“Astaga… apa yang kalian lakukan?!”Jantung Helena seolah hampir berhenti berdetak saat itu juga, terlalu takut kalau yang memergoki mereka adalah salah satu pegawai di perusahaan ini. Tapi masih beruntung karena sekarang yang menghampiri mereka adalah seorang wanita berambut pendek yang tak lain adalah adik tiri Keyland.“Kenapa kau selalu mengganggu kesenanganku, hah?!” bentak Keyland dengan mata melotot tajam.Alih-alih takut, Cindy malah hanya melipat kedua tangan di dada dengan mata memicing. “Apa kau bodoh, Keyland? Bukankah kau selalu membuat aturan untuk tidak bermain gila di kantor?”Keyland melirik Helena yang menunduk dengan pipi bersemu merah, senyumnya terukir geli. “Entahlah, aku hanya tidak tahan tadi.”“Kau sangat hebat, Helena,” ucap Cindy dengan tatapan bergeser ke arah Helena. “Baru kali ini aku melihat seorang Keyland Hamilton sampai hilang kendali.”“Hah?!” Helena tampak melongo.“Jangan mengada-ada,” Keyland langsung bangkit dari ranjang, “Bagiku semua wanita itu
“Kalian- kenapa di sini?” cicit Helena dengan wajah masih memucat, terlihat kedua tangannya yang saling meremas. “Ini rumahsakit keluarga kami, jadi apakah perlu alasan kami di sini?” Mata Keyland tampak memicing. “Apa?!” pekik Helena dengan mulut menganga lebar. Perlahan keringat dingin mulai mem basahi pelipisnya, padahal suasana di sekitar mereka jelas cukup dingin. “Kamu sendiri sedang apa di sini, Helena?” tanya Cindy dengan tatapan menyelidik. “Apa ada keluargamu yang sakit?” “Tidak mungkin,” sahut Keyland dengan wajah kaku, mengamati ekspresi Helena yang terlalu mencurigakan. “Dia yatim piatu dan dibesarkan di panti asuhan, sudah dipastikan dia tidak memiliki keluarga.” “Bagaimana anda bisa tahu?” Helena mencoba mengalihkan topik dengan balik bertanya, karena sejujurnya tidak memiliki jawaban yang tepat tentang alasan dia di tempat ini. Keyland tersenyum miring sembari memangkas jarak di antara mereka, sebelah tangannya terulur untuk menarik dagu Helena agar fokus me
“Astaga… kenapa dari semua rumahsakit di Jakarta harus rumahsakit itu yang menjadi milik mereka,” gerutu Helena dengan tatapan nyalang pada tembok kamar mandi. Dia masih sangat khawatir, tidak bisa membayangkan kalau nanti Keyland mengetahui identitas Vian.Helena menghela nafas berat, semakin menurunkan tubuhnya hingga terbenam di antara busa sabun yang menutupi air hangat di dalam bathup. Dia memejamkan mata dengan kepala bersandar pada ujung bathup, sejenak menikmati kenyamanan dan ketenangan yang melingkupi tubuh polosnya. Sejujurnya dia sangat menikmati kemewahan di tempat, tapi kalau bisa memilih- dia akan dengan senang hati lebih memilih tinggal di rumah sederhana bersama Vian.“Nggak tahu berapa lagi Impian kita bisa terwujud, Yan,” gumamnya dengan mata terpejam, membayangkan seolah Vian sedang bersamanya saat ini. Perlahan bibirnya menyungingkan senyuman, mengingat kembali kenangan-kenangan indah yang saat ini berputar di otaknya.Masih sangat jelas tergambar sebuah pantai ya
Selama ini Keyland sangat suka mempermainkan wanita, menganggap wanita tidak lebih dari sekedar objek pemuas nafsunya. Wanita mana pun yang ditemuai pasti akan dengan senang hati melempar tubuh ke arahnya, entah cuma-cuma atau karena membutuhkan uangnya. Dan sejujurnya, dia akan lebih menyukai wanita yang hanya membutuhkan uangnya, karena wanita itu tidak akan menuntut lebih dari sekedar materi. Oleh karena itu, pada walanya dia sangat yakin bahwa Helena akan sama dengan para wanita jalang itu yang hanya sekedar membutuhkan uanganya, tapi sekarang dia sendiri yang malah merasakan hal aneh pada Helena. “Ah sial!” Tiba-tiba Keyland menegakkan badan hingga milik mereka terlepas. Dia menggeser tubuh Helena kasar lalu keluar dari bathup, berjalan menuju ke arah shower tanpa berkata-kata. Ada sebuah ketakutan yang kini menyusup masuk ke dalam hatinya, rasa takut kalau perasaanya pada perempuan berubah."Apa lagi kali ini?" gumam Helena dengan tatapan heran pada tubuh Keyland yang masuk ke
