Di malam yang dingin dan berangin itu, Samuel, seorang anak jenius kelas enam SD, baru saja pulang dari restoran ayam cepat saji bersama Asisten Akri, yang selalu setia menemaninya.
Malam itu, suasana terasa aneh bagi Samuel. Sesuatu di udara membuatnya merasa tidak nyaman, seolah ada yang tidak beres. Ketika mereka mendekati rumahnya, Samuel melihat banyak orang yang berkumpul di halaman dan di dalam rumahnya. Lampu-lampu rumah terlihat terang, namun ada suasana muram yang menyelimuti. "Asisten Akri, kenapa banyak sekali orang di rumahku?" tanya Samuel dengan nada bingung dan sedikit cemas. Asisten Akri hanya menggelengkan kepala, wajahnya juga tampak muram, tidak seperti biasanya. "Entahlah, Tuan Muda Samuel. Mari kita masuk dan cari tahu," jawabnya sambil menepuk pundak Samuel dengan lembut. Sebenarnya Asisten Akri sudah mengetahui semuanya. Namun dia tidak sanggup mengatakan yang sejujurnya kepada Samuel. Akri tidak mau mematangkan hati bocah laki-laki itu. Samuel pun mulai berjalan masuk ke rumahnya dengan hati-hati. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah ada beban yang tidak terlihat yang sedang mengikat kakinya. Ruangan di dalam rumahnya yang megah itu telah penuh dengan keluarga dan kerabat yang sedang berbicara dengan suara rendah, beberapa di antaranya menatap Samuel dengan pandangan kasihan. Anak lelaki tersebut semakin bingung dan mulai merasa ada yang benar-benar salah. "Samuel, kemarilah," panggil seorang kerabat dekatnya dengan suara lembut namun serius. Samuel mengikuti suara itu, menembus kerumunan orang yang berdiri di ruang tamu. Semakin dalam dia masuk, semakin jelas suara tangisan yang terdengar. Di sudut ruang tamu, Samuel dapat melihat kedua orang tuanya, Nyonya Dela dan Tuan Amos, yang duduk di sofa sambil menangis tersedu-sedu. Ibunya, Nyonya Dela, memeluk erat selembar kain yang sepertinya merupakan pakaian adiknya, Paula. Ayahnya, Tuan Amos, memegang kepalanya dengan kedua tangan, terisak tanpa henti. "Mami, Papi, ada apa ini? Kenapa kalian menangis?" tanya Samuel dengan suara gemetar, mencoba menahan perasaan takut yang mulai merambat di dalam dirinya. Nyonya Dela menoleh ke arah putranya, air mata semakin deras mengalir deras di pipinya. Dia tidak sanggup menjawab, hanya bisa menangis lebih keras. Tuan Amos pun tampak tak berdaya untuk memberi penjelasan kepada Samuel. Baik Tuan Amos maupun Nyonya Dela sangat tahu bagaimana putra sulung mereka, Samuel sangat menyayanginya adiknya, Paula yang kini telah meninggalkan mereka semua untuk selamanya. Asisten Akri yang berdiri di belakang Samuel, menunduk dan menepuk bahu anak lelaki itu. Dengan berat hati dia pun berkata, "Tuan muda Samuel, sebenar ada yang ingin kami sampaikan. Saya berharap Anda dapat tabah dan kuat menerima semuanya," tutur Asisten Akri dengan suara serak. Samuel mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan matanya akhirnya tertuju pada sebuah tempat tidur kecil yang terletak di tengah ruang tamu. Di atas tempat tidur itu, terbaring tubuh mungil yang begitu dikenalnya. Tubuh Paula, adik perempuannya yang masih duduk di kelas empat SD, terbujur kaku dengan wajah yang sangat pucat dan bibir yang telah membiru. "Paula! Paula kenapa? Papi! Mami! Apa yang terjadi kepada Paula?" jerit Samuel dengan suara yang penuh kesedihan. "Paula, bangun! Paula, kenapa kamu diam saja?" Samuel lalu segera berlari ke arah tempat tidur kecil itu, dan mulai mengguncang-guncang tubuh Paula yang dingin dan tak bergerak. Tangisannya pecah, memenuhi seluruh ruangan dengan jeritan pilu. "Paula! Jangan tinggalkan aku! Paula! Bangun, ini aku, Samuel! Kakakmu! Kita masih punya banyak hal yang harus kita lakukan bersama! Paula, bangun!" Samuel berteriak dengan histeris, memeluk erat tubuh adiknya yang sudah tidak bernyawa lagi. Nyonya Dela dan Tuan Amos semakin menangis melihat pemandangan itu. Mereka tahu betapa dekatnya hubungan Samuel dengan Paula. Samuel, bocah yang selalu ceria dan penuh semangat, kini berubah menjadi sosok yang putus asa dan hancur. Orang-orang di sekitar hanya bisa menunduk, beberapa di antaranya ikut menangis menyaksikan penderitaan keluarga kecil itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur atau mengurangi kesedihan yang dirasakan Samuel dan keluarganya malam itu. "Asisten Akri, tolong katakan ini tidak benar. Katakan bahwa Paula hanya sedang tidur dan akan bangun sebentar lagi." Samuel pun memohon dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh dengan harapan yang rapuh. Asisten Akri menggelengkan kepala dengan sedih, "Tuan Muda Samuel, Nona Paula sudah pergi. Dia sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang." "Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin! Paula tidak boleh meninggalkanku!" Samuel terus meratap, suaranya pecah dalam isakan yang memilukan. Malam itu, dunia Samuel seketika menjadi runtuh. Di usianya yang masih muda, dia harus menerima kenyataan pahit jika adik tercintanya telah pergi untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi tawa riang Paula, tidak ada lagi cerita-cerita sebelum tidur, tidak ada lagi kehadiran yang selalu membuat hari-harinya berwarna. Semua kenangan itu kini hanya menyisakan luka yang begitu dalam. Samuel akhirnya terduduk di lantai, memeluk tubuh Paula erat-erat. Dia tidak ingin melepaskan adiknya, tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Di tengah jerit tangisnya, Samuel merasakan kekosongan yang tak terhingga, seolah separuh jiwanya telah hilang bersama kepergian Paula. "Aku akan selalu merindukanmu, Paula. Aku janji akan selalu mengingatmu. Selamat tinggal, adikku," bisiknya pelan, sambil terus memeluk tubuh Paula yang dingin. Nyonya Dela dan Tuan Amos kemudian menghampiri Samuel, mereka bertiga berpelukan, saling memberikan kekuatan di tengah badai duka yang melanda. Meskipun perasaan kehilangan itu begitu menyakitkan, mereka tahu bahwa sebagai sebuah keluarga, mereka harus saling mendukung dan melanjutkan hidup, meskipun tanpa Paula di sisi mereka. Malam itu menjadi malam terkelam dalam hidup Samuel. Namun, dari kesedihan itu, dia belajar tentang arti kekuatan, ketabahan, dan cinta yang tidak pernah akan luntur. Dan di tengah tangis dan isak yang memeluk malam, Samuel berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga kenangan tentang Paula, adik tercintanya, dalam hatinya, selamanya. Sementara Mikha, gadis yang juga menjadi korban kecelakaan. Masih berada di rumah sakit, air mata semakin menetes di kedua pipinya. Entah kenapa hatinya sangat sakit bagaikan disayat-sayat oleh belati tajam. Bunda Nadia yang sedang menjaga putrinya, segera berkata, “Mikha, kamu kenapa menangis? Apakah luka-lukamu masih terasa sakit?” “Aku nggak tahu, Bunda. Entah kenapa aku merasa sangat sedih sekarang. Bunda, bolehkah aku memelukmu untuk melepaskan beban ini?” Tanpa ragu lagi, Bunda Nadia segera memeluk putri tunggalnya itu. Seketika tangisan Mikha pecah di dalam pelukan ibunya. Tiba-tiba gadis kecil itu mengingat tentang Paula. Karena kelelahan menangis, Mikha pun tertidur di dalam pelukan Bunda Nadia.Langit biru di luar jendela tampak membentang luas, awan putih menggumpal bagai kapas, mengiringi perjalanan udara keluarga kecil Samuel dan Mikha menuju Jepang. Di dalam jet pribadi yang elegan dan nyaman milik ayah Samuel, suasana penuh kehangatan dan canda tawa anak-anak terdengar meramaikan kabin utama.Jeremias yang kini berusia lima tahun tampak antusias melihat pemandangan dari balik jendela. Dia duduk di kursi kulit yang empuk, mengenakan jaket hoodie bergambar dinosaurus dan memegang mainan robot favoritnya."Papi, kita sudah sampai Jepang belum?" tanyanya sambil menempelkan wajah ke jendela bulat itu.Samuel tersenyum dan duduk di sebelah putranya."Belum, Nak. Kita masih terbang, mungkin satu jam lagi kita akan mendarat di Osaka.""Aku mau naik roller coaster! Dan lihat dinosaurus kayak di film!" seru Jeremias penuh semangat.Sementara itu, Carol yang baru berusia dua tahun sedang duduk di pangkuan Mikha. Gadis kecil itu mengenakan dress bunga-bunga berwarna pastel dan seda
Mikha merasakan kebahagiaan yang luar biasa mendengar semua ucapan penuh kasih sayang dari orang-orang yang sangat berarti baginya. Dia tersenyum bahagia, merasa sangat diberkati memiliki keluarga yang begitu mendukung.Acara dilanjutkan dengan makan bersama dan permainan baby shower yang menyenangkan. Tamu-tamu menikmati hidangan lezat yang disediakan, dan Mikha merasa sangat puas melihat semua orang tertawa dan bahagia. Dia sungguh tak sabar untuk segera menyambut kehadiran Jeremias, bayinya yang sudah sangat mereka nantikan.Selama acara, Mikha merasa begitu penuh cinta. Tidak hanya dari Samuel, tapi juga dari keluarganya dan keluarga Samuel yang begitu mendukung. Dia tahu jika perjalanan mereka sebagai orang tua baru akan penuh tantangan, namun dengan dukungan dan kasih sayang yang diterima keduanya, yakin jika mereka akan melewati semuanya bersama.Setelah acara selesai, Mikha dan Samuel duduk di teras rumah, menikmati malam yang tenang. Mikha bersandar pada Samuel, menatap langi
