"Mas Angga! Mas!"
Dari balik pintu pekikan itu kian berlangsung. Inggit berlari cepat disusul oleh ayunan kaki suaminya dari belakang. Ia turut panik. Panggilan itu seolah mendesak.
"Aina?"
Netra Inggit serasa lepas dari tempat. Udara di kawasan tersebut seketika pengap. Inara menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. Sungguh pemandangan di luar akal. Orang yang ia kenal selama ini tak pernah membuka aurat, malah tiba-tiba nyelonong ke kediamannya tanpa pakaian syar'i dan meneriaki nama suami Inara.
Dia adalah tetangga Inara sendiri sekaligus teman dekatnya. Aina yang melihat kemunculan sosok lain lantas menghentikan laju. Ia dan perempuan di hadapannya hanya terpaut jarak beberapa cm saja. Sama seperti Inara, Aina juga mengalami kekagetan yang sama.
Inara tak sempat menengok bagaimana reaksi suaminya yang sekarang berada di belakang tubuh. Ia menyorot fokus perempuan di depannya itu. Beribu spekulasi mencuat.
"Aina, kamu kenapa manggil-manggil suamiku dengan keadaan seperti ini? Kamu nggak malu apa? Ke mana pakaianmu yang tertutup?" Inara menanti jawaban dari beberapa deret pertanyaannya.
Rasanya dada Inara panas sekali. Apa sahabatnya sengaja unjuk badan di depan Angga? Jika memang iya, maka Aina tergolong orang-orang munafik yang sok alim di hadapan rekan dan saudaranya selama ini, tetapi tidak dengan tetangganya yang satu ini alias si Angga.
Rahang Aina kelihatan mengeras. Serasa sulit sekali untuk berbicara.
"Ai?" Inara terus menekan.
"Eh, anu. Aku terpaksa, karena di rumahku ada tikus kawin. Aku sempat lihat kamu pergi tadi, jadilah aku memanggil Mas Angga." Walau menjawab cukup lancar, tetapi ketegangannya tak dapat disembunyikan.
"Aku takut sama tikus, Ra. Apalagi Mereka lagi kawin begitu. Malah tikusnya sebesar betis orang dewasa lagi."
"Kamu kenapa sudah pulang? Cepet banget."
"Di mana tikusnya? Sini biar kami usir." Wanita berdagu lancip mengabaikan semua omongan Aina.
Inara melangkah keluar, membuktikan apakah ucapan sahabatnya tentang tikus kawin tadi benar atau hanya gombal belaka.
Angga menyusul di belakang, barangkali hendak menjadi pahlawan untuk mengusir hewan berekor panjang tersebut. Ia juga sengaja memboyong sebuah sapu dari rumah.
Aina memasuki kamar dan membungkus seluruh badannya dengan selimut tebal, hingga hanya menyisakan bagian mukanya saja. Aina bak ulat di dalam daun.
"Mana tikusnya?" tanya Angga.
Masih dengan ekspresi kikuk, Aina menuntun kedua tetangganya itu memasuki kawasan belakang rumah.
"Loh, kok tikusnya sudah hilang? Tadi mereka ada di situ. Sumpah." Aina menunduk, menunjuk ke sudut pintu dapur.
Inara dan Angga celingukan, kemudian mereka berusaha untuk mencari-cari hewan yang membuat Aina berlari tanpa memedulikan pakaiannya lagi.
"Mungkin tikusnya sudah pergi," seru Angga. "Lebih baik kamu beli racun tikus saja," sarannya.
Inara menimbang sesuatu. Matanya menelisik netra Aina sedalam jurang.
"Emang beneran ada tikus tadi di rumah kamu?" Setengah mata Inara terkatup.
"Iya, Ra. Tadi mereka berdua-duaan ada di balik pintu itu."
"Kalau begitu aku setuju sama saran suamiku, supaya kamu membeli racun tikus aja."
"Ya sudah deh. Hari ini juga aku bakalan beli di luar."
