“Ibu-ibu, tolong berhenti mengatakan yang tidak-tidak tentang menantu saya. Menantu saya tidak seperti itu. Dia bisa melakukan apapun dan dia sangat rajin. Saya yang tinggal satu rumah dengannya. Jadi, saya yang lebih tahu tentangnya.” Mengharukan! Ibu mertua benar-benar membela diriku.
“Baru beberapa hari tinggal serumah udah begini. Nanti kalau udah bertahun-tahun, Bu Ine akan lelah sendiri,” celetuk Bu Ajeng. “Jangankan bertahun-tahun, satu bulan kemudian mungkin Bu Ine akan tertekan.” Wanita di sebelah Bu Ajeng itu menimpali. Kalau saja tidak ada ibu mertua, sudah aku tonjok mereka berdua. Mulutnya tidak bisa di-filter. “Ibu, mereka menyebalkan,” gerutuku kesal. “Gak usah diladeni. Semakin mereka diladeni, semakin panjang obrolannya. Mereka memang doyan omong. Warga sini juga sering, kok, dikasih omongan pedas. Dua orang itu, jika ditimpali, akan semakin menjadi. Yuk, masuk aja! Yang di teras udah bersih.” Tanpa menimpali ucapan dua orang itu, aku dan Ibu memasuki rumah. Aku melirik mereka yang mulutnya komat-kamit sambil menatap sinis ke arahku. Memangnya, hanya mereka yang bisa menatap sinis? Aku pun bisa. Kuberikan tatapan tak kalah sinis dan ketus. “Mir, udah! Jangan dilihatin!” Segera kuubah ekspresi wajahku saat menatap Ibu. Ternyata sedari tadi, Ibu memperhatikan mimik wajahku. “Ibu, maaf, ya. Aku gak bisa apa-apa.” Aku menunduk lesu. Mungkin aku sudah mengecewakan ibu mertua dan membuatnya malu di hadapan para tetangga. “Jangan sedih gitu mukanya! Nanti cantiknya ilang!” Ibu mertua bisa saja menggodaku. “Kamu mau mencoba ngepel lantai?” Aku mengangguk mendengar pertanyaan Ibu. Aku mengambil alat pel yang ada di tangannya. Ibu dengan sabar mengajariku mengepel dengan benar. Akhirnya, setelah sekian purnama, aku bisa mengepel lantai. Ayah dan Bunda harus tahu ini. Mengepel lantai sudah bisa kulakukan dan ini salah satu pencapaian dalam hidupku. Usai mengepel lantai, aku kembali bertanya, “Apa lagi yang harus aku lakukan sekarang, Bu?”“Gak ada. Kalau kamu mau makan, makan aja! Pasti capek, ya?” Aku meringis. Memang mengerjakan pekerjaan rumah sangat melelahkan. Ini baru menyapu dan mengepel lantai, aku sudah kembali lapar walau tadi sudah sarapan. “Tuh, perut kamu bunyi. Makan sana! Ibu panasin dulu lauknya, ya. Apa mau dimasakin yang baru?”Seketika aku terkejut. “Ja–jangan, Bu! Ibu gak perlu melakukan itu. Aku bisa sendiri, kok.”Ibu mertuaku terlalu baik. Kalau begini, aku bisa betah di sini. Aku bisa pastikan tidak akan mengeluh apapun soal hidup bersama mertua. “Ibu gak makan juga?”“Ibu masih belum lapar. Kamu makan dulu aja! Pokoknya kalau lapar, makan aja! Gak perlu malu, gak perlu sungkan, gak perlu nunggu makan bersama. Lapar, ya, makan! Jangan sungkan! Ini rumah kamu sekarang.” Ibu tersenyum menatap diriku yang tengah terharu dengan ucapannya. Jika bisa berteriak, aku ingin berteriak sekarang. Aku akan mengatakan kepada dunia bahwa aku bahagia hidup dengan mertua. Eits, tunggu dulu! Ini memang masih baru beberapa hari tinggal bersama mertua. Namun, aku yakin jika ibu mertuaku akan tetap seperti ini sampai bertahun-tahun lamanya. Usai makan, aku masuk ke kamar. Entah apa lagi yang harus aku lakukan. Kuputuskan untuk bermain ponsel dan melihat status teman-temanku. Mereka memposting gambar makanan dan minuman kekinian.“Order, ah!” Dikarenakan sudah makan, aku putuskan untuk memesan minuman saja. Saat hendak menekan tombol 'pesan sekarang', tiba-tiba aku teringat ucapan Rini. “Mau pesan makanan di aplikasi pun harus sembunyi-sembunyi. Kalau gak gitu, nunggu mertua keluar dulu, baru pesan makanan. Kalau gak gitu, pasti kena omel, katanya boros,” ucap Rini saat itu. “Duh, pesan gak, ya?” Aku menjadi bimbang. Di satu sisi aku ingin minuman itu, di sisi lain aku takut ibu mertuaku marah. Aku memutuskan untuk menghubungi Mas Yusuf melalui panggilan video. Kuutarakan keinginanku. Dia tertawa kecil menatap wajah lesuku di layar ponsel. “Kalau pengin, ya, pesan aja, Sayang!” “Kalau Ibu marah gimana?”“Gak akan. Udah, pesan aja!”“Takut.”Mas Yusuf terkekeh. “Masih takut? Berdua di rumah sama Ibu, ngapain? Masa gak ngobrol sama Ibu?”“Udah, Mas. Aku bisa nyapu dengan bersih terus bisa ngepel juga. Tadi Ibu yang ngajarin,” laporku dengan bangga. “Apa Ibu galak?”Aku tertawa kecil. “Enggak sama sekali.”“Terus ngapain takut?” Mas Yusuf bertopang dagu sambil menatap diriku lekat-lekat. Tatapan yang selalu membuat diri ini mleyot seketika. Senyum yang menawan itu masih melekat di wajah tampannya. “Mungkin kamu masih canggung, ya? Ya udah, mau minum apa? Nanti aku bawain.”Solusi yang tepat. Daripada aku takut dimarahi ibu mertua karena order minuman melalui aplikasi, lebih baik aku pesan melalui Mas Yusuf.Setelah mengakhiri panggilan video, aku pun rebahan seperti yang dulu aku lakukan. Makan, rebahan, main, dan tidur. Empat hal itu selalu aku lakukan saat masih lajang. **Mataku terbuka kala merasakan pipiku ditarik ke sana-sini. Kulihat Mas Yusuf tersenyum kemudian mengecup kening secara tiba-tiba. “Bangun, Sayang!”Aku melihat jam dinding. Ternyata pukul dua siang. Tidak terasa jika aku sudah tidur selama empat jam lamanya. “Tuh, minumannya di meja makan. Maaf, ya, aku baru pulang. Tadi kedatangan teman-teman lama waktu kuliah dulu. Ada dosenku juga.”“Gak masalah, Mas.” Mas Yusuf memang memiliki banyak teman dan relasi. Tak heran jika banyak yang berdatangan ke kedai kopinya. Aku segera beranjak saat mendengar pintu kamar diketuk. Saat membuka pintu, aku terkejut mendapati ibu mertua membawa setumpuk pakaian yang sudah dilipat rapi. “Mir, letakkan di lemari, ya! Ini pakaian kamu dan Yusuf yang dicuci kemarin. Semua udah ibu setrika.”Seketika aku menelan ludah dengan kasar. Ibu mertua menyetrika pakaianku, sedangkan aku asyik rebahan sampai ketiduran. Perlahan, tanganku terulur untuk menerima setumpuk pakaian dari Ibu. “Kenapa tangannya gemetar, Mir?”“T–terima kasih, Ibu. Ma–maaf tadi aku ketiduran,” kataku yang dibalas senyuman oleh ibu mertua. “Gak masalah, Mir,” jawabnya kemudian berlalu. Aku memutar tubuh, menatap Mas Yusuf yang masih duduk di tepi kasur. Cengiran tipis pun aku tunjukkan padanya. “Maaf, aku gak tahu kalau Ibu menyetrika pakaian.”Mas Yusuf diam. Pasti dia marah karena telah membuat ibunya bekerja, apalagi sampai menyetrika pakaianku. Segera aku letakkan pakaian itu ke dalam lemari. Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkar di perutku. “Aku tahu, kamu belum terbiasa dengan keadaan ini. Pelan-pelan saja, kamu pasti bisa. Lihat apa yang Ibu lakukan dan minta Ibu untuk mengajari kamu. Bukan maksud aku untuk menuntut kamu supaya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku ingin kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya belum bisa kamu lakukan. Biasanya, jika aku gak pergi ke kedai, aku membantu Ibu apapun yang bisa kubantu. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sayang.”Aku tertunduk mendengar ucapan Mas Yusuf. Aku suda
Kedua tangan Mas Yusuf menangkup kedua pipiku. Dia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa. “Gak bisa masak, kok, nangis?”“Kalau aku dimarahi gimana? Dianggap menantu yang gak berguna gimana?”Mas Yusuf menyeka air mataku dengan jempolnya kemudian mempertemukan dua jempolnya tepat di hidungku. Dia mencapit hidungku hingga ada sedikit cairan yang keluar. “Idiiiih, udah besar masih ingusan.” Mas Yusuf terkekeh. Cepat-cepat aku mengusap cairan itu dengan lengan pakaian. “Mira! Pakai tissue!”“Kelamaan,” kataku kesal. Mas Yusuf mengambil tissue kemudian mengusap bagian bawah hidungku. Memang, jika aku menangis, selalu ada cairan yang keluar dari hidung. Baru menangis sedikit, hidungku bahkan sudah terlihat sangat merah. Dia telaten membersihkan wajahku. “Mulai sekarang, biasakan kalau ngelap apa-apa pakai tissue. Jangan pakaian yang digunakan! Lihat, lengan bajumu kotor!” Mas Yusuf membuang tissue itu ke tempat sampah. “Jijik, ya?” tanyaku. “Sayang, aku nggak jijik. Kamu itu lucu.
Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal. “Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” “Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” “Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. “Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. “Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang ke
Walau sudah tiga kali ibu mertua memanggilku, tetapi aku tak berani melihat ke arahnya. Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu di pundak. Aku menoleh dan ternyata ibu mertua yang menepuk pundakku. Ibu mengusap air mataku dengan tangan kosong. “Jadi begini gadis yang Yusuf nikahi? Selucu ini? Sepolos ini, hm?” Sebuah senyum terukir di wajah Ibu. Kupikir beliau akan memarahiku. Nyatanya, Ibu justru menghapus air mataku. Ini bukan seperti ibu mertua, melainkan seperti ibu kandung.Ibu memegang kedua lenganku. “Almira, gak semua wanita itu pandai memasak. Dulu, ibu juga seperti kamu yang gak bisa memasak. Apa neneknya Yusuf marah? Gak. Neneknya Yusuf sama sekali gak marah. Neneknya Yusuf mengajari ibu bagaimana cara memasak dengan benar. Apa yang sudah neneknya Yusuf lakukan kepada ibu dulu, akan ibu terapkan ke kamu. Kamu bilang mau belajar, kan?”Aku mengangguk. Benar-benar lembut ibu mertua berbicara. “Ibu akan mengajari kamu bagaimana me
Sayangnya, aku tak mendengar sahutan ibu mertua. Suara Ibu terdengar sangat pelan seperti orang sedang bisik-bisik. Mungkin Ibu takut aku mendengar perbincangan mereka. Entah apa jawaban Ibu, yang jelas pikiran buruk mulai menghantui saat ini. Ibu pernah mendambakan gadis lain untuk dijadikan menantu? Jujur saja, aku sangat cemburu mendengar ucapan itu, apalagi saat mendengar gadis itu pernah jadi incaran Mas Yusuf. Aku ingin tahu, sesempurna apa gadis yang sedang dibicarakan itu. Sebelum keluar kamar, aku bercermin terlebih dahulu, memastikan bahwa tidak ada air mata yang keluar akibat perkataan wanita itu. “Ibu.”“Nah, ini Almira, istrinya Yusuf.” Ibu menarik diriku supaya mendekat dan menyalami wanita itu. “Mir, ini namanya Atika, adik kandung ibu. Kamu panggil saja Bibi Tika.”Oh, ternyata wanita itu adalah adik kandung ibu. Pantas saja wajahnya sama persis dengan ibu mertuaku. “Kemarin, waktu pernikahan kalian,
“Gimana kabarnya?” Wanita bernama Syafira itu mengulurkan tangan kepada Mas Yusuf. Namun, sebelum Mas Yusuf menerima uluran tangannya, aku sudah terlebih dahulu menjabatnya. Kini, aku dan Syafira saling berjabat tangan.“Baik,” jawabku.“Ini … siapa? Keponakan apa sepupu?”“Saya Almira, istrinya Mas Yusuf.” Aku melepaskan tangan wanita tersebut. Enak saja aku dibilang keponakan atau sepupu. “Oh, jadi Mas Yusuf udah nikah?”“Udah. Kan, udah jelas tadi saya bilang kalau saya ini istrinya,” kataku sewot.Aku pun menoleh ke arah Mas Yusuf. “Mas, katanya mau ke rumah Bunda?” “Fir, kami pergi dulu. Permisi!” ujar Mas Yusuf.Jangan ditanya lagi sekesal apa diriku di dalam mobil. Pantas saja jika Mas Yusuf mengincar Syafira. Wajahnya sangat cantik, seperti orang Arab. Tubuhnya tinggi, langsing, dan rambutnya tergerai panjang. Dia begitu wangi.“Mira … Sayang?”“Ternyata dia sangat cantik dan tinggi.
“Udah ketemu Syafira, ya? Tadi Syafira udah cerita, kok. Kamu cemburu? Itu wajar, tapi kamu perlu tahu. Syafira itu hanya masa lalu. Dulu, ibu memang mendambakan dia, tapi setelah Ibu mendapatkan menantu seperti kamu, ibu sadar … kamu lebih baik dari siapapun. Kamu cantik, kamu baik, dan kamu sempurna. Dulu, memang ibu menginginkan dia, tapi sekarang ibu mendapatkan lebih dari yang ibu inginkan sebelumnya. Di dalam dirimu, ibu melihat kesempurnaan.”Entah dari sisi mana ibu mertua melihat adanya kesempurnaan dalam diriku. “Apa ucapan Ibu hanya untuk menghibur diriku saja?” Ibu tersenyum. Senyum itu terlihat sangat meneduhkan. “Ibu bicara jujur, Almira.”“Tapi aku sempurna dari mana, Ibu? Kekuranganku bahkan sangat banyak.”“Kamu belum menyadarinya untuk saat ini. Lambat laun, kamu pasti akan paham. Di balik kekurangan itu, ada kelebihan.”“Apa, Ibu? Aku bahkan tidak merasa memiliki kelebihan apapun,” kataku lirih.“Ada. Ibu dan
“Apa, sih? Sewot amat tanyanya? Tiga wanita itu, Ibu, kamu, dan Bunda,” jawabnya diiringi dengan menarik pipiku.“Hayo … katanya janji gak akan mikir macam-macam?” sambungnya. “Kirain. Kan, aku gak tahu.”“Makanya ….” Mas Yusuf pun duduk dan menggenggam kedua tanganku. Dia mendongak, menatap diriku yang masih berdiri. “Doain aku, ya! Dan dampingi aku dalam kondisi apapun. Kamu tahu, usahaku ini gak besar. Hanya sekedar coffe shop. Saingan di mana-mana pun banyak. Aku mau, kamu menemani langkahku. Aku mau, kamu selalu mendukungku melakukan apapun, termasuk mengembangkan bisnis ini. Jika aku salah melangkah, tolong tegur dan tarik aku!”Aku menggigit bibir bawah. Apa tidak salah Mas Yusuf mengatakan hal ini? Seharusnya aku yang butuh arahan darinya karena selama ini aku sudah salah kaprah dalam melangkah. “Tolong diperjelas, Mas! Aku gak paham.”Mas Yusuf tampak tertawa kecil. “Intinya kita jalan sama-sama. Kita berdampingan. Jik