Share

6. gajian

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-07-14 16:19:07

"Jangan tahan aku Devan, aku harus beri dia peringatan," teriaknya lantang.

"Sabar Bu, sebagai orang tua, ibu harus tenang dan tetap jad panutan, mari pulang dan tenangkan diri Ibu," ujarnya mengajak mertua kembali ke rumahnya.

Aku yang mengintip kejadian itu dari jendela hanya bisa mengelus dada sambil mengucapkan istighfar. Aku tidak mengerti kenapa ibu mertua harus bersikap sederhana aktif itu padahal sebagai istri aku tidak pernah ingin merebut anaknya atau menjauhkan Mas Dirga darinya. Mungkinkah ibu mertuaku cemburu karena kini anak bungsunya telah menjadi suamiku dan yang pasti dia lebih mencintai istrinya?

Wanita itu terus berteriak dan berusaha untuk masuk Namun karena mas Devan sangat sigap dan lembut menenangkan ibunya,  akhirnya wanita itu bisa diredakan dan menjauh dari kediaman kami.

"Ah, aku tak tahu harus bicara apa lagi," gumamku pelan.

"Dengar Mariana, aku janji, bahwa kejadian itu tidak akan terulang kembali," ucapnya menggenggam tanganku.

"Ya, mari kita lihat," jawabku beranjak menuju ke dapur dan membereskan semuanya.

"

Seminggu berlalu,

Suamiku mulai terbuka dengan keuangannya, dalam arti dia mulai memberiku lebih, aku juga tak segan mengungkapkan keinginan sehingga  mau tak mau Mas Dirga menurutinya.

Kehidupan rumah tanggaku kembali normal, kartu ATM  milik suami perlahan dipercayakannya padaku untuk dikelola sehingga aku bisa membeli kebutuhan rumah sesuai daftar  dan mulai bisa mencicil skin care. Aku juga merasa sedikit lega meski kadang Mas Dirga masih  membatasi juga.

"Uang di kartunya jangan terlalu banyak dikuras ya Sayang, karena jadwal gajian kita masih lama dan aku juga takut ...."

Suamiku tiba-tiba menghentikan ucapannya.

"Takut apa Mas?" tanyaku lembut sambil menghampirinya di meja kerja.

"Takut disidak ibu, bagaimana pun, ibu selalu ingin aku berhemat dan menekan pengeluaran agar kita punya banyak tabungan."

"Hmmm, lagi-lagi ...." Aku mencebik dan membalikkan badan, namun dia langsung meraih pinggangku dan mendudukkan diri ini ke pangkuannya.

"Dengar sayang, Aku sangat mencintaimu dan tidak mau kehilangan kamu tolong bantu aku untuk meyakinkan Ibu bahwa kita bisa mandiri dalam segala hal," bisiknya.

"Iya aku janji, Mas.  Tadi aku hanya beli sepaket bedak dan stok lauk untuk seminggu di kulkas."

Mendengar itu suamiku yang tadinya ingin mencium langsung kaget dan memundurkan wajahnya dia terus menatapku sambil menelan ludahnya, sampai aku bertanya kenapa.

"Ada apa?"

"Tapi  ... bukannya itu pemborosan kalau harus memberi stok lauk yang banyak, belum tentu juga aku akan makan di sini ...."

Dia yang keceplosan langsung memelankan suaranya dan tersenyum gugup.  Nampaknya kebiasaan  makan di rumah Ibu membuat dia sulit untuk meninggalkan hal itu dengan cepat.

"Oh, ya, jadi kamu pikir aku tidak akan makan sesuatu di rumah?"

"Eh, bukan begitu maksudku, aku hanya ...."

"Kau percaya padaku tentang uang itu kan?"

"Iya."

"Kau tak ragu?"

"Tidak."

"Baiklah, kalo begitu beres. Sudah selesai." Aku bangkit dan tersenyum menjauhinya. 

Sebenarnya aku masih menggeleng tak habis pikir mengapa suamiku jadi begitu tunduknya sampai perkara privasi saja dicampuri.

**

Sampailah pada tanggal gajian suamiku di mana dia bulan ini mendapatkan gaji penuh dan extra bonus,  sehingga total uangnya mencapai enam juta.

