Share

Bab 4

MERTUA PELIT, MENANTU CERDIK (4)

Purnomo mengantar Pak Ponijan pulang, setelah sampai di depan rumahnya. Purnomo memberikan uang seratus lima puluh ribu dengan perasaan tidak ikhlas. 

"Pak Pon, gimana caranya biar uang milik saya tidak diambil tuyul lagi?" tanya Purnomo. 

"Kasih garam di sekitar rumahmu, jangan lupa, kasih kaca di tempat penyimpanan uangmu!" 

"Bagaimana kalau saya pingin tahu wujud babi ngepet itu, Pak?" 

"Jangan memakai sehelai pakaian pun saat patroli, nanti kamu akan tahu wujud babi ngepet itu seperti apa," kata Pak Ponijan.  

"Yang benar saja, Pak, malu, dong, sama ibu saya?!" 

"Ya, tunggu tengah malam, ngapain juga kamu mau patroli siang bolong, yang ada kamu akan dianggap gila," kata Pak Ponijan. Purnomo mengangguk-angguk dan pamit pulang. 

"Woy, Pur, dari mana?" tanya Teguh. 

"Dari rumah Pak Pon, lihatin orang yang ambil uangku, tiga juta, eh, Guh!" 

"Waduh, tuyul kali, soalnya uangku beberapa kali juga hilang, tapi ilangnya urut seratus ribuan tiap hari," kata Teguh. 

"Waduh, aku gak pernah kehilangan sekalinya hilang tiga juta, gimana gak langsung demam badanku?" kata Purnomo. 

Atas saran dari Teguh, Purnomo membeli banyak kelereng agar bisa dihindarkan dari tuyul. Lina hanya terkikik geli melihat suaminya menaruh kelereng di sekitar kamarnya. 

"Buat apa kelereng, Mas?" tanya Lina. 

"Buat usir tuyul, lah!" 

"Memangnya tuyul main kelereng?" 

"Iya, kata teguh dia juga sering kehilangan uangnya, malah setiap hari seratus ribu. Sudah jangan banyak tanya kamu, bikinkan aku kopi!" kata Purnomo sambil melepas topinya. Dia duduk di kursi ruang tamu, Lina tersenyum membayangkan setiap hari dia mendapatkan uang seratus ribu. 

'Ada untungnya juga ketemu Teguh, bisa fitnah tuyul lagi, seger nih, tiap hari seratus ribu,' batin Lina. 

"Heh, malah ngelamun, kesambet lagi nanti!" kata Purnomo. 

"Ibuk masih goreng kopinya, belum selesai, beli kopi sachetan dulu, mau, gak?"

"Gak, ah! Seribu cuma dapat satu, mending bikinkah teh saja!" 

"Kebangetan, mau murah bikin kopi sendiri sana! Pelit kok sampai sumsum tulang belakang sampean itu!" gerutu Lina. 

Lina menuju dapur membuatkan teh untuk sang suami. Dia melihat ibu mertuanya menyangrai biji kopi dicampur jagung. Perbandingan yang tidak sepadan karena jagungnya lebih banyak, sedangkan kopinya hanya segenggam, bukankah ini termasuk penistaan terhadap biji kopi? 

"Kok dicampur jagung, Buk?" tanya Lina. 

"Iya, biar hemat! Kalau kopi murni ya rugi aku! Suamimu minum kopi sehari tiga kali!" katanya. 

'Ini namanya bukan minum bubuk kopi, yang ada minum bubuk jagung, pantesan rasanya gak karuan kayak makan arang ternyata setelah bertahun-tahun baru tahu rahasianya, betul-betul sakti mertuaku ini,' batin Lina. 

"Lin, tadi Rania ke sini, katanya nanti ba'da Ashar, Novi disuruh ke rumahnya, Empris mau ulang tahun katanya," kata Bu Romlah. 

"Empris siapa?" 

"Anaknya Rania yang kecil itu, lho!"

"Priska, Buk," kata Lina.

"Iya, itu, bikin nama susah sekali, kamu jangan datang, biar gak ngado! Lagian jaman sekarang dikit-dikit ulang tahun! Kalau niat mau syukuran ya syukuran aja gak usah undang-undang bikin repot saja!" 

"Ya, suka-suka dia lah, Buk, anak-anak dia. Ibu ini aneh sekali," kata Lina. 

"Iya, ya, suka-suka dia, tapi ibuk sebel kalau ada orang bikin acara ulang tahun, malah ribet gitu, lho! Kamu ingat, ya, nanti beli kado yang murah aja, kita mesti lebih hemat soalnya habis kehilangan uang tiga juta," kata Bu Romlah. 

