Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal.
“Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” “Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” “Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. “Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. “Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang kesusahan meraih tali jemuran itu. Mas Yusuf malah tertawa kemudian mendekat dan mengangkat tubuh mungilku. “Mas, aku malu!” “Dah, jemur cepat!”“Aku minta tali jemurannya yang diturunin, bukan aku yang ditinggiin begini, Mas,” protesku. Mas Yusuf terkekeh kemudian menurunkan tubuhku. Aku tahu, dia memang sangat tinggi, begitu pun dengan ibu mertua dan para kakak iparku. Sepertinya, hanya aku yang memiliki tubuh minimalis. Hari ini Mas Yusuf yang menjemur pakaian karena tubuh miniku ini tak mampu meraih tali jemuran itu. “Sayang, biasanya jam sebelas udah diangkat sama Ibu sekalian dilipat. Besok baru disetrika. Kamu mau belajar melakukannya?” Aku mengangguk cepat. “Tentu saja.”“Oke, jangan lupa minta Ibu mengajari kamu agar tidak salah caranya melipat dan menyetrika.”Saking asyiknya menemani Mas Yusuf menjemur pakaian, sampai lupa dengan pekerjaanku di dapur. Ah, iya. Semua ini gara-gara gula dan segala kecerobohanku tadi. “Mas, kopi buatanku tadi enak gak?” Aku memutuskan untuk membahas masalah kopi. “Enak, kok.”“Serius? Enak banget? Gak kurang manis?” “Kurang manis dikit, Mir, tapi enak, kok.” Aku bergegas memasuki ruang makan kemudian mencicipi kopi Mas Yusuf. ”Behhh!” Parah! Ini amat sangat pahit, bahkan tidak ada manisnya sama sekali. Ya iyalah, gulanya saja tidak kucampurkan. Kembali kuhampiri Mas Yusuf yang membersihkan area laundry. “Mas, mau dibuatkan kopi yang baru gak?”Mas Yusuf menoleh ke arahku. “Gak usah. Kopi yang tadi masih banyak, Sayang.”“Aku buatkan yang baru, yang ada gulanya, hehe.” Mas Yusuf mendekat ke arahku kemudian kembali menangkup kedua pipi comelku. “Makasih udah berusaha melayani aku. Sekecil apapun usahamu, aku akan menghargai. Meski kopinya pahit, gak masalah.”“Kenapa gak bilang langsung kalau kopinya pahit? Jadi, aku bisa kasih gula saat itu juga.”“Gak tega, Sayang. Lihat wajahmu waktu bawa kopi tadi, loh, nyenengin. Gak tega mau ngecewain. Terus ini kenapa kamu bisa tahu kalau kopinya belum ada gula?”“Tadi Ibu yang sempat tanya. Aku gak tahu kalau kopi itu belum ada campuran gulanya. Maaf, ya, aku oon.”Lagi-lagi Mas Yusuf tertawa. Heran! Mas Yusuf seperti tidak memiliki rasa marah sama sekali. Tak apa, justru pria seperti ini yang aku inginkan. Mampu mengerti dan menerima segala kekurangan dalam diriku.Aku pun kembali ke dapur untuk melihat Ibu. Rupanya semua sudah selesai karena semua kompor sudah mati dan lauk pauk sudah tersaji di piring. Cepat sekali ibu mertuaku memasak! Namun, kulihat beliau tengah mengulek sesuatu. “Bikin apa, Ibu?”“Sambal. Yusuf itu kalau makan selalu pakai sambal.”“Meski pagi begini?”“Iya, Mir, tapi sambalnya gak terlalu pedas, kok. Oh, iya. Minta tolong bawa itu ke ruang makan, ya!” Ibu mertua menunjuk sayur dan lauk pauk yang sudah siap. Lagi-lagi aku konslet. Seharusnya aku berinisiatif membawa semua itu ke ruang makan, bukannya diam dan menunggu perintah. Aku pun membawa semua itu ke ruang makan. Dalam sekejap, kami sudah berkumpul untuk sarapan bersama. Tanpa menunggu lama, kami segera menyantapnya. Namun, agak aneh kurasa saat mencoba kuah sop. “Agak keasinan, ya, Bu?” Mas Yusuf akhirnya bersuara. “Gak apa-apa, dimakan aja! Tetap enak, kan?” Mas Yusuf mengangguk. Aku menggigit bibir bawah menatap ibu mertua. Pasalnya, aku yang memasukkan garam sesuka hati ke sayur sop itu. Namun, reaksi ibu mertua justru di luar dugaan. Beliau tersenyum dan mengedipkan sebelah mata padaku. Apa artinya ini? Ibu tidak marah?Sepertinya aku harus mengatakan sekarang. Jika tidak, akan semakin banyak kesalahan yang aku perbuat ke depannya. “Ibu,” panggilku lirih. Mas Yusuf dan Ibu bersamaan menatapku. Rasanya grogi sekali, seperti tengah ditatap para juri di ajang kompetisi memasak. Aku pernah melihat cuplikan videonya di sebuah aplikasi. “Kenapa, Mir?” Ibu menatapku penuh tanya. “Ibu, Mas Yusuf, maaf jika masakannya keasinan. Mas Yusuf, tadi aku yang masukin garam ke sayurnya. Dan Ibu, aku minta maaf! Sebenarnya aku gak bisa masak sama sekali.” Akhirnya kata itu terucap. Aku tertunduk, tak berani menatap wajah Ibu yang mungkin kecewa kepada diriku. Kutatap makanan di meja saat ini, rasanya tak selera untuk menyantap mereka. Diri ini sedang membayangkan kata apa saja yang akan dilontarkan ibu mertua. “Selain gak bisa memasak, aku gak bisa mencuci, Bu. Aku gak bisa membuat kopi. Aku gak bisa melakukan pekerjaan rumah seperti para istri pada umumnya. Aku gak bisa apa-apa, Ibu. Tapi aku akan belajar. Sungguh aku akan belajar, Bu.”Tak ada suara yang menimpali ucapanku. Aku masih belum berani menatap Ibu maupun Mas Yusuf. Pasti Ibu sangat kecewa. Seperti biasa, hati ini begitu lembek. Begini saja aku sudah menitikkan air mata. Sudah lemot, pendek, tidak bisa apa-apa, cengeng lagi. Dahlah, paket komplit! Apa yang bisa dibanggakan dari gadis limited edition sepertiku? Tidak ada!