Ana memijat keningnya pelan begitu telah selesai menceritakan semua yang dia alami pada Ally. Tentu saja sahabatnya itu marah dan kesal. Dia tidak menyangka jika teror kembali datang menghantuinya. Ally yakin jika Lucy yang menjadi dalang di balik semua ini. Melihat betapa nekatnya wanita itu, Ally tidak yakin jika Lucy benar-benar sudah sadar.
"Kebetulan kalian di sini, aku mau kasih ini." Ana dan Ally kompak mengangkat wajahnya saat Alex datang.
"Wah, kacau nih! Masa ulang tahun dirayain di Flyrock club," ucap Ana membaca undangan yang diberikan Alex.
Alex tertawa mendengar itu, "Ya di club lah, Na. Masa di kafe kayak anak SD?"
Ally menggeleng dengan keras dan mengembalikan undangan itu pada Alex, "Nggak! Aku nggak bisa, Bang. Kita cewek baik-baik, masa diajak dugem.”
"Aku juga undang pacar kamu kok?" Mendengar itu, wajah Ally memerah. Dia tidak menyangka jika berita tentang hubungannya bersama Andre sudah t
Sudah 2 hari berlalu dan keadaan Davin sudah mulai membaik. Saat pertama kali membuka mata, dia terkejut mendapati 3bodyguardyang berjaga di depan ruangannya. Dia juga bingung ketika menempati kamar yang berbeda. Davin sadar dengan apa yang terjadi. Sesuatu kembali meneror Ana, atau bahkan dirinya. Dia sudah meminta semua orang untuk menjelaskan, namun sepertinya tidak ada yang ingin membuka suara."Mas Davin jangan marah ya, kita nggak maksud buat nyembunyiin ini semua. Mas Davin memang harus sembuh dulu baru kita bisa bicara.""Aku nggak papa, jangan anggap aku lemah, Ana.”Mendengar itu, Ana langsung memukul luka Davin keras membuat pria itu meringis. "Sakit kan? Makanya jangan sok. Semua orang tau kalau Mas Davin lagi sakit, jangan sombong!" Davin mendengus dan menutup telinganya.“Jelaskan.” Perintah Davin akhirnya.Bram mengangguk dan membuka suara, "Teror muncul lagi. Bukan cuma Ana yang diteror tapi ka
Ana meringis begitu kapas beralkohol itu menyentuh sudut bibirnya. Setelah peristiwa tadi, akhirnya dia bisa kembali ke kamar. Davin sendiri sudah bangun dari pingsannya dengan infus yang lagi-lagi tertancap di tangannya. Sempat Ana merasa takut, bahkan sampai detik ini dia masih memilih untuk duduk jauh dari Davin. Dia sebenarnya tidak ingin seperti ini, sungguh. Dia masih tidak percaya jika Davin bisa menembak 3 orang sekaligus demi menyelamatkannya. Untung saja, Bram dengan tanggap menyelesaikan permasalahan dirooftoptadi.“Aku mau pulang sekarang." Tiba-tiba Davin berbicara membuat Ana mengangkat kepalanya terkejut.Diva berdecak, “Nggak usah aneh-aneh deh, nanti Bunda pasti banyak tanya.""Ya, nggak usah dijawab," jawab Davin enteng, "Lagian di rumah sakit udah nggak aman.”"Tapi Mas Davin belum sembuh total." Akhirnya Ana membuka suara membuat Davin tersenyum tipis."Aku nggak papa, Sayang. Bahkan aku ud
Tangan kecil Ana bergerak untuk mencatat semua materi yang menurutnya penting. Dia tidak akan serajin ini jika dosen tidak menerapkan ujian lisan. Ana tidak tahu kenapa dosen harus bersusah payah menerapkan ujian lisan jika ujian tulis jauh akan lebih praktis nantinya. Benar bukan? Getaran pada ponselnya membuat Ana mengambil benda itu dari saku celana. Dia melakukannya dengan hati-hati, takut jika dosen akan melihatnya nanti.Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal membuat Ana mengerutkan keningnya bingung. Dengan cepat dia membuka pesan itu dan langsung lemas begitu melihat isinya. Di dalam pesan itu terdapat foto Davin yang terlihat sibuk di ruangan kantornya. Di bawah foto itu tertulis sesuatu yang membuat Ana bergerak gelisah dalam duduknya. Tanpa ragu, Ana berdiri dan meminta ijin untuk pulang lebih awal. Dia pergi begitu saja tanpa mendengarkan balasan dari dosen. Tidak sopan memang, tapi Ana takut jika hal ini akan membahayakan nyawa lagi.
Jantung Ana berdetak cepat ketika melewati lorong gelap di gudang kosong yang tidak ia ketahui. Dia tidak sendiri saat ini, ada Davin yang berjalan di depannya dengan cepat. Setelah Kevin menghubungi Davin dan mengatakan jika telah menemukan pelaku pemasang kamera di ruangannya, Davin langsung bergegas pergi tanpa menunggu lagi. Ana yang sejak tadi memang bersama Davin memilih untuk ikut dan mengekor seperti anak ayam. Hatinya tidak bisa tenang begitu melihat wajah kekasihnya yang berubah menakutkan. Dia takut jika kekasihnya akan bertindak diluar kendali atau bahkan lebih parahnya, Davin akan membunuh lagi nantinya."Di mana dia?" tanya Davin pada Bram yang berdiri di depan pintu sambil merokok.Bram mengepulkan asapnya dan berbicara, "Di dalem."Ana melepaskan cengkeramannya pada jas Davin begitu pria itu berlalu pergi meninggalkannya di depan pintu. Ana merasa ragu untuk ikut masuk. Melihat Bram yang seperti menunggunya, akhirnya Ana ikut masuk ke dalam ruang
Ana datang ke pesta Alex bersama Ally dan Andre, untung saja pasangan gila itu mau menemaninya. Suasanaclubterlihat sangat ramai dan banyak wajah asing di sini. Ana yakin jika Alex tidak hanya mengundang teman kuliahnya.“Akhirnya kalian dateng!" Alex datang dan tersenyum lebar."Nice party,"ucap Andre sambil menikmati keadaan sekitar."Makasih, oh iya kenalin ini Allen, kakakku." Alex mengenalkan pria yang sedari tadi mengikutinya.Ana tersenyum saat Allen menjabat tangannya, tapi lama-lama senyuman Ana berubah canggung ketika pria itu tidak kunjung melepaskan tangan Ana. Allen masih menatapnya sambil tersenyum."Let her go, dia udah punya pacar," ucap Andre pada Allen."Serius? Sayang banget, kenapa Alex nggak cerita kalau punya temen secantik Ana." Allen tertawa dan melepaskan jabatannya pada Ana."Jangan ganggu dia, Bang." Alex berucap pada kakaknya. "Kalian nikmati pesta ini, pes
Ana berjalan mengikuti Davin yang berada di depannya. Terlihat jelas jika pria itu masih marah. Diluar peristiwa yang terjadi di club tadi, pasti Davin ingin sekali memarahinya. Ana sadar jika dia salah sekarang. Bertemu dengan Lucy membuatnya menyesal untuk datang ke ulang tahun Alex, tapi jika dia tidak datang, Ana juga tidak akan menemukan satu nama yang patut ia curigai.Alex. Jika benar pria itu yang melakukannya, Ana benar-benar tidak percaya. Memang benar jika Alex sedikit berubah akhir-akhir ini. Pria itu menjadi misterius dan sering menghilang begitu saja, tapi Ana masih tidak percaya jika pria sebaik Alex akan berani bermain-main dengan nyawa."Katakan." Suara Davin yang kelewat datar membuat lamunan Ana buyar."Aku tadi ketemu Lucy," ucap Ana pelan.Diva berdecak malas, "Kamu emang sering ketemu Lucy, Na.""Beda!" Ana mengambil duduk di samping Laila dan mulai berbicara, "Dia nggak kabur lagi, justru dia datengin aku tadi."
Langkah kaki riang itu berjalan dengan semangat memasuki Lab TV. Ana membuka pintu dengan kencang dan tersenyum lebar, membuat semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut menatapnya aneh sekaligus geli."Siang!" sapa Ana sambil menutup pintu."Kenapa kamu? Seneng banget kayanya?" tanya salah satu teman Ana.Ana hanya tertawa dan berlalu masuk ke sebuah ruangan. Hari ini dia harus mengikuti rapat untuk pembagian job desc program baru di TV kampusnya. Begitu memasuki ruangan, sudah banyak orang yang datang, lengkap dengan kakak pendamping yang akan mendampingi junior ketika produksi nanti. Ketika melewati Alex, Ana memilih untuk menunduk dan mengambil tempat duduk yang jauh. Bukannya apa, tapi dia memang harus waspada bukan?"Oke, karena udah lengkap langsung aja kita mulai." Alex mulai berdiri dan menjelaskan materi setelah selesai membagikan kertas yang berisikan pembagian job desc untuk para anggota.Ana menatap kertas di tang
Davin meremas kertas di tangannya begitu telah selesai membaca pesan yang tertulis di sana. Dia tidak menyangka jika Lucy berani lari dari pengawasannya. Bahkan kemarin, Kevin masih bertatap muka untuk memberikan bahan makanan selama wanita itu di apartemen.Aku kembali ke Paris. Jangan mencariku."Gimana bisa dia kabur gitu aja?""Nggak tau, dia aneh akhir-akhir ini. Kalian sadar nggak sih, Lucy sering ngilang gitu aja. Bolak-balik Paris dengan tujuan yang belum kita tau pasti. Apa kamu yakin kalau dia beneran bukan orang di balik semua teror ini, Vin?""Kalau gitu kita susul Lucy." Saran Bram mulai menyulut rokoknya."Dia mau nikah kan?" tanya Davin ketika tahu harus memulai langkahnya dari mana sekarang, "Cari tau siapa suaminya.""Aku bahkan nggak yakin kalau calon suaminya itu ada bentuknya," celetuk Kevin kesal, "Bisa aja itu cuma alesan Lucy.""Apa salahnya kita cari?" Bram berdiri dan merap