“T–terima kasih, Ibu. Ma–maaf tadi aku ketiduran,” kataku yang dibalas senyuman oleh ibu mertua.
“Gak masalah, Mir,” jawabnya kemudian berlalu. Aku memutar tubuh, menatap Mas Yusuf yang masih duduk di tepi kasur. Cengiran tipis pun aku tunjukkan padanya. “Maaf, aku gak tahu kalau Ibu menyetrika pakaian.”Mas Yusuf diam. Pasti dia marah karena telah membuat ibunya bekerja, apalagi sampai menyetrika pakaianku. Segera aku letakkan pakaian itu ke dalam lemari. Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkar di perutku. “Aku tahu, kamu belum terbiasa dengan keadaan ini. Pelan-pelan saja, kamu pasti bisa. Lihat apa yang Ibu lakukan dan minta Ibu untuk mengajari kamu. Bukan maksud aku untuk menuntut kamu supaya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku ingin kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya belum bisa kamu lakukan. Biasanya, jika aku gak pergi ke kedai, aku membantu Ibu apapun yang bisa kubantu. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sayang.”Aku tertunduk mendengar ucapan Mas Yusuf. Aku sudah bukan anak kecil lagi sekarang. Aku harus rajin dan membantu mertua melakukan apapun. “Bukan maksud aku meminta kamu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Enggak, aku gak nuntut begitu. Aku akan membantu kamu dan aku gak akan membiarkan kamu melakukan semuanya sendiri. Begitu pun dengan Ibu. Ibu gak akan membiarkanmu melakukan apa-apa sendiri. Pasti kamu akan dibantu. Intinya kita bekerja sama untuk saling meringankan,” sambungnya. Ucapan Mas Yusuf memang benar. Saat aku menyapu dan mengepel saja dibantu oleh Ibu. Aku paham sekarang apa yang Mas Yusuf katakan. Selain menjadikan aku agar bisa menjadi istri yang baik, Mas Yusuf juga ingin melepaskan diriku dari belenggu kemalasan yang menjerat. Aku memutar tubuh menghadap dirinya. Kulingkarkan tanganku di lehernya. “Maaf! Aku gak akan ulangi lagi.”“Ya udah, ayo keluar! Minum dulu esnya! Siapa tadi yang minta es?”Kami pun keluar kamar. Ternyata Mas Yusuf membawa beberapa cup minuman. Biasanya, es kopi di kedai Mas Yusuf selalu menjadi favorite-ku. Namun, kali ini aku ingin es teh dan kedai Mas Yusuf tidak menjual itu. “Varian ini, kan, yang kamu minta tadi?” “Enggak. Aku gak minta. Mas Yusuf sendiri yang belikan,” jawabku berbohong. Bisa-bisanya Mas Yusuf bertanya seperti itu di depan ibu mertua. “Loh, bukannya kamu minta ini tadi?” tanyanya dengan wajah yang tak bersalah. “Aku gak minta, Mas, tapi makasih, ya, udah dibawain es ini,” kataku sambil mencubit kecil pinggangnya. Aku tidak mau ibu mertua tahu kalau sebenarnya memang aku yang minta dibelikan es. Aku takut dicap boros. Ibu hanya tertawa kecil melihat tingkah kami. Aku merasa kasihan melihat ibu mertua yang begitu baik, tetapi mendapat menantu pemalas seperti diriku. Sudah pemalas, oon lagi. Kenapa juga aku tidak inisiatif memeriksa ke ruang laundry tadi? Malah main tidur saja. Dasar diriku!Tidak ada asisten rumah tangga di rumah ini. Mas Yusuf pernah bilang, selagi Ibu sanggup mengerjakan semuanya, Ibu tidak mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Apalagi sebelum menikah, Bunda juga pernah meminta Mas Yusuf agar tidak memberiku asisten rumah tangga. Bunda ingin aku jadi istri yang rajin. **Keesokan harinya, usai melaksanakan ibadah bersama Mas Yusuf, aku pergi ke dapur. Namun, tidak mendapati Ibu. “Ke mana perginya Ibu? Pintu kamarnya tadi terbuka lebar dan Ibu gak ada di sana,” gumamku. Aku pergi menemui Mas Yusuf yang ternyata membawa beberapa pakaian di keranjang. “Em … biar aku yang nyuci.” Aku mengambil alih keranjang berisi pakaian kotor itu. Kemarin-kemarin memang Mas Yusuf yang mencucinya di mesin. Sekarang aku akan mencoba melakukannya sendiri. “Sayang, biasanya aku juga mencuci pakaian Ibu.”