Share

6. KOPI TANPA GULA

Kedua tangan Mas Yusuf menangkup kedua pipiku. Dia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa. “Gak bisa masak, kok, nangis?”

“Kalau aku dimarahi gimana? Dianggap menantu yang gak berguna gimana?”

Mas Yusuf menyeka air mataku dengan jempolnya kemudian mempertemukan dua jempolnya tepat di hidungku. Dia mencapit hidungku hingga ada sedikit cairan yang keluar. 

“Idiiiih, udah besar masih ingusan.” Mas Yusuf terkekeh. 

Cepat-cepat aku mengusap cairan itu dengan lengan pakaian. 

“Mira! Pakai tissue!”

“Kelamaan,” kataku kesal. 

Mas Yusuf mengambil tissue kemudian mengusap bagian bawah hidungku. Memang, jika aku menangis, selalu ada cairan yang keluar dari hidung. Baru menangis sedikit, hidungku bahkan sudah terlihat sangat merah. 

Dia telaten membersihkan wajahku. “Mulai sekarang, biasakan kalau ngelap apa-apa pakai tissue. Jangan pakaian yang digunakan! Lihat, lengan bajumu kotor!” Mas Yusuf membuang tissue itu ke tempat sampah. 

“Jijik, ya?” tanyaku. 

“Sayang, aku nggak jijik. Kamu itu lucu. Udah gede, tapi masih seperti bocah SD yang ngusap ingus sembarangan. Mana belepotan lagi ke pipi.” Mas Yusuf kembali terkekeh. 

“Setelah ini, ganti baju! Terus pergi ke dapur, lihat apa yang dilakukan Ibu! Semakin sering kalian mengobrol, kalian akan semakin dekat dan akrab,” titahnya. 

Aku menggeleng pelan. “Takut.”

“Astaga, Almira! Lama-lama aku gigit kamu, ya! Ayo sama aku! Ganti bajunya dulu!”

Setelah mengganti baju dan mencuci muka, aku kembali ke dapur. Ditemani Mas Yusuf tentunya. Jika tidak, aku tak akan berani memasuki dapur.

“Udah, Mir?”

“Udah, Bu. Maaf lama!” 

“Gak apa-apa, Mir.”

Kulihat bumbu-bumbu di kresek kecil tadi sudah ada di wadah yang berjejer itu. Syukurlah jika Ibu sendiri yang meletakkannya.

“Yusuf, minum kopi apa teh?” tanya Ibu kepada suamiku.

“Kopi, Bu, tapi biar Almira saja yang membuatnya.”

“Mir, itu air panasnya bentar lagi mendidih. Kamu siapkan bubuk kopinya di gelas, ya!” Ibu memerintah diriku. Aku mengangguk dan mengambil gelas. 

Kulihat Mas Yusuf menjauh sembari mengacungkan jempol. Ya, dia suamiku. Seharusnya aku yang melayaninya, bukan Ibu. Kemarin-kemarin memang Mbak Dewi yang membuat minuman untuk seluruh orang di rumah ini dan bodohnya, aku tidak mau tahu soal itu. 

“Mir, tahu gak kopinya di mana?”

“Tahu. Itu ada tulisannya, Bu.” 

Kopi, gula, garam, dan teh ada tulisannya. Seharusnya wadah untuk bumbu dapur, seperti kencur dan kawan-kawannya pun diberi tulisan. Nanti aku akan menyarankan ini kepada Ibu. Masih kulirik Ibu yang lincah sekali memasak. Rupanya, aku memang harus belajar banyak dari Ibu. 

“Berapa sendok, ya?” Aku membatin sambil memasukkan satu sendok makan bubuk kopi. “Kok, kayak sedikit? Hmm.” Aku kembali menambahkan satu sendok makan bubuk kopi sampai munjung. 

Tekonya berbunyi. Ibu memintaku mematikan kompor. Aku yang tidak pernah menyentuh kompor pun mencoba memutarnya dengan ngawur. 

“Bu, kok, tambah gede apinya?” tanyaku panik. 

‘Klek!’ Ibu mematikan kompor dengan sangat anggun dan tersenyum melihatku. 

“Begitu caranya. Diputar pol ke atas. Mungkin kompor di rumah kamu lebih canggih, ya? Bukan kompor modelan seperti punya ibu.”

Aku yang tidak pernah memperhatikan kompor di rumahku hanya tersenyum dan meringis. 

“Tuang airnya pelan-pelan ke dalam gelas, ya! Kalau gak bisa, ibu saja.” 

