"Jangan tahan aku Devan, aku harus beri dia peringatan," teriaknya lantang.
"Sabar Bu, sebagai orang tua, ibu harus tenang dan tetap jad panutan, mari pulang dan tenangkan diri Ibu," ujarnya mengajak mertua kembali ke rumahnya. Aku yang mengintip kejadian itu dari jendela hanya bisa mengelus dada sambil mengucapkan istighfar. Aku tidak mengerti kenapa ibu mertua harus bersikap sederhana aktif itu padahal sebagai istri aku tidak pernah ingin merebut anaknya atau menjauhkan Mas Dirga darinya. Mungkinkah ibu mertuaku cemburu karena kini anak bungsunya telah menjadi suamiku dan yang pasti dia lebih mencintai istrinya? Wanita itu terus berteriak dan berusaha untuk masuk Namun karena mas Devan sangat sigap dan lembut menenangkan ibunya, akhirnya wanita itu bisa diredakan dan menjauh dari kediaman kami. "Ah, aku tak tahu harus bicara apa lagi," gumamku pelan. "Dengar Mariana, aku janji, bahwa kejadian itu tidak akan terulang kembali," ucapnya menggenggam tanganku. "Ya, mari kita lihat," jawabku beranjak menuju ke dapur dan membereskan semuanya. " Seminggu berlalu, Suamiku mulai terbuka dengan keuangannya, dalam arti dia mulai memberiku lebih, aku juga tak segan mengungkapkan keinginan sehingga mau tak mau Mas Dirga menurutinya. Kehidupan rumah tanggaku kembali normal, kartu ATM milik suami perlahan dipercayakannya padaku untuk dikelola sehingga aku bisa membeli kebutuhan rumah sesuai daftar dan mulai bisa mencicil skin care. Aku juga merasa sedikit lega meski kadang Mas Dirga masih membatasi juga. "Uang di kartunya jangan terlalu banyak dikuras ya Sayang, karena jadwal gajian kita masih lama dan aku juga takut ...." Suamiku tiba-tiba menghentikan ucapannya. "Takut apa Mas?" tanyaku lembut sambil menghampirinya di meja kerja. "Takut disidak ibu, bagaimana pun, ibu selalu ingin aku berhemat dan menekan pengeluaran agar kita punya banyak tabungan." "Hmmm, lagi-lagi ...." Aku mencebik dan membalikkan badan, namun dia langsung meraih pinggangku dan mendudukkan diri ini ke pangkuannya. "Dengar sayang, Aku sangat mencintaimu dan tidak mau kehilangan kamu tolong bantu aku untuk meyakinkan Ibu bahwa kita bisa mandiri dalam segala hal," bisiknya. "Iya aku janji, Mas. Tadi aku hanya beli sepaket bedak dan stok lauk untuk seminggu di kulkas." Mendengar itu suamiku yang tadinya ingin mencium langsung kaget dan memundurkan wajahnya dia terus menatapku sambil menelan ludahnya, sampai aku bertanya kenapa. "Ada apa?" "Tapi ... bukannya itu pemborosan kalau harus memberi stok lauk yang banyak, belum tentu juga aku akan makan di sini ...." Dia yang keceplosan langsung memelankan suaranya dan tersenyum gugup. Nampaknya kebiasaan makan di rumah Ibu membuat dia sulit untuk meninggalkan hal itu dengan cepat. "Oh, ya, jadi kamu pikir aku tidak akan makan sesuatu di rumah?" "Eh, bukan begitu maksudku, aku hanya ...." "Kau percaya padaku tentang uang itu kan?" "Iya." "Kau tak ragu?" "Tidak." "Baiklah, kalo begitu beres. Sudah selesai." Aku bangkit dan tersenyum menjauhinya. Sebenarnya aku masih menggeleng tak habis pikir mengapa suamiku jadi begitu tunduknya sampai perkara privasi saja dicampuri. ** Sampailah pada tanggal gajian suamiku di mana dia bulan ini mendapatkan gaji penuh dan extra bonus, sehingga total uangnya mencapai enam juta. Begitu banyak ungkapan syukur yang aku ucapkan pada Yang Kuasa atas berkah