Share

Bab 5

MERTUA PELIT, MENANTU CERDIK (5)

Bu Romlah mengobrak-abrik kamarnya. Baju-baju yang ada di gantungan pun tak lepas dari geledahannya. 

"Nyari apa, sih, Buk?" tanya Lina. 

"Kemarin, ibu ada kembalian habis beli detergen, tapi ibu lupa naruh, kemana, ya?" 

"Memangnya berapa uangnya?" tanya Lina. 

"Lima belas ribu, Lin! Sepuluh ribu, sama dua ribuan dua dan koin lima ratusan dua biji, sampai pusing kepalaku nyari gak ketemu-ketemu." 

"Tuyul kali, Buk," jawab Lina sekenanya. 

"Mana ada tuyul ambil duit kecil, bantuin cari cepet!" perintah Bu Romlah. 

Lina ikutan pusing mengobrak-abrik barang mereka. Dari kejauhan, Novi datang sambil memakan es cream di tangan kanannya. 

"Novi, itu uang nenek, ya buat beli es?" tanya Bu Romlah. 

"Enggak, ini dibelikan Fiska, kok," jawab Novi. 

"Alah jangan bohong, kamu! Masih kecil udah pinter bohong, kalau gede mau jadi apa kamu, ha?" teriak Bu Romlah. 

"Ibuk apa-apaan, sih! Novi gak pernah saya ajari mencuri, ya! Jangan ngada-ngada! Ayo kita tanya Rania, betul tidak dia belikan es cream untuk Novi dan Fiska!" tantang Lina. 

Bu Romlah duduk di atas kursi dengan dada berdebar, dan mata memerah. Rupanya dia kadung emosi berat dengan cucunya. Siapa lagi yang berani mengambil uang kalau bukan anak kecil. 

Lina menuju rumah Rania menanyakan perihal es cream yang kata Novi dibelikan Fiska, anak pertama Rania. 

"Iya, betul, kok, tuh kembaliannya masih dua ribu," kata Rania. 

"Tuh, kan! Ayo ikut aku ke rumah! Neneknya nuduh Novi mencuri uangnya, enak aja, aku gak terima!" kata Lina. 

Bu Romlah tetap bersikeras uangnya hilang, tanpa memperdulikan penjelasan dari Rania. Bu Romlah masuk ke dalam kamar karena kepalanya pusing akibat kehilangan uang. 

"Gitu, tuh! Pekara uang lima belas ribu nuduh cucunya, greget aku lama-lama," kata Lina. 

"Sabar aja, Lin, namanya juga orang tua," kata Rania. 

"Kurang sabar gimana, badanku saja kurus kering ada kali turun berat badan delapan kilo, coba bayangin, delapan kilo daging itu sudah berapa ratus ribu?!" gerutu Lina. Rania hanya terkekeh geli mendengar ocehan tetangganya itu. 

***

Lina memasak tumis bunga pepaya, dia diam sepanjang hari karena marah dengan mertuanya. Saat sedang asik-asik merajang bumbu, dia melihat gulungan uang di celah tempat penyimpanan garam. Matanya mendelik melihat uang lima belas ribu yang sedari pagi dicari ibu mertuanya. 

'kemarin sudah nuduh anakku, lihat saja sampean, Bu, tak balas pokoknya!' batin Lina. 

"Buk, Ibuk," teriak Lina. 

"Apa?" 

"Ini uang yang ibu cari, kan?" 

"Ketemu dimana?" tanya Bu Romlah sambil duduk di sisi ranjang. Wajahnya yang tadi memucat menjadi cerah seketika. Saking cerahnya Lina sampai silau. 

"Di sela-sela garam sama gula, gitu nuduh cucunya, lain kali jangan asal nuduh!" kata Lina. 

"Iya, maaf, habisnya ibuk kesel nyari gak ketemu-ketemu," kata Bu Romlah. Lina meninggalkan ibu mertuanya yang mesam-mesem sambil memeluk uangnya. 

"Edan," gumamnya. 

Lina menakar kurang lebih dua kilogram beras dan menyelipkannya di kolong meja dapur. Dia meneruskan acara masak memasaknya kemudian berlari ke rumah Rania. 

"Rab, butuh beras lagi?" tanya Lina. 

"Boleh! Berapa?" 

"Dua kilo lagi," kata Lina. 

"Yaudah, bawa sini!" kata Rania. 

Lina buru-buru menyembunyikan berasnya, sayangnya sang suami tiba-tiba masuk dapur memergoki Lina membawa kresek hitam itu. 

"Apa itu, Dek?" tanya Purnomo. 

