Inara mendekap gawai di dada. Mukanya menebal. Ia berhasil menuduh lelaki tersebut selingkuh, tetapi faktanya perempuan itu adalah istri dari Ustadz Ridho sendiri. Sungguh, ini bukan kemauan Inara. Ainalah yang tak pernah mengumumkan tentang perpisahannya dengan pria berilmu itu."A- apa?" Inara tercengang. "Sejak kapan Ustadz Ridho menikah? Ke- kenapa tidak dengan sahabatku?" Inara menggeleng samar.Dia sudah menduga, pasti ada sebab khusus kenapa Aina bungkam soal proses ta'aruf itu, tetapi sama sekali tak berpikir, kalau ternyata ia putus. Selama ini Aina kelihatan bahagia-bahagia saja."Dua Minggu lalu."Oh, Ya Tuhan. Pantaslah Inara pernah menengok jemari Ustadz Ridho dipenuhi inai merah bertepatan dengan tenggang waktu yang baru saja disebut."Ta- tapi, kenapa Ustadz?" Masih dengan ketidakpercayaannya."Saya agak sulit menyatakannya, tetapi kalau Anti benar-benar mau tahu, penyebabnya adalah karena Aina menyelingkuhi saya.""Hah?" Suara Inara kian meninggi. Membuat wanita di sam
Inara tentu kaget hampir mampus mengetahui suaminya mengirimkan uang sebesar lima juta kepada Aina, sementara dia sendiri dikurangi jatah bulanannya. Apa karena ini Angga berubah medit? Punya hubungan apa dia dengan Aina?Inara meremas selebaran cek tersebut untuk dijadikan barang bukti atas rahasia yang suaminya sengaja tutupi. Ia menyeduh air mata. Dia memanglah belum mendengar penjelasan orang yang dicurigai, tetapi tak salah juga, kalau perasaannya tak enak. Istri mana yang tidak cemburu dan khawatir, kalau suaminya tiba-tiba mengirim uang kepada sahabat kita sendiri.Wanita yang sedang kebingungan itu bersimpuh lemas. Badannya bersandar pada kaki ranjang. Apa gara-gara ini juga Aina batal menikah dengan Ustadz Ridho? Barangkali, yang dimaksud Ustadz Ridho tentang selingkuhan Aina itu adalah..."Nggak! Nggak mungkin suamiku diambil sahabatku sendiri!" Inara menolak pikiran tersebut.Kepalanya menggeleng laju. Ia tahu betul siapa Aina. Perempuan itu sudah menjadi bagian dari hidupn
Inara mengedarkan pandangan. Gedung Anyar sudah berada di depan mata. Sekujur badan rasanya lunglai. Kalau sampai suaminya sampai menikah diam-diam, mungkin Inara bisa mati berdiri. Namun, apa iya? Entah ini cuma ketakutan Inara saja.Bosan menebak-nebak, ia pun menyusuri gedung yang di bagian belakangnya ada kebisingan. Inara pikir di sanalah suaminya berada.Pikiran-pikiran jahat menyerang. Melangkah penuh keraguan dan..."Angga?" "Ya, Allah..."Inara bersandar pada dinding gedung. Ia menengok sekali lagi ke arah lelaki berpeci hitam yang tengah mengamankan anak-anak tersebut. Inara lega. Rupanya Angga memang betul menjalankan tugas sebagai instruktur pesantren kilat. Terlihat ia dan beberapa bocah berbaju koko sedang melaksanakan baris-berbaris. Pasti sebentar lagi akan berangkat ke sekolah kecamatan sebelah.Seketika rasa bersalah muncul. Akhir-akhir ini Inara mudah sekali su'udzon terhadap suaminya sendiri. Padahal ia tahu betul, kalau Angga adalah suami romantis dan setia. De
Sejak itu hubungan Inara dan Angga menjadi agak renggang. Lelaki itu memang memperlakukan istrinya dengan romantis, tetapi tak jarang bentakan-bentakan kecil terlontar dari bibir Angga, juga perlakuan kasar yang tidak ia sadari. Angga mulai jarang membawa Inara makan di luar atau hanya sekadar menikmati suasana kota pada sore hari. Apalagi menemaninya belanja kebutuhan rumah tangga seperti yang sudah-sudah. Beranjak pada persoalan intim. Lelaki penuh misteri itu setiap malam selalu kelelahan, lalu ketiduran. Katanya banyak tugas dari sekolah. Terlebih saat anak kelas 12 mulai mendekati ujian nasional. Sampai-sampai kerap mengabaikan hasrat istrinya. Inara tak mampu memaksa Angga. Pernah sewaktu-waktu ia ngambek, karena suaminya tak sudi diajak bermain bersama. Namun, Angga dengan keras menegaskan, jika dia tak suka ditekan seperti itu. Setelahnya Inara tak berani lagi meminta. Biarlah Angga sendiri yang lebih dulu menyentuhnya, jika sedang mau.Namun, anehnya; sering pula Inara temu
