Share

5. TIDAK BISA MEMASAK

“T–terima kasih, Ibu. Ma–maaf tadi aku ketiduran,” kataku yang dibalas senyuman oleh ibu mertua. 

“Gak masalah, Mir,” jawabnya kemudian berlalu. 

Aku memutar tubuh, menatap Mas Yusuf yang masih duduk di tepi kasur. Cengiran tipis pun aku tunjukkan padanya. 

“Maaf, aku gak tahu kalau Ibu menyetrika pakaian.”

Mas Yusuf diam. Pasti dia marah karena telah membuat ibunya bekerja, apalagi sampai menyetrika pakaianku. Segera aku letakkan pakaian itu ke dalam lemari. Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkar di perutku. 

“Aku tahu, kamu belum terbiasa dengan keadaan ini. Pelan-pelan saja, kamu pasti bisa. Lihat apa yang Ibu lakukan dan minta Ibu untuk mengajari kamu. Bukan maksud aku untuk menuntut kamu supaya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku ingin kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya belum bisa kamu lakukan. Biasanya, jika aku gak pergi ke kedai, aku membantu Ibu apapun yang bisa kubantu. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sayang.”

Aku tertunduk mendengar ucapan Mas Yusuf. Aku sudah bukan anak kecil lagi sekarang. Aku harus rajin dan membantu mertua melakukan apapun. 

“Bukan maksud aku meminta kamu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Enggak, aku gak nuntut begitu. Aku akan membantu kamu dan aku gak akan membiarkan kamu melakukan semuanya sendiri. Begitu pun dengan Ibu. Ibu gak akan membiarkanmu melakukan apa-apa sendiri. Pasti kamu akan dibantu. Intinya kita bekerja sama untuk saling meringankan,” sambungnya. 

Ucapan Mas Yusuf memang benar. Saat aku menyapu dan mengepel saja dibantu oleh Ibu. Aku paham sekarang apa yang Mas Yusuf katakan. Selain menjadikan aku agar bisa menjadi istri yang baik, Mas Yusuf juga ingin melepaskan diriku dari belenggu kemalasan yang menjerat. 

Aku memutar tubuh menghadap dirinya. Kulingkarkan tanganku di lehernya. “Maaf! Aku gak akan ulangi lagi.”

“Ya udah, ayo keluar! Minum dulu esnya! Siapa tadi yang minta es?”

Kami pun keluar kamar. Ternyata Mas Yusuf membawa beberapa cup minuman. Biasanya, es kopi di kedai Mas Yusuf selalu menjadi favorite-ku. Namun, kali ini aku ingin es teh dan kedai Mas Yusuf tidak menjual itu. 

“Varian ini, kan, yang kamu minta tadi?” 

“Enggak. Aku gak minta. Mas Yusuf sendiri yang belikan,” jawabku berbohong. Bisa-bisanya Mas Yusuf bertanya seperti itu di depan ibu mertua. 

“Loh, bukannya kamu minta ini tadi?” tanyanya dengan wajah yang tak bersalah. 

“Aku gak minta, Mas, tapi makasih, ya, udah dibawain es ini,” kataku sambil mencubit kecil pinggangnya. Aku tidak mau ibu mertua tahu kalau sebenarnya memang aku yang minta dibelikan es. Aku takut dicap boros. 

Ibu hanya tertawa kecil melihat tingkah kami. Aku merasa kasihan melihat ibu mertua yang begitu baik, tetapi mendapat menantu pemalas seperti diriku. Sudah pemalas, oon lagi. Kenapa juga aku tidak inisiatif memeriksa ke ruang laundry tadi? Malah main tidur saja. Dasar diriku!

Tidak ada asisten rumah tangga di rumah ini. Mas Yusuf pernah bilang, selagi Ibu sanggup mengerjakan semuanya, Ibu tidak mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Apalagi sebelum menikah, Bunda juga pernah meminta Mas Yusuf agar tidak memberiku asisten rumah tangga. Bunda ingin aku jadi istri yang rajin. 

**

Keesokan harinya, usai melaksanakan ibadah bersama Mas Yusuf, aku pergi ke dapur. Namun, tidak mendapati Ibu. “Ke mana perginya Ibu? Pintu kamarnya tadi terbuka lebar dan Ibu gak ada di sana,” gumamku. 

Aku pergi menemui Mas Yusuf yang ternyata membawa beberapa pakaian di keranjang. “Em … biar aku yang nyuci.” Aku mengambil alih keranjang berisi pakaian kotor itu. 

Kemarin-kemarin memang Mas Yusuf yang mencucinya di mesin. Sekarang aku akan mencoba melakukannya sendiri. 

“Sayang, biasanya aku juga mencuci pakaian Ibu.”

