TITI POV
Aku baru saja melewati kamar Mas Aro saat melihat Adam keluar dari sana dengan mata sembab. Idih, pasti si Atam abis menangis. Mas Aro sih mulutnya pedes kayak boncabe level 20. Tengah aku mencibir sambil geleng-geleng kepala, Mas Aro melihatku galak.
"Titikoma, sini kau!" perintahnya ketus.
"Iya Mas, aku kesana?" tanyaku sambil menunjuk kamarnya.
"Iya, buruan!" jawab Mas Aro kesal.
Kayaknya Mas Aro lagi badmood deh, pasti dia berniat memarahiku. Huh!
"Tutup pintunya!" perintahnya.
Aku menutup pintu kamar Mas Aro, lantas mendekatinya.
"Apa Mas Aro mau ngapa-ngapain aku?"
"Apa?! Gila kamu!" Mas Aro melotot geram padaku.
Aku tersenyum geli melihatnya, "kalau iya gapapa kok. Pasrah aku, Mas."
"Tak usah mengharap, kamu! Sudah tak usah macam-macam. Kerja yang betul! Terus, apa betul kamu pacaran sama Chocho?" tuduhnya semena-mena.
Aku ternganga mendengar tuduhan Mas Aro. Gila! Bagaimana bisa ia punya pikiran aneh seperti itu?
"Mengapa Mas Aro menuduhku seperti itu?"
"Kalian berpelukan mesra, pangku-pangkuan, dan ciuman."
"Lalu, bukannya Paman juga memperlakukan Chocho seperti itu?!" bantahku kesal.
"Lain. Pak Frans lelaki. Sudah tua. Kamu masih gadis, muda lagi."
"Cih, apa bedanya?! Lagian darimana Mas Aro tahu aku masih gadis? Mau dibuktiin?" godaku sableng.
Wajah Mas Aro menjadi merah padam. Hihihi, pasti dia baper. Ya iyalah, meski Mas Aro ganteng banget, tapi aku yakin dia itu cowok nerd. Pasti dia belum pernah pacaran. Aku jadi suka menggodanya.
"Jangan ngawur kamu!" bentaknya galak, "Chocho masih polos, awas sampai kamu berani merayunya!"
"Idih Mas Aro, siapa sih yang merayu Chocho? Dia masih kecil. Kalau pengin merayu cowok, mending aku merayu Mas Aro aja deh," godaku padanya.
Wajah Mas Aro memerah lagi, dia jadi salting kugodain terus.
"Mas Aro gak pernah pacaran ya? Pasti masih perjaka tulen!"
Mungkin aku agak keterlaluan menggodanya. Sepertinya Mas Aro mulai tak nyaman.
"Titikoma, darimana kamu tahu saya masih perjaka?!" semprotnya galak.
Haishhh, Mas Aro gak kreatif amat. Jurusku ditirunya!
"Kira-kira aja, Mas. Boleh dibuktiin?" tanyaku sambil nyengir.
Grepp! Mendadak Mas Aro menarik pinggangku hingga aku terduduk di pangkuannya.
"Kamu sengaja memancing minta dihukumm, kan?!"
Apa? Belum sempat aku berpikir apapun, Mas Aro sudah mencium bibirku. Memagutnya penuh gairah. Aku gelagapan dibuatnya. Ciuman Mas Aro membuatku melayang, seakan tak menyentuh lantai. Eh iya juga sih, aku emang sedang di pangku Mas Aro. Jadi kakiku tak menyentuh lantai.
Mas Aro menghentikan ciumannya dan menatapku galau.
"Berapa beratmu?" tanyanya parau.
"46 kilo. Emang kenapa, Mas?" spontan aku menjawab, gak pakai mikir.
"Tak merasa gendut?! Cepat bangun!!" sarkas Mas Aro.
Haishhh, gegara pewe lupa move on deh. Buru-buru aku melonjak bangun.
"Cih, Mas Aro. Aku enggak gendut kok. Montok dikit iya kali," cengirku manja.
"Titikoma..."
"Iya Mas?"
"Keluar sebelum kuhukum!"
Ck. Mas Aro ngancem mulu deh. Aku pun keluar sambil berusaha menenangkan deburan di dadaku. Ya ampun, bagaimana bisa kami tadi berciuman? Bukannya kami saling tak menyukai?
"Kak Titi di kamar Kak Ander? Ngapain didalam? Kenapa lama?" Tanya Chocho yang berdiri didepan pintu kamar kakaknya. Suara Chocho mengagetkan diriku.
"I-iya Chocho, Kak Ander memberi daftar belanjaannya. Banyak banget!" jawabku dengan gugup.
Tak mungkin kan aku menjawab kalau aku abis ciuman dengan kakaknya.
Hadeh...
==== >(*~*)< ====
Aku tengah menyiapkan susu hangat buat Chocho, tentu saja yang rasa coklat. Dia kan mania coklat. Chocho menunggu dengan tidak sabar di tepi meja pantry.
"Coklat Kak Titi! Coklat!" teriaknya riang.
"Iya, Chocho. Nih spesial susu coklat hangat buat kesayanganku!"
Kuserahkan segelas susu coklat hangat padanya. Chocho langsung menyedotnya antusias. Yaelah, saking semangatnya minum sampai belepotan semua deh.
"Chocho, minumnya hati-hati dong, tumpah nih," kataku mengingatkan.
Kulap mulut Chocho dengan jari tanganku, tak sadar aku menjilat jari tanganku yang terkena coklat. Chocho terpana melihatku.
"Sayang dibuang, Chocho," kataku nyengir.
"Kak Titi mau?" dengan baik hatinya Chocho menawarkan miliknya.
Dia menyodorkan susu coklatnya padaku. Terpaksa aku menerima tawarannya, kalau kutolak pasti Chocho kecewa. Mendadak kurasakan punggungku memanas. Ih, kayak ada hawa-hawa horor. Ternyata Mas Aro yang mengawasi kami dengan tatapan tajam. Sial, gegara grogi aku jadi tersedak. Mulutku jadi belepotan susu coklat. Aku baru saja akan mengelapnya, Chocho telah menahan tanganku.
"Jangan Kak Titi, sayang."
Astagah! Bocah ini menjilat noda coklat yang belepotan di bibirku dengan lidahnya. Pasti Mas Aro semakin meradang menyaksikannya, mungkin dikiranya adiknya mencium bibirku.
Dia langsung berteriak memanggilku, "Titikoma! Sini kau!"
"Hadir, Mas!" sahutku tengil sambil mengacungkan jariku.
Aku mengikutinya masuk ke ruang kerjanya. Wah alamat disemprot nih! Dia menatapku tajam seakan dia adalah hakim dan aku pesakitannya.
"Mas Aro jangan menatapku begitu, jadi malu daku," kataku sok kenes.
Mas Aro mengernyitkan dahinya bingung.
"Iya, Mas Aro mau memujiku cantik kan? Makasih, Mas Aro juga ganteng banget!" godaku padanya.
"Titikoma, tak usah merayuku!" katanya ketus.
"Ih aku gak merayu. Kalau merayu itu begini.."
Kudekati Mas Aro yang duduk di kursi rodanya, lalu kupeluk dia erat dan kuelus pipinya. Dia berjingkat kaget.
"Titikoma!!"
"Siap, Mas Aro!"
"Lancang kamu ya! Mau kuhukum?!" ancamnya galak.
Kumajukan wajahku didepan wajahnya, Mas Aro spontan memundurkan kepalanya.
"Mau apa kamu?!" bentaknya galak.
"Katanya Mas Aro mau menghukumku, aku siap dijitak Mas Aro."
Kupejamkan mataku didepannya, Mas Aro diam saja. Dapat kurasakan napas hangatnya menerpa pipiku, aku membuka mataku dan langsung bertemu pandang dengannya. Ya ampun, mengapa dari dekat begini dia terlihat tampan sekali? Aku menelan ludah grogi. Mas Aro mendekatkan wajahnya padaku. Jiahhhhh, apa dia berniat menciumku?
"Mas... Mas Aro mau cium aku?"
Dia melengos mendengar gumamanku. Pletak! Dia menjitak kepalaku lumayan keras. Ih, Mas Aro sadis.
"Ish, Mas Aro menjitaknya keras. Sakit, tauk! Mending dihukum cium," gerutuku manja.
Aku sempat menangkap Mas Aro diam-diam tersenyum kulum. Duh, senyumnya itu loh.. membuat hatiku berdebar kencang.
"Mas Aro kalau senyum ganteng loh, kenapa sih gak mau sering-sering senyum?" godaku.
Wajah Mas Aro berubah masam. Yaelah. Dengan gemas aku menarik kedua sudut bibirnya kesamping supaya membentuk garis senyum.
"Begini baru keren!" pujiku.
Mas Aro menatapku tajam hingga aku terpana memandangnya. Kami saling menatap intens, entah siapa yang memulai bibir kami saling mendekat. Jantungku berdebar kencang seakan mau meledak, aduh aku jadi baper abis. Dia mencium bibirku dengan lembut, hingga membuatku meleleh seketika. Kubalas ciumannya tak kalah hangatnya.
Ya Tuhan, mengapa ciumannya bisa membuatku kacau? Bahkan saat kami selesai berciuman, aku masih termangu-mangu. Mas Aro juga nampak galau, dia melihat bibirku yang membengkak karena ulahnya. Tangannya terulur menyentuh bibirku, bibirku gemetar dibuatnya.