“Bisa, Bu.” Hanya menuang air panas, kurasa itu bukan sesuatu yang sulit. 

Aku mengangguk dan menuang air panas itu perlahan. Yeay! Berhasil! Aku berhasil membuat kopi untuk pertama kalinya dan ini spesial untuk suamiku tercinta. 

Setelah mengaduknya dengan penuh perasaan, aku menghampiri Mas Yusuf dan memberikan secangkir kopi ini untuknya. Dia menerimanya kemudian mencium aroma kopi dan mendongak menatap wajahku dengan senyuman yang khas. “Makasih, istriku.”

Aku tersenyum lebar. Pasti dia akan menyukai kopi buatanku. Mas Yusuf mulai menyeruputnya perlahan. Kulihat ekspresi wajahnya, Mas Yusuf begitu menikmati. Matanya terpejam sembari menggigit bibir bahkan sesekali menyapu bibirnya sendiri dengan lidahnya. 

“Enak, ya? Besok aku buatkan lagi,” kataku. 

Tanpa mengatakan apapun, Mas Yusuf tersenyum sangat lebar dan kembali mengacungkan jempol. Dia meraih tanganku dan menciumnya dengan cepat. 

“Mau bantuin Ibu?” tanyanya sambil mengusap punggung tanganku lembut. 

Aku mengangguk mendengar pertanyaannya. 

“Mau aku ajari pekerjaan lain, Sayang?” 

Aku menatapnya penuh tanya. Mas Yusuf menggandeng tanganku kemudian mengajakku ke ruang laundry. “Waktunya dibilas, setelah itu dikeringkan, lalu dijemur,” ucapnya. 

“Caranya?” 

Untung saja suamiku memiliki kesabaran setebal baja. Mas Yusuf mengajariku dengan sangat telaten, meski aku berulang kali menanyakan hal yang sama. Jujur saja, memang cara berpikirku terkadang sedikit lemot. Bersyukur, Mas Yusuf menerima segala kekurangan dalam diriku.

“Ini nunggu lama, Mas?” 

“Tunggu beberapa menit. Mau kamu tinggal bantuin Ibu?” 

Aku mengangguk. Daripada aku diam menunggu mesin cuci begini, lebih baik aku unjuk diri di dapur. Keberhasilan membuat kopi tadi membuat diriku semangat memasuki dapur. 

“Kalau mau bantuin, tanya dulu, ya! Jangan malu bertanya kalau memang gak bisa! Minta Ibu mengajari! Ibu gak akan marah, kok.”

“Oke.” Kuberikan acungan jempol kepada Mas Yusuf kemudian pergi menemui Ibu di dapur. 

“Ibu, aku bantu apa?”

“Mir, kasih garam, gula, dan penyedap untuk sayur sopnya, ya!” 

Kulihat Ibu memang repot sendiri. Apa setiap hari Ibu begini? Kasihan juga. “Garamnya berapa sendok, Bu?”

“Kamu kira-kira aja, Mir. Sambil diicip. Kalau dirasa udah pas, ya udah.”

“Em ….” Aku masih sangat takut untuk mengatakan bahwa diri ini tidak bisa memasak sama sekali. Takaran gula dan garam untuk sayur sop pun aku tak tahu. 

Aku mencoba memasukkan seuprit garam ke dalam sayur sop. Rasanya hambar. Kutambah lagi seuprit, tetapi masih sangat hambar. Berarti ini memang kurang banyak. Kumasukkan lagi garam dengan sesuka hati, kira-kira lima sendok teh garam. Mungkin ini sudah pas. 

Saat kucicipi, aku cukup terkejut. Ini sangat asin. Ah, iya. Gula! Mungkin aku harus mengimbanginya dengan rasa manis. 

“Ibu, gulanya habis, ya?”

“Oh, iya. Ibu lupa belum nuangin ke toples. Gulanya ada di laci bawah, Mir! Tuang ke toples juga, ya!”

“Oh, di laci, ya?” Aku memeriksa laci yang ada di hadapanku kemudian mengambil satu bungkus gula. 

“Eh, tunggu!” Ibu mendadak mendekatiku dan melihat toples gula yang kosong. 

“Kenapa, Bu?” 

“Toples gula ini kosong dari semalam. Terus kamu buat kopi untuk Yusuf tadi gimana, Mir?” 

“Memangnya kalau buat kopi harus ditambah gula, ya? Bukannya udah ada rasa manisnya, Bu?”

“Astaga, menantuku!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status