"Iya, Buk, nanti kasih kado mainan aja," jawab Lina. 

"Buku aja kenapa, sih! Mainan mahal! Buku dua biji aja biar dia coret-coret!" 

"Ya ampun, Buk, Priska masih tiga tahun, dikasih buku buat apa?" 

"Mainan itu mahal, kamu jangan boros-boros, deh, Lin!" bentaknya. 

"Iya, Buk, maaf," kata Lina. 

Lina membuatkan teh sang suami kemudian meminjam motor milik suaminya itu. 

"Jangan lupa isikan bensinnya!" kata Purnomo. 

"Nih, kuncinya! Gak jadi pinjam!" ketus Lina. 

"Kenapa? Dari pada jalan kaki?" tanya Purnomo. 

"Cari yang gratis, lah! Gini-gini kakiku juga bisa ngebut! Sudahlah pinjam motor suami, suruh ngisi bensin, memangnya mau diisi pakai apa? Air pipis?!" ketus Lina. 

"Tadi pagi kan ada sisa belanja," kata Purnomo. 

Lina berbalik badan sambil berkacak pinggang, "sampean pikir tempe dua papan itu berapa harganya? Lima ratus perak? Wong tempe saja sudah empat ribu, yang enam ribu beli cabe sama tomat, gitu kok masih tanya sisa!" ketus Lina. 

"Aku cuma tanya, kamu kok sewot," kata Purnomo. 

Lina melangkah pergi sendirian mencari kado. Sebelumnya, dia makan mie ayam langganannya, tidak lupa dia juga membungkuskan mie ayam untuk Novi. Setelah mendapatkan kado untuk Priska, dia pulang membawa satu bungkus mie ayam itu. 

"Novi, ini mama dikasih teman mie ayam, makanlah, Nak!" kata Lina. 

Novi yang sedang asik menonton televisi berjingkrak melihat mamanya pulang membawa olrh-oleh. Bu Romlah yang sedang menghaluskan kopi menoleh, dan meliriknya sinis, sedangkan Purnomo bangkit dari tempatnya duduk. 

"Wih, enak, nih! Cuma satu?" tanya Purnomo. 

"Dikasih mau minta berapa?" ketus Lina. 

"Novi, bagi dua sama ayah, ya? Dikasih nasi biar kenyang," kata Purnomo berusaha merayu putrinya. 

"Kok tega, kok tega ...  mie ayam segini-gininya mau dibagi dua, situ punya duit beli sendiri sana!" tegur Lina. 

"Ogah, ah, mahal, nyicip dikit, ya, Nov," kata Purnomo meraih mangkok mie ayam. Lina menepuk tangan suaminya. 

"Gak! Kalau mau, beli sendiri! Modal! Kasihan anakku, udahlah gak pernah dijajanin, sekalinya jajan bapaknya ikutan!" 

"Pelit banget!" kata Purnomo. 

"Lagian, kamu itu kayak bocah! Makan mie aja nyicip segala, bayangin saja sambil cium baunya, nanti juga ngerasa enaknya. Lagian makanan enak juga cuma sampe leher, setelahnya sama-sama jadi tai!" sahut Bu Romlah. 

"Tuh, dengerin kata ibuk! Kamu cium saja aroma mie ayamnya, atau kalau tidak tungguin Novi kentut, nanti juga kecium baunya," kata Lina sambil terkekeh. 

Purnomo menelan ludah melihat putrinya lahap sekali makan mie ayam hingga semangkok mie itu tandas seketika. 

"Dek, aku ngiler pengen mie ayam, belikan setengah porsi, dong! Nanti kita bagi dua, ibu gak doyan mie ayam soalnya," bisik Purnomo. 

"Idih, ogah! Malu, Mas, malu! Kalau kamu mau, beli saja sendiri!" kata Lina. 

"Yasudah, aku yang beli sendiri!" kata Purnomo sambil membuka lemari. Kepalanya ikut masuk ke dalam lemari sambil setengah menutupnya, agar sang istri tidak tahu letak tempat penyimpanan uangnya. Lina pura-pura tidak melihat, padahal matanya mengawasi gerakan tangan suaminya dengan cepat. 

"Sudah, siapkan nasinya, aku beli mie ayamnya dulu!" kata Purnomo. Lina mengangguk. Setelah sang suami pergi, Lina mulai bergerilya mencari selembar rupiah untuk kebutuhannya dan sang putri. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status