Karena hewan yang dimaksud gagal dijumpai, akhirnya Inara mengajak suaminya balik ke rumah. Alhasil Inara luluh. Entah karena alasan Aina yang tepat atau memang Inara benar-benar percaya kepada sahabatnya itu.
Angga kemudian pergi, sementara Inara juga melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda untuk belanja bulanan.
***
Anggur hitam selaku buah kesukaan Ibu mertuanya sengaja dibeli sebagai hadiah. Walau hatinya pernah terluka akibat pembahasan anak, tetapi tak menjadikan Inara membenci perempuan tersebut. Bahkan, dia bermaksud untuk mencairkan hati yang panas.
Deru motor dimatikan, tatkala Inara tiba di halaman rumah Bu Dila. Sengaja melipir ke sana dulu, karena hendak menyerahkan buah tadi.
Inara mengucapkan salam dan yang menyambut dari dalam adalah Ruby.
"Ibu mana, Rub?"
"Ibu? Lagi fitting baju pengantin."
"Apa? Ibu mau nikah lagi?" Inara gagal menyembunyikan kekagetannya. Suaranya keras menyambut pernyataan Ruby.
"Ups" Ruby menutup mulut. "Bukan, Mbak, maksudku Ibu ikut temennya untuk fitting baju pengantin anak temen Ibu."
Inara menyapu dada. "Oh, ngomong, tho. Kamu bikin Mbak kaget saja. Sudah lama perginya?"
"Lumayan."
Dahi Inara mengkerut. Ruby yang ia kenal selama ini adalah Ruby yang periang. Tak pernah menjawab pertanyaan dengan wajah datar. Dia memang tidak cuek, tetapi sifatnya jauh beda seperti biasanya. Inara mulai khawatir. Kenapa ibu mertua dan adik iparnya menjadi dingin? Ke mana keriangan yang selama ini ada?
"Ya sudah, Rub. Nanti tolong kasih sama ibu, ya, kalau sudah pulang."
"Terima kasih, Mbak." Anggur hitam diterima.
Beberapa detik berlaru, Ruby pada akhirnya lebih dulu berputar badan, karena Inara tak kunjung pergi. Inara sendiri hendak memastikan respon Ruby dan ternyata anak itu tak mau berbasa-basi lagi.
"Ruby, tunggu!" Suaranya bergetar.
Gadis tadi kembali menoleh, sebelum langkahnya semakin menjauh. Cukup menunggu dari jarak 4 m, hingga pada akhirnya Inara kembali bersuara.
"Kenapa belakangan ini sikap Ibu dan kamu berubah sama Mbak? Apa Mbak Inara ini punya salah sama kalian?" Tak mau menunda waktu lagi untuk mengorek informasi. Jika memang ada luka, maka harus ditempel dengan segera.
"Mbak merasa kalau kami berubah, ya?"
Inara mengangguk mantap.
"Kami nggak merasa begitu, tetapi kalau Mbak Inara beranggapan seperti itu, ya, manusia kan memang dinamis. Bisa berubah kapanpun manusia itu mau."
Inara tak menyangka dengan ucapan adik iparnya yang masih berusia 21 tahun tersebut. Kenapa kalimat itu seakan-akan menyembunyikan makna dalam.
"Ruby, kalau misalnya Mbak punya salah, ngomong saja, ya."
"Iya, Mbak."
Tak mau mengganggu Ruby yang tadi sedang menulis sesuatu di tumpukan kertas, Inara pun mengalihkan motornya ke rumah sendiri. Memisah antara buah, daging dan sayur yang kemudian disusun rapi di dalam kulkas. Setelahnya, memasak untuk makan malam bersama suaminya.
***
Bintang meredup, cahaya bulan nyaris menyisakan bayang. Malam ini angin bertiup kencang. Agaknya, sebentar lagi akan turun hujan.
Inara berputar-putar di rumah. Tak jelas apa tujuan. Ia hanya menanti kepulangan Angga yang saat itu tak bisa dihubungi. Teleponnya mati.