 Begitu banyak ungkapan syukur yang aku ucapkan pada Yang Kuasa atas berkah reseki dan karunia-Nya, aku sudah  merencanakan uang tersebut untuk di anggarkan ke beberapa pos  pengeluaran dan tabungan, juga   membaginya sebagian  untuk ibu mertua.

Aku juga ingat sudah merencanakan untuk membeli gamis yang telah lama aku idam-idamkan.  Mungkin ini adalah momen pertama kali membeli baju baru, jadi aku sangat antusias. Semuanya sudah kurencanakan dengan baik, selama mertuaku tidak ikut campur.

Pukul empat sore suamiku pulang, kusambut dia dipintu dengan pelukan hangat, kuajak dia duduk sementara suamiku  mengulum senyum menggodaku.

"Ayo, Mas, mau aku ambil minum?" Kuletakkan fais di dekat Mas Dirga.

"Kamu bersikap manis  seperti ini karena tahu aku sudah bawa uang, kan?" godanya.

"Ah, gak juga ...." Derai tawa kami terdengar ke seluruh rumah, Fais yang sedang lincah lincahnya seolah mengerti bahwa orang tuanya tengah bahagia sehingga dia pun ikut bertepuk tangan dan tertawa-tawa di pangkuan ayahnya.

Namun semua itu tidak berlangsung lama karena tak jauh dari itu, ibu Lina datang. Tanpa salam atau sapa, dia langsung duduk di dekat kami berdua.

"Kudengar hari ini kau gajian, ada apa denganmu yang tak datang lima hari ini, apa kau ingin menjauhi Ibu?"

Suamiku yang ditanya dengan tatapan tajam ibunya langsung gugup dan salah tingkah, dia berusaha mengatur jarak denganku sambil menghampiri ibunya.

"Begini,. Bu, beberapa hari ini aku lembur dan sangat sibuk sekali."

"Kau bahkan tidak datang mengambil makananmu padahal aku sudah meletakkannya di dalam rantang, makanan itu terbuang sia-sia untuk pertama kalinya aku merasa bahwa kita memang berjarak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Demi apa aku muak sekali dengan drama wanita tua ini, tapi, aku tidak bisa menyalahkan dia karena suatu hari Fais anak yang kucintai juga akan tumbuh dewasa dan menikah lalu membagi hidupnya bersama wanita baru, mungkin Ibu sedang sangat cemburu.

"Tidak, Bu. Tak akan ada yang bisa menciptakan jarak diantara kita. Aku menyayangi ibu dan itu akan terjadi selamanya, dunia dan akhirat," tegas Mas Dirga sambil memeluk ibunya. Wanita itu meraung-raung dibawa anaknya dan menangis takut kehilangan dan dijauhkan, sementara suamiku terus menyenangkan beliau dan meyakinkannya bahwa Mas Dirga  kau tetap mencintainya.

"Ibu .. . Ibu tenang dong  ... kalau ibu nangis gini aku jadi sedih," bisiknya.

"Ibu mau pulang saja Ibu tidak mau lama-lama di sini agar istri mau tidak perlu merasa tersinggung dan kabur lagi."

Sempat-sempatnya wanita itu berpura-pura dan berusaha menjatuhkanmu di hadapan suami.

"Tenang saja Ibu, aku bukan jenis wanita yang seperti itu," ucapku sambil tersenyum miring.

"Siapa yang bisa menjaminnya?" Dia masih mendelik sambil membuang muka, membuat Mas Dirga nampak dalam dilema. Ah, aku sudah menempatkannya, dalam masalah.

"Mariana ... tolong Sayang ...." Suamiku memberi isyarat. Melihat itu aku hanya bisa mengangkat bahu lalu menjauhkan diriku.

"Ibu mau minta uang untuk terapi asam urat dan bekam," ujarnya sambil mengusap air mata dengan cepat, aku mengintip dari balik dinding ruang tengah.

"Berapa Bu?"

"Sejuta dua ratus sekalian Ongkos ...."

"Tapi, Bu, sebenarnya aku ingin berikan belikan kereta dorong baru untuk Fais," ucap Mas Dirga, tapi seketika wanita itu langsung cemberut dan ingin menangis lagi.

Sehingga mau tak mau suamiku tidak punya pilihan lain selain menghitung lembaran merah dari kantongnya dan menyerahkan pada ibunya.