“Yusuf, jadi begini gadis yang dulu sangat ingin kamu nikahi? Seperti ini?” Hah! Air mata ini semakin deras mengalir. Benar dugaanku jika ibu mertua akan marah. Suara Ibu saat melontarkan pertanyaan itu terdengar cukup lembut, tetapi sangat menyakitkan bagiku. Aku hendak bersuara, tetapi tak sanggup berkata-kata. Justru isak tangis yang kian menjadi. Kuputuskan untuk pergi dari ruang makan karena cairan bening sudah hendak keluar dari hidung. Namun, Mas Yusuf menahan tanganku. Dia berdiri kemudian menarik tubuhku dalam dekapannya. Mas Yusuf mengusap kepala dan punggungku. “Sudah, Sayang! Jangan nangis! Aku menikahimu untuk membuatmu bahagia, bukan untuk membuatmu menangis.”“Almira!” Suara Ibu terdengar cukup tegas dan aku sama sekali tak berani menatapnya. “Almira!” Panggilan ke dua justru lebih tegas lagi dan membuat diri ini semakin takut untuk menatap. “Almira, lihat ibu!”“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y
“Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi
Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k
“Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang
“Jika Bu Tami memperhatikan wajahnya betul-betul, Bu Tami akan mengetahui siapa ayahnya,” kataku yang memang sudah tahu masa lalu Manda. Manda menatap ke arahku sambil menggeleng pelan. Kurasa, sudah cukup Manda menyembunyikan semua ini. Ini saat yang tepat untuk mengatakan karena semua orang sedang berkumpul. Om Arga mendekati Cindy kemudian berlutut dan meraba wajah cantiknya. Om Arga berkaca-kaca lalu mendongak beralih menatap Manda yang masih berdiri.“Manda, dia … anakku?” Manda terdiam dan kembali menunduk. “Manda, jawab! Kenapa aku tidak pernah tahu hal ini?”Kudengar Manda sedikit terisak. Kasihan, pasti dia sedang teringat dengan masa lalunya. “Karena kamu pergi di saat aku mengandung dua bulan. Kamu menceraikan aku melalui telepon. Aku mau beritahu kehamilan ini, tapi kamu buru-buru menutup telepon. Kamu juga langsung menutup semua akses untuk kuhubungi, Mas. Aku menunggu berminggu-minggu, ternyata hanya s
(POV ALMIRA)“Atur napas, Bu! Ikuti saya! Tarik napas pelan-pelan lalu keluarkan!”Aku mencoba mengatur napas. Namun, karena saking sakitnya yang kurasa, aku kesulitan untuk mengambil napas dengan baik. Aku bahkan masih terengah-engah. Seorang bidan berlanjut mengajariku bagaimana cara mengejan. Aku pun mengikuti arahannya. “Ah, iya, benar.”“Semangat, Ibu!!! Sudah nampak. Rileks, ya, rileks! Ikuti lagi arahan saya!”“Ayo, Sayang! Kamu bisa.” Mas Yusuf berbisik di telinga. Aku kembali melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh bidan tadi. Berusaha mengatur napas dan mengejan. “Alhamdulillah.” Serentak mereka mengucap hamdalah diiringi suara tangis bayi yang sangat kencang. “Hah? Sudah keluar?” Rasanya aku masih tidak percaya. Aku tak merasakan apapun di bawah sana saat bayiku keluar. Sakit yang kurasa hanya di perut dan pinggang saja. Kulihat Mas Yusuf menangis kemudian menciumi wajahku. E
(POV ARGA)“Apa ini? Gadis yang kucintai mengeluarkan darah?” Aku hanya bisa diam saat melihat Almira kesakitan. Ya, dia kesakitan. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari. Pria bernama Yusuf itu datang menghampiri Almira dan melepaskan ikatannya. Entah bagaimana bisa dia kemari, aku tak tahu. Tangan Almira meremas kerah kemeja suaminya. Wajahnya meringis kesakitan. Sesekali dia menjambak rambut suaminya sambil merintih dan berteriak. Kubiarkan pria yang telah menikahinya itu membawanya pergi. Namun, telingaku masih terasa sangat sakit mendengar jeritan Almira yang menggema di ruangan.“Apa aku setega ini?”Kutatap darah yang menetes di lantai. Itu darah Almira. Tenggorokanku seakan tercekat saat hendak menelan ludah. “Arga ….”Suara itu begitu lirih ketika memanggil. Aku berbalik badan. Seorang wanita tua yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat karena postur tubuhnya sudah membungkuk. “Tega seka