Walau sudah tiga kali ibu mertua memanggilku, tetapi aku tak berani melihat ke arahnya. Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu di pundak. Aku menoleh dan ternyata ibu mertua yang menepuk pundakku.
Ibu mengusap air mataku dengan tangan kosong. “Jadi begini gadis yang Yusuf nikahi? Selucu ini? Sepolos ini, hm?”Sebuah senyum terukir di wajah Ibu. Kupikir beliau akan memarahiku. Nyatanya, Ibu justru menghapus air mataku. Ini bukan seperti ibu mertua, melainkan seperti ibu kandung.Ibu memegang kedua lenganku. “Almira, gak semua wanita itu pandai memasak. Dulu, ibu juga seperti kamu yang gak bisa memasak. Apa neneknya Yusuf marah? Gak. Neneknya Yusuf sama sekali gak marah. Neneknya Yusuf mengajari ibu bagaimana cara memasak dengan benar. Apa yang sudah neneknya Yusuf lakukan kepada ibu dulu, akan ibu terapkan ke kamu. Kamu bilang mau belajar, kan?”Aku mengangguk. Benar-benar lembut ibu mertua berbicara.“Ibu akan mengajari kamu bagaimana meSayangnya, aku tak mendengar sahutan ibu mertua. Suara Ibu terdengar sangat pelan seperti orang sedang bisik-bisik. Mungkin Ibu takut aku mendengar perbincangan mereka. Entah apa jawaban Ibu, yang jelas pikiran buruk mulai menghantui saat ini. Ibu pernah mendambakan gadis lain untuk dijadikan menantu? Jujur saja, aku sangat cemburu mendengar ucapan itu, apalagi saat mendengar gadis itu pernah jadi incaran Mas Yusuf. Aku ingin tahu, sesempurna apa gadis yang sedang dibicarakan itu. Sebelum keluar kamar, aku bercermin terlebih dahulu, memastikan bahwa tidak ada air mata yang keluar akibat perkataan wanita itu. “Ibu.”“Nah, ini Almira, istrinya Yusuf.” Ibu menarik diriku supaya mendekat dan menyalami wanita itu. “Mir, ini namanya Atika, adik kandung ibu. Kamu panggil saja Bibi Tika.”Oh, ternyata wanita itu adalah adik kandung ibu. Pantas saja wajahnya sama persis dengan ibu mertuaku. “Kemarin, waktu pernikahan kalian,
“Gimana kabarnya?” Wanita bernama Syafira itu mengulurkan tangan kepada Mas Yusuf. Namun, sebelum Mas Yusuf menerima uluran tangannya, aku sudah terlebih dahulu menjabatnya. Kini, aku dan Syafira saling berjabat tangan.“Baik,” jawabku.“Ini … siapa? Keponakan apa sepupu?”“Saya Almira, istrinya Mas Yusuf.” Aku melepaskan tangan wanita tersebut. Enak saja aku dibilang keponakan atau sepupu. “Oh, jadi Mas Yusuf udah nikah?”“Udah. Kan, udah jelas tadi saya bilang kalau saya ini istrinya,” kataku sewot.Aku pun menoleh ke arah Mas Yusuf. “Mas, katanya mau ke rumah Bunda?” “Fir, kami pergi dulu. Permisi!” ujar Mas Yusuf.Jangan ditanya lagi sekesal apa diriku di dalam mobil. Pantas saja jika Mas Yusuf mengincar Syafira. Wajahnya sangat cantik, seperti orang Arab. Tubuhnya tinggi, langsing, dan rambutnya tergerai panjang. Dia begitu wangi.“Mira … Sayang?”“Ternyata dia sangat cantik dan tinggi.
“Udah ketemu Syafira, ya? Tadi Syafira udah cerita, kok. Kamu cemburu? Itu wajar, tapi kamu perlu tahu. Syafira itu hanya masa lalu. Dulu, ibu memang mendambakan dia, tapi setelah Ibu mendapatkan menantu seperti kamu, ibu sadar … kamu lebih baik dari siapapun. Kamu cantik, kamu baik, dan kamu sempurna. Dulu, memang ibu menginginkan dia, tapi sekarang ibu mendapatkan lebih dari yang ibu inginkan sebelumnya. Di dalam dirimu, ibu melihat kesempurnaan.”Entah dari sisi mana ibu mertua melihat adanya kesempurnaan dalam diriku. “Apa ucapan Ibu hanya untuk menghibur diriku saja?” Ibu tersenyum. Senyum itu terlihat sangat meneduhkan. “Ibu bicara jujur, Almira.”“Tapi aku sempurna dari mana, Ibu? Kekuranganku bahkan sangat banyak.”“Kamu belum menyadarinya untuk saat ini. Lambat laun, kamu pasti akan paham. Di balik kekurangan itu, ada kelebihan.”“Apa, Ibu? Aku bahkan tidak merasa memiliki kelebihan apapun,” kataku lirih.“Ada. Ibu dan