"Nah, gitu dong, Ibu adalah wanita yang telah menyayangi dan merawatmu jadi kau harus berbakti pada ibu."

"Iya, Bu, sekarang ibu pergilah berobat."

"Lho, apa yang kamu tunggu Apakah kamu tidak ingin mengantarku?"

 wanita itu langsung melotot pada anaknya.

"Ah, i-iya, Bu. Bentar ya, aku mau mandi."

"Gak usah, antar ibu sebentar!"

"Ba-baik." Apa boleh buat suamiku langsung mengarah pada orang tuanya.

Aku tahu wanita licik itu tak hendak membiarkan suamiku menyerahkan amplop gajinya padaku.

Aku tahu niatnya dia ingin mengajak Mas Dirga pergi, dia akan mampir di beberapa toko lalu menguras isi dompet suamiku dan ya ... tidak akan ada yang tersisa lagi untuk kami.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MERTUA RASA MADU    12

    Lama Mas Devan terdiam hingga ibu mertua kembali menyentak lamunannya. "Devan, apa kau menyukai Mariana hingga begitu gigih membela?""Tentu saja, tidak, astaghfirullah, dia adalah adik iparnya," balas Mas Devan."Aku sangat curiga dengan ini karena kamu begitu membelanya! Disaat saudaramu yang lain tidak mau ikut campur kaulah satu-satunya orang yang terus datang kemari dan menyela pertengkaran.""Aku punya istri dan aku mencintai Vina. Kedatanganku kemari hanya untuk mendamaikan, tidak lebih!""Jangan berteriak padaku, aku adalah ibumu," ancam Ibu mertua sambil mengangkat jari telunjuknya pada kakak iparku."Aku tahu, Bu. Ayo kita pergi tolong berhentilah ikut campur atas urusan Mariana dan Dirga, mereka sudah menikah dan biarkan mereka hidup dengan bahagia.""Aku juga menginginkan hal yang sama, selama ini aku sudah menghalangi kebahagiaan mereka?""Iya, dengan segala sikap ibu yang keras dan manja, ibu tahu tidak, Dirga dan Mariana terbebani karena sikap ibu yang kekanak-kanakan

  • MERTUA RASA MADU    11

    "Mana Mariana?" tanya Mas Devan teedengar dari dalam sana."Memangnya kenapa, Kak?" Mas Dirga terdengar heran pada Kakaknya "Aku dengar teriakan kalian dari jarak lima belas meter, ada apa kalian?""Tidak segala sesuatu harus Kakak ketahui," desisnya."Mari duduk, aku ingin bicara," ajaknya lembut pada adiknya."Maaf, Mas, aku benar benar tidak mood untuk membahas sesuatu," jawabnya."Kau harus dengarkan aku, Dirga. Apa kau tidak bosan seperti ini terus?""Aku bingung, Kak, antara ibu dan Mariana, kedua wanitaku ingin menang dengan keinginan masing-masing, aku pusing sekali," balas Mas Dirga."Kemarilah, duduk di sini, di dekat Kakak." Aku masih mencoba menguping."Ketika kamu sudah memutuskan untuk menikah, maka sudah selayaknya sebagian tugas ibu beralih ke istrimu. Misalnya tugas mengurus pakaian dan makanan, juga memperhatikan kerapian dan kesehatanmu. Ibu tidak perlu harus repot-repot lagi.""Tapi ... kakak tahu sendiri bagaimana sifat ibu, kan?" desah suamiku.Diam-diam aku k

  • MERTUA RASA MADU    10

    Sungguh di dalam agamaku, sebuah hadist mengatakan bahwa sebaiknya seseorang menghindari ipar mereka karena ipar adalah maut yang akan menimbulkan berbagai hal yang tidak diinginkan jika kami yang bukan mahram bergaul secara tidak terkendali.Namun, tentu saja aku akan tetap pada koridor dan batas yang ada. Aku akan menjaga kehormatanku juga harga diriku. Tapi hanya satu hal yang tidak bisa dijaga yaitu perasaan hati yang berdegup kencang, Entah kenapa atas semua perhatian dan kebaikannya aku merasa menyukai Mas Devan."Ah, tidak ya Allah,. Dia punya istri, Mbak Dini juga baik padaku, bagaimana respon Mbak Maya dan Mas Deka juga Mas Doni dan istrinya, ipar-iparku adalah orang-orang yang baik dan aku tidak bisa menghianati mereka!" Aku bersenandika dengan pikiranku sendiri di antara kekalutan yang ada. Mas Dirga sudah pergi sementara Mas Devan mobilnya baru saja menghilang dari depan halamanku. Hanya tinggal aroma parfumnya yang begitu maskulin serta bumbungan asap mobilnya. Jika ak

  • MERTUA RASA MADU    9

    Beberapa detik berada dalam rangkulan Mas Devan yang baik, aku nyaris saja tak sadar menumpahkan sedih di bahu suami orang, aku yang sadar langsung gelagapan dan melepaskan diri. Dadaku berdebar selagi aku mundur dan dalam benakku menyesali mengapa aku sempat merasa nyaman beberapa saat tadi."Ma-maaf, Mas, saya tidak sengaja," ungkapku pelan, aku merasa sangat malu di depan pria berbaju lengan panjang itu."Tidak apa. Saya paham bahwa hati yang sedih memerlukan tempat untuk melabuhkan diri, jika kamu sudah sedikit lega, mari kita bicara," ujarnya."Maaf, Mas, saya mau pulang," ucapku sopan, aku menolak halus dan beranjak pergi."Kamu tidak ingin masuk ke dalam dan menyelesaikan semua ini? Saya akan membelamu," ujarnya lembut."Enggak, Mas, ibu sudah merajuk ....""Ibu yang sudah tua berubah jadi anak kecil dan sebagai anak kita harus memakluminya, Dek," sambungnya lagi."Ibu, tidak terkesan dengan saya Mas," jawabku lirih."Itu karena Dirga anak bungsu, dia yang paling habiskan wak

  • MERTUA RASA MADU    8

    Jika aku duduk sendiri merenungi tentang kelakuan Mas Dirga, lalu kubayangkan akibat jangka panjangnya, rasanya lemah sekali diri ini jika tak melawan dan bersikap tegas. Harus sampai kapan aku menggadaikan kewarasakanku atas nama mengalah pada mertua. Rasanya makin disabarkan makin membuncah rasa muak ingin meledak dan mengamuk.Akankah rumah tangga ini berakhir demi ego ibu Lina yang selalu cemburu padaku, ini sangat tak masuk akal!Pukul delapan malam, makanan sudah terhidang di meja tapi Suamiku belum juga keluar dari dalam kamar di mana dia mengurung dirinya.Haruskah aku ... sekali lagi aku yang mengalah dan mengetuk pintu. Memintanya keluar seakan-akan dia adalah anak kecil yang harus diyakinkan? Oh, sungguh melelahkan sekali. Apakah yang telah merasuki ku hingga menerima lamarannya dulu? Mengapa semakin hari, aku semakin menyesali pernikahanku dengannya.Amplop gajinya siang tadi masih teronggok begitu saja di atas meja, dan aku belum membelikan apapun dari uang itu. Aku men

  • MERTUA RASA MADU    7

    Sebelum aku hanya menjadi manusia bodoh yang menyaksikan bagaimana jahatnya ibu mertua memperlakukanku, maka kali ini aku akan bertindak dengan tegas."Tunggu sebentar, aku ingin bicara dengan suamiku," cegahku menahan langkah mereka."Ada apa kau memperlambat perjalanan kami," tanyanya sambil menarik tangan putranya."Begini, Bu, suamiku baru saja pulang, dia bahkan belum makan, bisakah Ibu biarkan dia untuk mandi dan memakan sesuatu? aku yakin Ibu juga tidak mau dia lemas karena belum makan atau terkena penyakit maag akut.""Tentu saja kami bisa makan di luar atau mampir ke rumah, kebetulan aku juga ingin mengambil tas dan ganti sandal," jawabnya cepat, masih menarik lengan suamiku."Kalau begitu Ibu duluan saja ambil tas dan ganti sandal ibu, sementara suamiku akan mandi dan menikmati makan siangnya yang sudah kesorean," balasku tak mau kalah.Wanita itu mulai tidak sabar itu mulai meninggi intonasi suaranya "Dia bisa makan di rumahku!""Dia akan makan di sini, karena aku sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status