“Oh, gitu? Oke, sini! Di mana pakaian Ibu, Mas?”“Kamu gak keberatan?” Mas Yusuf menatapku ragu. Aneh sekali!“Ya enggaklah. Mana, Mas?”Mas Yusuf memberikan pakaian Ibu kepadaku. Aku mulai memasukkan seluruh pakaian ke mesin cuci. Baru kali ini aku menyentuh mesin cuci. Biasanya tidak pernah karena Bibi yang melakukan. “Kamu tahu gak, Mir?”“Enggak. Kan, Mas Yusuf belum bilang apa-apa. Jadi, aku gak tahu.”Mas Yusuf tertawa kemudian mencubit pipiku. Aku memang menggemaskan di matanya. Rasanya aku ingin bermanja-manja lagi seperti semalam. Eh!“Aku baru beli mesin cuci setelah aku melamar kamu, loh. Setelah tahu aku akan menikahi kamu, aku langsung membeli ini supaya nanti bisa memudahkan pekerjaanmu.”Penuturannya membuatku cukup terkejut. Uang bos sepertinya tidak akan berkurang banyak jika untuk membeli mesin cuci. “Kenapa gak beli dari dulu? Uang Mas Yusuf, kan, banyak.”“Ibu gak mau, Mir. Ibu lebih suka nyuci manual. Aku sebenarnya juga lebih suka nyuci manual.” “Jadi, Mas Yusuf beli ini agar pekerjaanku jadi lebih mudah?” Dia mengangguk. Sekedar mesin cuci, tapi niatnya itu membuatku kembali meleleh. Secinta itu Mas Yusuf kepadaku. Kudekap dirinya dengan erat. Mas Yusuf adalah pria terbaik yang pernah ada. “Yusuf, na—”Buru-buru aku melepaskan dekapan dan menjauh dari Mas Yusuf. Ibu tersenyum sambil menenteng sebuah kresek di tangannya. Aku mendekati Ibu. “Mas Yusuf memang jahil, Bu. Gak tahu tempat, main peluk-peluk. Maaf! Ibu dari belanja?” Ibu tertawa kecil. “Iya, Mir. Kamu mau makan apa hari ini? Ibu belanja lumayan banyak.”“Wah, apa aja boleh, Bu. Soal makanan, aku gak pernah pilih-pilih.”Aku segera membantu Ibu untuk mengeksekusi bahan-bahan yang akan diolah. Aku mengeluarkan semua bahan dari kantong kresek. “Mir, tolong letakkan jahe, kencur, dan kawan-kawannya itu di tempat masing-masing, ya! Itu udah ada wadahnya.” Ibu mertua menunjuk empat wadah berjajar rapi. “Ibu memang selalu meletakkan bumbu-bumbu itu di tempat berbeda agar mudah saat mencarinya,” sambunya. Jahe? Kencur? Apa itu? Yang mana? Kulihat bentukan mereka sama saja. Ukuran mereka pun sama. Kulihat lagi beberapa kresek bening kecil di hadapanku. Kuamati mereka lekat-lekat. Jahe yang mana? Kencur yang mana? “Oh, iya, sekalian racikin bumbu buat ungkep ayam, ya!” Aku menggigit bibir bawah. Bumbu dapur saja aku tidak tahu, apalagi diminta meracik untuk ungkep ayam. “I–iya, Bu. Sebentar … perutku, kok, mules, Bu? Aku izin buang air dulu, Bu,” ujarku beralasan agar bisa kabur dari dapur. Ibu pun mengangguk dan aku segera menemui Mas Yusuf di kamar. “Mas! Kita beli makanan aja, yuk!” ajakku sedikit memaksa. “Bukannya Ibu sedang masak, ya?”“Gak perlu. Kita beli aja, yuk!”“Ibu udah masak, Sayang. Sia-sia kalau gak dimakan. Nanti malam aja kita beli. Kamu gak suka dengan yang dimasak Ibu?”“Bukan itu masalahnya. Ibu memintaku meracik bumbu untuk ungkep ayam. Masalahnya, aku gak bisa masak. Aku gak tahu bumbu dapur aja. Gimana nanti kalau Ibu tahu aku gak bisa masak? Perempuan gak bisa masak, kok, dijadikan istri? Gimana kalau Ibu punya pikiran begitu? Gimana?” Aku berkaca-kaca menatap Mas Yusuf. Meski sudah berusaha kutahan, ternyata air mata ini berhasil membasahi pipi. Kedua sudut bibirku mengarah ke bawah. Bukannya simpati, Mas Yusuf justru gembira dengan ukiran senyum lebar di wajahnya.“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y
“Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi
Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k
“Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang