Share

2. Ketahuan

last update Last Updated: 2024-03-05 12:48:50

2. Ketahuan

"Ris, tadi kamu ribut, ya, sama mama?" tanya Bang Doni saat kami sudah berada di kamar. 

"Ribut apa? Gak ada, tuh. Aku cuma menjelaskan apa yang harusnya mama tahu aja. Gak salah, kan?" jawabku. Pasti mertuaku itu sudah mengadu yang tidak-tidak pada anaknya. 

"Mama bilang kamu udah berani melawan dia. Kamu harusnya diam aja, gak usah menjawab mama. Udah tahu mama begitu, masih juga diladeni," ucapnya.

"Iya, nanti aku diam aja mau mama bilang apapun. Udah, ah, aku mau tidur, capek, gak ada istirahat seharian. Badanku juga mudah lelah semenjak hamil ketiga ini. Hhhmm, sebenarnya aku juga bingung, kenapa tadi seberani itu sama mama. Apa mungkin bawaan hamil, ya, aku jadi gampang tersulut emosi?" tanyaku pada diri sendiri.

"Ya, mana aku tahu. Yang hamil, kan, kamu. Bukan aku."

"Ish, aku ngomong sama diri sendiri, kok. Bukan sama Abang."

"Aneh?! Mama udah tahu belum kalau kamu hamil?"

"Aku belum bilang, sih. Takut mama malah ngomong yang enggak-enggak. Nanti malah bikin aku down. Abang ingat, kan, waktu melahirkan Nia, mama bilang cukup dua anak aja. Gak tahu, deh, kalau mama tahu kehamilanku yang ini, entah gimana reaksinya. Abang gak cerita sama mama, kan?" tanyaku pada Bang Doni sembari menoleh ke arahnya. "Hhmmm, ternyata dia udah tidur. Kebiasaan memang. Setiap kali diajak ngobrol, pasti udah tidur aja. Dikira aku mendongeng kali, ya? Udahlah, aku juga ngantuk, mau tidur." Aku pun membenarkan posisi tidurku dan ikut tidur di samping Bang Doni.

"Ris, Risa ...!"

Terdengar ketukan dan teriakan yang cukup kuat di depan pintu kamarku. Kulihat jarum jam yang menempel di dinding kamar, ternyata masih menunjukkan pukul 03.00 Wib. Dengan malas aku beranjak untuk membuka pintu kamar.

"Ya, Allah. Ada apa, Ma? Kok, teriak-teriak?" tanyaku sambil menguap. Rasa kantuk masih mendominasi, taksabar rasanya ingin meminta mertuaku untuk pergi dan tidur kembali.

"Ih, kamu ini gak sopan banget! Menguap depan mertua. Kamu, kok, belum bangun? Kamu, kan, harus buat kue untuk jualan besok?!" cecarnya.

"Duh, Risa gak buat kue, Ma. Badanku gak sanggup," jawabku. "Risa tidur lagi, ya, Ma. Mama juga tidur lagi aja, masih jam tiga."

Aku pun berbalik dan menutup pintu. Masih kudengar omelan dari wanita paruh baya yang kesehariannya bersanggul itu. Namun, aku sengaja berpura-pura menulikan telinga karena rasa kantuk yang takbisa kutahan lagi.

Gema suara azan membangunkan tidurku. Setelah merasa kesadaranku cukup terkumpul, aku pun ke kamar mandi, menjalankan rutinitas yang akhir-akhir ini tidak kusukai. Aku juga sekalian mandi dan keramas, untuk membuat tubuhku kembali bugar.

Setelah selesai menjalankan ibadah salat Subuh, aku bergegas ke dapur. Pagi ini aku akan membuat tumis kangkung dan orek tempe saja.

Akan tetapi, saat sampai di dapur, ternyata mertuaku sudah lebih dulu memasak. Mama Laely terlihat baru saja memasukkan santan dan bumbu untuk membuat gulai. Tatapan tajamnya menguliti penampilanku pagi ini. Pagi ini aku memakai daster yang lumayan bagus daripada kemarin. Rambutku yang basah setelah keramas kugerai. Meski keseharianku memakai hijab di luar, tetapi jika di dalam rumah aku lebih sering melepas hijabku. Terlebih jika setelah keramas seperti sekarang. Wajahku kupoles dengan bedak tabur merek vivo empat ribuan yang kubeli di warung dekat rumah. Bibirku juga kuolesi dengan lipstik berwarna nude. Beruntung jenis kulitku normal, sehingga alat kosmetik murah pun sudah bisa menunjang penampilanku. Pikiran mertuaku pasti sudah ke mana-mana.

"Mantap betul, ya! Pagi-pagi udah keramas, udah rapi kayak orang mau kondangan, tapi jam segini sarapan belum tersedia! Habis ngapain aja semalam? Pasti iya iya terus!" sarkasnya.

Benar saja, Mama Laely pasti berpikir yang tidak-tidak. Lagi-lagi aku salah di matanya. Padahal kemarin dia yang menuntutku untuk berpenampilan rapi. Ya, sudahlah. Aku sangat malas untuk berdebat, apalagi sepagi ini, yang ada nanti malah jadi omongan tetangga.

"Eh, Mama. Masak apa, Ma? Udah mau jadi aja?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.

"Kamu diajak orang tua ngomong, malah mengalihkan perhatian. Dosa apa, sih, aku dapat menantu seperti ini," omelnya.

"Wah, gulai cubadak*. Kesukaan Bang Doni, nih, Ma."

"Aku tahu kesukaan anakku, makanya kubuat," ucapnya bangga.

Aku lalu mengeluarkan tempe dari kulkas. Bahan yang dimasak mertuaku juga sebenarnya stok bahan yang di kulkas. Kemarin aku membeli cubadak, kelapa parut, dan bumbu jadi pada tukang sayur keliling yang lewat depan rumah di pagi hari. Aku berencana memasak gulai itu nanti siang karena kemarin taksempat memasak.

Saat sedang memotong tempe yang akan kumasak, perutku terasa mual dan ingin muntah mencium aroma gulai yang dibuat mertuaku. Aku pun bergegas ke kamar mandi dan kembali memuntahkan isi perut. Pagi ini sudah dua kali aku muntah, yang pertama adalah saat mandi tadi, dan kali ini aku muntah lagi.

Sejak hamil ini, aku memang belum pernah memasak gulai, biasanya hanya masak tumis-tumisan saja. Baru kuketahui, ternyata aroma gulai membuat perutku bergejolak.

"Duh, lemes banget habis muntah," ucapku pada diri sendiri, sembari berjalan keluar dari kamar mandi, sambil mengusap perut yang sedikit membuncit diusia kehamilan keempat bulan.

"Kenapa kamu, hah? Jangan bilang kamu hamil lagi, ya?!" ketus Mama Laely.

Aku diam saja, rasanya tidak punya tenaga untuk menjawab ocehan Mama Laely. Meski lemas, kulanjutkan aktifitas memasak, meski rasa mual takmau hilang. Aku tidak mau menambah kekesalan mertua dan berujung cercaan yang semakin menyakiti hati keluar dari bibir berwarna merah darah itu.

***

Sudah tiga hari Mama Laely di sini, tetapi belum ada tanda-tanda dirinya akan pulang ke rumahnya. Kemarin aku sempat menanyakan kepada Bang Doni, berapa lama lagi Mama Laely di sini, tetapi jawabannya hanya tidak tahu.

Mungkin terdengar tidak sopan, tetapi kehadiran Mama Laely membuatku stres. Ada saja hal yang salah di matanya, tentang penataan rumah, tentang anak-anak, tentang semuanya. Hormon yang tidak stabil karena kehamilanku, membuat aku lebih mudah stres dan lebih mudah tersulut emosi, meski hingga hari ini masih bisa kutahan karena Bang Doni yang selalu mengingatkanku untuk tidak meladeni mamanya.

Aku juga kasihan pada anak-anak yang tidak bebas bermain. Mama Laely yang sangat cinta kebersihan, tidak suka melihat rumah yang sedikit berantakan karena ulah anak-anak. Padahal di usia Rizki yang baru enam tahun lebih dan Nia yang juga masih kecil, bagiku masih wajar jika rumah sedikit berantakan. Itu tandanya anak-anakku aktif. Mereka juga sudah bisa membereskan mainannya sendiri, meski masih dibantu olehku.

"Risa ...!" 

Terdengar teriakan mama Laely dari ruang tengah, membuyarkan lamunanku yang sedang duduk sendirian di dapur. Aku bergegas ke luar menghampiri mereka di sana. Ada Bang Doni dan kedua anakku juga di ruang tengah.

"Apa benar yang dibilang Doni? Kamu hamil lagi?" tanyanya menyambut kedatanganku yang bahkan belum sempat duduk.

"Iy-iya, Ma," jawabku.

"Kamu, tuh, gimana, sih? Udah tahu hidup kalian masih begini-begini aja, Rizki dan Nia juga masih kecil. Bukannya nambah harta malah nambah anak lagi!" hardiknya. "Pantesan aja kamu gak jualan lagi. Dari kemarin juga muntah terus setiap pagi. Nambah anak itu berarti nambah pengeluaran, tahu kamu?" 