“Apa, sih? Sewot amat tanyanya? Tiga wanita itu, Ibu, kamu, dan Bunda,” jawabnya diiringi dengan menarik pipiku.“Hayo … katanya janji gak akan mikir macam-macam?” sambungnya. “Kirain. Kan, aku gak tahu.”“Makanya ….” Mas Yusuf pun duduk dan menggenggam kedua tanganku. Dia mendongak, menatap diriku yang masih berdiri. “Doain aku, ya! Dan dampingi aku dalam kondisi apapun. Kamu tahu, usahaku ini gak besar. Hanya sekedar coffe shop. Saingan di mana-mana pun banyak. Aku mau, kamu menemani langkahku. Aku mau, kamu selalu mendukungku melakukan apapun, termasuk mengembangkan bisnis ini. Jika aku salah melangkah, tolong tegur dan tarik aku!”Aku menggigit bibir bawah. Apa tidak salah Mas Yusuf mengatakan hal ini? Seharusnya aku yang butuh arahan darinya karena selama ini aku sudah salah kaprah dalam melangkah. “Tolong diperjelas, Mas! Aku gak paham.”Mas Yusuf tampak tertawa kecil. “Intinya kita jalan sama-sama. Kita berdampingan. Jik
“Yusuf, istrimu pengin jajan. Ambilin, dong!”“Enggak, Ibu. Serius,” kataku. Tiba-tiba saja Mas Yusuf mengambil satu batang coklat dan meletakkannya di troli. “Mau berapa, Sayang?”“Gak usah, serius.”“Mukamu itu, loh, bikin kasihan kalau lagi ngempet jajan,” bisiknya diiringi tawa kecil. “Mau berapa?”“Satu aja.”Kini, giliran kami yang akan membayar. Ternyata banyak juga. Kuperhatikan satu-satu saat mereka di-scan. Belum keluar total belanjanya pun sudah membuat diriku melotot. Saat kasir menyebut nominal yang tertera di layar, aku cukup terkejut. Ternyata kebutuhan bulanan, bisa mencapai jutaan. Segera aku membayarnya dengan non tunai. “Udah paham, Mir, berapa yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan rumah selama satu bulan?” tanya Ibu setelah kami keluar dari supermarket. “Paham, Ibu.” “Masih ada lagi, Mir.”“Sayur dan lauk pauk, kan?” “Ada lagi selain itu.”“Apa itu, B
“Astaga, Mira! Jangan dikucek! Tanganmu habis pegang bawang! Aduh, sini, sini!”“Ibu, tolong! Ini perih sekali! Aku gak tahan!”Bukan aku yang mencuci muka, melainkan ibu mertua yang mencuci mukaku. Kedua tanganku bahkan disabun oleh beliau. Ibu membawaku keluar ruangan. Aku diminta merasakan embusan angin yang menerpa. Air mata tak hentinya mengalir sejak tadi.Sangat perih memang, tetapi rasa perih itu perlahan hilang. Saat kutatap Ibu, kulihat beliau tampak sangat khawatir terhadap diriku. “Udah mendingan?”“Udah, Ibu. Udah gak seperti tadi.”“Udah, bawang merahnya, ibu saja yang kupas,” kata ibu mertua. “Nggak, Bu. Aku saja. Semua ini proses. Namanya juga belajar. Perih, gak apa-apa. Sekarang aku sudah tahu kalau bawang merah itu bisa buat perih ke mata.”“Gak, Mir. Ibu aja. Kamu kupas bawang putih aja lebih mudah.”“Oh, begitu? Baiklah.” Saat sudah memasuki dapur, aku mengupas bawang pu
“Beda gimana, Suf?” Ibu menatap Mas Yusuf heran. “Ini enak banget, Bu. Beda dari biasanya.”Hah? Senyumku mengembang seketika. Tadinya, kupikir Mas Yusuf tak menyukainya. “Jadi, masakan Ibu udah kalah, nih?” tanya Ibu diiringi lirikan menggoda ke arahku. “Sayur bening dan sambalnya buatan Almira, loh,” jawab Ibu. Meski harus dikomando oleh Ibu, tetapi aku senang karena masakan itu kerja keras dari tanganku sendiri. Ibu hanya menambahkan garam sedikit pada sayur bening dan mengiris bagian tengah cabai. Itu saja. Selebihnya, aku yang melakukan. Huh! Akhirnya … jebol juga predikat memasak untuk diriku hari ini. Mas Yusuf menatapku yang sumringah sedari tadi. “Enak. Serius, ini enak, Sayang.”“Itu yang ngeracik bahan buat sambal dan sayur bening—Almira sendiri. Ibu cuma ngasih tahu ada bawang, tomat, dan lain-lain. Yang atur takarannya, istrimu sendiri, Suf,” jelas ibu mertua. “Seneng, ya, bisa masak
“Enggak, Mas,” jawabku lirih. Biarlah saat ini penanak nasi yang kusalahkan. Jujur, aku sangat takut dimarahi oleh mereka. Mas Yusuf berdiri kemudian bergegas pergi ke dapur dan aku mengikutinya dari belakang. Begitu pun dengan Ibu. “Waktunya ganti yang baru, deh, Mas,” kataku yang masih membela diri.Mas Yusuf membuka tutup penanak nasi sambil mengerutkan dahi. Dia menutupnya kembali dan memasukkan steker ke dalam stop kontak kemudian menekan tombol yang bertulisan cook. “Apanya yang error?” Mas Yusuf menatap diriku yang tengah mengalami senam jantung saat ini. “Penanak nasi yang error atau kamu lupa menekan tombol itu, hm?” Mas Yusuf mendekat dan berkacak pinggang di hadapanku. Aku mendongak kemudian menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Em tadi error, Mas.”“Apanya yang error? Itu nyala, bisa. Mana yang error?” tanyanya sambil memajukan wajahnya kepadaku. “Penanak nasi itu baru kuganti dua bulan yang lalu,