Kenapa ranjang ini basah setiap kali aku meninggalkan suami di rumah sendirian? Aku curiga! Saat kuselidiki, sebuah rahasia besar pun akhirnya terbongkar. Ternyata selama ini suamiku...
View More"Loh, kenapa ranjang ini basah?"
Mata Inara melebar sempurna. Noda putih bertengger di atas ranjang. Baunya tak asing. Itu bukan cairan biasa. Aroma pandan membuat pikiran Inara melayang. Bukankah dia sudah mengganti sprei sisa tadi malam? Lalu, kenapa sekarang malah ada lagi? Bahkan, ranjang itu berantakan.
Seseorang secara mendadak memasuki kamar, membuat Inara spot jantung. Ia pikir jelangkung dari mana yang hadir. Namun, kedatangan Angga yang berstatus sebagai suami Inara sangatlah tepat.
"Abi, baru pulang?"
"Iya, Mi," seru pria berusia 25 tahun tersebut, lalu meletakkan tas ransel dengan sembarang.
"Umi ngapain jongkok di situ? Kayak nggak ada kloset aja." Dipandangnya Inara yang masih setia nangkring di atas ranjang.
"Ranjangnya basah, Bi."
Tidak ada suara setelahnya. Ruangan itu bagaikan goa yang mencekam. Angga mengikuti pergerakan jari telunjuk istrinya. Dia terkesiap dengan mulut yang lebar.
"Ini kan..."
"Eh, Kenapa bisa basah begitu, ya? Jangan-jangan Umi ngompol lagi." Gegas, Angga memotong.
"Ngompol dari mana, Bi? Umi bukan balita lagi. Perasaan sprei bekas tadi malam sudah dicuci. Kenapa sekarang malah datang lagi? Abi ada pulang ke rumah?"
Angga menggeleng cepat. Dahinya mengkerut. "Ngapain Abi pulang? Jelas-jelas di sekolah banyak urusan. Kayaknya itu air biasa, deh. Mungkin diantara kita ada yang nggak sadar numpahin ke sana. Udah, ah. Jangan diambil pusing. Perlu Abi bantu cuci sprei lagi?"
Inara belum bergeming. Ia masih saja mencari jalan keluar tentang noda putih tersebut. Dirinya bukan anak kecil yang bodoh dalam membedakan segala macam jenis cairan.
"Oh, mungkin itu kencing kucing, Umi. Sudahlah, ayo cepat kita bersihkan! Abi nggak mau perang di atas tempat kotor begitu." Angga menaik turunkan alisnya tanda mengacau.
Tangan Angga gegas menarik sprei, sampai membuat Inara yang berada di atasnya nungging. Angga si lelaki romantis menyeret benda besar itu ke mesin cuci untuk dieksekusi.
Angga terkenal sebagai suami berkelakuan manis, humoris, juga gemar membantu. Banyak pekerjaan rumah yang ia laksanakan bersama Inara, perempuan yang dua tahun lalu ia nikahi.
Angga dan Inara sama-sama berprofesi sebagai guru. Bedanya, Angga bernasib lebih beruntung, karena setahun silam ia diangkat menjadi PNS, sementara sang istri gagal dalam perekrutan yang sama-sama mereka ikuti tersebut. Sampai sekarang Inara masih menjabat sebagai guru SD honorer. Biarpun begitu, sedikitpun Angga tidak merasa tinggi hati. Baginya, baik honorer maupun PNS adalah sama. Ini bukan soal gaji, melainkan tanggung jawab sebagai seorang guru yang membagikan ilmu kepada anak didiknya.
"Abi makan sajalah. Biar Umi yang mencuci," kata Inara yang ternyata sudah berada di samping.
"Umi masak apa?"
"Gurame asam manis, Bi. Ada jus jeruk juga."
"Makan bareng yuk, Mi! Abi suapin, deh." Senyum Angga mengembang.
"Umi sudah makan. Umi lebih dulu sampai satu jam ketimbang Abi."
"Ya, sudah. Kalau gitu Abi makannya mau ditemenin Umi."