Waktu magrib tiba. Wanita yang sedang diliputi kesedihan itu sengaja menanti hingga kamar mandi sepi penghuni, barulah ia masuk untuk berwudhu. Sebelum memulai sholat di musholla cafe, diliriknya sambungan CCTV kamar dan ternyata masih menghadirkan adegan tak senonoh itu. Lihatlah! Anak cucu Adam yang sedang dimabuk cinta tersebut, bahkan panggilan Allah tak lagi dipedulikan perkara bercocok tanam. Sebegitu menikmatinya mereka.Inara saking lemasnya sampai tak bisa sholat dalam keadaan berdiri. Dia memilih untuk duduk. Inara sepanjang beribadah masih saja meneteskan air mata. Begitu tersayatnya perasaan. Ternyata laki-laki yang kelihatan setia belum tentu baik isi hatinya. Inara mengadukan hari terburuknya kepada Sang Pencipta. Mempertanyakan kenapa ia yang sudah berusaha sesempurna mungkin di hadapan suami masih juga diduakan. Saat tak ada lagi jamaah perempuan di musholla cafe, itu menjadi kesempatan bagi Inara untuk menumpahkan isak yang sejak tadi dia tahan. Bahunya tiada henti b
"Umi! Astaghfirullah. Kenapa, Sayang?" Angga terkesiap, lalu merengkuh istrinya untuk didudukkan di sudut ranjang. Untuk sementara waktu tidak ia pedulikan pecahan kaca itu. Jemari tangan Inara merah semua. Air kental mengalir dan membasahi gamisnya. Sakit. Perih. Namun, semua itu tak sebanding dengan penghianatan yang Angga lakukan terhadapnya.Inara meraung hebat. Angga kebingungan, lalu berlari menuju dapur untuk mengambilkan segelas air putih. Ia dengan hati-hati membantu istrinya untuk minum. Nahas, gelas ditepis sehingga bernasib sama seperti kaca rias."Umi! Umi kenapa pulang-pulang ngamuk? Cerita dulu sama Abi. Jangan seperti wong kesetanan begini!"Angga gelagapan. Inara menjerit heboh dan meronta-ronta. Kalau ini nih bukan kesurupan. Setan saja takut melihat keberanian Inara. Suami banyak drama itu kalang kabut membuka lemari dan meraih kotak P3K. Dia mencuci bersih darah dan mulai membalut luka pada jemari tangan istrinya tersebut."Istighfar, Umi. Jangan mengikuti hawa
Jengkel betul saat menengok emoticon love yang terselip di sana. Nahas, baru saja hendak menolak panggilan itu, secara mendadak Aina timbul kembali. Inara mendengar derap langkah kaki dari toilet yang terdapat di dalam kantor. Cepat ia memasukkan gawai dan mengunci tasnya."Ada telepon, Ai. Nggak tahu dari siapa." Untuk mengalihkan perhatian, Inara turut bermain ponsel juga. Biar terkesan sibuk saja.Aina semula santai, ketika proses pembukaan tas. Namun, begitu dia tahu siapa penelepon tersebut, matanya menyorot Inara penuh gugup. Setengah berlari ke tempat lain. Inara mengikut dari belakang. Menguping pembicaraan yang dilakukan secara bisik-bisik itu."Sayang, kan sudah aku bilang jangan pernah telepon, kalau di sekolah. Sudah dulu, ya!"Samar-samar terdengar sahutan Aina kembali. Inara yang penasaran lantas melalukan panggilan ke nomor Angga. Benar saja. Suara perempuan alias sang operator terdengar. Katanya nomor Angga sedang sibuk."Sialan! Berarti kontak itu punya Mas Angga. Me
"Terima kasih banyak ya, Ra." Aina mengusap mulutnya menggunakan tisu yang terdapat di meja cafe."Eh, aku loh yang semestinya ngucapin terima kasih, karena sudah ditemenin beli obat." Inara meraup punggung tangan konconya. Senyum palsu mengembang.Sebenarnya mood Aina pasca mendengar gombalan maut Angga kepada Inara tadi kurang baik. Namun, Inara perhatikan sejak tadi ia mencoba menyeimbangkan emosional. Mungkin tak ingin membuat Inara tersinggung, sementara ia sudah syukur ditraktir makan enak di cafe tersebut."Ayo, pulang!" ajak Inara yang lagi-lagi bersikap manis dengan menggandeng tangan orang yang sudah ia anggap sebagai bekas sahabat itu. Jijik sebenarnya menyentuh Aina si pengkhianat, tetapi semua ini demi sebuah misi besar. Orang-orang yang telah dia baikin, takkan mungkin mengira kalau dia menjelma sebagai penjahat suatu hari nanti.Aina dan Inara yang tengah melintas menuju parkiran motor menjadi sorot banyak pasang mata. Mereka memandang aneh serta lucu.Awalnya Aina acu