Share

MERTUAKU MAU PUNYA MANTU

Siapa yang tak terkejut. Kalau makanan kesukaan Inara, jelas Anggat tahu, tetapi kalau Aina? Sejak kapan mereka ngobrol berdua dan saling membahas tentang makanan favorit? Saat kumpul bertiga, seingat Inara mereka tak pernah menyinggung soal itu.

Bibir Angga terkatup. Bola matanya berpendar ke sana kemari. Pertanyaan Inara berhasil menghunus jantungnya.

"Ehm, eh, kan kamu yang bilang, Mi."

"Umi?" Inara menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, Sayang. Ya, sudah lama, sih. Waktu kita duduk berdua di beranda rumah. Kamu menceritakan masa kecilmu bersama Aina. Masak lupa, uh! Umi sudah pikun, nih." Bibir Angga menjungkit.

Menyadari bahwa Ia memang selalu menceritakan kisah lampau bersama Aina kepada sang suami, akhirnya firasat kotor Inara kembali luntur. Mungkin dirinya yang memang lupa.

"Oh, ya, sudahlah. Umi pikir tadi apa."

Padahal, Inara memang tidak merasa, kalau dia pernah membocorkan makanan kesukaan Aina. Namun, mau bagaimana lagi. Tak mungkin perkara itu saja mereka perdebatkan, apalagi orang yang bersangkutan ada di hadapan. Aina bisa merasa disudutkan nanti. Mending kalau firasat Inara benar, lalu jika salah bagaimana? Hubungan pertemanan mereka bisa memburuk nantinya.

Seseorang yang tak disangka-sangka turut hadir dan duduk 4 meter dari kumpulan Angga. Pria berwajah syurga itu main tunggal. Tidak menyadari, jika peserta kajiannya ada di sana juga.

"Eh, Ai. Calon suami kamu, tuh!" Inara menyenggol siku wanita berkerudung merah.

Seperti tidak terjadi apa-apa, Aina menatap datar Ustadz Ridho dan tengah memainkan ponsel sembari menunggu pesanan datang.

"Tadi kamu di kajian nggak ada tegur sapa, kan? Kayaknya kesempatan lagi terbuka deh buat kalian."

Aina mendengus panjang. "Kami ngobrol sesekali aja, Ra. Namanya juga masa ta'aruf. Kalau sudah nikah, baru deh dipuas-puasin ngobrolnya."

"Ah, biasa juga nggak begitu. Kamu di mana-mana kalau ketemu pasti ngode supaya diperhatiin," ujar Inara yang sedikit heran mendapati respon temannya yang berbeda kali ini.

Aina bahkan tidak merasa deg-degan seperti orang yang bertemu calon imam pada umumnya. Pemandangan ini mengundang tanda tanya besar di benar Inara.

"Kamu malu, ya? Nggak boleh begitu, Ai. Kamu harus terbiasa menatap calon suamimu. Ya, kali, kalau udah menikah nanti kamu nutupin mukamu pakai karung beras supaya nggak saling pandang." Sebuah usul melayang.

"Ck! Biarin sajalah."

Seperti ada yang berbeda. Apalagi, selama ini Inara selalu membersamai pertemuan Aina dengan Ustadz Ridho. Makanya dia merasa aneh saat tahu, jika temannya tidak se-antusias beberapa minggu lalu. Terlalu singkat untuk Aina berlaku sesantai sekarang.

"Ustadz Ridho!" Tanpa aba-aba Inara berteriak kencang dan menunjuk teman wanitanya itu. Membuat beberapa pengunjung lain memusatkan perhatian.

Pria berbaju koko moca menoleh. Menangkupkan tangan dari kejauhan dan sedikit menunduk. Hanya sesimpel itu. Sebagai syarat, jika ia membalas sapaan Inara.

"Lah, begitu doang?" Rupanya lelaki berkulit cahaya pagi itu menunjukkan respon yang sama.

"Ya, ampun, Ra! Kenapa kamu tegur dia dan malah ngasih tahu tentang keberadaan aku, sih? Malah pake ketahuan tamu lain segala lagi." Seketika Aina membentak Inara.

"Iya, nih. Umi resek banget. Nggak perlulah kita ikut campur urusan Aina dan Ustadz itu. Ntar juga sama-sama tahu ujungnya gimana." Angga yang sejak tadi diam, kini memutuskan untuk angkat suara.

