Ana datang ke pesta Alex bersama Ally dan Andre, untung saja pasangan gila itu mau menemaninya. Suasana club terlihat sangat ramai dan banyak wajah asing di sini. Ana yakin jika Alex tidak hanya mengundang teman kuliahnya.
“Akhirnya kalian dateng!" Alex datang dan tersenyum lebar.
"Nice party," ucap Andre sambil menikmati keadaan sekitar.
"Makasih, oh iya kenalin ini Allen, kakakku." Alex mengenalkan pria yang sedari tadi mengikutinya.
Ana tersenyum saat Allen menjabat tangannya, tapi lama-lama senyuman Ana berubah canggung ketika pria itu tidak kunjung melepaskan tangan Ana. Allen masih menatapnya sambil tersenyum.
"Let her go, dia udah punya pacar," ucap Andre pada Allen.
"Serius? Sayang banget, kenapa Alex nggak cerita kalau punya temen secantik Ana." Allen tertawa dan melepaskan jabatannya pada Ana.
"Jangan ganggu dia, Bang." Alex berucap pada kakaknya. "Kalian nikmati pesta ini, pes
Ana berjalan mengikuti Davin yang berada di depannya. Terlihat jelas jika pria itu masih marah. Diluar peristiwa yang terjadi di club tadi, pasti Davin ingin sekali memarahinya. Ana sadar jika dia salah sekarang. Bertemu dengan Lucy membuatnya menyesal untuk datang ke ulang tahun Alex, tapi jika dia tidak datang, Ana juga tidak akan menemukan satu nama yang patut ia curigai.Alex. Jika benar pria itu yang melakukannya, Ana benar-benar tidak percaya. Memang benar jika Alex sedikit berubah akhir-akhir ini. Pria itu menjadi misterius dan sering menghilang begitu saja, tapi Ana masih tidak percaya jika pria sebaik Alex akan berani bermain-main dengan nyawa."Katakan." Suara Davin yang kelewat datar membuat lamunan Ana buyar."Aku tadi ketemu Lucy," ucap Ana pelan.Diva berdecak malas, "Kamu emang sering ketemu Lucy, Na.""Beda!" Ana mengambil duduk di samping Laila dan mulai berbicara, "Dia nggak kabur lagi, justru dia datengin aku tadi."
Langkah kaki riang itu berjalan dengan semangat memasuki Lab TV. Ana membuka pintu dengan kencang dan tersenyum lebar, membuat semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut menatapnya aneh sekaligus geli."Siang!" sapa Ana sambil menutup pintu."Kenapa kamu? Seneng banget kayanya?" tanya salah satu teman Ana.Ana hanya tertawa dan berlalu masuk ke sebuah ruangan. Hari ini dia harus mengikuti rapat untuk pembagian job desc program baru di TV kampusnya. Begitu memasuki ruangan, sudah banyak orang yang datang, lengkap dengan kakak pendamping yang akan mendampingi junior ketika produksi nanti. Ketika melewati Alex, Ana memilih untuk menunduk dan mengambil tempat duduk yang jauh. Bukannya apa, tapi dia memang harus waspada bukan?"Oke, karena udah lengkap langsung aja kita mulai." Alex mulai berdiri dan menjelaskan materi setelah selesai membagikan kertas yang berisikan pembagian job desc untuk para anggota.Ana menatap kertas di tang
Davin meremas kertas di tangannya begitu telah selesai membaca pesan yang tertulis di sana. Dia tidak menyangka jika Lucy berani lari dari pengawasannya. Bahkan kemarin, Kevin masih bertatap muka untuk memberikan bahan makanan selama wanita itu di apartemen.Aku kembali ke Paris. Jangan mencariku."Gimana bisa dia kabur gitu aja?""Nggak tau, dia aneh akhir-akhir ini. Kalian sadar nggak sih, Lucy sering ngilang gitu aja. Bolak-balik Paris dengan tujuan yang belum kita tau pasti. Apa kamu yakin kalau dia beneran bukan orang di balik semua teror ini, Vin?""Kalau gitu kita susul Lucy." Saran Bram mulai menyulut rokoknya."Dia mau nikah kan?" tanya Davin ketika tahu harus memulai langkahnya dari mana sekarang, "Cari tau siapa suaminya.""Aku bahkan nggak yakin kalau calon suaminya itu ada bentuknya," celetuk Kevin kesal, "Bisa aja itu cuma alesan Lucy.""Apa salahnya kita cari?" Bram berdiri dan merap
Davin memijat keningnya sambil mengamati berkas-berkas yang ada di atas meja. Entah kenapa kepalanya terasa pening saat ini. Sudah seminggu Davin tidak bertemu dengan Ana dan dia merindukannya sekarang. Memang selama seminggu ini dia sangat sibuk dengan urusan kantor karena hari-hari sebelumnya dia terlalu fokus untuk menyelidiki masalah teror. Untuk teror, bisa saja Davin langsung melaporkan dan menyerahkannya pada polisi. Namun belum tentu jika polisi akan menemukan nama Alex sebagai kandidat tersangka selain Lucy. Lagipula masalah ini cukup pribadi, Davin tidak ingin masalah ini sampai ke telinga media yang akan mempengaruhi perusahaannya nanti.Suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh, muncul Bram dan Kevin yang masuk ke dalam ruangannya. Davin bangkit dan menunjuk sofa. Jika sudah berkumpul seperti ini, tentu mereka akan membahas sesuatu yang penting."Jadi apa yang kalian dapat?" tanya Davin sambil melonggarkan dasinya."Kamu bakal kaget pas denger ini.
Suasana kamar hotel sudah tidak berbentuk lagi. Selimut sudah jatuh ke atas lantai dengan bungkus makanan yang berserakan di atas kasur. Kamar bujang memang seperti ini bukan? Meskipun Bram sudah tidak bujang lagi, namun ketika bersama sahabatnya, naluri bebas itu langsung muncul begitu saja."Kapan terakhir kita kayak gini?" tanya Kevin kembali memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya. Tangannya tidak berhenti untuk mengolah stick game di tangannya."Kuliah mungkin?" balas Bram yang matanya tidak beralih dari layar laptop.Ini semua adalah ide Kevin yang membawa alat game-nya ke Paris. Dia beranggapan jika hitung-hitung akan beristirahat sejenak dari pekerjaannya. Meskipun tujuan awal bukan seperti itu, namun apa salahnya menghabiskan waktu bersama sahabat dan bernostalgia tentang kehidupan remaja mereka dulu. Davin yang melihat kedua sahabatnya sibuk bermain hanya bisa mendengus. Dia tidak ikut bermain dan lebih memilih untuk berbalas pes
Davin dan Adam saling bertatapan dengan tajam, tangan mereka terkepal siap untuk melayangkan sebuah pukulan. Begitu banyak pertanyaan yang akan mereka tanyakan saat ini. Namun, sepertinya Bram lebih ingin mereka untuk tenang terlebih dahulu. Pembicaraan mereka tentu sangat alot nantinya dan diperlukan kepala yang dingin untuk menyelesaikannya."Kita akan bicara kalau kalian udah tenang.”"Nggak perlu, kita bahas sekarang," balas Davin cepat. Dia tidak suka waktunya terbuang begitu saja. Jika untuk mengatur emosi dia ahlinya, tapi jika sudah meledak, dia bisa menggila. Bahkan dia tidak sadar jika akan meremukkan tubuh Adam tadi."Oke, jadi sekarang di mana Lucy?" tanya Kevin sambil memberikan segelas minuman pada Adam."Apa maksudmu?! Aku yang harusnya tanya. Di mana calon istriku?"Davin menyergit bingung. Apa maksud Adam sebenarnya? Dia juga tidak mengetahui keberadaan Lucy begitu? Namun surat yang Lucy tulis mengatakan jika dia akan kembali
Alex keluar dari rumah sakit dengan bungkusan plastik di tangannya. Penyakit sialan ini benar-benar membuatnya muak. Dia tidak suka jika harus bergantung pada obat-obatan seperti ini. Namun, jika tidak meminumnya, Alex harus rela mengerang kesakitan setiap hari karena sakit yang melanda kepalanya. Pria itu menghentikan langkahnya ketika merasakan ada sesuatu yang aneh di sekitarnya, seperti ada seseorang yang mengikutinya sedari tadi. Kepalanya bergerak ke belakang dan tidak menemukan siapapun di sana. Mata Alex mengedar ke segala arah tapi tidak menemukan apapun. Parkiran rumah sakit itu tampak sepi mengingat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.Belum sempat membuka mobil, punggungnya terasa panas karena pukulan dari seseorang. Pukulan itu sangat keras yang langsung membuatnya terjatuh. Alex berusaha untuk membuka matanya namun wajahnya langsung ditutupi oleh sapu tangan yang membuatnya perlahan tak sadarkan diri.***Mata sayu itu terbuka ketika
Davin mengetuk pintu dengan tidak sabar. Bisa saja dia langsung menerobos masuk, tapi dia akan bermain halus kali ini. Davin yakin jika ada orang di dalam mengingat lampu teras yang menyala. Tangan besar itu bergerak kembali mengetuk pintu namun gerakannya terhenti begitu pintu terbuka dan muncul wanita yang menggunakan pakaian minim dengan rokok di tangannya."Ada apa sih?!" Wanita itu menatap tiga pria di hadapannya dengan jengkel."Di mana Allen?" tanya Davin tanpa basa-basi.Wanita itu terkejut dan mulai menatap Davin dari bawah ke atas, sampai mata mereka bertemu. Davin dapat melihat tatapan ketakutan dari mata itu. Sedetik kemudian, wanita itu bergerak untuk menutup pintu. Belum sempat tertutup, Davin mendorong pintu itu dengan satu tangannya hingga wanita itu terdorong mundur."Keluar dari rumahku sekarang!" teriak wanita itu mulai panik."Nggak, sebelum kamu bilang di mana Allen," geram Davin berjalan mendekat."Aku nggak tau!"