Share

MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU
MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU
Penulis: Khilyatul Aulia

1. Kedatangan

Biduk Berbisa

Part 1. Kedatangan

Pagi ini udara terasa dingin. Hujan deras yang mengguyur kota tempat tinggalku semalaman menyisakan embun di dedaunan, juga genangan air di jalan depan rumah.

Aku bangun dengan malas. Kehamilan ketiga ini benar-benar mengujiku. Morning sickness menjadi santapanku setiap hari. Badan terasa lemas setelah mengeluarkan semua isi perut dari lambung, meski belum makan apapun. Namun, sebagai ibu yang memiliki hampir tiga orang anak, aku harus tetap menjalankan peranku.

Setelah selesai menunaikan kewajiban dua rakaat, aku bergegas ke dapur untuk membuat sarapan, sebelum Rizki dan Nia—putra-putriku bangun. Pagi ini aku hanya membuat nasi goreng dengan toping telur mata sapi dan irisan mentimun saja.

Hari ini akan menjadi akhir minggu yang sibuk untukku, karena kemarin ibu mertuaku menelpon, mengatakan akan datang ke rumah kami sore nanti. Hal yang harus aku ingat, meski kami masih tinggal di satu kabupaten yang sama, dan jarak rumah kami hanya satu jam perjalanan, tetapi Mama Laely—mertuaku biasanya selalu menginap di rumah kontrakan kami selama minimal tiga hari. Untuk itu, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya agar terlihat sempurna dan tidak menimbulkan cemoohan dari mulutnya.

"Bunda.” Gadis kecilku memanggil. Ternyata Nia sudah bangun dan menghampiriku ke dapur.

"Halo, assalamualaikum Anak soleha bunda. Pinternya bangun gak pakai nangis lagi. Pipis dulu, yuk! Gak ngompol, kan?" tanyaku padanya.

"Gak. Dede udah becal, gak nompol lagi," celoteh bocah dua setengah tahun itu membuatku gemas.

(Gak. Dede udah besar, gak ngompol lagi.)

"Anak bunda gitu, lho!"

"Gak, dede anak ayah!" rajuknya.

"Hahaha iya, deh," jawabku. Sebuah kesenangan tersendiri untukku melihat wajah cemberutnya saat mengatakan bahwa dia anak ayah. Nia memang lebih dekat dengan ayahnya, terlebih setelah aku mengandung sekarang. Begitu pun dengan Bang Doni—suamiku yang lebih memanjakannya, mungkin karena dia anak perempuan. Yah, meskipun sebenarnya Nia lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.

Setelah Nia, Rizki pun ikut bangun. Dia segera membersihkan badan di kamar mandi. Usai mandi, aku menyuruh putraku itu untuk memanggil ayahnya yang duduk di teras untuk ikut sarapan.

Saat tengah sarapan, Bang Doni bertanya padaku, "Mama jadi ke rumah, Bun?"

"Iya, nanti sore, Yah," jawabku. "Ayah ke mana rencananya hari ini?" tanyaku padanya.

"Gak ada, mau di rumah aja, capek."

"Bisa bantu jagain Nia, dong?"

"Ah, gak gak! Orang mau istirahat di kamar, kok, disuruh jaga anak. Kamu gak tahu apa akutuh udah kerja lima hari, ditambah lembur sehari, masa cuma libur sehari gak bisa santai di rumah. Itukan tugasmu yang cuma di rumah aja!" cecarnya. Bang Doni lantas pergi setelah menghabiskan kopinya yang telah kupersiapkan juga.

Aku hanya mendesah pasrah karena takingin ada keributan di pagi hari. Bang Doni selalu menganggap tugasnya sebagai kepala rumah tangga hanya sebatas mencari nafkah saja. Terlebih setelah aku tidak berjualan kue lagi, dia seolah menutup mata dengan semua kerepotanku di rumah.

“Ayah!” rengek Nia. “Dede mau sama Ayah.”

Bang Doni berbalik karena mendengar rengekan putrinya.

“Iya, deh. Ayo, sini sama ayah,” sahut Bang Doni dengan wajah terpaksa dan membawa Nia bersamanya.

Anehnya, meski begitu, Nia begitu dekat dengan ayahnya. Ah, entahlah, aku taktahu apa ini hanya berlaku di keluargaku saja atau semua suami berprilaku seperti itu. Bang Doni adalah tipikal suami yang cuek pada istri, tetapi takbisa menolak permintaan anaknya, terutama Nia.

Hari beranjak siang, badanku terasa lelah karena sejak selesai sarapan tadi, aku langsung melanjutkan pekerjaan rumah dan belum sempat mengistirahatkan tubuh. Beruntung anak-anak bersikap baik hari ini, sehingga tidak menambah pekerjaanku. Kehamilan kali ini juga membuat tubuhku cepat lelah,berbeda dengan saat mengandung Rizki dan Nia. Saat itu aku masih sanggup untuk tetap berjualan.

Karena waktu makan siang sudah dekat, aku memutuskan untuk membeli lauk jadi saja untuk makan siang kami. Aku juga membeli ayam bakar dan aneka kue untuk makan malam nanti bersama Mama Laely. Sesekali menjamu mertua rasanya tidak masalah, meski dengan begitu akan menghabiskan jatah belanjaku untuk dua hari. Biasanya mertuaku itu akan sampai ke sini tepat di jam makan malam.

Sebenarnya saat ini kami sedang menghemat pengeluaran karena sedang menabung untuk biaya masuk sekolah Rizki beberapa bulan lagi. Juga untuk biaya persalinanku. Bulan ini kami juga hanya mengirimkan separuh saja jatah belanja untuk Mama Laely. Mungkin itu sebabnya mertuaku itu datang ke sini.

Ucapan salam disertai ketokan pintu terdengar tepat saat aku dan anak-anak selesai membereskan mainan mereka yang kesekian kali. Aku menghela napas lega karena mertuaku itu datang di saat yang tepat, setelah aku selesai membereskan semuanya. Aku menyuruh Rizki memanggil ayahnya yang masih betah di kamar, setelah selesai salat Asar tadi.

"Mama, sehat, Ma?" tanyaku berbasi-basi sembari mengambil tangan mertua untuk bersalaman.

"Sehat, dong! Kalau gak sehat mana mungkin bisa sampai ke sini," ketusnya.

"Hehe, iya, Ma," balasku kikuk.

Bang Doni menghampiri kami dan menyambut mamanya. Mama Laely terlihat begitu bahagia saat anaknya yang mengulurkan tangan padanya.

Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman.

Saat sampai di ruang tamu, Mama Laely langsung mengkritik penampilanku. "Risa, kamu itu dandan sedikit kenapa, sih? Baju kucel, muka kusut. Sudah sore begini, kok, belum mandi. Nanti Doni bosan sama kamu baru tahu rasa!" hardiknya padaku.

"Iya, Ma. Tadi Risa sibuk, jadi belum sempat mandi. Kalau gitu, Risa mandi dulu, ya, Ma. Udah mau Magrib juga, nih," jawabku.

Untung saja anak-anak sudah kumandikan setelah Asar tadi, kalau belum, pasti akan menambah panjang daftar keburukanku di depan mertua.

Selesai mandi dan salat Magrib, aku langsung ke dapur menyiapkan makan malam. Ketika mengeluarkan ayam bakar dan aneka kue yang kubeli tadi, tiba-tiba suara Mama Laely mengagetkanku.

"Ya, ampun, Risa! Kamu itu, ya, kok, boros banget jadi istri. Gak mikir apa suamimu susah payah cari uang? Kamu malah beli makanan sebanyak ini?!" sentak mertuaku.

Aku yang sudah merasa lelah setelah seharian berkutat dengan semua pekerjaan rumah, takbisa menahan diri untuk tidak menjawab cercaan mertuaku. "Ma, Risa beli ini semua karena Mama mau datang. Niat Risa untuk membahagiakan Mama, menjamu Mama dengan makanan enak. Lagipula, kami gak setiap hari, kok, beli makanan enak begini. Malah bisa dibilang makan apa adanya. Kalau Mama gak suka, ya, udah. Untuk Mama, Risa ceplokkan telur aja!" balasku kesal.

Mertuaku yang dasarnya takmau kalah, lantas menjawab, "Hee, udah berani menjawab omonganku kamu, ya?! Enak aja, sini, biar mama yang bawa makanannya ke ruang tengah. Dapur kalian sempit, gak nyaman nanti mama makan di sini. Udah dibilang pindah aja ke rumah mama, tapi kamu ngotot gak mau, malah milih tinggal di kontrakan sempit gini."

"Hmm iya, Ma," jawabku kemudian. Aku tahu, berdebat dengan Mama Laely tidak akan ada habisnya. Lebih baik aku melanjutkan mempersiapkan makan malam kami saja.

Kami makan di ruang tengah yang sekaligus menjadi ruang tamu karena memang begitulah adanya. Rumah yang kami tempat ini hanya terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar yang letaknya sejajar, dapur minimalis, dan kamar mandi. Bagian depan terdapat teras dan halaman yang tidak terlalu luas, cukup untukku menjemur pakaian dan memarkirkan motor kami. Meski kecil dan masih mengontrak, tetapi aku merasa lebih nyaman di sini daripada tinggal di rumah mertua yang jauh lebih besar dan luas.

"Enak ayamnya, Ma?" tanyaku pada Mama Laely yang sedang asik menghabiskan paha ayam bagiannya.

"Uhuk-uhuk, enak. Eh, iya, enak, Risa," jawab Mama Laely malu-malu.

"Kenapa, sih?" tanya Bang Doni heran.

Aku pun hanya tersenyum mendengarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status