Setelah satu bulan kembali dari bulan madu mereka di Mauritius, kehidupan Mikha dan Samuel terasa kembali normal. Namun, hari-hari terakhir ini Mikha merasa ada yang berbeda. Pagi-pagi, dia mulai merasakan mual dan kadang muntah tanpa sebab yang jelas. Awalnya, Mikha mengira itu hanya karena kelelahan atau pola makan yang tidak teratur setelah perjalanan panjang mereka. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa mual itu semakin intens dan tak kunjung hilang.Pada suatu pagi, setelah terbangun dan merasakan mual yang cukup parah, Mikha memutuskan untuk memberi tahu Samuel. Dia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam perutnya yang terasa tidak nyaman. Samuel yang baru saja selesai mandi keluar dari kamar mandi, terkejut melihat istrinya tampak begitu pucat.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Samuel dengan cemas, menghampiri Mikha.“Aku ... aku merasa sangat mual,” jawab Mikha lemah, mencoba tersenyum meski wajahnya tampak jelas tidak nyaman.Samuel duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya
Hari terakhir di Mauritius terasa seperti lembaran terakhir dalam buku cerita penuh warna. Mikha dan Samuel bangun lebih awal dari biasanya, menikmati kopi hangat sambil duduk berdua di teras vila, menatap matahari terbit yang perlahan mengintip dari balik horizon timur.“Gila sih, waktu di sini cepet banget berlalu ya,” ujar Mikha pelan sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya.Samuel membalas dengan mengecup pelan kening istrinya. “Tapi semua momen yang tercipta di sini bakal abadi di ingatan kita. Dan hari ini, kita simpan yang paling manis untuk penutup.”Mikha menoleh dengan senyum penasaran. “Jadi kita ke mana?”Samuel hanya tersenyum penuh rahasia. “Pulau kecil. Di lepas pantai timur. Ada kejutan buat kamu.”Beberapa jam kemudian, mereka tiba di dermaga kecil, naik perahu motor yang membawa keduanya ke destinasi terakhir bulan madu mereka yaitu Île aux Cerfs, pulau eksotis yang seolah tercipta untuk cinta dan ketenangan.Begitu perahu merapat, Mikha terpukau. Pasir putih se
Hari masih pagi cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai besar vila yang menghadap langsung ke hamparan danau tenang. Udara masih sejuk, aroma pohon pinus dan embun pagi merasuk hingga ke dalam kamar. Pasangan suami istri itu tadinya memutuskan melanjutkan tidur mereka. Tapi beberapa saat kemudian,Mikha membuka matanya perlahan dan mendapati Samuel masih tertidur di sebelahnya, tangan lelaki itu melingkar di pinggangnya dengan lembut. Dia pun tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang tampak damai.“Sayang,” bisiknya pelan, membelai rambut Samuel.Samuel mengerjap pelan, lalu tersenyum melihat Mikha di hadapannya. “Pagi, Cinta,” ucapnya serak karena baru bangun. Dia menarik Mikha mendekat, mencium keningnya perlahan.“Pagi juga,” jawab Mikha sambil menyandarkan kepalanya di dada Samuel. “Aku suka bangun seperti ini, dengan suasana yang tenang dan bersamamu.”“He-he-he.”Samuel tertawa pelan. “Aku juga. Rasanya seperti dunia hanya milik kita berdua di sini.”Mereka
Pagi berikutnya,Mentari pagi menyambut hangat di vila yang tinggali selama bulan madu di Mauritius, oleh Samuel dan Mikha. Aroma laut masih tercium samar, bercampur dengan harum teh hangat yang diseduh Mikha di dapur kecil vila. Hari ini mereka mengenakan pakaian yang sedikit lebih nyaman, Samuel dengan kemeja linen putih dan celana khaki, Mikha dalam gaun panjang pastel dan selendang tipis menutupi bahunya.“Siap ke Grand Bassin?” tanya Samuel sambil menyandarkan diri di ambang pintu, menatap Mikha yang tengah memakai anting kecil berwarna emas.Mikha mengangguk sambil tersenyum. “Aku udah penasaran sejak kamu cerita itu danau sakral.”Perjalanan menuju Grand Bassin atau Ganga Talao, danau suci di dataran tinggi Mauritius, memakan waktu sekitar satu jam. Jalannya menanjak, berkelok, dan penuh hutan hijau yang meneduhkan. Udara menjadi lebih sejuk begitu mobil mereka melewati gerbang masuk kawasan religius itu.Samuel menghentikan mobil perlahan. Di depan mereka, berdiri patung raks