"Lah, Umi kan mau nyuci spri kotor ini, Bi."
"Sudahlah. Nyucinya nanti saja. Kalau Umi nolak, Abi kulitin hidup-hidup, nih."
"Ih, serem amat!"
"Atau, Abi bakal kulitin..." Angga si tukang cagil mulai menggerayapi leher jenjang milik istrinya.
"Aish, Abi! Tak sudah-sudah. Ayolah, Umi temenin makan saja!" Inara melompat ke posisi lain, sebelum Angga semakin berkuat nakal.
Begitulah kehidupan rumah tangga Angga dan Inara selama ini. Jangankan keluarganya, seluruh kampung tahu jika bahtera yang mereka jalani begitu indah. Tak jarang keduanya bejalan kaki sambil berpegangan tangan hanya sekadar untuk berkeliling kampung dan melakukan kegiatan receh lainnya yang mengundang perhatian banyak orang.
Semenjak Angga menjadi PNS, ekonomi mereka juga mulai terdongkrak. Dari yang makanannya hanya tahu dan tempe, kini daging dan makanan bergizi lainnya mudah dikonsumsi. Keduanya juga sering berbagi kepada fakir miskin di area dalam maupun luar kampung tersebut.
Setelah Angga selesai makan dan beristirahat di atas ranjang yang baru diganti sprei-nya tadi, Inara pun melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Ia mencoba menepis perihal bercak luas berkelir putih itu demi mengamankan pikirannya dari hal negatif. Ustadz yang biasa mengisi di pengajian desa Angga dan Inara sering berkata, jika pikiran buruk ternyata berpengaruh kepada kesehatan fisik.
"Wah! Dua kali cuci sprei, nih," sindir seorang tetangga yang menjabat sebagai sahabat Inara sejak kecil.
Inara terlihat sedang menjemur sprei untuk yang kedua kalinya di hari ini. Tentu itu menjadi bahan olokan orang yang mengetahuinya. Mereka pasti berpikiran, kalau Inara dan Angga bolak-balik menyetel adegan biru.
"Hust! Calon istri Ustadz Ridho jangan berisik!" Gadis berbibir tipis itu menunjuk wajah gadis seusianya dengan malu. Sebelah kakinya terhentak di tanah.
Padahal semua ini tidaklah seperti apa yang orang lihat. Inara bahkan tidak tahu kenapa ranjangnya bisa basah.
***
"Umi, nggak usah dandan cantik-cantik. Nanti kamu dilirik," teriak Angga dari keluar kamar di saat sang istri tak kunjung menampakan diri.
"Siapa yang dandan sih, Bi? Cuma pakai bedak tabur doang, supaya nggak pucet. Lagian, kita mau ke kajian, Bi, bukan kondangan." Inara menyahut dari dalam.
"Umi lagi ngapain sih? Kok nggak kelar-kelar."
"Sebentar, Bi. Masih pakai baju." Vokal Inara menyembur.
"Hah? Perlu dibantu nggak?"
"GAK!" Lengkingan Inara banter sekali.
Upaya Angga kembali gagal untuk mengacau sang istri. Inara buru-buru keluar demi menghindari bantuan Angga untuk memakaikannya pakaian yang ujung-ujungnya bisa menggagalkan kajian malam ini.
Tahu sendiri Angga bagaimana. Dia tipikal lelaki yang mempunyai kegagahan di atas rata-rata.
"Ayo, Bi!
"Eh, si Aina nggak sekalian ikut sama kita aja?" Aina adalah nama dari sahabat Inara yang menyindirnya tadi siang.
"Boleh, deh. Biar Umi panggil Aina dulu."
Jadilah mereka pergi bertiga. Aina duduk di jok mobil barisan ke dua, sementara Inara di samping suaminya.
Mereka bertiga tak pernah ketinggalan setiap ada pengajian. Semuanya giat menuntut ilmu. Aina dan Angga juga cukup dekat, mengingat Aina merupakan rekan sejawat Inara.
Kajian malam ini ada di desa seberang. Kegiatan tersebut berlangsung selama dua jam. Pematerinya adalah ustad Ridho, yakni calon suami dari Aina. Kabarnya, saat ini mereka sedang melakukan ta'aruf dan satu bulan lagi akan menikah.
Sekilas dilihat oleh Inara, jika suaminya dan Aina saling berpandangan lewat kaca spion tengah. Inara berdehem. Menghentikan kegiatan yang dianggapnya hanya kebetulan tersebut.
Usai aktivitas menimbah ilmu, mobil Angga melipir ke sebuah restoran tradisional. Malam-malam begini sekawanan cacing memang suka usil. Bisa ngamuk mereka, kalau tidak diberi jatah.
"Mas, pesen gulai kakap satu, nila bakar sambel jedor sama rica-rica kemangi."
"Loh, Bi. Kenapa kamu bisa tahu makanan kesukaan Aina juga?" Inara kaget, ketika suaminya menyebutkan menu orderan yang ketiga secara spontanitas.
Pagi ini Angga tidak jadi membuat bakso kuah terbaru karena buku resepnya hilang. Namun, dia masih terus berusaha mencari, kali saja dia salah letak atau entah bagaimana, yang jelas dia masih berharap supaya buku itu lekas ketemu.Berbeda dari kemarin, hari ini bahkan sampai Angga sudah duduk stay di warung depan rumahnya, Ayu tak kunjung datang. Sayangnya Angga tidak mempunyai kontak wanita tersebut. Jadi, dia tak bisa menghubungi."Ke mana Ayu? Tumben lama nggak seperti kemarin," batinnya.Dia pun membereskan warung seorang diri. Mulai dari menata bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat bakso serta mengilap mangkuk-mangkuk supaya lebih kinclong.Anehnya, hingga siang menjelang, Ayu tak kunjung menampakkan batang hidung. Angga sampai berpikir kalau perempuan itu sedang sakit sehingga dia tidak bisa untuk bekerja di hari itu. Angga memaklumi. Dia berjanji akan meminta kontak Ayu setelah perempuan itu masuk nantinya. ***Sayangnya, Apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan kenya
"Tahu apa, Rin?" Angga membidik wajah lawan bicaranya yang tampak serius.Rina mendekatkan tubuhnya sampai memangkas jarak antar mereka. Angga yang risih sedikit mundur, tetapi Rina malah menariknya. Telinga Angga didekatkan pada bibir Rina."Ternyata orang tuanya Ayu juga sama-sama pedagang bakso kayak kamu, Mas," bisiknya perlahan-lahan.Leher Angga sampai memendek, karena kepalanya tersentak. Dia menjauhi Rina dengan mata yang terbelah lebar."Ah, yang bener kamu? Tadi aja dia bilang, kalau ibu bapaknya seorang petani dan memiliki kebun di desa.""Beneran Mas, aku nggak bohong. Makanya dari awal aku udah curiga sama si Ayu. Kayaknya dia menginginkan sesuatu dari kamu, deh."Saat obrolan mereka belum selesai dan Rina belum menjelaskan lebih lanjut, tiba-tiba saja orang yang diceritakan datang dan langsung mendorong Rina, hingga dia mundur agak jauhan.BRUGH!"Apa maksud kamu, Rin? Kenapa kamu malah ngomong kayak begitu sama Mas Angga? Tahu apa kamu tentang orang tuaku? Orang tuaku u
Panas siang hari ini sepertinya berhasil turun dan mendekam di hati Rina. Perkataan Ayu bagai petir di siang bolong yang menyambar sekujur raganya tanpa ampun.Ayu berucap sedemikian rupa dengan entengnya sambil tersenyum lebar. Sementara Angga di sebelahnya hanya terdiam."A- apa? K- kerja d- di sini?" Rina mengulang ucapan wanita di depannya tersebut."Apa kurang jelas lagi? Mulai besok aku bakal kerja di warung ini. Mas Angga juga udah izinin, kok."Tidak tahu kenapa Rina seakan terganggu oleh Ayu sejak pertemuan mereka kemarin. Dan, saat mengetahui kebenaran ini, perasaannya semakin tak menentu. Ekspresi Rina langsung berubah kecut. Dia memandang Angga dengan penuh beban."Sini, Mas!"Rina cepat-cepat menarik tangan Angga ke sudut warung, agak jauh dari keramaian dan Ayu. Dia akan membuat perhitungan kepada pria tersebut."Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu mengizinkan Ayu bekerja di sini, Mas?" tanyanya, suara penuh kekhawatiran.Sementara itu Rina sempat melirik Ayu yang melipat kedu