“Helena, bangun….”Helena mengerang pelan dengan kening berkerut, merasakan tepukan lembut di bahunya. Perlahan tubuhnya menegak, terasa begitu kaku karena semalaman tidur dengan posisi duduk dan tubuh membungkuk di sisi Vian. Semalam, dia menyelinap pergi dari apartemen setelah Keyland tertidur, menuju ke rumahsakit hanya untuk bercerita dengan Vian yang tetap diam.“Helena, kamu tidak bekerja?” tanya suster Sinta dengan suara lembut.“Saya mendapat izin satu hari untuk istirahat, Sus,” jawab Helena dengan senyum kecil.“Sebenarnya kamu ada masalah apa?” Suster Sinta menatap mata Helena yang bengkak dan wajah sembab, terlihat masih ada jejak airmata di sana. “Jangan sungkan untuk cerita denganku, Helena.”“Saya baik-baik saja, Sus.”Suster Sinta menghela nafas panjang, sebelah tangannya terulur untuk membelai sisi wajah Helena lembut. “Kan sudah kubilang, anggap aku ini sebagai ibumu, Helena… aku sudah mengurus kalian sejak kecil, jadi sudah seharusnya tidak ada rahasia yang perlu ka
“Sial… dia masih tidak mau menerima teleponku!”Keyland terlihat mondar mandir di dalam ruang kerjanya, sedangkan Joddy hanya berdiri mematung menatapnya. Dia terlihat gelisah, karena bahkan sampai siang seperti ini tak satu pun pesan maupun panggilannya direspon oleh Helena. Sikapnya memang benar-benar konyol, layaknya remaja puber yang sungguh menggelikan. Hanya saja dia tidak pernah merasa seperti itu, karena gengsinya yang lebih mendominasi.“Kenapa kau hanya diam saja, hah?!” bentak Keyland dengan tatapan tajam ke arah Joddy.“Maaf, Tuan. Memangnya saya harus apa?” Joddy malah balik bertanya dengan wajah bingung, sungguh bukan seperti dia yang biasanya.“Apa kau sekarang menjadi sangat bodoh, Jod?!” Suara Keyland terdengar meninggi. “Bukankah biasanya kau selalu memiliki solusi untuk setiap masalahku?”“Untuk masalah yang anda hadapi sekarang ini benar-benar membuat saya tidak mengerti, Tuan,” balas Joddy sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.“Sudah jelas-jelas wan
“Nona Helena?”Tubuh Helena membeku, matanya terbelalak dengan mulut setengah terbuka. Dia menatap pria tinggi tegap di hadapannya bagaikan malaikat pencabut nyawa, bahkan jantungnya seolah berhenti berdetak saat ini juga. Dia merasakan ketakutan yang luar biasa saat orang suruhan Keyland mengetahui rahasianya, tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kini dia hanya bisa berdiri mematung saat Joddy berjalan mendekat ke arahnya.“Tuan Keyland mencari anda.”Helena hanya diam, tidak menyangka kalau Joddy hanya akan mengatakan hal tersebut, bahkan dengan wajah yang tetap tanpa ekspresi. Dia bisa melihat mata Joddy yang hanya fokus menatapnya tanpa bergerak ke lain arah, seolah pria itu tidak mencoba mencari tahu siapa yang terbaring di belakangnya. Namun, dia harus tetap menjelaskan sebelum semua semakin rumit. “Maaf, saya tidak bisa menceritakan yang sebenarnya karena-““Lebih baik anda segera kembali ke apartemen sebelum tuan Keyland semakin marah.”Helena dibuat sema
“Kiss me, Helena.”Kalimat tersebut tidak lagi terdengar sebagai perintah bagi Helena, tapi bagaikan sebuah ajakan. Tak sedikit pun ada rasa penolakan dalam diri Helena, malah jiwanya seolah tertantang. Perlahan bibirnya mulai melingkupi bibir Keyland, melumat atas bawah seperti yang biasa dilakukan pria itu. Namun, ternyata Keyland malah hanya diam tanpa membalas, membuat Helena langsung menarik diri.“Kenapa berhenti?” protes Keyland dengan sebelah alis terangkat.“Anda- hanya diam.”“Aku hanya ingin menikmatinya,” jawab Keyland dengan ibu jari yang membelai bibir merekah itu. “Jadi, lakukan lagi.”Helena menurut, kembali menyatukan bibir mereka. Dia mencoba menggunakan kemampuan alaminya, sudut hatinya menginginkan sebuah pujian dari Keyland meskipun gerakan bibirnya masih sangat kaku. Baru kali ini dia bersikap agresif pada seorang pria, tapi logikannya selalu membuat pembelaan bahwa ini salah satu usahanya dalam “pekerjaan” bukan karena dirinya menghianati Vian. Perlahan ra