Air mataku menganak sungai mendengar ucapan pedas yang dilontarkan oleh mertuaku itu. Aku bahkan taksanggup berkata-kata. Rasa lelah sejak kemarin mungkin masih bisa kutahan, tetapi kali ini aku takbisa untuk tidak menangis. Salahkah kehamilan ini? Salahkah janin ini karena berada di rahimku? Tidak bisakah mertuaku berbahagia mendengar kabar kehamilanku, yang adalah calon cucunya juga?

*Cubadak : nangka

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   30. Merajut Kembali

    Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   29. Sembuh

    Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   24. Pindah

    Hari ini adalah hari terakhir kami di rumah Mama Laely. Aku, Bang Doni, dan anak-anak sudah siap untuk pergi dari rumah ini. Tadi, pagi-pagi sekali setelah salat Subuh, Bang Doni pergi mencari mobil pick-up untuk membawa kami beserta anak-anak ke rumah kontrakan yang baru.Sebenarnya kami belum tahu akan tinggal di mana. Aku mengusulkan untuk ke rumah Kak Rafka saja, tetapi Bang Doni menolak. Dia bilang akan membawa kami ke daerah dekat tempat kerjanya. Katanya di sana lebih mudah mencari rumah kontrakan.Sebagai seorang laki-laki, tentu saja Bang Doni memiliki ego yang tinggi. Menyetujui untuk pindah ke rumah Kak Rafka, itu sama saja menginjak harga dirinya.Sembari mencari mobil, Bang Doni juga menelepon teman-temannya untuk membantunya mencari rumah. Semoga ada rumah yang bisa kami tempati hari ini juga."Ayo, Ris. Kita berangkat sekarang. Abang dan Pak Heru sudah selesai mengangkut barang-barang ke mobil," ajak Bang Doni padaku. Pak Heru-sang supir-mengangguk setuju.Bang Doni men

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   23. Tidak Terima

    "Apa maksud semua ini, Risa?" tanya Bang Doni."Abang bisa menilai sendiri dari video yang Abang lihat. Abang bahkan bisa mendengar sendiri setiap perkataan yang dilontarkan mama kepada Risa," jawabku."Ta—tapi yang diceritakan mama pada abang berbeda," ucapnya bingung."Iya, Risa tahu, Bang. Itulah sebabnya Risa takpernah menceritakan apa pun pada Abang. Risa tahu semua itu akan sia-sia, jika Abang tidak mendengar sendiri dan melihat sendiri. Yah, meskipun karena itu mental Risa yang dihajar habis-habisan," ucapku seraya berdiri membelakanginya."Maafkan abang, Ris," pinta Bang Doni yang terdengar tepat di belakangku. Bang Doni lalu memegang kedua pundakku, lalu membalikkan tubuh kurus ini hingga menghadap ke arahnya."Dek, tolong maafkan abang. Abang akan menegur mama atas perbuatannya ini. Kalau perlu kita pindah dari sini dan memulai hidup baru, meski hanya tinggal di kontrakan seperti dulu. Kamu mau, kan?" Ucapannya terdengar begitu lembut di telingaku. Dia memanggilku dengan s

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   22. Terbongkar

    Pagi ini Bang Doni cuti setengah hari karena kami akan pergi ke posyandu. Ya, Nina akan kami bawa ke posyandu pertamanya karena usianya sudah sebulan lewat beberapa hari.Kami ke posyandu berempat bersama Nia, sedangkan Rizki, tinggal di rumah bersama neneknya. Sulungku itu takmau ikut serta saat kuajak tadi. Ketika tiba di posyandu, kami menyerahkan buku KIA terlebih dahulu, lalu mengisi daftar hadir. Setelah itu, anak-anak bergiliran untuk ditimbang berat badan, diukur tinggi badan, dan lingkar kepalanya. Petugas juga memberikan makanan atau camilan untuk anak-anak, berupa was bubur kacang hijau, sup telur puyuh, atau buah-buahan.Untuk bayi seperti Nina, sekarang sudah tersedia timbangan digital dan pengukur tinggi badan khusus bayi di pusat pelayanan masyarakat itu. Sedangkan untuk Nia, sudah tersedia dua jenis timbangan yang menggunakan kain sarung dan timbangan digital dewasa, juga alat pengukur tinggi badan.Aku syok ketika tiba giliran Nina yang ditimbang. Berat badannya saat

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status