerjakan apa-apa sendiri. Aku mau bantuin, aku udah gak apa-apa, kok. Serius.” Almira masih berusaha baik-baik saja meski kutahu dirinya berbohong.Kutatap matanya sedalam mungkin. Kubiarkan kedua tanganku tetap melingkar di tubuh mungilnya. “Untuk kali ini, istirahat! Dengarkan suamimu ini!”“Ibu gak marah?”“Ibu gak akan marah, Sayang. Tunggu di sini!”Aku beranjak dan p(POV YUSUF)Saat ini kami tengah menunggu teman Almira. Aku dan Bunda sudah menghubunginya sebelum kemari. Kami bahkan sudah menyiapkan sesuatu untuk mereka. Bunda sudah mengambil tempat. Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang. Ternyata mereka ada tiga orang, seperti yang pernah kulihat saat dulu. “Hai, Mir!”Wah, ternyata mereka mengira jika Bunda adalah Almira. Bunda memang duduk membelakangi pintu sambil tetap mengenakan masker. Aku yang masih memperhatikan mereka di dekat meja kasir pun hanya terdiam. Mereka masih tidak paham jika wanita itu adalah mertuaku alias ibunya Almira. “Ini, ya, barang kita?” Salah satu dari mereka meraih sebuah kantong kresek berisi paket. Iya, paket. Paket bodong. “Eh, Cit. Pesan minuman dan makanan! Bilang aja ke kasirnya kalau kita adalah temannya Almira. Biar dia yang bayar.” Yang lain pun ikut nyeletuk. “Enak, dong, kalau ke sini tiap hari. Kit
(POV ALMIRA)Tak terasa, sudah lima bulan aku menyandang status sebagai istri. Sebentar lagi, aku juga akan menyandang status sebagai ibu. Iya, aku tengah berbahagia karena mengandung darah daging Mas Yusuf. Kehamilanku memang baru berusia tiga bulan. Perutku masih terlihat datar dan ajaibnya … aku tidak merasakan mual atau muntah seperti orang hamil pada umumnya. Jujur, aku sedikit bingung. Namun, kata ibu mertua, itu hal yang biasa. Tidak semua orang merasakan mual dan muntah semasa kehamilannya. “Mir, gak usah capek-capek! Kamu itu hamil muda. Harus banyakin istirahat dulu,” kata Ibu. Ah, Ibu tahu saja jika aku tengah meraih sapu. “Hayoo … jangan bandel! Letakkan sapunya! Ibu aja yang nyapu,” sambung beliau yang tengah mencuci peralatan dapur. “Ibu, aku hanya menyapu. Ini gak akan membuatku lelah.”“Mira ….” Ibu menatap diriku sambil bergeming. Baiklah, aku meletakkan kembali sapu itu kemudian mendekati Ibu yang
Aku dan Mas Yusuf akhirnya pergi setelah berpamitan kepada Ibu. Lumayan, jalan-jalan sore akan menghibur diriku dari tajamnya mulut tetangga. Saat di jalan, Mas Yusuf tak henti-hentinya menawarkan makanan. Belum juga dibeli, rasanya sudah kenyang mendengarkan Mas Yusuf menyebutkan aneka makanan sedari tadi. “Mas, ke rumah Bunda, yuk! Aku tiba-tiba kangen sama Ayah. Pasti Ayah udah di rumah kalau sore begini,” ajakku. Entah kenapa mendadak terbayang wajah Ayah dan aku ingin sekali menemuinya. “Oke, Sayang. Kita beli sesuatu dulu, ya.”Aku hanya mengangguk. Tak lama kemudian, kami berhenti di sebuah toko oleh-oleh. Setelah kami membeli makanan untuk dibawa ke rumah Bunda, kami segera meluncur ke sana. Jalanan sore ini sedikit padat karena banyak pekerja yang pulang dari kantor. Tatapanku tak sengaja melihat wajah Mas Yusuf yang tampak lesu. “Mas? Capek, ya?”Mas Yusuf menoleh cepat ke arahku kemudian tersenyum. “Capek
Aku berusaha untuk melihat wajahnya. Mas Yusuf akhirnya menatap diriku. Baru kali ini aku melihat suamiku menitikkan air mata sejelas ini.“Kenapa, Mas?” Aku menatap dua bola mata Mas Yusuf. Melihatnya menangis, rasanya aku ingin menangis juga. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Aku takut kamu ninggalin aku.”“Kok, mikirnya gitu?” “Kalau aku bangkrut?”Aku memeluk Mas Yusuf dan mendongak menatapnya. “Jangan pernah berpikir kalau aku akan berpaling hanya karena harta!”“Maaf, Sayang! Tapi sebisa mungkin aku gak akan membuat hidupmu kekurangan. Percaya sama aku!”Tuhan, entah doa apa yang dipanjatkan orangtuaku sehingga aku bisa mendapatkan pria yang sangat bertanggung jawab seperti Mas Yusuf. “Aku percaya padamu.”“Maaf, Sayang. Ini pertama kalinya aku menangis karena wanita.” Aku tertawa mendengarnya. Kuusap air mata Mas Yusuf itu. “Udah gede! Udah mau jadi ayah, jangan nangis!”Usut punya usut, terny