Semua pandangan tertuju kepada Inara. Orang-orang di hadapannya menuntut balas. Inara pikir niatnya tadi akan membuahkan hasil dan Ustadz Ridho akan bergabung bersama mereka. Tempat di mana calon istrinya berada.

Inara salah. Justru tindakan tersebut mengundang amarah dari dua insan. Perasaannya mendadak tak enak. Inara segan.

"Maaf, deh, kalau kalian nggak suka. Aku nggak berniat apa-apa, kok." Perempuan beralis lintah menyandarkan badan di kursi restoran.

"Ke depannya kalau ada momen seperti ini lagi, jangan pernah panggil Ustadz Ridho ya, Ra. Aku cuma mau menjaga jarak aja dan nggak mau terlalu banyak berdekatan dengan dia. Aku takut dosa, Ra."

"Kamu marah sama aku ya, Ai?" raut Aina mulai tak sedap dipandang. Momen hangat tadi luntur akibat Inara.

"Jadi pelajaran aja, Mi," tutur Angga sambil melipat sepasang tangan.

Gara-gara itu, atmosfer di sana menjadi kurang menarik. Inara turut mengerti, kalau belakangan ini sahabatnya itu jarang sekali membahas perihal Ustadz Ridho. Inara akan menunggu hari di mana Aina dihalalkan oleh pria kebanggaan keluarga tersebut, barulah dia sudi membicarakannya kembali. Inara menghargai keputusan Aina untuk menjaga jarak dengan calon suaminya menjelang hari pernikahan.

***

"Enak banget bubur ayamnya, Mi! Seenak kegiatan kita tadi ma-"

"Eh, hust hust! Jangan ngulah lagi deh, Bi. Nggak malu apa ntar didenger orang."

"Cuma ada kita di sini, Mi."

"Pak Sentot mau dikemanain?"

"Hah, dia kan jauh. Lagian, Pak Sentot kadang juga budek."

Inara terbahak-bahak mendengar kata terakhir yang keluar dari bibir sensual Angga. Pak Sentot merupakan satpam di rumah Angga dan Inara. Lelaki berdarah Jawa itu hidup di pos depan rumah. Semua kebutuhan dan fasilitas, termasuk toilet sudah disediakan oleh majikannya. Dua tahun membersamai, Pak Sentot amat dekat dengan keluarga tuannya.

"Terima kasih ya, Mi. Bubur ayamnya bikin Abi makin semangat bekerja, nih."

"Untuk suami Umi, apa sih yang enggak."

"Beneran, Mi? Kalau misalnya pagi ini kita..."

"Abi!" Mata bulat Inara melotot.

"Kenapa? Pak Sentot lagi?"

"Bukan!"

"Jadi?"

"Tuh, malu sama para readers, Bi. Gimana, sih!"

Kondisi rumah heboh sekali, padahal hanya ada Angga dan Inara saja di sana. Sifat humoris Angga berhasil menghidupkan keluarga yang hingga sekarang belum dikaruniai buah hati tersebut. Demikianlah cara Angga untuk menyenangkan hati Inara atas musibah yang menimpa mereka. 

Ngomong-ngomong soal anak, Angga dan Inara sudah berulang kali mendatangi Dokter kandungan langganan Angga guna berkonsultasi. Dokter mengatakan, kalau tidak ada yang salah dengan keduanya. Namun, entah kenapa hingga detik ini zuriyat Angga bersama Inara belum juga tampak. Takdir Allah. Barangkali memang belum waktunya mereka mempunyai keturunan.

"Abi pergi dulu ya, Mi! Sampai jumpa sore nanti." 

Inara menunduk, mengecup punggung tangan suaminya hikmat. Saling menyalurkan kekuatan dan kasih sayang agar sama-sama semangat untuk mendidik anak bangsa.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam.

Seusai perpisahan itu, Inara melipir ke rumah sebelah kiri. Gedung bewarna putih itu merupakan kediaman mertua serta adik ipar Inara. Ya, selama ini mereka hidup bertetanggaan.

Berhasil mendapat pintu setelah beberapa ketukan, Inara menyerahkan semangkuk bubur ayam kepada Ibu kandung dari suaminya.

"Ra, kamu bawa aja bubur ini balik, karena kami sudah dikasih bubur ayam juga dari calon mantu."

"Apa!?"

Senyum Inara lenyap. Hampir saja mangkuk keramik itu terlepas dari genggaman. Bukankah ia sudah menerima menantu dari Angga? Lalu, sosok mana lagi yang ia maksud?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status