Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora
Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu
Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden
Biduk BerbisaPart 1. KedatanganPagi ini udara terasa dingin. Hujan deras yang mengguyur kota tempat tinggalku semalaman menyisakan embun di dedaunan, juga genangan air di jalan depan rumah.Aku bangun dengan malas. Kehamilan ketiga ini benar-benar mengujiku. Morning sickness menjadi santapanku setiap hari. Badan terasa lemas setelah mengeluarkan semua isi perut dari lambung, meski belum makan apapun. Namun, sebagai ibu yang memiliki hampir tiga orang anak, aku harus tetap menjalankan peranku.Setelah selesai menunaikan kewajiban dua rakaat, aku bergegas ke dapur untuk membuat sarapan, sebelum Rizki dan Nia—putra-putriku bangun. Pagi ini aku hanya membuat nasi goreng dengan toping telur mata sapi dan irisan mentimun saja. Hari ini akan menjadi akhir minggu yang sibuk untukku, karena kemarin ibu mertuaku menelpon, mengatakan akan datang ke rumah kami sore nanti. Hal yang harus aku ingat, meski kami masih tinggal di satu kabupaten yang sama, dan jarak rumah kami hanya satu jam perjal
2. Ketahuan"Ris, tadi kamu ribut, ya, sama mama?" tanya Bang Doni saat kami sudah berada di kamar. "Ribut apa? Gak ada, tuh. Aku cuma menjelaskan apa yang harusnya mama tahu aja. Gak salah, kan?" jawabku. Pasti mertuaku itu sudah mengadu yang tidak-tidak pada anaknya. "Mama bilang kamu udah berani melawan dia. Kamu harusnya diam aja, gak usah menjawab mama. Udah tahu mama begitu, masih juga diladeni," ucapnya."Iya, nanti aku diam aja mau mama bilang apapun. Udah, ah, aku mau tidur, capek, gak ada istirahat seharian. Badanku juga mudah lelah semenjak hamil ketiga ini. Hhhmm, sebenarnya aku juga bingung, kenapa tadi seberani itu sama mama. Apa mungkin bawaan hamil, ya, aku jadi gampang tersulut emosi?" tanyaku pada diri sendiri."Ya, mana aku tahu. Yang hamil, kan, kamu. Bukan aku.""Ish, aku ngomong sama diri sendiri, kok. Bukan sama Abang.""Aneh?! Mama udah tahu belum kalau kamu hamil?""Aku belum bilang, sih. Takut mama malah ngomong yang enggak-enggak. Nanti malah bikin aku dow
Sejak kejadian kemarin, aku lebih banyak diam. Kemarin, setelah mendengar perkataan Mama Laely, aku langsung masuk ke kamar, tanpa menjawab sepatah kata pun. Sempat terdengar olehku suara perdebatan antara Mama Laely dan Bang Doni, tetapi takada keinginan untuk bertanya apa pun padanya.Seperti biasa, keseharianku tidak jauh-jauh dari dapur, sumur, dan kasur. Mama Laely beberapa kali tertangkap sedang memperhatikan aktifitasku. Namun, aku bersikap seolah tidak melihat kehadirannya.Sejujurnya, aku menyayangi Mama Laely. Bagaimana pun, dia adalah ibu dari suamiku. Namun, sejak awal hubungan kami memang tidak baik. Mama Laely pernah bercerita bahwa dulu Bang Doni sempat dijodohkan dengan salah seorang anak sahabatnya. Anak seorang juragan sawit di Kota Pekanbaru. Apalah aku yang hanya seorang anak yang terlahir dari penjual roti dan kue. Meski sekarang, di tangan kak Rafka, usaha itu telah sukses.Mama Laely juga pernah berkata padaku, bahwa selamanya anak laki-laki itu adalah milik ibu
Hari ini Mama Laely akan pulang ke rumahnya. Hari ini juga Bang Doni akan memberitahukan ke Mama Laely keputusannya. Sampai saat ini, aku masih berharap Bang Doni akan menolak keinginan Mama Laely untuk kepindahan kami ke sana.Saat ini kami sedang berkumpul di ruang tengah untuk sarapan. Tadi aku sudah membuat mie lidi goreng dengan toping kerupuk merah untuk sarapan kami. Taklupa kusuguhkan juga secangkir teh melati kesukaan Mama Laely dan kopi hitam untuk Bang Doni. Hidangan untuk sarapan pun telah tersaji di hadapan kami.Rencananya setelah sarapan, Bang Doni akan mengantar Mama Laely ke loket agen travel, sekalian berangkat kerja. Sedangkan Rizki, aku yang akan mengantarnya ke sekolah taman kanak-kanak, dengan berjalan kaki karena jaraknya takjauh dari rumah kami.Setelah membaca doa sebelum makan, kami pun menikmati makanan yang tersaji. Takada yang bersuara saat makan karena aku dan Bang Doni memang sepakat dan mengajarkan anak-anak kami untuk tidak bersuara saat makan."Ma," p
Hari-hari yang kulewati di rumah mertua sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Rasanya apa pun yang kulakukan takada yang benar di mata Mama Laely.Setiap hari, saat jam menunjukkan pukul empat pagi, jika aku tidak segera keluar kamar, Mama Laely akan membuat kegaduhan di depan kamarku. Entah sengaja menghentak-hentakkan kakinya yang memakai sandal ke lantai, kadang membangunkan Rizki yang tidur di sebelah kamar kami dengan berteriak, bahkan takjarang terdengar suara wajan dan sutil besi yang sengaja diadu.Sedangkan aku, di kehamilan yang semakin membesar, pergerakanku semakin terbatas. Aku juga semakin cepat merasakan kelelahan. Namun, Mama Laely takmau tahu akan kondisiku. Jika aku melawan atau menjawab perkataannya, maka mertuaku itu akan mengadu yang tidak-tidak pada Bang Doni."Rizki! Nia! Cepat bereskan semua mainan kalian ini! Nenek nggak suka rumah nenek jadi berantakan seperti ini karena kalian, paham!" Terdengar suara bentakan Mama Laely pada anak-anakku di