reseki dan karunia-Nya, aku sudah merencanakan uang tersebut untuk di anggarkan ke beberapa pos pengeluaran dan tabungan, juga membaginya sebagian untuk ibu mertua. Aku juga ingat sudah merencanakan untuk membeli gamis yang telah lama aku idam-idamkan. Mungkin ini adalah momen pertama kali membeli baju baru, jadi aku sangat antusias. Semuanya sudah kurencanakan dengan baik, selama mertuaku tidak ikut campur. Pukul empat sore suamiku pulang, kusambut dia dipintu dengan pelukan hangat, kuajak dia duduk sementara suamiku mengulum senyum menggodaku. "Ayo, Mas, mau aku ambil minum?" Kuletakkan fais di dekat Mas Dirga. "Kamu bersikap manis seperti ini karena tahu aku sudah bawa uang, kan?" godanya. "Ah, gak juga ...." Derai tawa kami terdengar ke seluruh rumah, Fais yang sedang lincah lincahnya seolah mengerti bahwa orang tuanya tengah bahagia sehingga dia pun ikut bertepuk tangan dan tertawa-tawa di pangkuan ayahnya. Namun semua itu tidak berlangsung lama karena tak jauh dari itu, ibu Lina datang. Tanpa salam atau sapa, dia langsung duduk di dekat kami berdua. "Kudengar hari ini kau gajian, ada apa denganmu yang tak datang lima hari ini, apa kau ingin menjauhi Ibu?" Suamiku yang ditanya dengan tatapan tajam ibunya langsung gugup dan salah tingkah, dia berusaha mengatur jarak denganku sambil menghampiri ibunya. "Begini,. Bu, beberapa hari ini aku lembur dan sangat sibuk sekali." "Kau bahkan tidak datang mengambil makananmu padahal aku sudah meletakkannya di dalam rantang, makanan itu terbuang sia-sia untuk pertama kalinya aku merasa bahwa kita memang berjarak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Demi apa aku muak sekali dengan drama wanita tua ini, tapi, aku tidak bisa menyalahkan dia karena suatu hari Fais anak yang kucintai juga akan tumbuh dewasa dan menikah lalu membagi hidupnya bersama wanita baru, mungkin Ibu sedang sangat cemburu. "Tidak, Bu. Tak akan ada yang bisa menciptakan jarak diantara kita. Aku menyayangi ibu dan itu akan terjadi selamanya, dunia dan akhirat," tegas Mas Dirga sambil memeluk ibunya. Wanita itu meraung-raung dibawa anaknya dan menangis takut kehilangan dan dijauhkan, sementara suamiku terus menyenangkan beliau dan meyakinkannya bahwa Mas Dirga kau tetap mencintainya. "Ibu .. . Ibu tenang dong ... kalau ibu nangis gini aku jadi sedih," bisiknya. "Ibu mau pulang saja Ibu tidak mau lama-lama di sini agar istri mau tidak perlu merasa tersinggung dan kabur lagi." Sempat-sempatnya wanita itu berpura-pura dan berusaha menjatuhkanmu di hadapan suami. "Tenang saja Ibu, aku bukan jenis wanita yang seperti itu," ucapku sambil tersenyum miring. "Siapa yang bisa menjaminnya?" Dia masih mendelik sambil membuang muka, membuat Mas Dirga nampak dalam dilema. Ah, aku sudah menempatkannya, dalam masalah. "Mariana ... tolong Sayang ...." Suamiku memberi isyarat. Melihat itu aku hanya bisa mengangkat bahu lalu menjauhkan diriku. "Ibu mau minta uang untuk terapi asam urat dan bekam," ujarnya sambil mengusap air mata dengan cepat, aku mengintip dari balik dinding ruang tengah. "Berapa Bu?" "Sejuta dua ratus sekalian Ongkos ...." "Tapi, Bu, sebenarnya aku ingin berikan belikan kereta dorong baru untuk Fais," ucap Mas Dirga, tapi seketika wanita itu langsung cemberut dan ingin menangis lagi. Sehingga mau tak mau suamiku tidak punya pilihan lain selain menghitung lembaran merah dari kantongnya dan menyerahkan pada ibunya. "Nah, gitu dong, Ibu adalah wanita yang telah menyayangi dan merawatmu jadi kau harus berbakti pada ibu." "Iya, Bu, sekarang ibu pergilah berobat." "Lho, apa yang kamu tunggu Apakah kamu tidak ingin mengantarku?" wanita itu langsung melotot pada anaknya. "Ah, i-iya, Bu. Bentar ya, aku mau mandi." "Gak usah, antar ibu sebentar!" "Ba-baik." Apa boleh buat suamiku langsung mengarah pada orang tuanya. Aku tahu wanita licik itu tak hendak membiarkan suamiku menyerahkan amplop gajinya padaku. Aku tahu niatnya dia ingin mengajak Mas Dirga pergi, dia akan mampir di beberapa toko lalu menguras isi dompet suamiku dan ya ... tidak akan ada yang tersisa lagi untuk kami.Setelah berhasil pindah dan kembali menjalani hari-hari yang normal bersama Mas Dirga dan putraku, perlahan ada rasa tenang dan perubahan dalam diri kami berdua, rumah tenang dan nyaris tidak pernah ada lagi pertengkaran.Meski hati telah telah merasa lega, tapi, di lubuk terdalam ada perasaan yang sulit kujabarkan artinya, atau sama sekali tak bisa kuungkapkan. Aku merasa rindu, berhutang budi, masih menyukai, sekaligus malu dan canggung pada kakak iparku yang baik.Entah berdebar tidaknya hati ini saat berjumpa kembali dengannya, yang pasti, mengingat nama dan tatapan saja aku seakan kehilangan akal pikirku. Sempat mendambanya menjadi pasangan hidup, sempat ingin merebutnya demi keegoisanku yang ingin hidup bahagia, tapi kemudian, kekonyolan itu membuatku menyesal dan memukul kepala sendiri.Aku tahu, ada kenyataan yang harus dihadapi, mencoba kembali pada realitas lalu mengorbankan kepentinganku demi kepentingan anakku yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang kedua orang t
"film apa maksudmu?"tanya ibu mertua kepada ayah yang tersenyum santai sambil memperlihatkan ponselnya."Saya terpaksa merekam semua perlakuan anda untuk bukti jika suatu saat Anda menyusahkan kami.""Jadi kalian sengaja memancing untuk marah dan membuat diri ini terjebak! begitukah?""Semua itu terjadi dengan alami Anda datang ke sini berbuat onar dan mencak-mencak, sayang yang hanya ingin melindungi anak saya," jawab ayah dengan sikap yang tenang."Kurang ajar benar-benar kurang ajar!"sungutnya sambil berkacak pinggang dan berlalu pergi."Sampai kapanpun aku tidak ridho atas penjualan rumah itu. Aku akan menyumpahi kalian semoga kalian ....""Cukup! cukup menyumpahi seseorang!" Sebagai seorang ibu yang harusnya mengayomi anak, tidak pantas lah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Anda adalah kalimat duri yang menyakitkan!""Kalian semua sama saja," jawab ibu mertua sambil mendengus sinis."Ayo Deka kita pergi dari tempat ini," ajaknya sambil mendelik arah putra sulungnya."Maafkan
"Aku capek sekali, aku ingin pulang Mariana," gumamnya sambil mengusap wajah."Kenapa pulang?""Aku sungguh lelah," balasnya."Baru juga sehari Mas ... belum sampai seminggu, bukankah kamu sudah sepakat dengan orang tuaku kalau kita akan tinggal disini demi menenangkan perasaan hatiku sementara waktu?" tanyaku sembari mengingatkan "Iya betul juga sih, tapi ...." Pria itu membuang nafas lalu mengusap wajahnya dengan frustrasi."Apa yang kau rasakan sekarang tidak sebanding dengan apa yang telah kurasakan beberapa waktu yang lalu, Mas. Menghadapi ibumu sungguh makan hati dan lelah jiwa," jawabku mengusap bahunya."Apa ayahmu sedang berusaha memberikanku pelajaran?" tanyanya menatap mata ini dengan tatapan penuh makna "Tidak juga, dia sedang menilai sejauh mana kau bisa memenangkan perasaannya, dia ingin tahu seperti apa kau ingin berbakti dan mengambil hati mertuamu," jawabku lembut.Kuhampiri dia, sementara suamiku meletakkan kepalanya di atas pangkuanku, berkali-kali dia mengeluh d
"Hei, kau sadar tidak, dengan ekspresi semacam itu? Apa maksudmu membentak Mariana seperti itu?""Kakak ngapain di sini, apakah Kakak sungguh menaksir istriku, kenapa Kakak sok jagoan sekali di hadapannya, apa kakak ingin meruntuhkan harga diriku di mata Mariana?" Tiba tiba saja Mas Dirga marah tanpa ada alasan yang jelas. Jika itu hanya cemburu, kenapa harus sekasar itu?"Aku datang memeriksa keadaannya," jawab Mas Devan "Untuk apa terus memeriksanya, apa aku tidak cukup baik untuk menjaga istri sendiri," ujar Mas Dirga sambil menarik tanganku lalu menyuruhku masuk ke dalam."Mas ..." Aku gelisah sekali melihat kecemburuan suamiku, terlebih matanya langsung menatap nanar pada plastik dan bungkusan yang dibawa Mas Devan."Apa ini semua, apa ini?" tanyanya dengan emosi."Astaghfirullah, kenapa kamu ini?" tanya Mas Devan heran, " itu untuk Fais.""Aku sudah cukup berusaha sekeras mungkin agar Mariana mau kembali padaku janganlah kakak berdiri di antara kami dan mencoba cari muka!" Hard
"Saya akan bersama Mariana," jawab Mas Dirga, pada akhirnya suamiku harus memilih dan terdesak juga."Bagus!" Ayah yang hendak masuk kamar langsung menghentikan langkah dan mengantuk puas."Artinya kau harus pindah kemari," jawabnya."Tapi ...""Kalau mau bersama Mariana, pindah kemari. Tapi kalau tidak, ya, tidak usah berharap lebih," jawab Ayah tegas."Baik, Ayah, baik, aku akan memberi tahu ibu jika kami akan pindah," jawabnya."Setelah ini tidak ada lagi drama begini dan begitu, aku tak mau ada kemarahan dan air mata lagi. Kau tahu ... Anakku sedang mengasuh bayi kecil, aku tak rela dia terus tertekan dan bisa gila karena perbuatan kalian," tegas ayah sambil menjauh."Baik, ayah, jika demikian keinginan ayah, aku akan menuruti," jawabnya pasrah.Ayah kemudian memberi isyarat pada ibu agar kedua orang tuaku itu memberi ruang pada kami. Ketika orang tuaku sudah menjauh Mas Dirga langsung mendekat dan meraih kedua tanganku."Aku akan korbankan semuanya demi kamu dan anakku, aku tid
Bukannya Ayah bisa tenang, tapi sesampainya di rumah, pria tercintaku itu langsung marah-marah."Kurang ajar, mereka menyuruhnya untuk mencium kaki ibu mertuanya, dasar tidak beradab!" teriak Ayah sambil melempar kunci motornya ke atas sofa.Ibu yang terlihat sejak tadi menunggu dengan gelisah langsung kaget dan memberi isyarat bertanya padaku."A-apa yang terjadi, Mas?""Hmm, wanita kurang ajar itu ... beserta anak mantunya memperlakukan anak kita seperti budak yang baru saja mencuri dari majikannya," geram ayah."Apa yang terjadi," tanya ibu padaku."Aku sedang minta maaf pada ibu Lina, Bu.""Hah, ya Allah kok sampai segitunya?""Aku mengalah agar rumah tangga kami baik-baik saja," jawabku."Mengalah sih mengalah, tapi tidak dengan merendahkan harga diri," ucap ayah marah."Sudah, Yah, tenangkan dirimu, nanti darah tinggimu kumat," ujar ibu menyela emosi suaminya."Hah, kalau tahu bahwa mertuanya sebiadab itu, tak akan sudi kuserahkan anak gadisku padanya," ucap ayah dengan geramny