"Titik..." desahnya pelan.
Bibirnya mendekat lagi. Astagah, apa dia mau menciumku lagi? Otakku rasanya korslet, hingga ngomong asal nyeplos.
"Mas Aro mau menciumku lagi? Boleh, tapi potong utang ya?"
Sialan!! Kenapa mulut ini asal celometan aja?! Mas Aro tentu aja langsung ilfill. Dengan kasar dia mendorongku dan meninggalkanku.
"Mas Aro, yang ciuman tadi gimana? Utangku udah dipotong kan?" seruku mengingatkannya.
Mas Aro tak menjawabku, yah dikacangin deh daku. Mas Aroooo!!
==== >(*~*)< ====
Bersambung
SETAHUN KEMUDIAN... TITI POV Akhirnya setelah setahun, hati Chocho luluh juga. Dia mau menemui Mommy, di rumah sakit. Yah, penyakit Mommy semakin kronis, dia sedang kritis dan ingin bertemu Chocho di penghujung hidupnya. Meski bersedia datang, Chocho masih terlihat enggan. “Haruskah kita kemari?” tanya sembari menggigit kuku tangannya. Aku menghela napas panjang. Ini ketiga kalinya dia bertanya hal yang sama padaku. “Hanya sekali, temui dia sebentar Chocho. Please..” Aku memohon padanya bukan hanya sekedar demi Mommy mertua, tapi demi Chocho. Supaya di kemudian hari tak ada peny
XANDER POV “Om...” panggil Gladhys yang langsung meralatnya begitu aku melotot padanya, “Xander, aku cuma sekedar mengingatkan.. tak memaksa. Jika kamu ada waktu, kamu boleh mendampingiku kontrol ke dokter kandungan.” Dia mengangkat dagunya angkuh saat aku menatapnya datar. Ck, lagaknya seperti nyonya besar saja. Tapi bukannya kesal, aku justru gemas padanya. Kutowel dagunya hingga wajahnya menghadap padaku. “Apa yang kau harapkan? Aku mengantarmu atau tidak?!” desisku sembari menatapnya lekat. Bibir mungilnya bergerak seakan ingin mengatakan sesuatu yang frontal, namun kembali ter
TITI POV Belakangan ini Chocho sibuk sekali. Entah apa yang dikerjakannya. Dia sering mengadakan meeting bersama orang-orang kepercayaannya. Di satu pihak aku bangga melihat kesuksesan Chocho, tapi di lain pihak aku nyaris tak mengenali Chocho yang sekarang. Bukan berarti cintanya padaku berubah. Aku yakin dia masih mencintaiku seperti dulu. Hanya saja, aku kehilangan sosok Chocho yang polos dan berhati hangat. Dia menjadi keras, dingin, dan sulit mempercayai orang lain. Hanya padaku Chocho masih bisa bersikap hangat dan penuh kasih. Malam ini dia pulang larut, dan segera menemukanku yang tertidur di sofa menungguinya. Dia memandangku penuh cinta, lalu mengecup dahiku.&
GLADHYS POVAku hamil.Tapi tak ada yang menyambut kehamilanku dengan riang gembira. Papa mertuaku hanya mengucapkan selamat dengan wajah datarnya. Sebelas duabelas dengan anaknya yang sekaligus suamiku."Jaga kandunganmu baik-baik."Uni mengangkat sebelas alisnya, gemas."Hanya itu yang dia ucapkan?" cetus Uni menanggapi ucapanku sebelumnya.Aku mengangguk, "mending. Awalnya kupikir dia tak menghendaki bayi kami."Bukan aku yang kesal, malah Uni yang panas hati."Eyke dah bilang, jangan bucin Say. Keluarga suami lo emang gak beres semua! But btw, dimana mom mertua lo. Mestinya dia yang antusias kalau tahu lo hamil."Seharusnya begitu. Tapi udah lama aku gak melihat Mommy."Itulah, dia menghilang. Aku juga heran. Kemana dia gerangan?""Jangan-jangan..." Uni men
XANDER POV Kabar itu sangat mengagetkanku. Titikoma mengalami musibah. Aku juga tak jelas musibah seperti apa yang menimpanya, tapi sepertinya ada kaitannya dengan keterlibatan Mommy di dalamnya. Kali ini Mommy sungguh keterlaluan! Aku harus menegurnya. Namun untuk saat ini aku memutuskan untuk memastikan keadaan Titi. Apakah Chocho dapat mengurusnya dengan baik? Bergegas aku meraih kunci mobilku dan melangkah meninggalkan rumah. Menuju ke mobilku. "Tunggu!" Aku mendengus mendengar seseorang yang berusaha menahan kepergianku. "Om, aku ikut!" Eh, dia bukan berniat memintaku tinggal? Aku tersenyum sinis padanya. "Jangan sembarangan meminta ikut bila kau tak tahu tujuanku hendak kemana! Bagaimana seandainya aku berniat pergi ke tempat pelacuran?" Gladhys balas tersenyum mencemooh, bibirnya yang manyun membuatku gemas ingin meng
