Share

METAMORFOSA-2 (DWILOGI)
METAMORFOSA-2 (DWILOGI)
Penulis: Jezlyn

1 - Ghosting

Los Angeles, California, Amerika Serikat.

08.00 p.m waktu setempat.

“Lagi di mana?”

“Pergi sama teman.”

“Siapa?”

“Udah dulu, ya, Ta. Enggak enak nih teleponan kalau lagi kumpul sama teman.” Dengan cepat pula Matheo langsung menutup panggilan telepon dari Jelita. Matheo bahkan tidak memberikan kesempatan Jelita berbicara sebelum sambungan telepon itu terputus.

Wajah Matheo langsung menoleh ke arah wanita yang memiliki darah keturunan Amerika—India itu. Matheo tersenyum manis dan kembali menenggak sebuah minuman beralkohol yang sudah dituangkan oleh Jessie.

“Barusan yang telepon itu kekasihmu?” tanya Jessie menebak.

“Hm.”

Jessie tersenyum miring dan langsung berdiri mengajak Matheo untuk bergabung bersama teman yang sudah turun terlebih dahulu ke lantai dansa.

“Come on,” ajak Jessie dengan suara manja.

“Tidak, Jess. Aku di sini saja minum.”

“Kalau kau tidak ikut berjoged maka aku juga tidak ikut bergabung.” Jessie langsung duduk kembali dengan wajah murungnya.

Dan tak lama justru Matheo yang berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Jessie—mengajak untuk berjoged di lantai dansa bersama teman-teman kuliahnya yang lain.

***

Jakarta, Indonesia.

10.00 a.m Waktu Indonesia Barat.

Di waktu yang bersamaan kini Jelita tengah termenung di sebuah taman kampus. Ekspresi wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam pagi ini. Matheo yang dulu selalu ada kini tengah jauh di negara Amerika sana.

Pikiran-pikiran negatif pun terus menghantui otak Jelita. Namun, sebisa mungkin perempuan ini terus menepisnya dan percaya jika kekasihnya itu tipe laki-laki setia.

“Hai, ngelamun aja lo!” tegur Bagus lantang dan sedikit membuat kaget Jelita.

Bagus yang melihat wajah Jelita pun langsung mengerut bingung dan bertanya keadaan perempuan itu. “Lo baik-baik aja, kan, Ta?” tanya Bagus mulai khawatir sendiri karena melihat Jelita yang selalu murung akhir-akhir ini.

“Gue baik-baik aja, kok, Gus.”

“Tapi lo murung terus kalau gue perhatiin.”

Jelita tersenyum tipis mendengar pernyataan Bagus yang begitu peka dengan kondisinya. Bahkan bisa Jelita rasakan jika Bagus selalu ada di saat masa-masa galaunya seperti sekarang ini.

“Soal Matheo lagi, ya?” tebak Bagus tepat sasaran.

Jelita diam tak merespon apapun. Tatapan matanya pun kosong dan tak lama air matanya tumpah tanpa disengaja yang membuat Bagus terkejut.

Melihat sahabatnya menangis pun membuat Bagus langsung khawatir dan mencoba menggenggam tangan mungil milik Jelita.

“Lo pasti kuat jalani ini semua, Ta. Gue yakin kalau Matheo dan lo bakalan berakhir happy ending nantinya.”

Jelita masih diam membisu mendengar ucapan Bagus yang mendoakan hubungan dirinya dengan Matheo yang tidak jelas ini. Hampir dua bulan menjalani LDR, Matheo tiba-tiba berubah drastis. Suka marah jika ditelepon dan suka menghilang tidak jelas.

“Apalagi Matheo cinta banget sama lo, kan? Shelka aja sampai diputusin demi lo.” Bagus terus mencoba menguatkan Jelita yang pesimis dengan hubungan jarak jauh ini. Gimanapun Bagus juga tak yakin jika Matheo setia. Apalagi mengingat pergaulan di luar negeri yang berbeda dengan Indonesia.

Jelita yang semula diam pun langsung angkat bicara meski tenggorokannya terasa sangat sakit saat ini.

“Gue nggak yakin kalau hubungan ini bakalan berakhir happy ending. Apalagi melihat perubahan Mamat yang drastis seperti ini. Gue pesimis untuk lanjut.”

Bagus menelan ludahnya sendiri. Ia mulai bingung harus mengatakan apa kepada Jelita agar tetap berpikiran positif kepada Matheo.

“Sepertinya gue nyerah. Gue mau putus saja sama Mamat!” ucap Jelita tegas dan penuh penekanan.

Bagus yang mendengar hanya bisa diam dan menatap Jelita lembut. Bagus tahu ini merupakan perasaan Jelita yang sedang emosi karena hubungan jarak jauh dengan Matheo.

“Gue dukung apa yang membuat lo bahagia, Ta.”

“Makasih banyak, ya, Gus. Lo meski teman dekat Mamat tapi nggak memihak dia ataupun gue. Lo tetap sportif sama kita berdua.”

Bagus tersenyum dan menepuk bahu Jelita pelan penuh kelembutan. “Ini gunanya teman bukan?”

Jelita tersenyum saat mendengar ucapan Bagus. Jelita langsung berdiri karena harus buru-buru pergi dari kampus menuju ke salah satu kafe di mana tempat ia bekerja part time.

“Lo mau kemana?” tanya Bagus yang ikut berdiri dari posisinya duduk.

“Kafe.”

Bagus langsung melihat arjoli yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ini kan masih pagi. Kafe belum buka, 'kan?”

“Iya, tapi gue ada urusan sama Gilang.”

“Mau gue antar?”

Jelita diam dan tak lama tangannya langsung ditarik Bagus menuju ke area parkir untuk mengambil motornya.

Bagus langsung memberikan helm kepada Jelita, dan ia pun segera menstarter motornya untuk menuju ke kawasan Dharmawangsa—di mana tempat kafe itu berada.

Bahkan selama perjalanan menuju ke arah kafe, baik Bagus dan Jelita sama-sama mengobrol soal masa lalu mereka saat masih SMA dulu. Mereka bahkan terkadang tertawa bersama sampai membuat pengguna jalan lain kadang menatap ke arahnya heran.

“Lo sih ketawa kencang banget. Jadi dilihatin Bapak-bapak ojol itu deh,” kata Jelita sambil menabok bahu Bagus sedikit kencang.

Bagus masih terkekeh dan sesekali menatap pantulan wajah Jelita di kaca spion. “Kan emang dulu lo paling cantik satu sekolah Nusa Bangsa, Ta.”

“Ih bohong banget. Setahuku yang paling cantik Shelka deh,” sahut Jelita.

“Shelka cantik karena dia pinter dandan aja. Kalau lo apa adanya dan nggak make-up juga cantik.”

Dipuji seperti itu membuat pipi Jelita mendadak blusing bahkan terasa sangat panas. Apalagi sikap Bagus sejak dulu sampai sekarang masih saja sama. Tetap baik dan perhatian meski dulu ia pernah menolak cintanya.

“Kenapa lo tetap baik sama gue, sih?” ceplos Jelita tiba-tiba yang membuat Bagus langsung mendadak diam.

Jelita kini menanti jawaban dari Bagus. Entah kenapa Jelita penasaran dengan jawaban cowok di depannya ini. Biasanya kalau cowok ditolak pasti akan menjauh atau menganggap musuh, tapi Bagus berbeda. Dia tetap baik seperti tidak terjadi apa-apa.

“Karena lo cewek baik, dan lo sekarang sendirian juga di Jakarta semenjak nyokap lo pindah ke luar kota, kan?”

Jelita langsung lesu dan sedih jika mengingat mamanya yang memilih tinggal di Yogyakarta sana. Apalagi sekarang ia sudah tidak memiliki rumah lagi di Jakarta. Rumah yang dulu ditempati kini sudah dijual untuk modal usaha mamanya, dan sisanya untuk biaya masuk kuliah.

“Makasih, ya, Gus.”

“Sama-sama, Ta. Pokoknya kalau lo butuh sesuatu jangan sungkan buat hubungi gue. Pasti berat banget tinggal sendirian di Jakarta dan ngekos sendirian begini.”

Jelita tersenyum tipis karena Bagus benar-benar mengerti kondisinya. Bahkan, Jelita rela kuliah di Jakarta karena ingin dekat dengan keluarga Matheo, namun entah kenapa hubungannya justru semakin menjauh seperti saat ini.

Dan, tak terasa perjalanan Jelita dan Bagus telah sampai di depan kafe. Jelita langsung turun dan menyerahkan helm kepada Bagus. “Btw, makasih banyak, ya.”

“Sama-sama, Ta.”

“Yaudah gue mau masuk dulu. Lo hati-hati baliknya,” ujar Jelita yang sangat berterima kasih sekali dengan Bagus.

Bagus hanya mengangguk dan langsung pergi meninggalkan Jelita. Dan di saat sudah sepi, Jelita langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Matheo kembali.

Tut … tut … tut.

Jelita memejamkan matanya karena menunggu panggilan telepon yang tak kunjung diangkat-angkat. Dan di saat deringan ke empat Jelita mendengar suara berisik musik yang berdentum sangat kencang, tak lama suara perempuan menyambut panggilannya.

“Hello, who are you?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Jezlyn
kakak Titi udah mampir, makasih 😘
goodnovel comment avatar
Titi Qodariah
mamat sdh mulai yaa pergaulan LN.. padahal dl mamat yg ngejar2 jelita.. siapaa tuch yg angkat..bikin jelita nefting dech sm mamat..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status