Share

2. Ketahuan

2. Ketahuan

"Ris, tadi kamu ribut, ya, sama mama?" tanya Bang Doni saat kami sudah berada di kamar. 

"Ribut apa? Gak ada, tuh. Aku cuma menjelaskan apa yang harusnya mama tahu aja. Gak salah, kan?" jawabku. Pasti mertuaku itu sudah mengadu yang tidak-tidak pada anaknya. 

"Mama bilang kamu udah berani melawan dia. Kamu harusnya diam aja, gak usah menjawab mama. Udah tahu mama begitu, masih juga diladeni," ucapnya.

"Iya, nanti aku diam aja mau mama bilang apapun. Udah, ah, aku mau tidur, capek, gak ada istirahat seharian. Badanku juga mudah lelah semenjak hamil ketiga ini. Hhhmm, sebenarnya aku juga bingung, kenapa tadi seberani itu sama mama. Apa mungkin bawaan hamil, ya, aku jadi gampang tersulut emosi?" tanyaku pada diri sendiri.

"Ya, mana aku tahu. Yang hamil, kan, kamu. Bukan aku."

"Ish, aku ngomong sama diri sendiri, kok. Bukan sama Abang."

"Aneh?! Mama udah tahu belum kalau kamu hamil?"

"Aku belum bilang, sih. Takut mama malah ngomong yang enggak-enggak. Nanti malah bikin aku down. Abang ingat, kan, waktu melahirkan Nia, mama bilang cukup dua anak aja. Gak tahu, deh, kalau mama tahu kehamilanku yang ini, entah gimana reaksinya. Abang gak cerita sama mama, kan?" tanyaku pada Bang Doni sembari menoleh ke arahnya. "Hhmmm, ternyata dia udah tidur. Kebiasaan memang. Setiap kali diajak ngobrol, pasti udah tidur aja. Dikira aku mendongeng kali, ya? Udahlah, aku juga ngantuk, mau tidur." Aku pun membenarkan posisi tidurku dan ikut tidur di samping Bang Doni.

"Ris, Risa ...!"

Terdengar ketukan dan teriakan yang cukup kuat di depan pintu kamarku. Kulihat jarum jam yang menempel di dinding kamar, ternyata masih menunjukkan pukul 03.00 Wib. Dengan malas aku beranjak untuk membuka pintu kamar.

"Ya, Allah. Ada apa, Ma? Kok, teriak-teriak?" tanyaku sambil menguap. Rasa kantuk masih mendominasi, taksabar rasanya ingin meminta mertuaku untuk pergi dan tidur kembali.

"Ih, kamu ini gak sopan banget! Menguap depan mertua. Kamu, kok, belum bangun? Kamu, kan, harus buat kue untuk jualan besok?!" cecarnya.

"Duh, Risa gak buat kue, Ma. Badanku gak sanggup," jawabku. "Risa tidur lagi, ya, Ma. Mama juga tidur lagi aja, masih jam tiga."

Aku pun berbalik dan menutup pintu. Masih kudengar omelan dari wanita paruh baya yang kesehariannya bersanggul itu. Namun, aku sengaja berpura-pura menulikan telinga karena rasa kantuk yang takbisa kutahan lagi.

Gema suara azan membangunkan tidurku. Setelah merasa kesadaranku cukup terkumpul, aku pun ke kamar mandi, menjalankan rutinitas yang akhir-akhir ini tidak kusukai. Aku juga sekalian mandi dan keramas, untuk membuat tubuhku kembali bugar.

Setelah selesai menjalankan ibadah salat Subuh, aku bergegas ke dapur. Pagi ini aku akan membuat tumis kangkung dan orek tempe saja.

Akan tetapi, saat sampai di dapur, ternyata mertuaku sudah lebih dulu memasak. Mama Laely terlihat baru saja memasukkan santan dan bumbu untuk membuat gulai. Tatapan tajamnya menguliti penampilanku pagi ini. Pagi ini aku memakai daster yang lumayan bagus daripada kemarin. Rambutku yang basah setelah keramas kugerai. Meski keseharianku memakai hijab di luar, tetapi jika di dalam rumah aku lebih sering melepas hijabku. Terlebih jika setelah keramas seperti sekarang. Wajahku kupoles dengan bedak tabur merek vivo empat ribuan yang kubeli di warung dekat rumah. Bibirku juga kuolesi dengan lipstik berwarna nude. Beruntung jenis kulitku normal, sehingga alat kosmetik murah pun sudah bisa menunjang penampilanku. Pikiran mertuaku pasti sudah ke mana-mana.

"Mantap betul, ya! Pagi-pagi udah keramas, udah rapi kayak orang mau kondangan, tapi jam segini sarapan belum tersedia! Habis ngapain aja semalam? Pasti iya iya terus!" sarkasnya.

Benar saja, Mama Laely pasti berpikir yang tidak-tidak. Lagi-lagi aku salah di matanya. Padahal kemarin dia yang menuntutku untuk berpenampilan rapi. Ya, sudahlah. Aku sangat malas untuk berdebat, apalagi sepagi ini, yang ada nanti malah jadi omongan tetangga.

"Eh, Mama. Masak apa, Ma? Udah mau jadi aja?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.

"Kamu diajak orang tua ngomong, malah mengalihkan perhatian. Dosa apa, sih, aku dapat menantu seperti ini," omelnya.

"Wah, gulai cubadak*. Kesukaan Bang Doni, nih, Ma."

"Aku tahu kesukaan anakku, makanya kubuat," ucapnya bangga.

Aku lalu mengeluarkan tempe dari kulkas. Bahan yang dimasak mertuaku juga sebenarnya stok bahan yang di kulkas. Kemarin aku membeli cubadak, kelapa parut, dan bumbu jadi pada tukang sayur keliling yang lewat depan rumah di pagi hari. Aku berencana memasak gulai itu nanti siang karena kemarin taksempat memasak.

Saat sedang memotong tempe yang akan kumasak, perutku terasa mual dan ingin muntah mencium aroma gulai yang dibuat mertuaku. Aku pun bergegas ke kamar mandi dan kembali memuntahkan isi perut. Pagi ini sudah dua kali aku muntah, yang pertama adalah saat mandi tadi, dan kali ini aku muntah lagi.

Sejak hamil ini, aku memang belum pernah memasak gulai, biasanya hanya masak tumis-tumisan saja. Baru kuketahui, ternyata aroma gulai membuat perutku bergejolak.

"Duh, lemes banget habis muntah," ucapku pada diri sendiri, sembari berjalan keluar dari kamar mandi, sambil mengusap perut yang sedikit membuncit diusia kehamilan keempat bulan.

"Kenapa kamu, hah? Jangan bilang kamu hamil lagi, ya?!" ketus Mama Laely.

Aku diam saja, rasanya tidak punya tenaga untuk menjawab ocehan Mama Laely. Meski lemas, kulanjutkan aktifitas memasak, meski rasa mual takmau hilang. Aku tidak mau menambah kekesalan mertua dan berujung cercaan yang semakin menyakiti hati keluar dari bibir berwarna merah darah itu.

***

Sudah tiga hari Mama Laely di sini, tetapi belum ada tanda-tanda dirinya akan pulang ke rumahnya. Kemarin aku sempat menanyakan kepada Bang Doni, berapa lama lagi Mama Laely di sini, tetapi jawabannya hanya tidak tahu.

Mungkin terdengar tidak sopan, tetapi kehadiran Mama Laely membuatku stres. Ada saja hal yang salah di matanya, tentang penataan rumah, tentang anak-anak, tentang semuanya. Hormon yang tidak stabil karena kehamilanku, membuat aku lebih mudah stres dan lebih mudah tersulut emosi, meski hingga hari ini masih bisa kutahan karena Bang Doni yang selalu mengingatkanku untuk tidak meladeni mamanya.

Aku juga kasihan pada anak-anak yang tidak bebas bermain. Mama Laely yang sangat cinta kebersihan, tidak suka melihat rumah yang sedikit berantakan karena ulah anak-anak. Padahal di usia Rizki yang baru enam tahun lebih dan Nia yang juga masih kecil, bagiku masih wajar jika rumah sedikit berantakan. Itu tandanya anak-anakku aktif. Mereka juga sudah bisa membereskan mainannya sendiri, meski masih dibantu olehku.

"Risa ...!" 

Terdengar teriakan mama Laely dari ruang tengah, membuyarkan lamunanku yang sedang duduk sendirian di dapur. Aku bergegas ke luar menghampiri mereka di sana. Ada Bang Doni dan kedua anakku juga di ruang tengah.

"Apa benar yang dibilang Doni? Kamu hamil lagi?" tanyanya menyambut kedatanganku yang bahkan belum sempat duduk.

"Iy-iya, Ma," jawabku.

"Kamu, tuh, gimana, sih? Udah tahu hidup kalian masih begini-begini aja, Rizki dan Nia juga masih kecil. Bukannya nambah harta malah nambah anak lagi!" hardiknya. "Pantesan aja kamu gak jualan lagi. Dari kemarin juga muntah terus setiap pagi. Nambah anak itu berarti nambah pengeluaran, tahu kamu?" 

Air mataku menganak sungai mendengar ucapan pedas yang dilontarkan oleh mertuaku itu. Aku bahkan taksanggup berkata-kata. Rasa lelah sejak kemarin mungkin masih bisa kutahan, tetapi kali ini aku takbisa untuk tidak menangis. Salahkah kehamilan ini? Salahkah janin ini karena berada di rahimku? Tidak bisakah mertuaku berbahagia mendengar kabar kehamilanku, yang adalah calon cucunya juga?

*Cubadak : nangka

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status