Sudah jam sembilan, cacing di perut Inara sudah berdemo, tetapi Angga tak kunjung pulang. Sementara Inara telah menanti lelaki itu sejak tadi. Gulai ayam kampung daun kemangi mulai sejuk.
"Ke mana suamiku ini? Kenapa lama sekali?" gerutu gadis berpiama tidur tersebut.
Inara melonggarkan hati untuk menunggu Angga beberapa saat lagi. Harapnya terjawab. Suara mesin mobil memasuki pelataran rumah. Inara gegas ke depan.
Seorang pria manis merapikan tata letak mobil. Sementara dari kejauhan, terlihat Ibu mertua baru turun dari ojek. Inara menyongsong sisi lain, yang ternyata ada Aina sedang membuka pintu rumahnya sendiri.
Ketiganya berasal dari tempat yang berbeda, tetapi kenapa bisa tiba dalam waktu yang bersamaan?
Pagi ini Angga tidak jadi membuat bakso kuah terbaru karena buku resepnya hilang. Namun, dia masih terus berusaha mencari, kali saja dia salah letak atau entah bagaimana, yang jelas dia masih berharap supaya buku itu lekas ketemu.Berbeda dari kemarin, hari ini bahkan sampai Angga sudah duduk stay di warung depan rumahnya, Ayu tak kunjung datang. Sayangnya Angga tidak mempunyai kontak wanita tersebut. Jadi, dia tak bisa menghubungi."Ke mana Ayu? Tumben lama nggak seperti kemarin," batinnya.Dia pun membereskan warung seorang diri. Mulai dari menata bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat bakso serta mengilap mangkuk-mangkuk supaya lebih kinclong.Anehnya, hingga siang menjelang, Ayu tak kunjung menampakkan batang hidung. Angga sampai berpikir kalau perempuan itu sedang sakit sehingga dia tidak bisa untuk bekerja di hari itu. Angga memaklumi. Dia berjanji akan meminta kontak Ayu setelah perempuan itu masuk nantinya. ***Sayangnya, Apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan kenya
"Tahu apa, Rin?" Angga membidik wajah lawan bicaranya yang tampak serius.Rina mendekatkan tubuhnya sampai memangkas jarak antar mereka. Angga yang risih sedikit mundur, tetapi Rina malah menariknya. Telinga Angga didekatkan pada bibir Rina."Ternyata orang tuanya Ayu juga sama-sama pedagang bakso kayak kamu, Mas," bisiknya perlahan-lahan.Leher Angga sampai memendek, karena kepalanya tersentak. Dia menjauhi Rina dengan mata yang terbelah lebar."Ah, yang bener kamu? Tadi aja dia bilang, kalau ibu bapaknya seorang petani dan memiliki kebun di desa.""Beneran Mas, aku nggak bohong. Makanya dari awal aku udah curiga sama si Ayu. Kayaknya dia menginginkan sesuatu dari kamu, deh."Saat obrolan mereka belum selesai dan Rina belum menjelaskan lebih lanjut, tiba-tiba saja orang yang diceritakan datang dan langsung mendorong Rina, hingga dia mundur agak jauhan.BRUGH!"Apa maksud kamu, Rin? Kenapa kamu malah ngomong kayak begitu sama Mas Angga? Tahu apa kamu tentang orang tuaku? Orang tuaku u
Panas siang hari ini sepertinya berhasil turun dan mendekam di hati Rina. Perkataan Ayu bagai petir di siang bolong yang menyambar sekujur raganya tanpa ampun.Ayu berucap sedemikian rupa dengan entengnya sambil tersenyum lebar. Sementara Angga di sebelahnya hanya terdiam."A- apa? K- kerja d- di sini?" Rina mengulang ucapan wanita di depannya tersebut."Apa kurang jelas lagi? Mulai besok aku bakal kerja di warung ini. Mas Angga juga udah izinin, kok."Tidak tahu kenapa Rina seakan terganggu oleh Ayu sejak pertemuan mereka kemarin. Dan, saat mengetahui kebenaran ini, perasaannya semakin tak menentu. Ekspresi Rina langsung berubah kecut. Dia memandang Angga dengan penuh beban."Sini, Mas!"Rina cepat-cepat menarik tangan Angga ke sudut warung, agak jauh dari keramaian dan Ayu. Dia akan membuat perhitungan kepada pria tersebut."Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu mengizinkan Ayu bekerja di sini, Mas?" tanyanya, suara penuh kekhawatiran.Sementara itu Rina sempat melirik Ayu yang melipat kedu
Hujan mengguyur kota dengan lebatnya pada malam itu. Lampu-lampu padam satu per satu, menyisakan gelap yang pekat menutupi sudut-sudut kota. Di rumah Angga, seorang pedagang bakso, situasi tidak berbeda. Hanya suara gemericik hujan dan sesekali kilat yang menyinari jendela yang menjadi sumber cahaya.Ketukan di pintu depan membuat ia semakin was-was saja. Angga, yang sudah bersiap tidur, terkejut dan bingung. Siapa yang mungkin datang di tengah malam dan dalam cuaca buruk seperti ini?Dengan hati-hati, ia mendekati pintu, membuka kuncinya pelan-pelan. Angga sudah bersiap, jika yang ada di depan pintunya tersebut adalah orang jahat, maupun makhluk tak kasat mata.Pintu pun akhirnya terbuka dan cahaya senter menyilaukan matanya sejenak.Tring!"Mas Angga, maaf mengganggu!"Degh!Suara lembut itu terdengar. Ketika mata Angga menyesuaikan dengan cahaya."Aman," pikirnya lega. Ia membuka matanya selebar mungkin.Terlihatlah Rina, guru SD yang dikenalnya, berdiri basah kuyup sambil membawa
Angga selaku pemilik warung bakso yang ramah dan populer di kalangan penduduk setempat saat ini benar-benar bingung harus memilih makanan yang mana Di samping dia tidak bisa menerima semuanya karena tidak akan muat di perutnya.Sayangnya, Angga juga tidak tega menolak salah satu diantara mereka. Angga menghargai pemberian Ayu dan Rina terhadapnya. "Biar aku bukain langsung, Mas!" tutur Rina Yang Tak sabar menanti keputusan Angga. Dia langsung meletakkan rantang di atas meja dan membongkar wadah tersebut satu persatu."Ah, aku juga!" ujar Ayu yang ternyata masih tidak mau kalah.Kedua perempuan itu berlomba-lomba membuka rantang mereka masing-masing di hadapan Angga. Membuat pria satu itu semakin kewalahan. Dia sedang diperebutkan atau bagaimana?Rina, guru SD yang bertanggung jawab dan penyayang itu ternyata membawa nasi goreng homemade, sementara Ayu yang kabarnya hanya mengikut orang tua dan tidak mempunyai pekerjaan membawa salad buah segar dan tomyam. Semua makanan yang disuguhk
Dalam cuaca yang diselimuti oleh kegelapan, warung bakso Angga masih ramai dengan suara para pembeli yang datang dan pergi. Lampu yang tergantung rendah di warung itu menambah kehangatan suasana di malam yang sejuk ini. Angga, seorang penjual bakso yang dikenal dengan keramahan dan kejujurannya, sibuk melayani setiap pembeli dengan senyuman lebar."Mas, aku tiga bungkus, ya!""Aku satu mangkuk aja makan di sini, Mas!""Mas, saya dulu, dong! Kasihan anak di rumah sudah kelaparan."Cicitan cicitan para pembeli semakin menguar. Angga merasa senang, meski satu sisi dia kelimpungan."Iya, sabar ya semuanya."Saat sedang mengaduk bakso di dalam panci besar, tiba-tiba seorang anak kecil berlari mendekat ke warungnya. Anak itu, dengan napas yang tersengal, mengulurkan sebuah kotak kecil kepada Angga. Terkejut, Angga menurunkan sendok besar dan menerima kotak tersebut."Untuk om," kata si anak kecil dengan senyum yang manis. Jemari mungilnya terulur memanjang."Eh?"Angga menghentikan aktivita