Share

4. DISETRIKA MERTUA

“Ibu-ibu, tolong berhenti mengatakan yang tidak-tidak tentang menantu saya. Menantu saya tidak seperti itu. Dia bisa melakukan apapun dan dia sangat rajin. Saya yang tinggal satu rumah dengannya. Jadi, saya yang lebih tahu tentangnya.” Mengharukan! Ibu mertua benar-benar membela diriku. 

“Baru beberapa hari tinggal serumah udah begini. Nanti kalau udah bertahun-tahun, Bu Ine akan lelah sendiri,” celetuk Bu Ajeng. 

“Jangankan bertahun-tahun, satu bulan kemudian mungkin Bu Ine akan tertekan.” Wanita di sebelah Bu Ajeng itu menimpali. Kalau saja tidak ada ibu mertua, sudah aku tonjok mereka berdua. Mulutnya tidak bisa di-filter. 

“Ibu, mereka menyebalkan,” gerutuku kesal. 

“Gak usah diladeni. Semakin mereka diladeni, semakin panjang obrolannya. Mereka memang doyan omong. Warga sini juga sering, kok, dikasih omongan pedas. Dua orang itu, jika ditimpali, akan semakin menjadi. Yuk, masuk aja! Yang di teras udah bersih.” 

Tanpa menimpali ucapan dua orang itu, aku dan Ibu memasuki rumah. Aku melirik mereka yang mulutnya komat-kamit sambil menatap sinis ke arahku. Memangnya, hanya mereka yang bisa menatap sinis? Aku pun bisa. Kuberikan tatapan tak kalah sinis dan ketus. 

“Mir, udah! Jangan dilihatin!” 

Segera kuubah ekspresi wajahku saat menatap Ibu. Ternyata sedari tadi, Ibu memperhatikan mimik wajahku. 

“Ibu, maaf, ya. Aku gak bisa apa-apa.” Aku menunduk lesu. Mungkin aku sudah mengecewakan ibu mertua dan membuatnya malu di hadapan para tetangga. 

“Jangan sedih gitu mukanya! Nanti cantiknya ilang!” Ibu mertua bisa saja menggodaku. 

“Kamu mau mencoba ngepel lantai?” 

Aku mengangguk mendengar pertanyaan Ibu. Aku mengambil alat pel yang ada di tangannya. Ibu dengan sabar mengajariku mengepel dengan benar. Akhirnya, setelah sekian purnama, aku bisa mengepel lantai. Ayah dan Bunda harus tahu ini. Mengepel lantai sudah bisa kulakukan dan ini salah satu pencapaian dalam hidupku. 

Usai mengepel lantai, aku kembali bertanya, “Apa lagi yang harus aku lakukan sekarang, Bu?”

“Gak ada. Kalau kamu mau makan, makan aja! Pasti capek, ya?” 

Aku meringis. Memang mengerjakan pekerjaan rumah sangat melelahkan. Ini baru menyapu dan mengepel lantai, aku sudah kembali lapar walau tadi sudah sarapan. 

“Tuh, perut kamu bunyi. Makan sana! Ibu panasin dulu lauknya, ya. Apa mau dimasakin yang baru?”

Seketika aku terkejut. “Ja–jangan, Bu! Ibu gak perlu melakukan itu. Aku bisa sendiri, kok.”

Ibu mertuaku terlalu baik. Kalau begini, aku bisa betah di sini. Aku bisa pastikan tidak akan mengeluh apapun soal hidup bersama mertua. 

“Ibu gak makan juga?”

“Ibu masih belum lapar. Kamu makan dulu aja! Pokoknya kalau lapar, makan aja! Gak perlu malu, gak perlu sungkan, gak perlu nunggu makan bersama. Lapar, ya, makan! Jangan sungkan! Ini rumah kamu sekarang.” Ibu tersenyum menatap diriku yang tengah terharu dengan ucapannya. 

Jika bisa berteriak, aku ingin berteriak sekarang. Aku akan mengatakan kepada dunia bahwa aku bahagia hidup dengan mertua. Eits, tunggu dulu! Ini memang masih baru beberapa hari tinggal bersama mertua. Namun, aku yakin jika ibu mertuaku akan tetap seperti ini sampai bertahun-tahun lamanya. 

Usai makan, aku masuk ke kamar. Entah apa lagi yang harus aku lakukan. Kuputuskan untuk bermain ponsel dan melihat status teman-temanku. Mereka memposting gambar makanan dan minuman kekinian.

“Order, ah!” Dikarenakan sudah makan, aku putuskan untuk memesan minuman saja. Saat hendak menekan tombol 'pesan sekarang', tiba-tiba aku teringat ucapan Rini. 

“Mau pesan makanan di aplikasi pun harus sembunyi-sembunyi. Kalau gak gitu, nunggu mertua keluar dulu, baru pesan makanan. Kalau gak gitu, pasti kena omel, katanya boros,” ucap Rini saat itu. 

“Duh, pesan gak, ya?” Aku menjadi bimbang. Di satu sisi aku ingin minuman itu, di sisi lain aku takut ibu mertuaku marah. 

Aku memutuskan untuk menghubungi Mas Yusuf melalui panggilan video. Kuutarakan keinginanku. Dia tertawa kecil menatap wajah lesuku di layar ponsel. 

“Kalau pengin, ya, pesan aja, Sayang!” 

“Kalau Ibu marah gimana?”

“Gak akan. Udah, pesan aja!”

“Takut.”

Mas Yusuf terkekeh. “Masih takut? Berdua di rumah sama Ibu, ngapain? Masa gak ngobrol sama Ibu?”

“Udah, Mas. Aku bisa nyapu dengan bersih terus bisa ngepel juga. Tadi Ibu yang ngajarin,” laporku dengan bangga. 

“Apa Ibu galak?”

Aku tertawa kecil. “Enggak sama sekali.”

“Terus ngapain takut?” Mas Yusuf bertopang dagu sambil menatap diriku lekat-lekat. Tatapan yang selalu membuat diri ini mleyot seketika. Senyum yang menawan itu masih melekat di wajah tampannya. 

“Mungkin kamu masih canggung, ya? Ya udah, mau minum apa? Nanti aku bawain.”

Solusi yang tepat. Daripada aku takut dimarahi ibu mertua karena order minuman melalui aplikasi, lebih baik aku pesan melalui Mas Yusuf.

Setelah mengakhiri panggilan video, aku pun rebahan seperti yang dulu aku lakukan. Makan, rebahan, main, dan tidur. Empat hal itu selalu aku lakukan saat masih lajang. 

**

Mataku terbuka kala merasakan pipiku ditarik ke sana-sini. Kulihat Mas Yusuf tersenyum kemudian mengecup kening secara tiba-tiba. “Bangun, Sayang!”

Aku melihat jam dinding. Ternyata pukul dua siang. Tidak terasa jika aku sudah tidur selama empat jam lamanya. 

“Tuh, minumannya di meja makan. Maaf, ya, aku baru pulang. Tadi kedatangan teman-teman lama waktu kuliah dulu. Ada dosenku juga.”

“Gak masalah, Mas.” Mas Yusuf memang memiliki banyak teman dan relasi. Tak heran jika banyak yang berdatangan ke kedai kopinya. 

Aku segera beranjak saat mendengar pintu kamar diketuk. Saat membuka pintu, aku terkejut mendapati ibu mertua membawa setumpuk pakaian yang sudah dilipat rapi. 

“Mir, letakkan di lemari, ya! Ini pakaian kamu dan Yusuf yang dicuci kemarin. Semua udah ibu setrika.”

Seketika aku menelan ludah dengan kasar. Ibu mertua menyetrika pakaianku, sedangkan aku asyik rebahan sampai ketiduran. Perlahan, tanganku terulur untuk menerima setumpuk pakaian dari Ibu. 

“Kenapa tangannya gemetar, Mir?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status