“Almira ….”Aku mendekat ke arah mereka. “Ada apa ini, Bu?”“Mas, ada apa sebenarnya? Apa, sih, yang Mas Yusuf sembunyikan?”Ibu mertua memintaku duduk. Aku pun duduk berdampingan bersamanya. Sementara, Mas Yusuf perlahan bersimpuh di hadapanku. Mas Yusuf mendongak menatapku. “Almira, sejak kapan kamu berdiri di depan pintu?”“Barusan. Mas Yusuf kenapa? Ada apa? Jangan bilang ada wanita lain!” Seandainya benar ini bicara soal hati, aku tak akan sanggup. Sampai kapan pun, aku tidak akan rela suamiku membagi cintanya kepada wanita lain. “Bukan soal wanita.” Mas Yusuf menyahut dengan mantap. Mas Yusuf meraih tanganku dan meletakkannya di pipinya. “Kamu jangan pernah berpikir kalau ada wanita lain di hatiku, Mir! Selamanya hanya kamu. Lihat! Aku berbicara ini di depan Ibu.”“Lalu?”“Kamu tahu sendiri, kan, kalau usahaku sedang tidak baik-baik saja selama dua bulan ini? Tiga minggu lalu aku diti
“Pak, maksudnya itu Nak Yusuf ke sini bersama Ibu dan istrinya, bukan mau menjadikan Manda sebagai istri.” Wanita tua itu menerangkan dengan nada yang makin tinggi. “Maaf, ya, bapaknya Manda ini memang sedikit kurang baik pendengarannya. Maklum sudah tua,” sambungnya sambil menatap kami. Aku pun bisa bernapas lega. Ternyata si Bapak hanya salah dengar saja. “Maaf, ya. Tadi ada kata-kata istri, Bapak nangkapnya jadi gitu.” Wanita muda bernama Manda itu menimpali. “Gak apa-apa, kok,” balasku. “Maaf, ya, Pak. Kedatangan saya ke sini bukan seperti yang Bapak kira. Saya ke sini ingin mengantar ibu dan istri saya untuk menjenguk Manda,” ujar Mas Yusuf. Namun, pria tua itu tampak bingung dengan ucapan Mas Yusuf. Ibunya Manda pun mengulang kembali ucapan Mas Yusuf kepadanya dengan nada tinggi. Akhirnya ayahnya Manda paham dan manggut-manggut. Beliau meringis kemudian berujar, “Maaf! Saya salah dengar berarti. Maklum, sudah tua.”
“Almira tidak akan meninggalkan saya. Keselamatan orangtua Almira bukan ada di tangan Anda, melainkan di tangan Tuhan. Memangnya Anda siapa berani mengancam istri saya?” Mas Yusuf menarik tanganku kemudian merangkul tubuh kecilku. “Memangnya Anda itu siapa, sih? Punya apa Anda berani mendebat saya, hm? Harta Anda itu gak ada apa-apanya dengan harta saya. Lepaskan saja Almira karena Anda tidak akan mampu menafkahinya!”Aku menahan tubuh Mas Yusuf sekuat tenaga agar tak memukul pria itu. Aku takut jika mereka akan saling pukul dan Mas Yusuf kalah tenaga. Perdebatan ini terhenti kala kami melihat mobil Ayah memasuki pelataran rumah. “Lihat Ayahmu, Almira! Apa kamu menyayanginya? Jika iya, tinggalkan pria ini dan menikahlah denganku! Jika masih tidak mau, aku bisa melakukan apapun untuk membuat Ayahmu pergi dari dunia ini, termasuk Bunda yang sangat kamu cintai itu.”“Beraninya Anda!” Mas Yusuf akhirnya mendaratkan pukulan kepada Om Arga.
“Memangnya harus panik?” Lagi-lagi Ayah berbicara dengan sangat santai. “Kan, Om Arga bangun usaha yang sama di depan kedai kopinya Mas Yusuf, Yah.”“Terus kenapa kalau sama? Namanya rezeki itu sudah ditakar. Gak perlu takut ketukar. Arga memang sengaja, kok. Lagian … ini bagus, dong, buat Yusuf.”Aku mengernyit. “Kok, bagus, sih, Yah?” “Yusuf bisa menciptakan ide baru untuk mengembangkan usahanya. Bagaimana cara supaya kedai kopi milik Yusuf dikenal paling unggul, paling oke, dan paling nyaman. Memang, yang dibutuhkan itu kerja keras dan ketekunan. Ini kesempatan Yusuf untuk bersaing dan membuktikan bahwa dia bisa.”Awalnya aku tidak setuju dengan sikap Ayah yang begitu santai. Namun, setelah mengetahui isi pikirannya, aku pun mengerti. “Yang namanya usaha, gak ada, tuh, selalu mulus dan lurus. Pasti ada aja masalahnya. Dan Yusuf sedang dalam fase diuji. Rasa kopinya kurang nikmat dan kurang memikat. Rasanya sudah beda, gak s