Hubungan antara mertua dengan menantu perempuan memang sering menimbulkan polemik. Sejatinya, ada beberapa yang harmonis, tetapi selebihnya banyak yang bermasalah atau tidak akur. Seperti hubungan Risa dan mertuanya yang selalu saja ada masalah. Risa baru saja melahirkan anak yang ketiga. Dia terkena baby blues akibat tekanan dari mertua yang terus merongrongnya sejak mengandung hingga melahirkan. Kelelahan fisik dan hati, juga kurangnya perhatian dari suami, makin memperburuk keadaannya. Penyakit mentalnya itu berdampak buruk pada Risa, anak, dan mertuanya. Dapatkah Risa sembuh dari penyakitnya? Lantas dampak buruk apa yang menimpa anak dan mertuanya?
Lihat lebih banyakBiduk Berbisa
Part 1. KedatanganPagi ini udara terasa dingin. Hujan deras yang mengguyur kota tempat tinggalku semalaman menyisakan embun di dedaunan, juga genangan air di jalan depan rumah.Aku bangun dengan malas. Kehamilan ketiga ini benar-benar mengujiku. Morning sickness menjadi santapanku setiap hari. Badan terasa lemas setelah mengeluarkan semua isi perut dari lambung, meski belum makan apapun. Namun, sebagai ibu yang memiliki hampir tiga orang anak, aku harus tetap menjalankan peranku.Setelah selesai menunaikan kewajiban dua rakaat, aku bergegas ke dapur untuk membuat sarapan, sebelum Rizki dan Nia—putra-putriku bangun. Pagi ini aku hanya membuat nasi goreng dengan toping telur mata sapi dan irisan mentimun saja.Hari ini akan menjadi akhir minggu yang sibuk untukku, karena kemarin ibu mertuaku menelpon, mengatakan akan datang ke rumah kami sore nanti. Hal yang harus aku ingat, meski kami masih tinggal di satu kabupaten yang sama, dan jarak rumah kami hanya satu jam perjalanan, tetapi Mama Laely—mertuaku biasanya selalu menginap di rumah kontrakan kami selama minimal tiga hari. Untuk itu, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya agar terlihat sempurna dan tidak menimbulkan cemoohan dari mulutnya."Bunda.” Gadis kecilku memanggil. Ternyata Nia sudah bangun dan menghampiriku ke dapur."Halo, assalamualaikum Anak soleha bunda. Pinternya bangun gak pakai nangis lagi. Pipis dulu, yuk! Gak ngompol, kan?" tanyaku padanya."Gak. Dede udah becal, gak nompol lagi," celoteh bocah dua setengah tahun itu membuatku gemas.(Gak. Dede udah besar, gak ngompol lagi.)"Anak bunda gitu, lho!""Gak, dede anak ayah!" rajuknya."Hahaha iya, deh," jawabku. Sebuah kesenangan tersendiri untukku melihat wajah cemberutnya saat mengatakan bahwa dia anak ayah. Nia memang lebih dekat dengan ayahnya, terlebih setelah aku mengandung sekarang. Begitu pun dengan Bang Doni—suamiku yang lebih memanjakannya, mungkin karena dia anak perempuan. Yah, meskipun sebenarnya Nia lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.Setelah Nia, Rizki pun ikut bangun. Dia segera membersihkan badan di kamar mandi. Usai mandi, aku menyuruh putraku itu untuk memanggil ayahnya yang duduk di teras untuk ikut sarapan.Saat tengah sarapan, Bang Doni bertanya padaku, "Mama jadi ke rumah, Bun?""Iya, nanti sore, Yah," jawabku. "Ayah ke mana rencananya hari ini?" tanyaku padanya."Gak ada, mau di rumah aja, capek.""Bisa bantu jagain Nia, dong?""Ah, gak gak! Orang mau istirahat di kamar, kok, disuruh jaga anak. Kamu gak tahu apa akutuh udah kerja lima hari, ditambah lembur sehari, masa cuma libur sehari gak bisa santai di rumah. Itukan tugasmu yang cuma di rumah aja!" cecarnya. Bang Doni lantas pergi setelah menghabiskan kopinya yang telah kupersiapkan juga.Aku hanya mendesah pasrah karena takingin ada keributan di pagi hari. Bang Doni selalu menganggap tugasnya sebagai kepala rumah tangga hanya sebatas mencari nafkah saja. Terlebih setelah aku tidak berjualan kue lagi, dia seolah menutup mata dengan semua kerepotanku di rumah.“Ayah!” rengek Nia. “Dede mau sama Ayah.”Bang Doni berbalik karena mendengar rengekan putrinya.“Iya, deh. Ayo, sini sama ayah,” sahut Bang Doni dengan wajah terpaksa dan membawa Nia bersamanya.Anehnya, meski begitu, Nia begitu dekat dengan ayahnya. Ah, entahlah, aku taktahu apa ini hanya berlaku di keluargaku saja atau semua suami berprilaku seperti itu. Bang Doni adalah tipikal suami yang cuek pada istri, tetapi takbisa menolak permintaan anaknya, terutama Nia.Hari beranjak siang, badanku terasa lelah karena sejak selesai sarapan tadi, aku langsung melanjutkan pekerjaan rumah dan belum sempat mengistirahatkan tubuh. Beruntung anak-anak bersikap baik hari ini, sehingga tidak menambah pekerjaanku. Kehamilan kali ini juga membuat tubuhku cepat lelah,berbeda dengan saat mengandung Rizki dan Nia. Saat itu aku masih sanggup untuk tetap berjualan.Karena waktu makan siang sudah dekat, aku memutuskan untuk membeli lauk jadi saja untuk makan siang kami. Aku juga membeli ayam bakar dan aneka kue untuk makan malam nanti bersama Mama Laely. Sesekali menjamu mertua rasanya tidak masalah, meski dengan begitu akan menghabiskan jatah belanjaku untuk dua hari. Biasanya mertuaku itu akan sampai ke sini tepat di jam makan malam.Sebenarnya saat ini kami sedang menghemat pengeluaran karena sedang menabung untuk biaya masuk sekolah Rizki beberapa bulan lagi. Juga untuk biaya persalinanku. Bulan ini kami juga hanya mengirimkan separuh saja jatah belanja untuk Mama Laely. Mungkin itu sebabnya mertuaku itu datang ke sini.Ucapan salam disertai ketokan pintu terdengar tepat saat aku dan anak-anak selesai membereskan mainan mereka yang kesekian kali. Aku menghela napas lega karena mertuaku itu datang di saat yang tepat, setelah aku selesai membereskan semuanya. Aku menyuruh Rizki memanggil ayahnya yang masih betah di kamar, setelah selesai salat Asar tadi."Mama, sehat, Ma?" tanyaku berbasi-basi sembari mengambil tangan mertua untuk bersalaman."Sehat, dong! Kalau gak sehat mana mungkin bisa sampai ke sini," ketusnya."Hehe, iya, Ma," balasku kikuk.Bang Doni menghampiri kami dan menyambut mamanya. Mama Laely terlihat begitu bahagia saat anaknya yang mengulurkan tangan padanya.Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman.Saat sampai di ruang tamu, Mama Laely langsung mengkritik penampilanku. "Risa, kamu itu dandan sedikit kenapa, sih? Baju kucel, muka kusut. Sudah sore begini, kok, belum mandi. Nanti Doni bosan sama kamu baru tahu rasa!" hardiknya padaku."Iya, Ma. Tadi Risa sibuk, jadi belum sempat mandi. Kalau gitu, Risa mandi dulu, ya, Ma. Udah mau Magrib juga, nih," jawabku.Untung saja anak-anak sudah kumandikan setelah Asar tadi, kalau belum, pasti akan menambah panjang daftar keburukanku di depan mertua.Selesai mandi dan salat Magrib, aku langsung ke dapur menyiapkan makan malam. Ketika mengeluarkan ayam bakar dan aneka kue yang kubeli tadi, tiba-tiba suara Mama Laely mengagetkanku."Ya, ampun, Risa! Kamu itu, ya, kok, boros banget jadi istri. Gak mikir apa suamimu susah payah cari uang? Kamu malah beli makanan sebanyak ini?!" sentak mertuaku.Aku yang sudah merasa lelah setelah seharian berkutat dengan semua pekerjaan rumah, takbisa menahan diri untuk tidak menjawab cercaan mertuaku. "Ma, Risa beli ini semua karena Mama mau datang. Niat Risa untuk membahagiakan Mama, menjamu Mama dengan makanan enak. Lagipula, kami gak setiap hari, kok, beli makanan enak begini. Malah bisa dibilang makan apa adanya. Kalau Mama gak suka, ya, udah. Untuk Mama, Risa ceplokkan telur aja!" balasku kesal.Mertuaku yang dasarnya takmau kalah, lantas menjawab, "Hee, udah berani menjawab omonganku kamu, ya?! Enak aja, sini, biar mama yang bawa makanannya ke ruang tengah. Dapur kalian sempit, gak nyaman nanti mama makan di sini. Udah dibilang pindah aja ke rumah mama, tapi kamu ngotot gak mau, malah milih tinggal di kontrakan sempit gini.""Hmm iya, Ma," jawabku kemudian. Aku tahu, berdebat dengan Mama Laely tidak akan ada habisnya. Lebih baik aku melanjutkan mempersiapkan makan malam kami saja.Kami makan di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu karena memang begitulah adanya. Rumah yang kami tempat ini hanya terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar yang letaknya sejajar, dapur minimalis, dan kamar mandi. Bagian depan terdapat teras dan halaman yang tidak terlalu luas, cukup untukku menjemur pakaian dan memarkirkan motor kami. Meski kecil dan masih mengontrak, tetapi aku merasa lebih nyaman di sini daripada tinggal di rumah mertua yang jauh lebih besar dan luas."Enak ayamnya, Ma?" tanyaku pada Mama Laely yang sedang asik menghabiskan paha ayam bagiannya."Uhuk-uhuk, enak. Eh, iya, enak, Risa," jawab Mama Laely malu-malu."Kenapa, sih?" tanya Bang Doni heran.Aku pun hanya tersenyum mendengarnya.Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden
Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu
Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora
Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga
Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk
Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen