Tak banyak kata lagi, tak hendak menanggapi ocehan Sabrina lebih lama lagi, tak juga dia hiraukan Sabrina yang masih meledeknya dengan sebutan kudet dan kurang pergaulan, Pram langsung beranjak dari duduknya dan bergegas pergi meninggalkan nasi gorengnya yang teronggok lesu karena tak tersentuh, meninggalkan Sabrina yang ikut beranjak dan setengah berlari mengejar langkah lebarnya. Semua itu karena Cinta penyebabnya.
Otaknya dipenuhi dengan fantasi liar tentang si nona muda yang tengah berbuat tak pantas di dalam kamar dengan sang pacar. Walaupun resiko pribadi Cinta bukan urusannya, tapi nalurinya sebagai pengawal keamanan seketika memberontak dan tak rela jika sesuatu yang buruk terjadi pada Cinta. Dan itu terjadi di bawah tanggung jawabnya.
Langkahnya mantap menuju meja kasir, lalu memesan seporsi Vegetable Sandwich dan Beef Sandwich beserta Coffee Latte dan Mochachino. Tak lama menunggu, makanan dan minuman dalam kemasan elegant itu sudah berada di tanganny
Hai... update lagi. jangan lupa tinggalkan jejak baca yah. Subscribe, Bintang lima dan reviewnya. Terima kasih. Happy reading.
Kangen kontrakan. Begitu yang terpikir di benak Pram setelah menginap dua malam di unit apartement Cinta. Walaupun keadaan kontrakannya terbilang sangat sederhana, namun suasananya yang tenang membuat Pram susah untuk meninggalkannya lebih lama. Karena itu, setelah mengantarkan Sabrina belanja keperluan dapur di supermarket dekat apartement mereka sore ini, Pram minta ijin pulang sebentar untuk menengok kontrakannya dan mengambil pakaian bersih untuk pakaian ganti jika sewaktu-waktu menginap di apartement lagi. Dari jarak sepuluh meter menuju kontrakannya, netra Pram menangkap dua orang wanita beda usia tengah duduk di kursi rotan tepat di samping pintunya. Begitu mendekat, tampak Bu Ocha tengah melingkarkan lengannya ke bahu Hani. Bergegas Pram memarkirkan motornya, melepas helmnya, lalu menghampiri keduanya. “Hani? Sudah lama datang?” sapa Pram setelah mendekat dan membelai pucuk kepala Hani sejenak, kemudian beralih mencium punggung tangan Bu Ocha. Lalu me
Sejujurnya, Pram sudah menyadari harapan untuk mendapatkan restu dari kedua orang tua Hani nyaris sirna. Namun perasaan cinta pada Hani masih kokoh terpatri di dalam hatinya. Dan Pram yakin Hani pun demikian. Itulah yang membuatnya masih menyimpan keinginan kuat untuk memperjuangkan Hani. Namun apakah keyakinan itu akan tetap bertahan, walaupun berkali-kali dia mendapat penolakan. Bahkan dengan sangat kasar dan arogan? Siang ini, Pram duduk di kursi panjang berhadapan dengan kolam renang di sebuah hotel berbintang lima, tengah menunggu Cinta menyelesaikan jadwal pemotretan untuk produk herbal pelangsing tubuh dari merk lokal yang cukup terkenal. Pram yang semula menghubungi Hani lewat sambungan telepon untuk mengetahui keadaannya, kembali mendapat semprotan kata-kata pedas dari Ibu Prapti ketika suara Hani berganti menjadi suara ibunya. Pria itu hanya terdiam mendengar semua sumpah serapah, caci maki dan hinaan yang Bu Prapti lontarkan tanpa perasaan.
“Kamu sudah ngopi, Pram?” Suara wanita setengah baya itu mengejutkannya. Pram menoleh ke asal suara di belakang punggungnya dan mendapati Ibu Viola berdiri di teras sambil membenahi penampilannya yang tampak sudah paripurna. Dengan mengenakan blazer dan celana basic merah tua dan wajah yang sudah segar dengan polesan make up sedikit menyala, ditambah rambut yang di cepol tinggi dengan anak rambut menjuntai di samping pipi. Bu Viola tampaknya sudah bersiap untuk pergi. “Belum, Bu,” jawab Pram jujur. Memang pagi ini tenggorokannya belum tersentuh minuman kegemarannya itu. Karena sejak pukul enam tadi dia harus sudah tiba di rumah mewah itu untuk menemui Pak Abraham sesuai pesan dari aplikasi yang diterimanya tadi malam. “Kamu ngopi dulu sana di dapur, abis itu langsung temuin Bapak di ruang kerjanya.” Setelah memerintahkan itu pada Pram, Bu Viola melangkah cepat menuju Mercedes Benz hitamnya yang sudah menunggunya dengan pintu samping yang terbu
Pram teringat perkataan Sabrina di lokasi syuting tadi, bahwa Sabrina salut terhadap dirinya yang begitu sayangnya terhadap Hani hingga dia rela dicaci maki demi mendapat restu dari orang tua Hani. Pram membenarkan itu. Memang dia sayang, cinta dan berharap impiannya menjadi kenyataan, menikahi Hani dan membangun rumah tangga di bawah restu orang tua. Tapi begitu beratnya tantangan yang dihadapi Pram, apalagi setelah mendengar dari lisan Hani sendiri tiga hari lalu melalui sambungan telepon sebelum percakapan mereka di sabotase oleh Ibu Prapti, ibunya Hani. Bahwa Hani kini sudah berhenti mengajar di sekolah boarding itu semata-mata agar Pram tidak punya kesempatan untuk menemui gadis itu lagi. Sedih, sudah pasti itu yang dirasakan Pram. Namun masih ada secercah harapan di hati Pram saat Hani bilang akan terus berjuang bersamanya untuk mendapatkan restu dari kedua orang tuanya yang entah sampai kapan. Dan kini rasa rindu pada Hani yang begitu menggebu menyelim
Setiap melintasi gerobak penjual martabak yang mangkal di pinggir jalan masuk gang menuju kontrakannya, Pram selalu teringat pada Bu Ocha, sohib semata wayangnya di komplek kontrakan RS9 (nine) itu. Mungkin karena rasanya yang gurih dan manis seperti tawa Bu Ocha yang selalu menghiburnya di setiap dia pulang kerja. Pram senang, Bu Ocha tak pernah bosan dia bawakan makanan berkarbohidrat tinggi itu. Dan yang lebih Pram suka, wanita setengah baya itu selalu memakannya habis, tak bersisa. Tapi anehnya, badannya tak pernah mengembang, walaupun dia doyan makan. Entah berapa belas jari usus di dalam perutnya. Seperti saat ini, satu kotak martabak varian keju dan coklat sudah dalam tentengan Pram. Dan Pram yakin usia martabak itu tak lama lagi, karena Bu Ocha akan segera mengeksekusinya. Jam di pergelangannya sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Biasanya pada jam-jam segini, lagu My Way-nya Frank Sinatra menggema berulang-ulang bagai kaset rusak dari bibir ceriwis
Kelopak mata Pram mengerjap cepat setelah membaca dua baris kalimat di layar gawainya. Lalu, sekali lagi dia baca pesan di aplikasi percakapan itu untuk meyakinkan bahwa dia tidak salah mengeja tadi. ‘Aku di kontrakan kamu, Mas. Aku tunggu kamu pulang, sekarang.’ Ya, dia tidak salah baca. Begitu pesan dari Hani Bunny Ciki Bunny yang sudah dia baca dua kali. Rasa senang seketika membuncah dihatinya. Bunga-bunga yang kemarin kuncup kini sudah bermekaran lagi di dalam dada. Komunikasi yang sempat terputus selama sepuluh hari dengan sang kekasih, kini terjalin kembali. Belasan, bahkan puluhan pesan untuk Hani yang tak ada jawaban, kini terbalaskan walaupun hanya dengan satu pesan. Pesan yang sangat singkat dan mengandung permintaan itu membuat Pram senewen bukan main. Hani sedang menunggu dirinya. Itu yang membuat rasa optimisnya kembali datang. Namun, kebahagiaan itu terpaksa dia tunda dulu untuk beberapa saat, entah untuk berapa lama. K
“Pramudya ....”Suara Bu Ocha memanggil dari balik punggungnya. Seakan suara itu hanya hembusan angin, Pram tak menggubris sama sekali. Dengan menyandarkan punggung pada dinding dan duduk melipat kaki dengan lutut yang menopang kedua lengan, wajahnya lurus menghadapi undangan berwarna biru di tangan.“Pram, tadi Ibu ketemu Hani di depan gang, lagi nunggu kendaraan. Tapi mukanya sembab gitu, kayak abis nangis. Dia baru dari sini?” cecar Bu Ocha sembari menempatkan duduknya persis di hadapan Pram dengan raut yang menggambarkan rasa keingintahuan yang mendalam.Namun, pria itu tak menjawab. Tetap diam sambil membolak-balik lembar demi lembar buklet undangan itu dengan gerakan lesu. Bola matanya tak bergerak dan kosong, seakan dirinya berada di dimensi lain.Bu Ocha jelas melihat sikap Pram yang asing itu, hingga rasa penasarannya pun tak terbendung lagi. Benaknya sudah menebak ada sesuatu yang memanas tengah terjadi di antara dua oran
Tak salah lagi, Maestro Club yang tertera di aplikasi pencarian lokasi berada di lantai 15 gedung berlantai 46 yang menjulang di hadapannya. Keyakinannya bertambah lagi ketika dia melihat nama night club itu berada di antara jajaran papan nama berneon biru di depan lobby. Tanpa pikir panjang lagi, langkah Pram bergegas memasuki gedung itu dan menuju kotak lift yang akan membawanya ke lantai 15 bersama empat wanita berpakaian seksi dan dua orang laki-laki. Sekilas dia lirik arloji di tangan, sepuluh menit menjelang pukul sebelas malam. Dia merasa lift itu berjalan lambat sekali. Sementara hampir di setiap lantai kotak elevator itu berhenti, padahal tak ada orang yang masuk atau keluar lagi. Sepertinya tujuan mereka pun sama yaitu night club di lantai 15. Rasa tak sabar Pram kian menjadi. Apalagi dia berdiri diantara beberapa wanita yang berpakaian sangat menggoda dan dipastikan membuat setiap hasrat alami laki-laki berguncang hebat kala melihat penampilan mere