Share

NASIB TAK PUNYA ANAK

Ruby, adik ipar Inara yang berusia 21 tahun tampak terburu-buru lari keluar. Sejujurnya Inara sudah berpikiran yang bukan-bukan, tetapi ketika melihat gadis yang berstatus sebagai mahasiswi semester 8 itu, seketika prasangka buruknya enyah.

"Eh, Ruby sudah punya pacar ya, Bu? Berarti ini dari calon besan Ibu? Wah! Seneng banget, ya, sebentar lagi kita bakal makan daging." Inara berucap seperti itu di saat Ruby sudah menjauh. Tangannya menepuk-nepuk mangkuk bubur.

Ibu mertua Inara yang bernama Dila menarik kedua sisi bibir. Sebatas itu saja dan tidak respect terhadap antusias Inara.

Aneh. Wanita berseragam coklat itu dibuat penasaran akan sikap Ibu mertuanya yang tak umum. Selama ini Inara amat dikasihi oleh keluarga Angga. Sayangnya, pagi ini ia harus menelan keacuhan dari Ibu Dila. Sampai di sini Inara masih berusaha untuk husnudzon.

"Jadi, Ibu nggak mau bubur ayamnya?" Inara menanti kepastian, sebelum angkat kaki dari sana.

"Bawa pulang aja ya, Ra. Takutnya nggak kemakan. Di rumah kamu kan ada si Sentot. Bagiin aja ke dia."

Baru kali ini Ibu mertua menolak pemberian dari menantunya. Namun, di sisi lain yang ia ucapkan ada benarnya juga. Barangkali Ibu Dila memang tak sampai hati melihat bubur ayam Inara, kalau harus basi akibat tak termakan.

Manik netra Inara tertuju pada masakannya sendiri. Cukup kecewa, padahal rasa gurihnya membekas di lidah dan sulit dilupakan.

"Ehm, ya sudah, Bu. Kalau gitu aku balik dulu, ya." 

Ibu rumah tangga yang satu itu sekedar manggut.

"Pak Sentot!"

Brugh!

Air di dalam gelas bergejolak saat Inara menggebrak meja milik satpam rumahnya.

Lelaki berbadan kekar dan kumis menjalar terlonjak. Mulutnya komat-kamit dan topi yang menutupi kawasan wajahnya terlentang di lantai pos. Untung saja sepasang kakinya yang nangkring di atas meja tidak menendang kopi.

"Astoge! Non Inara. Bapak pikir bidadari dari mana tadi." Jujur, dia hendak berkata kalau majikannya itu bagaikan jelangkung, tetapi amatlah mustahil.

"Bukannya nugas, eh malah ngorok!"

"Maaf, Non. Bukan tidur, tapi ketiduran." Lelaki berbaju putih mencari alasan.

"Ini aku bawain bubur ayam buat Pak Sentot."

Tadinya niat hati Inara hendak membelikan nasi uduk saja. Makan Pak Sentot ditanggung sebanyak tiga kali sehari oleh mereka.

"Siapa yang masak, Non?"

"Janda gang depan, Pak. Ya, sayalah." Inara mengerucutkan bibir delimanya.

"Ya, kalau beneran janda gang depan si rambut pirang itu yang masak, tentu Bapak tolak, Non." Bahu Pak Sentot berdansa, menunjukkan seakan-akan dirinya ogah.

"Kenapa tuh, Pak?" Sepasang alis Inara saling menyapa.

"Jorok, Non. Kabarnya dia masak sayur pakai celana dalam."

"He? Masak sih, Pak?" Ekspresi Inara tegang.

"Ya, pakailah, Non. Silir, kalau nggak diamanin pemiliknya. Hahaha."

Inara memutar bola mata. Pak Sentot memang suka sekali membuat lawan bicaranya berpikir keras.

"Oh, ya ampun. Aku sudah paham maksudnya, Pak. Kalau begitu siapapun yang memasak, ya, tentu pakai underwear. Hahaha." Sengaja menyamarkan bahasa Indonesia-nya, karena sungkan dengan Pak Sentot.

"Nah, itu tahu!"

Inara dan Angga mempunyai seorang penjaga rumah yang hobi melawak. Makanya sampai sekarang lelaki itu awet di rumah mereka. Namun, semuanya tak hanya berpatok pada kelucuan semata, melainkan Pak Sentot merupakan pekerja jujur dan gigih. Walau terkadang suka molor mendadak. Sejauh ini kediaman Inara bersama suami aman-aman saja.

Pernah sekali rumah mereka nyaris dimasuki oleh maling. Pak Sentot dengan gagah berani membantai dua orang yang berada di balik sarung kotak-kotak, hingga salah satu di antara mereka mengalami patah tulang dan sisanya memar-memar.

Hati Inara cukup terhibur pagi ini. Seusai bercengkrama dengan Pak Sentot, Inara langsung menuju SD tempat dia melabuhkan diri sejak lulus kuliah.

***

Malam ini Inara dikagetkan dengan jatah bulanan yang kurang dari biasanya. Ia memandang uang yang baru saja Angga beri. Bukannya tidak bersyukur, tetapi dia patut tahu dikemanakan sisa gaji yang baru cair tersebut.

"Bi, kenapa cuma tiga juta, ya? Biasanya Abi ngasih Umi lima juta." Inara kurang terima.

Angga menusuk-nusuk gigi sambil menaikkan sebelah kaki di kursi makan.

"Setelah Abi pikir-pikir, kayaknya nominal itu yang terbaik bagi kita." Angga sama sekali tidak merasa segan mengurangi jatah bulanan.

"Tetapi, kenapa, Bi? Semua butuh alasan, kan?"

"Kita cuma tinggal berdua di rumah ini. Kecuali kita punya anak, Mi, jelas Abi kasih lebih."

"Yah, kok jadi nyinggung-nyinggung soal anak sih, Bi? Soalnya, biasanya Abi ngasih 5 juta, loh." 

"Abi mau lebih hemat untuk masa depan kita, Umi. Bukannya meminta sih, tetapi bisa jadi beberapa waktu ke depan diantara kita ada yang sakit. Temen Abi aja ada yang kena 20 juta untuk tiga hari di rumah sakit. Ya, emang sih, kita punya BPJS, tetapi kan... biaya sama sini itu banyak banget, Mi." 

Di mata Inara, kejadian pengurangan jatah bulanan ini berikut alasannya sangat tidak masuk akal. Apakah Angga tidak memikirkan biaya tak terduga lainnya di rumah tersebut? Juga, biaya perawatan tubuh istrinya. Parahnya, Angga mengambil keputusan sendiri dan tanpa woro-woro terlebih dahulu.

"Pokoknya Umi jangan banyak protes! Abi ngelakuin ini dengan pemikiran yang matang. Sisanya masuk rekening Abi, ya!" ujar Angga tak mau diganggu gugat.

Desahan panjang terdengar di ruangan sepi penghuni tersebut. Terlepas dari benar atau tidak alasan tersebut, tetapi sesungguhnya Inara cukup tak rela. Padahal gaji Anggi itu banyak. Tak cuma berasal dari mengajar saja. Ia berulang kali dapat job tambahan dari rekan lain.

"Ya, sudahlah, Abi." Ia membalas gusar.

Angga tersenyum puas. Tangannya menjalar ke hidung Inara dan memberi cubitan manja.

Bertepatan dengan itu, Ibu Dila hadir di tengah-tengah keduanya.

"Lagi apa kalian berdua?" tanya wanita berwajah mirip Angga.

"Baru aja selesai makan. Ibu sudah makan?"

"Sudah. Ada dendeng daging dari calon mantu." 

"Masya Allah. Dikirimin lagi, Bu? Kayaknya calon mantu Ibu itu rumahnya deket dari sini, ya?" Antusias yang sama Inara beri.

"Deket banget malah."

"Serius, Bu? Anak siapa? Kalau lima rumah ke kanan dan kiri nggak ada anak laki-laki dewasa, sih."

Bu Dila mendaratkan bokong di kursi makan. Ia menilik sisa lauk di rumah Angga malam ini.

"Do'akan aja semoga Ruby lekas menikah. Ibu sudah nggak sabar menimang cucu."

Kalimat itu bagai kilatan petir yang menyambar Inara hingga ke inti tubuh. Tak pernah-pernah Ibu mertuanya membahas soal cucu.

Baiknya tak Inara ladeni. Angga pun begitu. Nahas, perempuan setengah abad itu balik berseru. "Ra, kapan kamu bisa ngasih suamimu momongan?"

"Kenapa pertanyaannya nggak dibalik aja menjadi 'kapan Angga bisa memberi aku momongan,' Bu?"

"Umi!" Angga cekatan mendekatkan mukanya pada Inara.

"Enggak. Maksud aku, kenapa Ibu tumben ngomong seperti ini? Dan, seakan-akan aku yang nggak bisa ngasih kamu anak, Bi. Padahal kata Dokter kandungan langganan Abi itu, kita berdua sama-sama sehat." Inara yang merasa rahimnya sempurna jelas tak terima disudutkan seperti tadi. Ini benar-benar janggal. Sejak tadi pagi sikap mertuanya berubah. Ke mana Ibu Dila yang lembut nan penyayang?

"Inara. Memangnya kamu nggak takut, kalau suatu hari suamimu ini menikahi perempuan lain demi mendapatkan anak?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status