Anna tiba di cafe yang elit itu. Dae Song yang lebih dulu tiba sudah menunggunya, bahkan dia menyewa tempat itu agar lebih privat berbicara pada Anna.
Dari jauh dia melihat Anna melangkah padanya, tentu dia merasa deg-degan, pikirannya berkecamuk, entah apa yang nanti di luapkan adik iparnya itu.
"Silahkan duduk," ucap Dae Song pada Anna.
Anna duduk, beberapa menit mereka dalam kebisuan, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Berat, lebih dulu berkata di situasi yang sudah tidak mengenakkan itu.
Pelayan datang membawa sajian yang di pesan oleh Dae Song. Pria berwajah dingin itu tahu, saat itu sudah menjelang siang, perempuan hamil tidak boleh terlambat makan."Aku lapar,lebih baik makan dulu, dari pada melihatmu mode diam," kata Dae Song mulai melahap makanannya.Anna sama sekali belum bergerak, dia mematung namun hati menyusun kata yang tepat untuk di ucapkan pada Dae
Ya, keterkejutan seketika melanda ustadzah Saina. Dia memandangi Anna dengan wajah tidak yang sungguh percaya dengan apa yang dikatakan Anna. "Saya seperti mimpi buruk, Anna." Anna membenamkan wajah di sela jemarinya. Menangis sejadi-jadinya. Menatap Ustazah Saina pun ia begitu malu. Dia begitu kotor dengan harga diri yang tercabik-cabik oleh kelakuannya bersama Dae Song. "Apa yang harus aku lakukan, Ustadzah," pinta Anna yang merasa putus asa. Ustadzah Saina sejenak beristighfar, sulit mengatakan apa yang harus ia katakan pada Anna. Jujur pun itu akan membuat Anna sulit bernafas bila mendengar sarannya. Ustadzah Saina mengambil air putih, "Kamu minum dulu, tenangkan dirimu, istighfar Anna," ucapnya. Setelah meneguk air itu sampai habis, Anna kembali berfokus pada perempuan berwajah teduh itu. Dia tetap ingin meminta saran langkah apa y
Plak! Tamparan keras dari Kakek Hang melayang ke wajah Dae Song. Luapan amarah pria berusia lanjut itu menakutkan seluruh yang ada di istana Korain. Bu Nas saat itu hanya dapat menundukkan wajah atas pengakuan Dae Song tentang kehamilan Anna. Kembaran Dae Jung itu telah berani berkata jujur atas dasar saran ustadzah Saina. Ya, ia rasa itu memang jauh ke lebih baik, karena kehamilan tak dapat di sembunyikan oleh cara apapun. "Kau! Dari dulu kau memang bejat! Apa salahku sehingga bisa mendapatkan cucu seperti mu?" Dae Song hanya membisu, tak ada kata yang dapat ia ucapkan. Dia tahu, ini kesalahan yang ebsar, memalukan, menghinakan keluarga, juga mengkhianati adik kandungnya. "Adikmu sedang sakit, berjuang hidup, kau tega berbuat itu pada adikmu? Dae Jung tidak pernah membuatmu terluka, dia bahkan rela memberikan apapun untuk kakaknya," tegas Kakek Hang dengan suara bergetar. Anna
Tangis Anna masih sesenggukan di balik kedua telapak tangannya. Dae Song memandangi Anna dengan hati pilu. Dia tahu, ini berat buat Anna, bahkan ia tahu pula tak ada sedikitpun keikhlasan di hati adik iparnya itu. Tapi, demi kebaikan untuk perkembangan anaknya, Dae Song harus tega melakukan pemaksaan itu pada Anna. "Aku tahu perasaan kamu, tapi maaf, ini lebih baik kita lakukan demi anak ini," ucap Dae Song. Anna terisak tangis, dia tak menjawab ucapan Dae Song yang ia anggap akan membunuhnya secara perlahan. Mana mungkin ia bisa sekuat itu berpisah cerai dengan Dae Jung. Sosok suami yang sangat ia cintai. "Anna, tolong, pahami keadaan kita, pahami sejenak," pinta Dae Song. Dengan berurai air mata, Anna menatap wajah Dae Song. "Kamu tahu, ini sudah sulit, tapi bagaimana dengan hati Dae Jung? apakah dia tidak punya hati untuk kecewa, bersedih, dan marah pada kita?" Anna menyerang Dae So
Dua hari telah berlalu, Dae Song menunggu masih menanti jawaban Anna yang tak kunjung ia dapat. Rasa khawatir tak henti menyelimutinya, takut bila Anna malah membiarkan janinnya terbengkalai.Siang itu Dae Song tak lagi ke kantor, sejak kemarin dia tak diberikan wewenang dari Kakek Hang untuk menjabat di kantor sebelum masalah dia dengan Anna selesai. Keputusan itu diterima Dae Song karena sangat memahami rasa terpukul kakeknya."Anna dimana, Bu Nas?" tanyanya pada Bu Nas yang sedang mengawasi para pelayan."Nona Anna masih ada di atas kamarnya, sejak kemarin belum pernah turun."Dae Song yang khawatir bergegas ke atas kamar Anna. Bu Nas yang takut bila akan ada perdebatan lagi mengikuti Dae Song secara diam-diam.Setiba di depan kamar Anna, Dae Song mencoba menguping dari luar, namun tak ada suara sediki