Hujan mengguyur kota dengan lebatnya pada malam itu. Lampu-lampu padam satu per satu, menyisakan gelap yang pekat menutupi sudut-sudut kota. Di rumah Angga, seorang pedagang bakso, situasi tidak berbeda. Hanya suara gemericik hujan dan sesekali kilat yang menyinari jendela yang menjadi sumber cahaya.Ketukan di pintu depan membuat ia semakin was-was saja. Angga, yang sudah bersiap tidur, terkejut dan bingung. Siapa yang mungkin datang di tengah malam dan dalam cuaca buruk seperti ini?Dengan hati-hati, ia mendekati pintu, membuka kuncinya pelan-pelan. Angga sudah bersiap, jika yang ada di depan pintunya tersebut adalah orang jahat, maupun makhluk tak kasat mata.Pintu pun akhirnya terbuka dan cahaya senter menyilaukan matanya sejenak.Tring!"Mas Angga, maaf mengganggu!"Degh!Suara lembut itu terdengar. Ketika mata Angga menyesuaikan dengan cahaya."Aman," pikirnya lega. Ia membuka matanya selebar mungkin.Terlihatlah Rina, guru SD yang dikenalnya, berdiri basah kuyup sambil membawa
Angga selaku pemilik warung bakso yang ramah dan populer di kalangan penduduk setempat saat ini benar-benar bingung harus memilih makanan yang mana Di samping dia tidak bisa menerima semuanya karena tidak akan muat di perutnya.Sayangnya, Angga juga tidak tega menolak salah satu diantara mereka. Angga menghargai pemberian Ayu dan Rina terhadapnya. "Biar aku bukain langsung, Mas!" tutur Rina Yang Tak sabar menanti keputusan Angga. Dia langsung meletakkan rantang di atas meja dan membongkar wadah tersebut satu persatu."Ah, aku juga!" ujar Ayu yang ternyata masih tidak mau kalah.Kedua perempuan itu berlomba-lomba membuka rantang mereka masing-masing di hadapan Angga. Membuat pria satu itu semakin kewalahan. Dia sedang diperebutkan atau bagaimana?Rina, guru SD yang bertanggung jawab dan penyayang itu ternyata membawa nasi goreng homemade, sementara Ayu yang kabarnya hanya mengikut orang tua dan tidak mempunyai pekerjaan membawa salad buah segar dan tomyam. Semua makanan yang disuguhk
Dalam cuaca yang diselimuti oleh kegelapan, warung bakso Angga masih ramai dengan suara para pembeli yang datang dan pergi. Lampu yang tergantung rendah di warung itu menambah kehangatan suasana di malam yang sejuk ini. Angga, seorang penjual bakso yang dikenal dengan keramahan dan kejujurannya, sibuk melayani setiap pembeli dengan senyuman lebar."Mas, aku tiga bungkus, ya!""Aku satu mangkuk aja makan di sini, Mas!""Mas, saya dulu, dong! Kasihan anak di rumah sudah kelaparan."Cicitan cicitan para pembeli semakin menguar. Angga merasa senang, meski satu sisi dia kelimpungan."Iya, sabar ya semuanya."Saat sedang mengaduk bakso di dalam panci besar, tiba-tiba seorang anak kecil berlari mendekat ke warungnya. Anak itu, dengan napas yang tersengal, mengulurkan sebuah kotak kecil kepada Angga. Terkejut, Angga menurunkan sendok besar dan menerima kotak tersebut."Untuk om," kata si anak kecil dengan senyum yang manis. Jemari mungilnya terulur memanjang."Eh?"Angga menghentikan aktivita
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments