Share

7. PENGAKUAN DI DEPAN MERTUA

Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal. 

“Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” 

“Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” 

“Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”

Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. 

“Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. 

Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. 

“Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang kesusahan meraih tali jemuran itu. 

Mas Yusuf malah tertawa kemudian mendekat dan mengangkat tubuh mungilku. “Mas, aku malu!” 

“Dah, jemur cepat!”

“Aku minta tali jemurannya yang diturunin, bukan aku yang ditinggiin begini, Mas,” protesku. 

Mas Yusuf terkekeh kemudian menurunkan tubuhku. Aku tahu, dia memang sangat tinggi, begitu pun dengan ibu mertua dan para kakak iparku. Sepertinya, hanya aku yang memiliki tubuh minimalis. 

Hari ini Mas Yusuf yang menjemur pakaian karena tubuh miniku ini tak mampu meraih tali jemuran itu. 

“Sayang, biasanya jam sebelas udah diangkat sama Ibu sekalian dilipat. Besok baru disetrika. Kamu mau belajar melakukannya?” 

Aku mengangguk cepat. “Tentu saja.”

“Oke, jangan lupa minta Ibu mengajari kamu agar tidak salah caranya melipat dan menyetrika.”

Saking asyiknya menemani Mas Yusuf menjemur pakaian, sampai lupa dengan pekerjaanku di dapur. Ah, iya. Semua ini gara-gara gula dan segala kecerobohanku tadi. 

“Mas, kopi buatanku tadi enak gak?” Aku memutuskan untuk membahas masalah kopi. 

“Enak, kok.”

“Serius? Enak banget? Gak kurang manis?” 

“Kurang manis dikit, Mir, tapi enak, kok.” 

Aku bergegas memasuki ruang makan kemudian mencicipi kopi Mas Yusuf. ”Behhh!” Parah! Ini amat sangat pahit, bahkan tidak ada manisnya sama sekali. Ya iyalah, gulanya saja tidak kucampurkan. 

Kembali kuhampiri Mas Yusuf yang membersihkan area laundry. “Mas, mau dibuatkan kopi yang baru gak?”

Mas Yusuf menoleh ke arahku. “Gak usah. Kopi yang tadi masih banyak, Sayang.”

“Aku buatkan yang baru, yang ada gulanya, hehe.” 

Mas Yusuf mendekat ke arahku kemudian kembali menangkup kedua pipi comelku. “Makasih udah berusaha melayani aku. Sekecil apapun usahamu, aku akan menghargai. Meski kopinya pahit, gak masalah.”

“Kenapa gak bilang langsung kalau kopinya pahit? Jadi, aku bisa kasih gula saat itu juga.”

“Gak tega, Sayang. Lihat wajahmu waktu bawa kopi tadi, loh, nyenengin. Gak tega mau ngecewain. Terus ini kenapa kamu bisa tahu kalau kopinya belum ada gula?”

“Tadi Ibu yang sempat tanya. Aku gak tahu kalau kopi itu belum ada campuran gulanya. Maaf, ya, aku oon.”

Lagi-lagi Mas Yusuf tertawa. Heran! Mas Yusuf seperti tidak memiliki rasa marah sama sekali. Tak apa, justru pria seperti ini yang aku inginkan. Mampu mengerti dan menerima segala kekurangan dalam diriku.

Aku pun kembali ke dapur untuk melihat Ibu. Rupanya semua sudah selesai karena semua kompor sudah mati dan lauk pauk sudah tersaji di piring. Cepat sekali ibu mertuaku memasak! Namun, kulihat beliau tengah mengulek sesuatu. 

“Bikin apa, Ibu?”

“Sambal. Yusuf itu kalau makan selalu pakai sambal.”

“Meski pagi begini?”

“Iya, Mir, tapi sambalnya gak terlalu pedas, kok. Oh, iya. Minta tolong bawa itu ke ruang makan, ya!” Ibu mertua menunjuk sayur dan lauk pauk yang sudah siap. 

Lagi-lagi aku konslet. Seharusnya aku berinisiatif membawa semua itu ke ruang makan, bukannya diam dan menunggu perintah. Aku pun membawa semua itu ke ruang makan. 

Dalam sekejap, kami sudah berkumpul untuk sarapan bersama. Tanpa menunggu lama, kami segera menyantapnya. Namun, agak aneh kurasa saat mencoba kuah sop. 

“Agak keasinan, ya, Bu?” Mas Yusuf akhirnya bersuara. 

“Gak apa-apa, dimakan aja! Tetap enak, kan?” 

Mas Yusuf mengangguk. Aku menggigit bibir bawah menatap ibu mertua. Pasalnya, aku yang memasukkan garam sesuka hati ke sayur sop itu. Namun, reaksi ibu mertua justru di luar dugaan. Beliau tersenyum dan mengedipkan sebelah mata padaku. Apa artinya ini? Ibu tidak marah?

Sepertinya aku harus mengatakan sekarang. Jika tidak, akan semakin banyak kesalahan yang aku perbuat ke depannya. 

“Ibu,” panggilku lirih. 

Mas Yusuf dan Ibu bersamaan menatapku. Rasanya grogi sekali, seperti tengah ditatap para juri di ajang kompetisi memasak. Aku pernah melihat cuplikan videonya di sebuah aplikasi. 

“Kenapa, Mir?” Ibu menatapku penuh tanya. 

“Ibu, Mas Yusuf, maaf jika masakannya keasinan. Mas Yusuf, tadi aku yang masukin garam ke sayurnya. Dan Ibu, aku minta maaf! Sebenarnya aku gak bisa masak sama sekali.” Akhirnya kata itu terucap. 

Aku tertunduk, tak berani menatap wajah Ibu yang mungkin kecewa kepada diriku. Kutatap makanan di meja saat ini, rasanya tak selera untuk menyantap mereka. Diri ini sedang membayangkan kata apa saja yang akan dilontarkan ibu mertua. 

“Selain gak bisa memasak, aku gak bisa mencuci, Bu. Aku gak bisa membuat kopi. Aku gak bisa melakukan pekerjaan rumah seperti para istri pada umumnya. Aku gak bisa apa-apa, Ibu. Tapi aku akan belajar. Sungguh aku akan belajar, Bu.”

Tak ada suara yang menimpali ucapanku. Aku masih belum berani menatap Ibu maupun Mas Yusuf. Pasti Ibu sangat kecewa. Seperti biasa, hati ini begitu lembek. Begini saja aku sudah menitikkan air mata. 

Sudah lemot, pendek, tidak bisa apa-apa, cengeng lagi. Dahlah, paket komplit! Apa yang bisa dibanggakan dari gadis limited edition sepertiku? Tidak ada!

“Yusuf, jadi begini gadis yang dulu sangat ingin kamu nikahi? Seperti ini?” 

Hah! Air mata ini semakin deras mengalir. Benar dugaanku jika ibu mertua akan marah. Suara Ibu saat melontarkan pertanyaan itu terdengar cukup lembut, tetapi sangat menyakitkan bagiku. 

Aku hendak bersuara, tetapi tak sanggup berkata-kata. Justru isak tangis yang kian menjadi. Kuputuskan untuk pergi dari ruang makan karena cairan bening sudah hendak keluar dari hidung. Namun, Mas Yusuf menahan tanganku. Dia berdiri kemudian menarik tubuhku dalam dekapannya. 

Mas Yusuf mengusap kepala dan punggungku. “Sudah, Sayang! Jangan nangis! Aku menikahimu untuk membuatmu bahagia, bukan untuk membuatmu menangis.”

“Almira!” Suara Ibu terdengar cukup tegas dan aku sama sekali tak berani menatapnya. 

“Almira!” Panggilan ke dua justru lebih tegas lagi dan membuat diri ini semakin takut untuk menatap. 

“Almira, lihat ibu!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
NABELLA YULIYANTI
bagus,menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status