Zura dan Dae Jung masih menunggu Gang Sang di rumah sakit, pria yang berwajah sangar itu sedang berdiskusi dengan dokter untuk mendonorkan paru-paru pada Dae Jung. Saat itu kondisi keponakan Gang Sang memang sangat kritis karena gagal ginjal dan asam lambung yang di deritanya. Setelah memberikan keyakinan penuh, dokter yang ia berikan sejumlah suap itupun menyetujui permintaan Gang Sang meski hal itu tidak diketahui oleh Zura. Gang Sang keluar membawa map biru hasil ronsen paru-paru keponakannya, menggambarkan paru-paru yang akan didonorkan pada Dae Jung cukup sehat dan baik. "Kamu lihat 'kan? paru-paru keponakan ku bersih, selama masa hidupnya dia tidak pernah merokok," ujar Gang Sang. Dae Jung lega karena paru-paru yang akan di donor kan padanya. Zura yang sangat berniat membantu Dae Jung merelakan tabungannya untuk memberikan uang muka pada Gang Sang. "Aku rasa ini cukup untuk uang muka, jadi tolong awasi terus se
Zura menangkap ada mimik kesedihan di wajah Dae Jung. Dia mengikuti langkah Dari Jung dari arah belakang, memandangi pria tampan itu dengan perasaan iba.'Aku tahu perasaan mu sedih saat ini, kau tidak bisa menyapa keluarga mu sedangkan mereka ada dihadapan mu,' ucap Zura dalam hati.Dae Jung duduk di bangku jalan. Dia banyak mengingat tentang kenangan indahnya bersama Anna. Bagaimana ia membuatkan makanan Anna saat di masa ngidamnya."Aku merindukan masa itu," lirihnya.Tiba-tiba Zura mengejutkannya dari belakang."Hei, kau terlalu bersedih, kamu masih punya kesempatan, jangan putus asa," seru Zura.Dae Jung hanya membalas dengan senyuman, Ia bersyukur Tuhan mengirimkan Zura untuk membantunya, jika tidak, dia hanya ruh yang sebatang kara tanpa harapan yang jelas."Pulanglah, aku akan duduk disini sampai besok," kata Dae Jung. Duduk di bangku jalan yang tidak jauh dari rumahnya mengobati rasa rindu kenangan di masa kecilnya. Di taman itu, dia dan Anna seringkali berlari pagi menghiru
Saat Anna hendak masuk ke dalam mobil, namun mata terarah pada Zura yang berdiri di depan pintu masuk rumah sakit. Wanita bercadar itu juga tak melepaskan pandangan darinya. Anna yang sudah pernah bertemu Zura di Masjid Sentral Seoul menyimpan rasa penasaran dengan Zura."Perempuan bercadar itu lagi," gumam Anna tak melepaskan pandangannya dari Zura. "Dia melihat kita," kata Zura pada Dae Jung. "Bukan kita, tapi hanya kamu," timpal Dae Jung. Anna mengurungkan niatnya masuk ke dalam mobil. Dia beranjak ke arah Zura seraya melemparkan senyuman."Assalamualaikum, kalau tidak salah, sepertinya kita pernah bertemu," ucap Anna pada Zura. Dia yakin karena Anna mengenali mata dan bentuk alis tebal Zura pada waktu itu."Iya, Nona. Saya Zura, di Masjid Seoul," sahut Zura menyambut tangan Anna.Mata Dae Jung tak melepas pandangan dari Anna, sosok perempuan cantik yang begitu ia cintai itu selalu mengagumkan baginya. Anna selalu ramah pada semua orang."Kamu sedang apa disini? Ada keluarga kam
"Lepaskan, ingat perjanjian kita," kata Anna mengingatkan."Bahkan memeluk pun saat ini aku berhak sepenuhnya, jadi jangan mencoba protes, Anna. Aku sakit hati dengan penolakan kamu seperti ini!" Dae Song menatap tajam pada Anna. Dia ingin dihargai oleh Anna sebagaimana Anna memperlakukan Dae Jung. "Aku tidak ingin berdebat, aku sudah kehabisan tenaga, kasihanilah aku dengan anak yang aku kandung saat ini," pinta Anna. Dae Song melemah, dia melirik ke perut Anna yang sudah diisi oleh buah hatinya. Mengacaukan pikiran Anna, sama saja membuat ketidaknyamanan pada janinnya. "Aku tahu pernikahan ini paksaan, tapi bisakah kau memperlakukan ku sebagai suami mu sehari saja, sebelum Dae Jung sadar," pinta Dae Song memohon. Dia ingin merasakan kebahagiaan menjadi suami dengan ditemani istrinya yang mengandung anaknya pula. Sementara itu Anna terenyuh, dia tahu Dae Song dari dulu mencintainya, tetapi bukan seperti ini caranya jika pria itu ingin memilikinya, pikir Anna."Kamu tidak memikir