“Kamu sedang apa di sini?” tatapan Rima naik turun, mengamati penampilan Helana dari atas ke bawah. Dia tersenyum merendahkan. “Jadi, kamu kerja di sini juga? Jadi apa? Waitres atau tukang bersih-bersih?”Helena hanya tersenyum kecil dengan tatapan tak peduli. Dia memilih mengabaikan, membawa langkahnya melewati wanita itu. Tapi tiba-tiba tangannya ditarik kasar hingga tubuhnya terhuyung ke belakang, lalu didorong oleh Rima hingga terhimpit tembok di belakangnya.“Nggak usah sok.” Rima berdiri tepat di depan Helena dengan mata melotot tajam. Dia menunjuk-nunjuk dada wanita itu kasar. “Gara-gara kamu, aku sampai kena SP. Gajiku juga dipotong-“Kalimat Rima terjeda saat Helena menepis tangan wanita itu kasar, bahkan sedikit mendorong hingga mereka kini berjarak. “Mbak Rima masih nggak sadar juga? Sikap dan emosi Mbak Rima lah penyebabnya, bukan aku. Lagian aku yang jadi korban.”“Aku nggak akan kasar sama kamu kalau kamu nggak ngrebut posisiku!” bentak Rima dengan wajah merah padam.“Po
“Hueekk… hueeekkk….” Helena tampak berjongkok di depan kloset dan menumpahkan semua isi perutnya yang bergejolak, bahkan hingga tinggal air yang keluar. Dia terduduk dengan nafas terengah, sebelah tangannya mengusap permukaan perut yang bergejolak. “Astaga… aku kenapa?”Mendadak Helena terdiam, memorinya kembali berputar beberapa jam sebelumnya. Sontak matanya melebar ketika baru teringat apa yang dilakukannya semalam. “Apa- aku benar-benar mabuk?”Helena bangkit, menuju ke cermin di wastafel kamar mandi. Terlihat jelas tubuhnya masih berbalut baju semalam, itu tandanya Keyland tidak melakukan apa pun padanya. Dia bergegas keluar dari kamar mandi, berniat mencari pria itu untuk sekedar meminta penjelasan, tapi ternyata hanya ada dirinya di apartemen tersebut.Helena menghela nafas panjang, terduduk di tepi ranjang. Dia masih mencoba mengingat kejadian semalam yang mungkin masih terselip di otaknya, tapi nihil- terakhir kali yang diingat hanyalah saat dia emosi dan menegak habis minuma
“Katakan, siapa pria bernama Vian itu, hem?”Suara itu terdengar tidak lagi seperti sebuah pertanyaan, tapi bagaikan rayuan iblis yang bergema di telinga Helena. Pasalnya, pertanyaan itu disertai dengan godaan jemari panjang yang terus bergerak di bawahnya, menciptakan sengatan gairah yang membuatnya hilang logika. Helena frustasi, ingin sekali menghindar tapi ruangan yang mereka tempati terlalu sempit. Ingin juga berteriak tapi terlalu takut kalau mereka ketahuan, dan tentu akan menjadi sebuah aib seumur hidup. Alhasil, dia hanya bisa terus menggeleng sembari menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan desahan yang siap mencuat.“Katakan, Helena,” desis Keyland dengan bibir yang menempel di telinga wanita itu.Permainan Jari Keyland terasa semakin intens, membuat tubuh Helena bergetar pelan. Gelenyar nikmat yang dirasakan hampir mencapai puncaknya, hingga seluruh inderanya terasa begitu sensitive, bahkan kakinya seolah tak bertulang. Dia mencengkeram lengan Keyland kuat-kuat, tak peduli ka
“Sedang apa mereka di sini?” Mata biru pucat itu tampak menyala-nyala, menatap sebuah butik di hadapannya, apalagi saat terlihat manekin pasangan yang memamerkan setelan baju pengantin di balik kaca.“Saya tidak tahu, Tuan,” jawab Joddy santai.“Jadi, si manajer itu benar-benar kekasih, Helena?” geram Keyland dengan rahang tampak mengetat.“Saya juga tidak tahu, Tuan.”Sontak Keyland menoleh ke arah anak buahnya itu dengan tatapan tajam. “Lalu apa yang kau tahu, hah?!”“Maaf, Tuan. Saya akan segera mencari tahu,” balas Joddy sembari sedikit menunduk.“Tidak perlu, aku akan mencari tahu sendiri.” Keyland melangkah maju, hampir mencapai pintu butik saat tiba-tiba Joddy menghadang di hadapannya. Dia menatap pria itu dengan mata memicing. “Apa yang kau lakukan?!”“Maaf, Tuan. Anda tidak perlu melakukannya sendiri, karena sebenarnya anda tidak memiliki hak untuk melarang hubungan mereka.”“Apa katamu?!” bentak Keyland dengan mata menyala-nyala, tapi di detik selanjutnya malah berdehem pela
Helena melemparkan tubuhnya ke atas ranjang sembari mendesah panjang, sedangkan paperbag besar yang dibawanya diletakkan begitu saja. Dia merasakan tubuhnya yang cukup lelah oleh segala macam aktifitas hari ini, tapi entah kenapa rasa lelahnya tidak begitu menyiksa seperti dulu, mungkin karena rasa lelahnya dulu bukan hanya fisik melainkan batin. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari biaya pengobatan Vian yang sudah tertutupi.Mata Helena nyalang menatap langit-langit kamar, dengan bibir yang mengulas senyum kecil. Setelah mencari gaun tadi siang, dia menyempatkan diri berkunjung ke rumahsakit untuk sekedar menyapa Vian seperti biasa. Saat itu dia mendapat kabar baik dari suster Sinta bahwa Vian mengalami perkembangan pesat, bahkan mulai bisa bernafas sendiri meskipun hanya dalam hitungan detik.“Aku nggak sabar lihat kamu bangun, Yan,” gumam Helena dengan mata menyorot penuh harap. Dia berguling ke samping, menyambar guling dan memeluknya seolah sedang bersama dengan sang suami. D
“Aku masih selalu menginginkanmu.”Kalimat tersebut masih terngiang di telingan Helena, meskipun telah didengarnya beberapa menit yang lalu. Entah kenapa dia merasa bahwa kalimat tersebut bagaikan sebuah pujian, sebuah tanda yang menjadikannya begitu berharga. Walaupun dia sangat sadar kalau dirinya diinginkan hanya dalam konteks nafsu belaka.“Ini makanan apa?”Suara itu mmebuat Helena mengerjapkan mata, tersadar dari lamunannya. Dia menatap Keyland yang duduk di hadapannya. “Ah ini, namanya nasi gila.”“Kau bercanda?” Keyland menaikkan sebelah alisnya, menatap nasi di piring dengan topping aneh di atasnya.“Kami memang menyebutnya nasi gila. Nasi yang ditambah dengan tumisan telur, sosis dan sayur,” terang Helena dengan tangan yang mulai mengaduk nasi miliknya. “Tenang saja, anda tidak akan menjadi gila hanya gara-gara makan itu.”Keyland tersenyum kecil, tatapannya berganti ke arah wanita itu. “Kau bisa membuat lelucon juga ternyata.”Helena tak menanggapi, memilih untuk menyuapkan
“Kau berdebar, Helena.”Bagaimana tidak berdebar saat baru saja Helena mencapai pelepasan entah yang ke berapa kali. Jangan dikira Keyland benar-benar terserang diare dan lemas, nyatanya pria itu masih sangat gila saat memasuki Helena beberapa saat yang lalu. Walaupun sekarang Keyland malah bersikap manja dengan terus minta dipeluk oleh Helena, membenamkan wajah di dada hangat wanita itu.Untuk sesaat mereka sama-sama diam, menikmati kesunyian yang menyenangkan. Keyland tampak memejamkan mata, merasakan kenyamanan aneh yang belum pernah dirasakan dengan wanita lain. Sedangkan Helena tampak canggung, tidak berani bergerak karena akan malah akan menjadi boomerang untuknya. Pasalnya, wajah Keyland benar-benar menempel di dadanya, pergerakan sedikit saja pasti akan menciptakan sengatan nikmat baginya.“Apa perut anda masih sakit?” tanya Helena lirih, berniat menjauhkan diri tapi lengan Keyland malah mendekapnya erat.“Aku tidak bisa merasakan rasa selain nikmat saat ini,” gumam Keyland d
"Aku akan nemenin Vian seharian ini," ucap Helena yang sudah tampak rapi dengan kaos pendek dan celana jeans santai. Dia menyemprotkan parfum secukupnya sebelum akhirnya keluar kamar. Helena memang selalu memanfaatkan hari libur untuk menemami Vian di rumah sakit, meskipun hanya untuk menyeka pria itu ataupun malah mengobrol sendiri. Dia tetap percaya bahwa apa pun yang dilakukan bersama Vian, pasti bisa dirasakan dalam alam bawah sadar pria itu. Senyum Helena terkembang saat akhirnya terbebas dari Keyland, walaupun semalaman pria itu tidak melepaskannya sedetik pun. Tapi ternyata pagi ini dia sudah tidak menemukan Keyland di dalam kamarnya. Hanya saja rasa senangnya tak berlangsung lama, segera digantikan oleh keheranan yang muncul tiba-tiba. Pasalnya sekarang dia mencium aroma nikmat dari arah dapur, mau tak mau membawa langkahnya menuju ke sana.“Hah? dia masih di sini?!” pekik Helena tanpa sadar. Matanya melebar dengan mulut menganga saat mendapati tubuh tegap itu berdiri di pan