TITI POVSudah malam.Chocho masih belum menyusul tidur. Aku penasaran, apa sih yang dilakukannya sedari tadi? Main game di laptop? Secara Chocho asik sekali berkutat dengan laptopnya sejak siang tadi.Kuhampiri Chocho sambil membawakannya camilan tengah malamnya, sate buah."Hei cowok gantengku, bisakah kau berhenti sebentar dari apapun yang kau kerjakan untuk menikmati sate buah manis ini bersamaku?" tanyaku dengan mata mengerling kenes.Chocho melirik dengan gaya menggoda."Ya, buahnya terlihat manis dan menantang."Menantang? Sepertinya itu bukan istilah yang tepat untuk menggambarkan sate buah yang kubawa. Kecuali yang Chocho maksud.. Aku melirik dadaku sendiri. Buah dada? Chocho tertawa terbahak melihat respon yang kutunjukkan. Ohhhhhh, pasti itu yang dimaksudnya!! Astaga, bocah ini berubah jadi mesum sekali! Dengan gemas k
TITI POVChocho pulang dengan wajah muram. Aku balas memeluknya ketika ia memelukku dan menaruh kepalanya di bahuku. Pasti ada sesuatu yang terjadi, seharusnya ia belum saatnya pulang."Chocho, ada sesuatu yang terjadi?" tanyaku lembut."Yang kukhawatirkan terjadi juga, mereka sudah bertindak."Maksudnya mereka itu siapa?"Chocho, siapa yang menganggumu?" tanyaku to the point."Siapa lagi? Mommy!" dengus Chocho kesal.Dia mengangkat wajahnya dan menatapku galau."Titi, apapun yang terjadi jangan lepaskan aku.. seperti Titi melepas Kak Xander!"Oh, dia mulai ketakutan lagi gegara masalah ini. Perpisahanku dengan Mas Aro begitu membekas di hatinya dan menimbulkan trauma. Aku mengelus rambutnya lembut, kutatap dia intens."Kali ini aku akan berjuang, Chocho. Demi cinta kita!" tandasku mantap.Mata Chocho berpijar penuh kebahagiaan men
XANDER POVHari ini Gladhys nampak beda. Dia yang biasanya bersikap acuh padaku, kini berlagak mau jadi istri yang baik. Aku hanya tersenyum sinis menanggapinya. Ada mommy datang menginap ke rumah kami, paling dia hanya pencitraan didepan mertua. Tapi biarlah, kuikuti saja permainannya. Aku menikmati perlakuan manis nan munafik dari istriku.Hari ini Mommy minta diantar ke supermarket, Gladhys merayuku mengantar mereka. Dan disinilah kami, berada di supermarket yang cukup jauh dari rumah kami."Apa tidak ada supermarket yang buka di sekitar rumah kita?" dengusku sinis.Gladys tersenyum manis seraya menepuk pelan pahaku."Sayang, aku sengaja mencari yang lokasinya jauh. Supaya bisa menikmati perjalanan penuh kemesraan bersamamu."Mesra apanya, hah! Istriku sungguh munafik. Namun aku juga tak kalah munafiknya."Baiklah, Sayang. Aku akan menikm
TITI POVKehidupan kami mulai membaik. Berkat pendapatan yang diperoleh Chocho sebagai model, kami bisa menyewa rumah dengan kondisi yang lebih baik. Hari ini kami pindahan, Mas Gino dan Ginuk khusus datang membantu proses pindahan kami. Tapi barang-barang kami gak banyak, jadinya Ginuk malah bantuin makan doang. Hehehe.."Haishhhh, iki toh jajanan yang ta lihat di tivi. Ternyata begini rasanya, enakan jemblem!" komentar Ginuk sambil mengunyah telo kekinian yang diolah secara modern."Bilangnya ndak enak, tapi ya kamu abisno, Dek," timpal Mas Gino, meledek adiknya yang gembul."Eman toh, daripada mubazir! Yang kurus-kurus macam Chocho sama Titi pasti ndak sanggup makan banyak," kilah Ginuk."Halah, alasan! Bilang aja doyan," aku ikut menggoda Ginuk.Kucubit pipi tembemnya, hingga dia greget. Ginuk mengejarku yang berlari menghindari cubitan balasannya. Jiahhhh, aku