“Oh, gitu? Oke, sini! Di mana pakaian Ibu, Mas?”

“Kamu gak keberatan?” Mas Yusuf menatapku ragu. Aneh sekali!

“Ya enggaklah. Mana, Mas?”

Mas Yusuf memberikan pakaian Ibu kepadaku. Aku mulai memasukkan seluruh pakaian ke mesin cuci. Baru kali ini aku menyentuh mesin cuci. Biasanya tidak pernah karena Bibi yang melakukan. 

“Kamu tahu gak, Mir?”

“Enggak. Kan, Mas Yusuf belum bilang apa-apa. Jadi, aku gak tahu.”

Mas Yusuf tertawa kemudian mencubit pipiku. Aku memang menggemaskan di matanya. Rasanya aku ingin bermanja-manja lagi seperti semalam. Eh!

“Aku baru beli mesin cuci setelah aku melamar kamu, loh. Setelah tahu aku akan menikahi kamu, aku langsung membeli ini supaya nanti bisa memudahkan pekerjaanmu.”

Penuturannya membuatku cukup terkejut. Uang bos sepertinya tidak akan berkurang banyak jika untuk membeli mesin cuci. 

“Kenapa gak beli dari dulu? Uang Mas Yusuf, kan, banyak.”

“Ibu gak mau, Mir. Ibu lebih suka nyuci manual. Aku sebenarnya juga lebih suka nyuci manual.” 

“Jadi, Mas Yusuf beli ini agar pekerjaanku jadi lebih mudah?” 

Dia mengangguk. Sekedar mesin cuci, tapi niatnya itu membuatku kembali meleleh. Secinta itu Mas Yusuf kepadaku. 

Kudekap dirinya dengan erat. Mas Yusuf adalah pria terbaik yang pernah ada. 

“Yusuf, na—”

Buru-buru aku melepaskan dekapan dan menjauh dari Mas Yusuf. Ibu tersenyum sambil menenteng sebuah kresek di tangannya. 

Aku mendekati Ibu. “Mas Yusuf memang jahil, Bu. Gak tahu tempat, main peluk-peluk. Maaf! Ibu dari belanja?” 

Ibu tertawa kecil. “Iya, Mir. Kamu mau makan apa hari ini? Ibu belanja lumayan banyak.”

“Wah, apa aja boleh, Bu. Soal makanan, aku gak pernah pilih-pilih.”

Aku segera membantu Ibu untuk mengeksekusi bahan-bahan yang akan diolah. Aku mengeluarkan semua bahan dari kantong kresek. 

“Mir, tolong letakkan jahe, kencur, dan kawan-kawannya itu di tempat masing-masing, ya! Itu udah ada wadahnya.” Ibu mertua menunjuk empat wadah berjajar rapi. 

“Ibu memang selalu meletakkan bumbu-bumbu itu di tempat berbeda agar mudah saat mencarinya,” sambunya. 

Jahe? Kencur? Apa itu? Yang mana? Kulihat bentukan mereka sama saja. Ukuran mereka pun sama. Kulihat lagi beberapa kresek bening kecil di hadapanku. Kuamati mereka lekat-lekat. Jahe yang mana? Kencur yang mana? 

“Oh, iya, sekalian racikin bumbu buat ungkep ayam, ya!” 

Aku menggigit bibir bawah. Bumbu dapur saja aku tidak tahu, apalagi diminta meracik untuk ungkep ayam. 

“I–iya, Bu. Sebentar … perutku, kok, mules, Bu? Aku izin buang air dulu, Bu,” ujarku beralasan agar bisa kabur dari dapur. Ibu pun mengangguk dan aku segera menemui Mas Yusuf di kamar. 

“Mas! Kita beli makanan aja, yuk!” ajakku sedikit memaksa. 

“Bukannya Ibu sedang masak, ya?”

“Gak perlu. Kita beli aja, yuk!”

“Ibu udah masak, Sayang. Sia-sia kalau gak dimakan. Nanti malam aja kita beli. Kamu gak suka dengan yang dimasak Ibu?”

“Bukan itu masalahnya. Ibu memintaku meracik bumbu untuk ungkep ayam. Masalahnya, aku gak bisa masak. Aku gak tahu bumbu dapur aja. Gimana nanti kalau Ibu tahu aku gak bisa masak? Perempuan gak bisa masak, kok, dijadikan istri? Gimana kalau Ibu punya pikiran begitu? Gimana?” Aku berkaca-kaca menatap Mas Yusuf. Meski sudah berusaha kutahan, ternyata air mata ini berhasil membasahi pipi. Kedua sudut bibirku mengarah ke bawah. Bukannya simpati, Mas Yusuf justru gembira dengan ukiran senyum lebar di wajahnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status