"Oh, sampah," jawab Lina sekenanya. Dia memasukkan kreseknya ke dalam tempat sampah kemudian membawanya keluar lewat pintu belakang. 

"Tumben kamu buang sampah?" tanya Purnomo. 

"Gak tahan bauk!" kata Lina. Purnomo mengangguk, dia meminum air putih kemudian keluar lagi. Lina mengelus dadanya kemudian buru-buru meletakkan beras itu di dapur Rania. 

"Eeeh, uangnya?!" kata Rania. 

"Nanti saja!" jawab Lina. 

Lina buru-buru membereskan bekas masakannya. Sang ibu mertua dengan wajah riang gembira menghampiri sang menantu. 

"Masak apa, Lin?" tanyanya. 

"Tumis daun pepaya," jawab Lina. 

"Enak, nih, nasinya sudah matang?" 

"Masih ditanak," jawab Lina. 

"Apinya kecilkan, dong! Boros sekali!" 

"Iyaaa," jawab Lina sambil mengecilkan nyala api. 

Sembari menunggu nasi matang, Lina memandang ke luar, dia menggelengkan kepala melihat kebun milik mertuanya. Ada beberapa pohon pepaya, pisang, singkong dan aneka sayuran, hampir semuanya gundul karena tidak sembat tumbuh apa lagi berkembang. 

"Woy, ngelamunin apa?" tanya Rania. Dia mengukurkan uang dua puluh ribu rupiah. 

"Makasih, ya! Lihat itu, lho, kasihan sama taneman, sudahlah botak, kurus kering, kok ya masih bertahan saja, kenapa gak mati sekalian biar gak didzolimin sama ibu mertuaku," kata Lina. 

"Halah, malah ngasihanin taneman, kasihan sama diri sendiri, kamu itu lho sama persis sama taneman, bedanya kamu gak gundul aja, soal ngenesnya ya, sama." 

"Kok omonganmu bener, aku merasa tertampar, tertusuk, terjlungup, ini, Ran!" 

Rania hanya terkekeh sambil mencicipi tumis bunga pepaya. 

"Pait!" katanya sambil melepeh kembali. 

"Sengaja, biar saja darah ibuk dan Mas Pur makin pahit, kebanyakan makan bunga pepaya," jawab Lina sambil terkekeh. 

"Kita makan di luar, yuk! Aku traktir!" kata Rania. 

"Oke, ayo!" 

Lina menunggu hingga nasinya matang kemudian pamitan hendak menyusul Novi yang kini sedang mengaji. 

"Inget, Lin, jangan biasakan Novi jajan sembarangan!" teriak Bu Romlah. 

"Enggak, kok, Buk, Novi sudah Lina biasakan puasa sedari dini," kata Lina sambil berlalu. Lina bersama Rania, dan anak-anak mereka menuju Indomerit membeli jajanan kesukaan anak-anak. Novi senang bukan main.

"Uangmu banyak Lin?" 

"Ssst! Hasil nuyul setiap hari, lumayan seratus ribu," kata Lina sambil terkekeh. 

"Lah, kok pinter, ini nanti suamimu kamu bagi?" 

"Gak, lah! Aku makan sendiri sama Novi, biar saja dia dan ibuk makan sama tumis daun pepaya yang paitnya sefrekwensi sama mereka," kata Lina sambil terkikik. 

Setelah puas jajan, mereka pulang ke rumah. Novi menenteng satu kresek besar berisi aneka snack. 

"Banyak amat jajannya, dapat uang dari mana kamu?" tanya Purnomo. 

"Lah, aku ditraktir Rania, kok," kata Lina. 

"Rania dapat uang dari mana, dia kan nganggur, mana bisa traktir kamu terus, dimarahi suaminya, dong!" 

"Rania itu, sekarang kerja jadi penulis online jadi duitnya banyak! Gak kelihatan kerja tapi uang mengalir deras." 

"Masa?"

"Tanya aja sendiri, nanti malah kamu tuduh pelihara babi ngepret lagi," kata Lina. 

"Oh, Dek, aku mau nitipin uang di Mbah Pon, lho! Nanti uangnya bisa berbunga, kayak Bank gitu." 

"Kenapa gak dititipin ke aku aja?" 

"Habis yang ada!" 

"Memangnya aku seboros itu?" tanya Lina dengan wajah sebal. 

"Bukan begitu ... mencegah lebih baik dari pada mengobati," jawab Purnomo. Lina masuk ke dalam kamar kemudian membanting pintunya. 

"Aku harus berpikir keras!" gumam Lina. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status